The Girl Who Means So Much

Chapter 15

Max hanya berhenti untuk mengambil napas.

Setiap kali kami menarik diri satu sama lain, ciuman selanjutnya selalu terjadi lagi sebelum sengal napas kami mereda. Kadang Max yang memulai, kadang kala aku. Rasanya sudah tak ada lagi kata yang kubutuhkan, ciuman ini sudah bicara banyak. Jauh lebih banyak dari sejuta penjelasan. Namun, aku tetap ingin bertanya. Mungkin nanti, kalau kami sudah puas meletupkan bara yang entah sejak kapan memercik dan tersekap.

Setidaknya kini aku paham, Max tidak menciumku untuk meredakan kebingungan pada malam aku berulang tahun. Dia menciumku karena dia menginginkannya.

Entah berapa kali Max menyebut namaku, darahku seolah menggelegak setiap rapalannya. Aku tak kuasa membalas menyebut namanya, terlalu sibuk mengatur ritme napas dan menahan jantungku supaya tak meledak.

Max seperti sama sekali tak peduli siapapun bisa tahu-tahu masuk ke ruangan ini, demikian juga aku. Meski begitu, setiap bunyi sekecil apapun selalu menghentikan kami sejenak, sebelum akhirnya kembali berciuman seolah dunia milik kami berdua. Mungkin bukan dunia, mungkin hanya ruangan ini. Dan itu kurasa lebih dari cukup.

Max berhenti mengisap bibir bawahku gara-gara aku merintih. Lengannya yang terselip di bawah lenganku mengetat, bahuku dicengkeramnya kuat, sedangkan kedua matanya memejam. Urat-urat di keningnya bertonjolan. Ia mengambil jeda beberapa saat sebelum akhirnya bisa bicara dengan nada putus asa, "Aku harus kerja."

"Aku juga harus pulang," kataku.

Max membuka matanya, ia memindai setiap detail wajahku seolah baru melihatnya lagi setelah sekian lama.

"Kalau seseorang yang hilang ingatan kembali mengingat kehidupan yang ia lupakan, apa dia akan lupa pada hidupnya saat ia hilang ingatan?" tanyanya sekonyong-konyong.

"Kamu yang seharusnya memberi tahuku...."

"Tapi itu nggak masalah," tepisnya.

Max duduk tegap dan menarikku serta. Ia menahan kedua tanganku yang berusaha menyatukan kembali butir-butir kancing blus yang terlepas secara tak sengaja.

"Aku pasti akan ingat begitu melihatmu lagi. Nggak mungkin rasanya aku ngelupain kamu."

Kubiarkan bibir Max mengecupku lagi.

Selintas, matanya melirik bagian tubuhku yang lantas dengan cekatan kututupi. Max mengerling jenaka, kemudian menyisihkan tanganku tanpa perlu memaksa. Jari telunjuknya menyusur di antara dadaku dan menyingkap sedikit bahan blus yang butiran kancingnya terlepas. Tatapannya berhenti di sana, kemudian ia diam, mengembuskan napas.

"I'll buy you a new necklace," gumamnya. "Yang dibuat memang untukmu."

Aku bisa saja bilang aku tak perlu kalung, aku memang tak perlu. Tapi, aku ingin ia tinggal di sisiku, dan aku akan menunggu sampai dia berhasil mengumpulkan uang hasil keringatnya untuk sesuatu—apapun—yang diberikannya khusus untukku.

"Aku pulang dulu, ya?"

Max malah menjatuhkan kepalanya di bahuku, tak ingin melepasku pergi. "Nooo ... Stay here, let's go home together...."

"Nggak bisa, Max, aku nggak enak sama ibu."

"Kenapa?"

"Aku pakai motor Putri."

"Jadi dia memberi restu?" Max bercanda.

Aku mengernyit lalu menertawakan lelucon itu bersamanya.

"Beberapa hari lalu, habis aku ngantar Putri, dia nanyain hal yang sama dengan yang barusan kutanya. Kalau suatu hari aku ingat lagi, apa aku akan lupa sama hidupku saat lupa ingatan seperti di telenovela dan drama korea kegemarannya? Katanya, kalau iya, dan kalau aku nggak serius sama kamu, dia minta aku menjauhimu. Dia kasihan sama kamu. Kamu anak baik, katanya."

