14
Ge berdiri dengan wajah merah padam. Bukan karena malu, tapi karena terlalu geram dan marah.
Di depan kelas, Pak Prasetyo dengan tenangnya tersenyum ke arahnya. Senyum yang tiba-tiba terasa memuakkan bagi Ge.
Kejadian kemarin sore saat pulang sekolah sudah cukup memberinya alasan untuk tak menyukai Pak Prasetyo, hari ini, dengan wajah tersenyum menjijikkan, dia memerintahkan Ge untuk kembali berpasangan dengan Marsha, sesuai dengan nomor absensi mereka yang sebenarnya. Membuat Ge kian membencinya.
"Bukannya Bapak sendiri yang mengatakan kalau berdasarkan nomor absen bulan ini, maka aku harus pasrah sekelompok dengan Maxell? Kok hari ini Bapak menjilat sendiri ludah?" Ge tak peduli dengan bahasanya yang sebenarnya tak pantas untuk digunakan terhadap seorang guru, tapi saat ini Ge benar-benar sedang marah, akal sehatnya tak bekerja dengan baik.
Rahang Ge yang mengeras dan matanya yang menatap Tyo dengan tajam membuat Tyo makin yakin dengan keputusannya memisahkan Ge sejauh mungkin dari Maxell.
"Begini Ge Saja, kemarin bapak sudah mendiskusikan hal ini dengan Chelsea, dan Chelsea merasa sangat bersalah telah mengacaukan nomor urut tanpa sengaja, jadi yah ... demi Chelsea, bapak putuskan untuk mengembalikan kalian ke nomor urut yang sebenarnya. Jadi, Jeffry, silakan berkelompok dengan Maxell, dan Ge Saja, silakan berkelompok dengan Marsha."
Wajah Jefrry yang sejak pagi cerah semringah karena hari ini bisa duduk bersebelahan dengan Marsha walau hanya untuk dua jam pelajaran langsung berubah gelap bagaikan menghadapi vonis kematian.
"Bagaimana kalau aku menolak?" Ge masih keras kepala. Tak mau begitu saja menuruti perintah Tyo.
Senyum di wajah Tyo perlahan memudar. Raut wajah penuh senyum yang selama ini diperlihatkannya lambat-laun menghilang, digantikan dengan wajah tegas khas seorang guru.
"Memang saya sering mengatakan kalau saya lebih suka memposisikan diri sebagai teman kalian, tapi jangan pernah lupa, saya adalah guru kalian. Suka tidak suka, perkataan saya harus dituruti oleh semua murid tanpa terkecuali."
Dari hari pertama hingga hari ini, baru kali ini Tyo menggunakan kata ganti orang pertama untuk menyebut dirinya sendiri. Biasanya dia menggunakan kata 'bapak' untuk menyebut dirinya. Dan wajahnya yang menunjukkan otoritas menunjukkan bahwa kali ini Tyo sangat serius.
Semua murid yang biasanya bersikap santai saat pelajaran Tyo mulai merasakan hawa ketegangan. Tanpa sadar mereka semua duduk tegak tanpa berani bersuara. Bahkan Jeffry yang tadinya ingin protes langsung berjalan menuju meja Maxell dan duduk dengan kepala tertunduk, tak berani menatap Tyo.
Ge mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga telapak tangannya terasa sakit. Buku-buku jari tangannya juga memutih. Matanya tak lepas dari Tyo, menatap garang dengan sikap menantang. Tinjunya seperti siap melayang kapan saja.
Tyo tak menunjukkan sikap gentar sedikit pun. Bagaimanapun, dia sudah terbiasa menghadapi Maxell yang kalau sudah marah akan jauh lebih mengerikan dari setan yang mengamuk. Dengan tenang Tyo menatap Ge, memaksanya untuk duduk dengan sinar matanya yang dingin.
Maxell yang dari tadi memperhatikan perang dingin mereka hanya menghela napas dalam hati. Tyo kalau sudah sok menggunakan otoritasnya memang bisa berubah menjadi makhluk paling menyebalkan.
"Tsk!" Maxell mendecakkan lidah kesal, memecah perhatian Tyo dan Ge yang masih saling menatap dengan mata penuh permusuhan. Mau sampai kapan sih mereka buang-buang waktu seperti ini.
Bagai tersadar dari mimpi, ekspresi Tyo yang dingin langsung cair, senyum kembali menghiasi wajahnya. "Ge Saja, ayo duduk. Jangan mengganggu yang lain dengan urusan sepele ini. Beruntung banget kamu bisa duduk di samping Marsha yang cakep, bapak jadi ingin tukar posisi sama kamu."
