10

Tok! Tok! Tok!

Tiga suara ketukan dengan nada yang menjadi ciri khas ketukan Maxell membuat Tyo mengalihkan matanya yang dari tadi menatap selembar kertas dengan kening berkerut. "Masuk aja Max."

"Gue mau pinjam kamus bahasa Jerman lu," begitu pintu terbuka, Maxell langsung mengatakan tujuannya mengadakan kunjungan mendadak ke kamar Tyo.

Dengan dagunya Tyo menunjuk ke arah lemari buku. "Cari di sana." Matanya kembali terarah ke arah tumpukan kertas yang sejak tadi diperiksanya.

"Gue pake dulu ya, ntar gue balikin kalo udah selesai gue pake."

"Mm. Eh, Max, tunggu dulu!" Maxell sudah hampir menutup pintu saat tiba-tiba Tyo kembali memanggilnya.

"Ada apa?"

"Sini dulu. Duduk bentar, ada yang mau gue tanyain sama lu."

Alis Maxell bertaut. "Lama gak? Gue lagi ngerjain tugas dari guru Bahasa Jerman gue nih."

Maxell memang sedang giat belajar bahasa asing. Dia sudah menetapkan untuk belajar di luar negri setelah tamat SMA. Ada beberapa negara yang menjadi targetnya,tapi dia belum memutuskan pastinya di mana, makanya dia mempelajari beberapa bahasa asing sekaligus, salah satunya ya Bahasa Jerman ini.

"Gak lama kok."

"Oke."

Maxell kembali melangkah masuk dan menarik kursi yang berada di samping Tyo. Tyo terlihat masih mengerutkan keningnya sambil menatap kertas yang sejak tadi dipandanginya seolah itu hal yang sangat penting.

"Max, si Chelsea itu anak yang gimana sih?"

"Chelsea?" Tyo mengangguk tanpa melihat ke arah Maxell. "Napa memangnya?"

Tumben Tyo bertanya tentang murid di kelas Maxell, biasanya Tyo lebih memilih mencari tahu sendiri dengan cara mendekati secara langsung murid yang ingin diselidikinya.

"Lu liat ini." Tyo menyodorkan kertas yang dari tadi mendapat perhatian penuh darinya. Kertas ulangan Kimia yang digelar minggu lalu secara mendadak oleh Tyo untuk menguji seberapa besar murid-muridnya menyerap pelajaran darinya.

"Eh? Serius?" Bahkan Maxell juga terkejut dengan nilai yang tertera. 45. "Chelsea ini juara kelas loh. Masa cuman dapat 45? Lu gak salah, Tyo?"

"Makanya gue nanya Lu. Gue kan masih baru sebulan lebih."

Giliran Maxell yang mengerutkan keningnya sambil menatap kertas ujian Chelsea. "Banyak yang kosong. Gak sempat dijawab atau memang gak ngerti ya?"

"Itu juga yang bikin gue bingung dari tadi." Meski baru sebulan lebih, sedikit banyak Tyo sudah mengetahui mengenai prestasi belajar murid di lima kelas sains yang dipercayakan padanya. "Setau gue, Chelsea jago kimia. Gak mungkin kalau dia gak ngerti kan?"

Maxell terdiam cukup lama. Berusaha mengingat bagaimana Chelsea belakangan ini. "Gue rasa akhir-akhir ini dia terlihat lebih lesu dari biasanya. Mungkin gak gitu terlihat juga, soalnya sehari-hari kan Chelsea memang jarang bergaul dengan anak cewek lain, teman dekatnya hanya Marsha."

"Marsha kan sedang aktif di cheers sekolah buat persiapan pertandingan final basket." Apa mungkin dia lesu karena temannya jadi lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak-anak cheers yang memang terkenal sombong dan sok cantik itu. Belum sempat Tyo mengutarakan apa yang ada di pikirannya itu, Maxell mengatakan sesuatu yang cukup membuatnya terkejut hingga separuh nyawanya hampir terbang meninggalkan raganya.

"Atau mungkin dia tau tentang pacarnya yang tukang selingkuh itu makanya dia shock dan jadi makin pendiam?"

"Pacar? Chelsea punya pacar?"

Pandangan heran dilemparkan Maxell ke arah Tyo. "Apa herannya cewek secantik Chelsea punya pacar? Yang harusnya bikin lu kaget itu siapa pacarnya."

"Gak heran, cuman kaget aja. Gak nyangka aja anak seserius Chelsea bisa punya pacar."