"Dia bilang gitu?" Aku balas menceritakan apa yang dikatakan induk semang tentangnya. "Sepertinya anak baik sudah jadi kata favoritnya yang baru."

Max mengekeh.

Aku pulang sehabis Max mendapat panggilan untuk segera kembali ke lokasi kerjanya. Ia agak memaksa supaya aku mau tinggal sampai ia selesai, tapi juga tak enak kalau aku harus menunggu lama. Akhirnya dia melepasku sampai parkiran, memastikan helm-ku terkunci dengan sempurna segala. Sampai di rumah, begitu pintu menutup di balik punggungku, senyum seperti tak mau lenyap dari wajahku.

Langkahku nyaris melompat, padahal aku sudah bertekad tak ingin bertingkah berlebihan meski tak ada yang melihat. Aku merasa aneh, tapi aneh yang menyenangkan. Di sisi lain, sebagian dari diriku tetap sadar kebahagiaanku malam ini seperti dibangun di atas pasir. Aku harus siap menghadapi apapun risikonya sebab aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di kepala Max, atau seperti apa kehidupannya sebelum kami bertemu. Bisa saja semuanya hancur saat harapanku membumbung tinggi. Jika itu sampai terjadi, paling tidak tak ada yang perlu menertawakan diri sendiri seandainya aku tidak kelepasan bertingkah konyol seperti menyanyi dan menari di bawah pancuran air. Pikiranku selalu was-was, tapi tubuhku seperti bergerak sendiri, aku tak ubahnya seperti remaja yang kasmaran. Aku bahkan tak pernah kasmaran kala remaja.

Oh. Aku menepuk pipiku yang kemerahan di pantulan cermin kamar mandi.

Kusentuh tilas sentuhan Max di belahan dadaku, dan bayangan yang melintas di benakku saat itu membuatku malu. Cepat-cepat, aku berpakaian dan masuk kamar. Aku khawatir berpapasan dengan Max yang baru pulang, tak tahu harus bersikap bagaimana setelah apa yang kami lakukan beberapa jam lalu. Aku berniat pura-pura tidur saat dia kembali, aku malu sekali.

Belakangan, baru beberapa menit menyelimuti diri, aku sudah gelisah merindukannya. Pukul sebelas sudah lewat, kapan dia akan pulang?

Entah pukul berapa tepatnya, ternyata aku sudah tertidur dan terjaga. Jantungku seperti diremas oleh perasaan cemas. Telingaku bisa menangkap jelas seseorang beraktivitas di dalam rumah. Setiap dehamnya, aku berhenti bernapas. Apa Max akan mengetuk pintu kamarku? Apa setelah kami berintim-intim di ruang monitor tadi, dia akan tetap tidur di depan televisi, atau setidaknya dia akan mengecupku untuk mengucapkan selamat tidur? Aku mengubah posisi setidaknya sepuluh kali sampai akhirnya kudengar pintu kamar mandi membuka dan menutup, lalu suara guyur air meredam suara-suara lain yang berasal dari luar.

Dengan agak berjinjit, aku mendekati pintu untuk membuka kuncinya.

Sejak Max tinggal di sini, aku tak pernah tidur tanpa mengunci pintu. Entah kenapa aku sekarang melakukannya.

Ketika pintu kamar mandi kembali dibuka, aku sudah berbaring di balik selimut dan memejamkan mata. Tak ada suara apa-apa setelah itu. Sunyi. Mataku membuka kembali, ada bayangan di bawah pintuku. Max sedang berdiri di sana, tapi handle pintu kamarku bergeming. Dia tak menyentuh, apalagi berusaha membukanya.

Tentu saja.

Mana mungkin dia langsung berniat melangkah sejauh itu? Dia pasti akan menunggu besok pagi untuk membicarakannya. Meski demikian, jantungku tetap berdegup lebih kencang, berdentum seperti bunyi drum, berharap terjadi sesuatu. Berharap pintu dibuka dari luar, dan Max mencoba melakukan sesuatu, walau mungkin aku belum berani membayangkan lebih dari itu. Hanya saja, rasanya sayang sekali malam ini berakhir begitu saja.

