11
Maxell langsung membeku begitu mendengar nama Ge kembali disebut oleh Tyo. Wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang amat kentara.
"Memangnya kenapa sama itu anak?"
Tyo harus mengedipkan matanya beberapa kali untuk meyakinkan kalau dia tidak salah lihat. Belum pernah dilihatnya Maxell bereaksi sekeras itu. Biasanya Maxell hanya akan menunjukkan wajah tidak tertarik atau wajah bosan. Bahkan wajah Maxell tadi malam tidak sekeras sekarang. Apa Maxell masih terganggu dengan insiden ciuman tadi pagi?
"Gak kenapa-napa sih. Gue cuman mau tau, dari mana lu tau soal mereka pacar Ge?" Saat Maxell sedang kesal, lebih baik tidak menyerangnya langsung. Tyo memilih pertanyaan memutar sebelum menanyakan inti masalahnya.
Wajah Maxell sama sekali tidak mengendur. Masih tetap menunjukkan antipati terhadap Ge.
"Gak tau kenapa, dia selalu aja bawa ceweknya mojok ke tempat gue mau istirahat jauh dari suara berisik. Gue jadi harus ngedengerin dia gombalin ceweknya."
Lagi-lagi Tyo menatap Maxell dalam-dalam. "Tempat yang sama?"
"Gak lah. Gue pindah-pindah. Tapi anehnya, dia selalu aja muncul di sana juga."
"Hmm ... kok rasanya aneh ya ...."
"Iya kan?"
Tyo harus berusaha keras, mengerahkan dua kali lipat tekad demi mencegah mulutnya mengucapkan kata-kata yang pasti akan membuatnya menerima tinju Maxell seperti tadi siang lagi. ---Tyo hampir saja mengatakan: sepertinya kalian ditarik untuk terus saling bertemu.
"Mungkin hanya kebetulan." Tyo mengatakan kalimat ini untuk meyakinkan Maxell, tapi sebenarnya lebih kepada meyakinkan dirinya sendiri. Masa iya dia mau sepupu yang sudah seperti adik kandungnya ini terjatuh ke dalam hubungan rumit pasangan sejenis. Tyo menggelengkan kepalanya kuat-kuat, membuang jauh-jauh pikiran aneh ini. "Ah iya, lu uda ngelupain masalah tadi pagi kan?"
Maxell menaikkan sebelah alisnya. "Gue anggap seperti dijilat Michael. Selesai."
Walau Tyo terlihat seperti masih ingin mengatakan sesuatu, Maxell tak mau lagi menurutinya. Tugas bahasa Jerman lebih penting daripada membahas Ge. Sambil melambaikan kamus tebal di tangan, Maxell melangkah keluar dari kamar Tyo tanpa berpaling lagi.
"Pfft! Dijilat Michael? Pfft! Kasian amat lu Ge, disamain ama Michael! Hahaha ...." Setelah sesaat bengong karena jawaban tak terduga Maxell, Tyo pun akhirnya tak dapat menahan tawanya lagi.
Sekadar informasi, Michael adalah nama anjing tipe Siberian Husky yang dipelihara Maxell saat kecil. Papanya yang menamai anjing itu dengan nama Michael, sekaligus dianggap pengganti Tyo yang sudah pulang kembali ke rumah orang tua kandungnya. ---Waktu kecil, Tyo sebenarnya dipanggil Michael, namun sejak adanya anjing itu, Tyo menolak dipanggil dengan nama yang sama dengan anjing, makanya dia dipanggil Tyo sampai sekarang.
Dan si Michael ini benar-benar disayang oleh Maxell. Saat Maxell kelas 2 SMP, Michael mati karena usia lanjut, Maxell mengurung diri di kamar selama seminggu, saat keluar dari kamar, matanya bengkak dan merah, bisa dipastikan, Maxell menangis habis-habisan.
Tunggu dulu! Michael itu makhluk yang paling disayang Maxell. Kalau Ge sampai disamain dengan Michael, apa mungkin secara tak sadar Maxell itu sebenarnya menyayangi Ge?
Tidak boleh!
Tadi Tyo masih bermain-main karena ingin melihat reaksi lucu Maxell, tapi kalau sudah serius begini ....
Sepertinya Tyo harus memisahkan Ge dari Maxell sebelum memberi efek buruk di kemudian hari.
------
Esoknya, sesuai rencana, Tyo memanggil Chelsea ke ruang guru sepulang sekolah. Sejak pagi Tyo sudah memberitahu Chelsea mengenai hal ini.