Dengan kalimat ini, tawa pun kembali terdengar di ruang kelas. Murid-murid kembali bernapas lega, mungkin tadi Pak Prasetyo kerasukan makanya jadi serius begitu.
Semua bisa saja kembali tertawa, tapi tidak dengan Ge, Maxell, Chelsea dan Marsha.
Bisa merasakan dengan jelas tatapan penuh kebencian yang Ge arahkan padanya, sudah pasti Ge tak akan begitu saja mencabut bibit kebencian yang mulai mengakar di hati. Marsha diam-diam mencatat keanehan di antara Ge dan Pak Prasetyo, berusaha mencari tahu penyebab pertikaian. Chelsea yang masih dikalutkan dengan masalah keluarganya sama sekali tidak bisa membaur dengan suasana kelas. Dan Maxell, sejak dulu memang tak pernah tertawa dengan gurauan Tyo.
Masing-masing mereka sibuk dengan diri mereka masing-masing.
Ternyata Tyo tidak berhenti begitu saja. Setelah memisahkan Ge dari Maxell dalam kelompok belajar kimia, Tyo bahkan juga melaporkan perpindahan tempat duduk Ge yang ilegal, akibatnya Ge dipaksa kembali ke tempat duduk semula oleh wali kelas mereka.
Jarak mereka kembali seperti semula, dari sudut ke sudut. Ge tak lagi bisa mencuri pandang ke arah Maxell. Maxell kembali menikmati kehidupan tenangnya tanpa gangguan Ge.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Ge tidak pernah benar-benar mengganggu Maxell. Hanya sedikit perkataan usil dan tatapan penuh selidik, itu saja, tapi kenapa Maxell bisa merasa terganggu?
Maxell mengerutkan dahinya. Wajahnya dipalingkan ke arah Ge yang rupanya juga sedang menatapnya dari sudut nan jauh di sana.
Melihat Ge kembali memandanginya, lagi-lagi Maxell merasa jengah. Perasaan aneh yang berputar di dadanya setiap kali melihat Ge kembali bergolak.
Maxell selalu berusaha agar tidak terlalu menarik perhatian, menjauhi basa-basi yang tak perlu. Tapi Ge seolah tak mau membiarkannya, selalu datang dan mengajaknya berbasa-basi, memaksa Maxell melihat ke arahnya.
Sudahlah. Biarkan saja dia dan keanehannya. Toh lama-lama dia akan bosan sendiri.
Maxell mengalihkan pandangannya dari Ge, dan seperti biasa, menatap kejauhan dari jendela tempatnya duduk. Tangan menopang wajah dengan santai.
------
Hari ini benar-benar hari penuh kesialan bagi Ge.
Pertama, Pak Prasetyo dengan gaya otoriternya memisahkan Ge dari Maxell di pelajaran kimia, berikutnya Bu Wanda yang meminta dengan segala hormat agar Ge kembali ke habitat asalnya, setelah itu kaki Ge yang terluka karena kelalaiannya sendiri saat sedang memotong rumput sehingga tak bisa kencan dengan Honey di Jumat malam ini.
Sial!
Padahal dari Jumat minggu lalu Ge dan Honey sudah janjian untuk mencoba dessert mahal di hotel berbintang lima. Sekarang semua terpaksa dibatalkan karena kaki Ge yang berjalan sedikit terpincang.
Dasar sial!
Semua ini gara-gara Michael Prasetyo brengsek itu!
Eh? Tunggu dulu! Sepertinya ada sesuatu yang terlupakan ....
Michael Prasetyo ....
Michael---
"Bagi gue, ciuman lu gak ada bedanya dengan ciuman Michael!" Nada ketus Maxell kembali terngiang di telinga Ge.
Michael!
Apa Michael yang dimaksud oleh Maxell ternyata Pak Prasetyo. Jangan-jangan, Michael itu panggilan Pak Prasetyo yang hanya boleh digunakan oleh orang-orang terdekatnya?
Ge teringat bagaimana Pak Prasetyo memperkenalkan diri di hari pertama mengajar.
"Jadi, nama lengkap bapak adalah Michael Prasetyo. Tapi tolong, jangan pernah memanggil bapak dengan panggilan Pak Michael. Bapak tidak suka dipanggil Michael. Panggil saja Bapak dengan panggilan Pak Prasetyo, atau Pak Tyo juga gak masalah, asal bukan Michael."
Saat ditanya alasannya, Pak Prasetyo hanya tersenyum simpul sambil berkata, "Panjang ceritanya, kalau versi singkatnya, karena suatu dan lain hal yang bersifat sangat pribadi. Versi panjangnya, dahulu bapak memang dipanggil dengan sebutan Michael, tapi semua berubah di saat negara api menyerang ...."
