The Boy Who Lose His Memory

Chapter 2

"Kalau kamu turun di halte berikutnya, tinggal menyeberang jalan, kamu bakal langsung ada di depan gerbang kantor polisi besar," terangku. "Aku benar-benar minta maaf, aku nggak ingin terlambat masuk kerja."

Pria itu mengangguk-angguk cemas.

Dia berdiri di sisiku duduk. Memegangi tiang erat-erat, mengernyit sepanjang perjalanan. Raut khawatir dan bingung tak sedetik pun tanggal dari wajahnya. Berkali-kali kucoba mengabaikannya, tapi tak bisa. Aku nggak tega. Dia seperti anjing besar tersesat yang mengharap belas kasihan tapi tak mau banyak merepotkan. Saat ia memberikan kursinya di bus untuk seorang kakek tua, dan menolak kursi yang kutawarkan meski kepalanya pasti masih sakit, aku yakin kami tidak salah menolong orang. Dia mungkin lupa ingatan, tapi hatinya hangat dan baik.

"Di sini," kataku. Kubimbing tangannya menuju pintu yang perlahan terbuka. "Lihat itu," aku menunjuk ke seberang jalan sebelum gilirannya turun tiba. "Menyeberang ke sana dan temui salah satu petugas, kemudian jelaskan situasimu. Mereka pasti akan bantu kalau kamu jelaskan dengan detail. Dengar—"

Dia menoleh menatapku.

"Kalau aku pulang kerja, aku akan mampir. Kalau laporanmu belum selesai, kita kembali pulang ke rumah induk semangku. Jangan khawatir."

Dia berdeham di ambang pintu bus sebelum melompat turun. "Jam berapa?" tanyanya terbata. "Kamu pulang kerja?"

Lidahku kelu. Sampai dia tak lagi berada di bus, aku sama sekali nggak menjawab. Shift-ku berakhir paling tidak pukul tujuh malam, kalau restoran tidak ramai. Dia memandang wajahku seolah tahu aku tidak sungguh-sungguh mengucapkannya. Hanya supaya aku bisa melepasnya tanpa perasaan bersalah, dan kalaupun benar aku menyempatkan diri mampir setelah pekerjaanku selesai, mungkin dia sudah tak berada di sini lagi.

Di ujung jalur penyeberangan, pria itu berbalik. "Kamu nggak jadi kerja?" tanyanya padaku yang sedang memasang ponsel di telinga beberapa langkah di belakangnya.

"Bagus?"—aku menahannya agar tidak bicara dulu sementara aku melakukan panggilan telepon—"Kayaknya aku bakal agak telat."

Bagus di ujung lain terdengar heran, mungkin karena aku hampir tak pernah izin sebelumnya. "Okay, kenapa? Kamu nggak apa-apa?"

"Aku sih nggak apa-apa, tapi semalam ada korban kejahatan yang pingsan di depan gerbang kontrakanku, sekarang aku sedang ngantar dia ke kantor polisi. Kalau boleh, aku minta kelonggaran waktu sebentar saja, satu, atau dua jam...."

"Oh tentu saja, nggak apa-apa. Apa orang itu baik-baik aja?"

"Nggak, dia kayaknya ...," aku menutup area mulutku saat bicara supaya pria itu tak mengetahui apa yang kukatakan, "amnesia."

"Amnesia?" pekik Bagus kaget. "Hilang ingatan?"

"Iya."

"Kayak di film-film itu?"

"Persis."

Bagus terdiam beberapa saat. "Well ... An, kalau ini orang lain, mungkin aku akan nyuruh dia nyari alasan yang lebih masuk akal. Berhubung ini kamu, nggak pernah izin, nggak pernah alasan, nggak pernah menolak jam tambahan, aku akan bantu kamu bilang ke Maya buat ngasih kelonggaran, terlepas benar atau enggaknya alasanmu—"

"Ini benar," kataku geli. "Aku sama sekali nggak bohong, Gus, tapi makasih untuk pengertiannya."

"Kalau bisa jangan sampai jam makan siang, ya?"

"Nggak, kok, paling sebelum jam sebelas, atau lebih cepat, aku sudah sampai sana."

Panggilan terputus. Aku dan pria hilang ingatan itu saling berhadapan kikuk. Wajahnya berseri-seri di bawah sinar mentari, secercah senyum lega yang belum kulihat sejak ia dikerumuni penghuni kontrakan hingga berdiri terhuyung di dalam bus sepanjang perjalanan kemari terukir manis penuh syukur. "Terima kasih," ucapnya.