Aku merenung menatap langit-langit gelap kamarku, bayangan Max masih ada di balik pintu.

Kemudian, pintu diketuk.

Setiap ketuknya yang berjarak lambat dan bersuara pelan, jantungku mencelus. Napasku tertahan seolah jika kuembuskan, pintu akan membuka tanpa kuizinkan. Namun, tak ada yang terjadi sampai ketukan itu berhenti setelah yang ketiga. Aku duduk, menggeser kedua kakiku dan menjejakkannya di tanah.

Max tidak memanggil atau mengetuk lebih kencang.

Aku masih belum berani beranjak, bayangan itu masih di sana. Aku menghitung dalam hati, tak ada yang terjadi. Langkahku baru terayun dengan sendirinya saat cahaya menyelinap masuk tanpa penghalang lewat celah di bawah pintuku. Kutarik napas dalam-dalam saat menyentuh handle pintu.

Ternyata Max tak beranjak jauh. Ia hanya mundur sebanyak dua langkah ketika pintu kubuka.

"Aku tahu kamu pasti belum tidur," katanya.

Pipiku memanas. Max bertelanjang dada dengan sehelai handuk tersampir di pundaknya. Bibirnya yang basah tersenyum lembut. Ratusan kali aku menangkap binar matanya yang indah, tapi tak pernah seindah malam ini.

"Aku nggak bisa tidur," kataku.

"Aku juga nggak akan bisa tidur malam ini," balasnya. Sambungnya sambil mengambil satu langkah, "Kalau kamu nggak membuka pintunya."

Aku mematung.

Pada langkah keduanya yang lebih lebar dibanding yang pertama, ia sampai di ambang pintu. Terbuka atau tertutup, Max tak pernah sekalipun melewati pintu sebelum malam ini. Tatap matanya bicara, menungguku mengizinkannya masuk, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Sekujur tubuhku membatu.

"Oke ... kita bicarakan besok pagi?" tanyanya setelah beberapa saat.

Aku ingin berkata sebaliknya, tapi kepalaku malah mengangguk. Awan kecewa membayang di wajahnya seketika, membuatku menggigit bagian dalam pipiku penuh penyesalan sedetik berikutnya. Namun, aku terkesiap sebelum sempat menyakiti pipiku sendiri. Bukannya menjauh, Max melangkah maju menerabas batas tak kasat mata yang tak pernah dilanggarnya. Kedua tangannya menyentuh pinggangku, menyentaknya mundur bersama tubuhnya yang merangsek masuk hingga dada kami beradu.

Secara refleks aku menahan kedua lengannya, tapi bibirku membuka menerima ciuman kilat yang seperti sudah ditahannya. Max membisikkan kata maaf, tapi napasnya yang panas dan memburu tak berhenti mengendusi wajah dan daun telingaku. Saat wajah kami beradu di puncak hidung, Max meletakkan tubuhku yang ditopangnya kembali ke tanah. Kurasakan kecup samar di dahiku yang setinggi dagunya.

"Apa aku harus keluar?" bisiknya.

Aku memeluk dan menggeleng di permukaan dadanya yang menguarkan aroma sabun. Dengan satu tangannya, Max menutup pintu di baliknya. Kamar kembali gelap gulita, sinar rembulan keperakan menyelinap masuk lewat jendela bertirai tipis. Daguku diangkat oleh buku jari telunjuknya. Aku memejam merasakan bibir Max memainkan bibirku, napas dan desah kami menjadi satu. Aku mengerang saat lidahnya menjulur ke dalam rongga mulutku.

Saat kesadaranku kembali dari buaian, kami sudah berbaring di tempat tidur. Max di atasku, pinggangnya menempel di antara dua pahaku, sementara ciuman kami terus berpagut seperti tak ada ujungnya.

"Max," aku memanggil namanya.

Max mendeham merespons, tapi lidahnya tak berhenti membasahi sekitar daun telingaku. Dia baru memahami maksud panggilanku yang kedua saat aku menahan pergelangan tangannya yang mulai meraba masuk ke balik penutup dadaku .

Ia mempertemukan tatapan denganku.

"Maaf, aku belum siap ...."


Oh My GOD MAX you get the giiirl!!!

Votes and comments, bye.

Love,

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top