Kelas yang tadinya mendengarkan dengan serius langsung gempar dengan suara tawa karena gurauan Pak Prasetyo, sikap santainya membuat banyak murid menyukai Pak Prasetyo. ---Saat itu Ge juga termasuk salah satu murid yang langsung memfavoritkan Pak Prasetyo.
Tapi tidak lagi.
Sekarang Pak Prasetyo adalah guru yang paling dibenci Ge.
Dan kalau sampai benar Michael yang dimaksud Maxell adalah si Prasetyo berengsek itu, Ge bersumpah, Ge pasti akan membuat Prasetyo menyesal pernah mengenal Ge.
Ngomong-ngomong, sepertinya sejak peristiwa di hari Rabu itu, Ge jadi banyak bersumpah, ---dan tak ada satu pun dari sumpahnya yang berhasil dijalankan. Sumpah membuat Maxell takluk yang akhirnya malah jadi bumerang, Ge sendiri yang jatuh bangun jadinya.
Apa sumpah kali ini juga akan berakhir sama? Atau seharusnya Ge sumpahin dirinya sendiri saja biar lebih efektif sumpahnya?
Masalah sumpah-sumpahan nanti sajalah dipikirkan. Sekarang yang menjadi topik utama adalah mencari tahu, siapakah Michael yang sudah lebih dulu mencuri ciuman Maxell?
Pantas saja Maxell tidak terlalu bereaksi dengan ciuman sesaat itu, bahkan melupakannya dalam waktu yang sangat singkat, ternyata dia sudah sering dicium Michael ....
Kalau sering dicium Michael, bukankah itu artinya Michael ini kekasih Maxell? Kalau Maxell sudah punya kekasih, sia-sia saja usaha Ge untuk menjatuhkannya, iya kan?
Kalau Ge tidak salah dengar, kemarin, si Prasetyo sialan itu memanggil Maxell dengan nada suara yang sangat akrab, dan mereka juga berkasak-kusuk berbisik pelan hingga tidak mampu ditangkap oleh telinga Ge. Selain itu, si berengsek Prasetyo juga terus-menerus memegang tangan Maxell sampai mereka selesai berkasak-kusuk.
Oke. Tenang Ge. Jangan asal mengambil kesimpulan. Mungkin ini kebetulan saja. Nama Michael itu nama yang sangat umum. Bisa jadi orang lain.
Bugh! ---Ge membenturkan kepalanya ke dinding kamarnya.
Niatnya sih menjernihkan isi kepalanya agar tak lagi memikirkan Maxell. Tapi yang ada malah benjol yang didapatnya.
Ge menarik napas dalam-dalam, membuangnya kuat-kuat sebelum membanting dirinya ke atas kasur. Denyutan di betis kakinya yang tersambar pisau pemotong rumput saat tadi memotong rumput kembali terasa. Mungkin efek obat penghilang rasa sakit yang tadi diberikan oleh keluarga yang mempekerjakannya sudah hilang.
Sebenarnya lukanya tidak terlalu dalam, namun bagian yang tergores cukup panjang, sekitar 15cm. Keluarga yang baik hati itu panik berlebihan dan membalut lukanya sampai berlapis-lapis. Butuh waktu lama bagi Ge untuk meyakinkan mereka kalau dia baik-baik saja. Tapi mereka tetap panik dan memberi Ge izin untuk libur bekerja hingga lukanya sembuh total.
Efek dari kebaikan hati mereka, sekarang Ge jadi punya makin banyak waktu luang untuk memikirkan Maxell.
Iya. Ge sudah capek mengingkari dirinya sendiri. Lebih baik Ge mengakui dengan jantan kalau dia memang menyukai Maxell. Walau tidak membuatnya merasa lebih baik, paling tidak tak akan membuatnya lelah mencari-cari alasan untuk mengingkari perasaannya sendiri.
Masalahnya sekarang ada di Maxell.
Dari pengamatan singkat Ge, Maxell sama sekali tak pernah melirik cewek, jadi ada kemungkinan Maxell juga punya kecenderungan menyukai sesama jenis.
Tapi Maxell juga tak menyukai Ge.
Ge sangat sadar akan hal ini.
Maxell tak pernah menatapnya dengan mata ramah. Di bola mata yang cemerlang itu, walau bayangan Ge terpantul, Ge tak pernah masuk ke hatinya. Ge hanya bayangan yang singgah sekejap kemudian menghilang dan terlupakan ....
Masa bodoh! Suka atau tidak, lebih baik ditanyakan langsung daripada menduga-duga dan akhirnya membuat kesimpulan yang salah.
Besok Ge akan menarik Maxell ke tempat yang sepi dan bertanya langsung padanya.
Ya, besok. Tunggu saja!
------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top