Aku hanya bisa menggerakkan kepala ke bawah tanpa mengucap sesuatu karena aku sendiri nggak tahu apa yang kulakukan.

"Kita harus cepat," kataku sebelum berubah pikiran, lalu berdeham mengusir gugup.

Satu aturan yang selalu kutaati supaya hidupku teratur dan kesempurnaan hidup yang dengan gigih kuperjuangkan bertahan baru saja kulanggar. Untuk kalangan bawah sepertiku, satu kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal. Selalu ada sangat banyak orang di belakangku mengantre menggantikan posisi yang selama ini kupunya, kelihatannya sepele untuk orang lain, tapi kami berjuang mati-matian mendapatkannya hanya demi bertahan hidup. Dan karena pekerjaan kami tak membutuhkan keahlian khusus dan tak membutuhkan syarat macam-macam, banyak orang yang bisa melakukannya.

Dan sesuai dugaanku, melaporkan, atau meminta bantuan seperti ini bukan hal mudah.

Kami bahkan tak tahu siapa namanya, jangankan latar belakangnya. Tak ada laporan medis yang menguatkan pengakuan kehilangan ingatannya, kurasa petugas justru curiga mengenai kebenaran pengakuan pria itu. Menurut polisi agak aneh bagaimana seluruh ingatan manusia bisa hilang hanya dengan kemungkinan pukulan benda tumpul yang bahkan tak membutuhkan bantuan tenaga medis buatnya kembali sadar dari pingsan. Mereka menyarankan agar kami menemui dokter, siapa tahu mereka lebih bisa membantu, tapi mereka tetap mencatat kemungkinan terjadinya tindakan kriminal atas apa yang menimpa pria malang tersebut.

"Paling enggak, mereka mengambil fotomu," kataku saat kami diizinkan pulang.

Wajahnya—sesudah seluruh rangkaian prosedur selesai—justru lebih keruh dari sebelumnya.

Aku menilik jam digital di ponselku. "Kalau fotonya sudah disebar ke seluruh kantor kepolisian di Jakarta, pasti ada anggota keluargamu yang sudah melapor kehilangan, atau aduan lain."

"Mungkin kalau aku ke dokter, mereka bisa mengembalikan ingatanku," ujarnya gamang.

"Ya, mungkin. Mungkin kamu bisa langsung ke rumah sakit dan meminta mereka memeriksamu tanpa punya uang, atau tanda pengenal," kataku sinis tanpa bisa kutahan.

Sepertinya dia bisa mendengar sarkasme dalam ucapanku dari ekspresi wajahnya.

"Itu bisa dicoba, pasti ada satu dua orang yang mau berbaik hati," imbuhku melunak. "Tapi aku nggak bisa menemanimu kali ini. Aku harus sampai di tempat kerja sebelum—"

"Ya," potongnya. "Ya, kamu harus bekerja, kan?"

"Tentu saja," jawabku, nadaku sedikit meninggi. "Bukannya aku nggak prihatin dengan apa yang menimpamu, tapi aku juga punya hal-hal yang nggak bisa kutunda lagi, contohnya pekerjaan ini. Kalau aku menemanimu kemana pun kamu pergi supaya kamu bisa kembali ke kehidupanmu, siapa yang akan peduli sama kehidupanku, kan?"

"Aku bahkan nggak minta kamu turun dari bus, kamu melakukannya sendiri," bantahnya.

Aku tergeragap.

"Bukan berarti aku nggak berterima kasih," ia menimpali dengan agak terburu-buru. "Aku tahu kesulitanku, tapi aku nggak membutuhkan sinisme dalam kondisi seperti ini. Aku benar-benar tak ingat apa-apa."

Mulutku masih menganga setelah ia sempat membuatku terhenyak sekaligus takjub.

"Terima kasih sudah mengantar, Anna, sebaiknya kamu bergegas atau kamu akan terlambat. Aku bakal ada di sekitar sini kalau-kalau ada kabar dari kepolisian."

Aku sudah menduga, dia bukannya terlalu tenang menghadapi situasi ini, dia justru sangat bingung dan mencoba memendam perasaannya. Setelah bicara panjang lebar, ia membungkuk samar seperti tadi pagi saat induk semang menyodorkannya padaku. Ia lantas berbalik, menyuguhiku pemandangan punggung lebarnya yang perlahan menjauh.