Mungkin karena Maxell sendiri belum pernah merasa tertarik dengan makhluk yang namanya cewek, Maxell tidak pernah terlalu memperhatikan mereka secara berlebihan. Hanya sekadar kenal dan tahu saja.

"Jadi? Pacar Chelsea itu siapa?" melihat Maxell malah sibuk dengan pikirannya sendiri dan tak terlihat berniat melanjutkan ucapannya, mau tak mau Tyo bertanya dengan rasa penasaran yang meningkat.

Maxell menatap Tyo selama beberapa detik sebelum sebuah kata singkat terlepas dari bibirnya : "Ge."

Benar saja. Tyo kaget hingga hampir jatuh dari kursinya. "Sumpah lu? Ge?"

Maxell tidak perlu bersusah payah meyakinkan Tyo. Tyo juga tahu kalau Maxell bukan tipe manusia yang suka berbohong. Itulah sebabnya reaksinya seterkejut itu.

"Ge? Ge yang itu?" Walau yakin, yang namanya manusia terkejut, wajar saja bila bertanya berulang kali untuk meyakinkan dirinya sendiri, tak terkecuali Tyo.

Maxell menganggukan kepalanya dengan yakin. Mimik wajahnya datar seperti biasa, namun kerutan samar di keningnya menandakan Maxell sedang memikirkan sesuatu. Setelah mempertimbangkannya selama beberapa saat, akhirnya Maxell memutuskan tak ada yang perlu dirahasiakan dari Tyo.

"Ge itu juga pacarnya Marsha dan Honey anak kelas Sains 1."

"APA?!"

Teriakan penuh keterkejutan Tyo membuat orang tua Maxell yang memang terlalu perhatian sampai ikut-ikutan bertanya ada apa dari ruang keluarga. Tyo keluar dari kamar dan mengatakan tak ada apa-apa lalu buru-buru kembali ke kamar untuk menginterogasi Maxell.

"Serius? Mereka semua pacarnya Ge? Wow!" Wajah tampan Tyo masih dengan ekspresi tak percaya. Matanya sedikit membulat, alisnya terangkat dan bibirnya bahkan membuka dan menutup seperti ikan kehabisan oksigen, tidak tahu apa yang harus ditanyakannya terlebih dahulu.

Sebenarnya ada dua cewek lagi, tapi Maxell tak kenal mereka, pasti mereka bukan dari angkatan yang sama. ---Maxell tahu hampir seluruh murid di angkatan mereka. Kalau Maxell memberitahu Tyo mengenai dua cewek itu lagi, mungkin saja Tyo bisa terpental dari kursinya.

Maxell terkekeh membayangkan Tyo yang terpental jatuh dari kursinya. Tampang Tyo saat ini saja sudah cukup lucu. Sudah seperti wajah mama Maxell kalau sedang membahas gosip selebriti dengan mama tiri Tyo.

"Kalau Marsha, gue udah bisa menduga kalo dia ada hati sama Ge, sering banget dia lirik-lirik Ge kan? Tapi Chelsea dan Honey ... sama sekali di luar dugaan. Walau beda kelas, Chelsea dan Honey selalu bersaing untuk menjadi bintang sekolah. Terus, gimana ya, Honey kok bisa mau ya sama Ge? Apalagi Chelsea. Gue liat nih ya, Chelsea itu lebih cocok sama tipe yang dewasa dan tenang daripada dengan tipe urakan dan heboh kayak si Ge."

Maxell tidak mau menanggapi ocehan bernada analisis dari Tyo. Ge mau sama siapa juga bukan urusannya kan. Siapa mau sama Ge juga terserah sama mereka.

Tapi, membicarakan, mau tak mau Maxell juga jadi teringat dengan keanehan makhluk satu itu sepanjang hari ini. Maxell yang sudah berusaha keras mengabaikan kehadiran Ge sebagai teman sebangkunya sedikit terganggu juga saat merasakan Ge terus menerus menatapnya dari samping, tapi anehnya, setiap kali Maxell meliriknya untuk menantangnya kembali, Ge langsung mengalihkan wajahnya ke arah lain, bahkan tak sengaja Maxell melihat telinga Ge yang sepertinya sedang panas, warnanya sampai memerah begitu. Berkali-kali Maxell mendengar helaan napas panjang Ge. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh si aneh itu.

"Apa mungkin nilai yang menurun dan juga kecerobohan Chelsea dalam mengisi buku absensi juga karena Ge ya?" Pertanyaan Tyo menyela Maxell yang tanpa sadar sedang memikirkan keanehan Ge.