Di ruang guru, Chelsea terus menundukkan kepala di depan Tyo. Bu Bebi sesekali melirik mereka dari balik kacamata bacanya. Dan seperti janjinya, Maxell menunggu di luar ruang guru. Berdiri bersandar di dinding sambil membaca buku bahasa asing.
"Terus terang saja, bapak sangat terkejut dengan hasil ini. Apa ada yang salah dari cara bapak mengajar? Apa menurutmu cara bapak mengajar sulit dipahami?"
Chelsea menggeleng lemah.
"Atau kamu tidak suka cara mengajar bapak?"
Chelsea menggeleng lagi.
"Bapak ini masih baru, kalau ada yang tidak kamu sukai, tolong beritahu bapak, bapak akan introspeksi diri." Lagi-lagi Chelsea menggelengkan kepalanya. Tak sekali pun dia mengangkat kepala untuk menatap Tyo.
Sedikit banyak, Tyo frustrasi juga menghadapi sikap diam Chelsea.
"Atau mungkin kamu ada masalah pribadi yang mengganggu belajarmu?" Pancingan Tyo kali ini sedikit mengena. Chelsea tak lagi menggeleng, malah tubuhnya sedikit bergetar.
"Chelsea ... bapak bukannya ingin memarahi ataupun menegurmu. Bapak hanya ingin membantumu." Melihat Chelsea yang gemetaran seperti kelinci kecil yang ketakutan, Tyo benar-benar merasa hatinya luluh. Suara tegas ala guru pun melembut, membujuk Chelsea untuk menceritakan masalahnya.
Chelsea menggigit bibir, tangan yang dari tadi diremasnya sudah mulai memerah. Suara lembut Pak Prasetyo membuatnya ingin menceritakan beban yang mengimpit hatinya, tapi Chelsea juga sadar, selain kepada orang-orang yang benar-benar bisa dipercaya, hal sebesar ini tak bisa sembarangan diceritakan. Apalagi Pak Prasetyo ini, meskipun akrab dengan murid-murid, tetap saja beliau ini hanya orang asing yang baru dikenal Chelsea sebulan belakangan ini.
Pada akhirnya Chelsea hanya menggeleng lemah lagi. "Gak ada apa-apa kok, Pak ...."
Suaranya yang lemah sama sekali tidak terdengar meyakinkan. Tapi terus mendesaknya juga bukan hal yang bijaksana. Tyo memutar otaknya, mencari cara lain untuk membuatnya membuka hatinya pada Tyo.
"Oh iya, di kelompok yang kemarin, kebetulan kamu sekelompok dengan Leo. Gimana? Ada masalah sama Leo? Tuh anak nyusahin kamu gak?"
Leo ini murid yang paling lemah di pelajaran kimia, tapi gigih dalam berusaha, ---berusaha mencari perhatian Chelsea.
Usaha Tyo berhasil, Chelsea mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Tyo.
"Tidak Pak. Leo gak nyusahin kok."
"Syukurlah kalau begitu. Kalau bisa, selama seminggu ini, kamu tolong bantu dia ya."
"Iya Pak." Ekspresi wajah Chelsea terlihat sangat lega karena Pak Prasetyo tak lagi mendesak untuk menceritakan masalahnya. "Pak Prasetyo ... itu ... saya mau minta maaf, karena kelalaian saya ...."
Tyo tersenyum teduh. "Semua pasti pernah lalai, lagi pula kelalaian ini hanya kelalaian kecil. Gak usah terlalu dipikirin," Tyo tiba-tiba mengecilkan volume suaranya, "apalagi kalau orang lagi jatuh cinta, suka banyak pikiran."
Awalnya Tyo menduga wajah Chelsea akan merona malu dengan godaan yang dilontarkannya, tapi tanpa diduganya, wajah Chelsea malah memucat dengan drastis.
"A-apa maksud Bapak?"
Eh? Kenapa malah jadi ketakutan? Wajah pucat, berbicara dengan tergagap, mata yang terbelalak, tak perlu seorang jenius untuk melihat sinar ketakutan di mata Chelsea.
Ah!
Tiba-tiba Tyo tersadar. ---Tyo hampir menampar wajahnya sendiri. Pasti, kemungkinan besar, Chelsea merahasiakan hubungannya dengan Ge karena takut Marsha yang menjadi teman akrabnya tahu mengenai hubungannya dengan Ge. Kan Marsha juga pacar Ge. Tak heran kalau Chelsea ketakutan saat Tyo menyebutkan tentang pacar. Kalau Tyo yang guru saja bisa tahu, apalagi Marsha yang jadi sahabatnya kan? Aduh! Kok bisa-bisanya Tyo bikin kesalahan seperti ini.