Entah atas dorongan apa, langkahku mengayun sendiri. Mungkin gara-gara setetes darah tampak merembes di perban yang melilit kepalanya, aku jadi khawatir. Awalnya langkahku terayun pelan, tapi karena langkahnya jauh lebih lebar, aku harus agak berlari menyusul. Karena tak tahu namanya, dia baru berhenti berjalan setelah aku menyentuh bahunya.

"Sebaiknya kembali ke kontrakan," kataku terengah. "Kembalilah ke sana. Polisi sudah kuberi nomor ponselku, kan?"

Jelas sekali dia tak menyangka aku akan menyusulnya, tapi sayang, ia tak lagi mengangguk. "Tapi aku nggak tahu harus mengetuk pintu siapa."

"Siapa saja yang di rumah."

Matanya membelalak mendengar jawabanku.

Membuat bibirku tersenyum secara otomatis. "Biasanya, jam segini induk semang lagi nyuci baju, atau belanja. Penghuni lain kemungkinan tak ada di rumah, tapi kalau beruntung ... mungkin sebentar lagi Lidia bangun. Dia akan dengan senang hati menyajikan makan siang asal kamu pura-pura tertarik mendengar ceritanya"—gantian dia yang tersenyum—"aku minta maaf."

"Jangan," katanya.

"Kami mungkin tak banyak punya apa-apa, tapi aku yakin mereka akan dengan senang hati membantu. Kamu tahu caranya kembali?"

"Aku masih ingat nomor bus tadi, juga nama halte waktu kita nunggu ...."

Aku mendecap kagum. "Untuk seseorang yang hilang ingatan, ingatanmu bagus juga."

Karena kali ini senyumnya makin lebar, aku bisa dengan jelas melihat lekuk di pusat pipinya. "Mungkin karena gelasnya sudah kosong," katanya setengah bercanda. "Makanya hal-hal kecil bisa kuingat dengan baik."

Sejenak, aku hampir lupa bahwa aku harus segera pergi. Salut rasanya, baru semalam ia mengalami musibah yang mengubah takdirnya habis-habisan, tapi dia bisa menguasai diri dengan sangat baik. Hatiku menghangat oleh percikan kagum, pipiku mungkin ikut merona karena ... jujur ... aku belum pernah berurusan secara pribadi dengan pria sebelum ini.

Untungnya, aku cepat-cepat tersadar dari lamunanku sendiri. "Ini," kataku sambil merogoh saku ransel dan mengeluarkan dompet. "Kamu perlu ini untuk sampai rumah. Ingat jangan sampai haltenya kelewatan, dan jangan sampai salah masuk gang karena semua gang di sana hampir sama. Masuk ke gang tiga, di samping rumah warna kuning yang ada pohon mangganya. Ingat?"

"Ingat," jawabnya. Namun, ia menampik tanganku yang mengulurkan sejumlah uang.

"Kamu mau jalan kaki?" tantangku.

"Siapa tahu bisa membangkitkan ingatanku," katanya tak yakin.

"Asal kamu tahu, jarak antara halte tadi dan tempat ini cukup jauh. Kamu baru akan sampai kontrakan dua jam lagi kalau nekat jalan kaki. Kamu mungkin nggak ingat, tapi Jakarta bukan tempat yang cocok buat jalan kaki siang-siang begini dengan perut kosong. Kamu cuma sarapan semangkuk kecil bubur gula merah kan di tempat induk semang?"

"Kok tahu?'

"Dia memang selalu beli itu tiap pagi," aku memutar bola mata yang bikin dia menertawakanku. "Ini, bawalah," suruhku serius. "Kalau kamu lapar dan nggak ada orang di rumah, belilah sesuatu. Semoga nanti malam sudah ada informasi dari kepolisian. Kalau kamu berkeliaran nggak jelas, aku malah akan susah menemukanmu kalau ada berita."

Ragu, pria itu akhirnya menerima beberapa lembar rupiah dari tanganku.

"Jangan lihat nilainya," kataku malu. "Mungkin sedikit, tapi jumlah segitu lumayan bagi orang sepertiku."

"Ini ... lebih berharga dari nilainya," katanya cepat, saking cepatnya hingga membuat napasku terhenti. "Kalau begitu ... kutunggu di rumah?"

Aku mengangguk. Hatiku menghangat. Kutunggu di rumah? Sudah lama tak ada yang menungguku di rumah ....

Akhir-akhir ini lambat banget mikir wkwk nulis, ngepost, bahkan update status aja kayak nggak ada motivasi gitu, kenapa, ya?
Semoga kalian tetap semangat, deh

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top