"Kan dari awal itu yang gue maksud. Tapi mungkin lebih baik lu tanya langsung aja. Lu menduga-duga gini juga gak guna kan?"

"Iya sih. Mungkin besok gue panggil dia ke ruang guru aja kali ya? Gue tanyain yang jadi masalahnya."

Sebagai orang yang sangat mengenal Tyo, tentu saja Maxell tahu kalau Tyo sama sekali tidak punya maksud tersembunyi terhadap Chelsea. Tyo pasti benar-benar khawatir dengan penurunan nilai Chelsea yang terlalu drastis ini. Setahu Maxell juga, nilai Chelsea sangat jarang sekali berada di bawah angka 90. Kali ini bahkan setengahnya, kemungkinan besar sedang ada masalah pribadi yang sangat mempengaruhi dirinya.

"Kalo lu mau ngomong sama dia, gue saranin lu panggil dia ke ruang guru sepulang sekolah biar gak banyak yang curiga. Kalo memang dia sedang ada masalah pribadi, dia pasti gak mau kalo banyak orang yang tau kan?"

"Eh? Bukannya gak baik kalo sepulang sekolah? Kalo murid lain pada tau, bukannya malah makin menjadi fitnah?" Hanya berduaan dengan siswi di ruang guru, bahkan Tyo merasa hal itu kurang pantas.

"Bu Aminah dari bagian TU juga masih ada di sekolah sampai jam 3. Pak Santoso yang guru olahraga akan mengawasi latihan cheerleaders hingga selesai. Bu Aura juga akan ada di UKS sampe semua anak dipastikan pulang. Terus besok hari Kamis, Bu Bebi akan ada di kantor guru hingga jam 3 juga, mempersiapkan materi ngajar di Jumat pagi."

Terkadang Tyo merasa Maxell sebenarnya lebih cocok bekerja sebagai penyelidik atau mata-mata. Banyak hal remeh yang kadang luput dari perhatian orang-orang malah menjadi perhatiannya. Tapi Tyo tak heran lagi. Sejak kecil begitulah Maxell. Menarik diri dari pergaulan tapi diam-diam memperhatikan sekelilingnya dengan saksama. Anehnya, Maxell malah malas memperhatikan cewek, padahal biasanya kan cowok lebih senang memperhatikan cewek. Maxell lebih tertarik memperhatikan kebiasaan orang yang menurutnya unik.

"Hmm ... begitu ya ...." Tyo sepertinya masih ragu. Sebagai guru pengganti yang belum punya posisi tetap, apalagi dia baru lulus kuliah, sebenarnya belum bisa disebut guru, apa pantas Tyo memanggil murid ke ruang guru sesudah jam sekolah usai? Bagaimana kalau nanti sampai jadi bahan gosip? Bagaimanapun Tyo masih muda dan berstatus single.

"Gue dengar sendiri dari obrolan mereka tadi di ruang guru waktu gue dipanggil Pak Santoso." Tadi Maxell memang sempat dipanggil Pak Santoso sehubungan nilai olahraga Maxell yang selalu di bawah standar. Bahkan Pak Santoso sempat menduga kalau Maxell punya cacat fisik bawaan atau apalah yang malas disanggah oleh Maxell.

"Kalo gitu, besok lu tungguin gue di depan kantor guru. Kalo lu juga ada di sana, gak akan ada yang berpikiran negatif lagi."

Bukan tanpa alasan Tyo berkata seperti itu. Walaupun pendiam, reputasi Maxell di mata guru-guru luar biasa bagus. Di kantor guru, Tyo sering mendengar pujian guru-guru terhadap Maxell yang walaupun cerdas tapi seperti tidak mau kelihatan menonjol, tidak pernah bermasalah dengan murid lain dan yang terpenting, tidak aneh-aneh.

"Gak bisa gue tunggu lu di mobil aja?" Gelengan kepala Tyo membuat Maxell memutar bola matanya. Harus sampai kapan Maxell bertindak sebagai penjaga Tyo.

"Ah, ada yang mau gue tanyain lagi Max," melihat Maxell berdiri dan bersiap kembali ke kamarnya, dengan sedikit ragu Tyo mencegahnya.

"Apa lagi?" Suara Maxell sudah mulai terdengar kesal. Tyo jadi agak ciut juga. Tapi Tyo benar-benar penasaran. Dan sekalinya Tyo penasaran, Tyo tak akan berhenti bertanya sampai dia mendapat jawaban atas pertanyaannya.

Tyo menatap mata Maxell dalam-dalam sebelum berucap singkat : "Ge."

------ 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top