"Ahem. Maksud bapak, biasanya anak-anak seusia Chelsea pasti sedang dalam masa saling tertarik dengan lawan jenis kan, usia di mana kalian saling menyebarkan pheromon, jadi wajar kalau Chelsea juga sedang jatuh cinta, terus mungkin jadi sedikit kurang fokus." Jangan panggil dia Tyo kalau tidak bisa membelokkan topik pembicaraan dengan cepat. Dengan wajah seperti orang yang sangat memahami gejolak anak muda labil, Tyo mengedipkan mata, seolah topik yang dibicarakan hanya topik umum yang sangat wajar di kalangan pelajar SMA.
Fuu ... hampir saja! ---Tanpa sadar, Chelsea menghela napas lega.
Chelsea sempat mengira Pak Prasetyo mengetahui hubungannya dengan Ge. Saat ini, di saat terburuk dalam hidupnya, Chelsea sangat membutuhkan dukungan moril dari Ge, Chelsea tak ingin kehilangan Ge di saat terburuk dalam hidupnya. Kalau sampai hubungannya dengan Ge terbongkar, Chelsea tak sanggup membayangkan hidupnya akan menjadi seburuk apa.
Melihat Chelsea yang kembali tertunduk lesu, Tyo sedikit merasa iba. Sepertinya masalah yang tengah menekannya sangat berat.
"Chelsea ...." Mengangkat wajah, Chelsea mendapati wajah Tyo yang tiba-tiba sudah berubah menjadi sangat serius, bukan lagi wajah penuh canda seperti yang selama ini dikenalnya. "Bapak tidak tahu masalah seperti apa yang menjadi beban di pikiran Chelsea, dan bapak sangat sadar, bagi Chelsea bapak tak lebih dari orang asing, guru pengganti yang baru Chelsea kenal sebulan yang lalu. Tapi ada kalanya menceritakan masalah kita pada orang asing itu jauh lebih melegakan dari pada kepada orang yang sudah kita kenal."
"Dan bapak tidak bermaksud ikut campur atau sok tua dan menasihati kamu, bapak hanya akan mendengarkan masalahmu. Itu saja. Itu pun kalau kamu bersedia."
Pada dasarnya Chelsea memang gampang dibujuk dengan kata-kata lembut. Mendengar kata-kata penuh perhatian dari Pak Prasetyo, Chelsea yang berusaha tegar selama di sekolah mulai runtuh pertahanannya. Matanya mulai berkaca-kaca. Air mata yang berusaha ditahannya sejak tadi pun akhirnya mengalir perlahan. Tapi tetap tak ada suara yang keluar dari bibir yang terkunci rapat itu. Hanya matanya yang seperti memohon tanpa kata.
Tyo menunggunya berbicara dengan sabar. Di seberang meja Tyo, Bu Bebi yang masih berkutat dengan materinya sesekali melirik ke arah mereka dengan penasaran, tapi letak mejanya yang memang lumayan jauh dari meja Tyo tak memungkinkannya mendengarkan dengan jelas pembicaraan Tyo dan Chelsea walaupun ruang guru dalam keadaan sepi karena pendengarannya yang sudah sedikit terganggu.
------
Sementara itu, di luar ruang guru, Maxell yang sedang menunggu Tyo berdiri dengan santai sambil setengah menyandarkan punggungnya ke tembok, kaki kanannya diangkat sebagai penahan, sementara tangan kanan diselipkan ke dalam saku celana, tangan kiri memegang buku, mata fokus menatap tulisan dalam buku, tak mempedulikan keadaan sekeliling yang memang sudah mulai sepi. Angin sesekali menyibak rambut panjangnya dan memperlihatkan wajah tampannya yang tidak lagi dilindungi kacamata. ---Maxell baru saja melepasnya karena dirasa tak perlu lagi memakai kacamata di saat sekolah sudah sepi seperti sekarang.
Beberapa siswa yang terlambat pulang terus menerus menoleh ke arahnya dengan tatapan heran sekaligus takjub. Sejak kapan di sekolah mereka ada siswa yang sekeren itu. Badan tinggi, kulit putih bersih, rambut hitam lurus yang panjangnya menutupi sebagian wajah. Dari jauh saja aura gantengnya begitu terasa, apalagi kalau dilihat dari dekat.
Kalau murid lain terpesona dan keheranan dengan sosok asli Maxell, tidak demikian dengan Ge. Sekali lihat saja dia langsung tahu siapa yang berdiri di depan ruang guru dengan sikap luar biasa santai itu. Ge mengangkat tangan kirinya dan melihat ke jam tangan, masih ada sedikit waktu.
Sambil tersenyum senang, Ge melangkah mantap ke arah Maxell.
"Hai!"
------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top