Finding a Name
Chapter 7
Tentu saja aku nggak mau manggil dia Jisub Oppa.
Kami nggak langsung pulang malam itu, mampir dulu di sebuah mini market yang buka 24 jam untuk membeli toiletries. Seperti biasa, dia hanya menurut pada semua barang yang kupilih meski tadinya kudesak supaya dia menentukan pilihannya sendiri.
"Aku sudah bilang aku nggak mau dipanggil Jisub Oppa, aku nggak mirip sama sekali sama dia," katanya saat obrolan kami kembali ke topik nama gara-gara berkali-kali kalimatku menggantung karena tak tahu harus memanggilnya apa.
"Aku juga nggak lihat ada mirip-miripnya sama Jisub oppa, Lidia apa-apa selalu dikaitin sama bintang drama korea," aku menatap wajahnya sekilas, tapi hanya sebentar karena keburu salah tingkah. Dia selalu membalas tatapanku bulat-bulat dan aku bukan orang yang dengan berani menatap manik mata seseorang. Buru-buru aku mengalihkan pembicaraan, "Riko bilang dia akan segera kasih tahu kalau dia dengar kabar soal chef yang menghilang."
Dia tertawa tanpa suara.
"Aku yakin pekerjaanmu sebelumnya berhubungan dengan dapur," kataku bersikeras.
"Bukan berarti aku chef," kekehnya. "Tadi sore aku ngantar Lidia beli martabak di ujung jalan, siapa tahu aku tukang martabak, mereka juga lihai sekali mengiris daun bawang. Aku sampai nggak bisa menahan senyum ngebayangin kalau ternyata aku tukang martabak, sementara kamu udah yakin banget mendesak bosmu menemukan seorang chef yang hilang."
Aku mendecapkan lidah kuat-kuat.
"Sorry," katanya masih ada sisa tawa.
"Aku hanya ingin kamu segera tahu siapa kamu sebenarnya," desahku tepat di depan gerbang rumah.
"Aku juga," sahutnya.
"Bukan karena aku kerepotan," imbuhku cepat-cepat.
"I know," dia mengedip lambat. Sambil membantuku membuka gerbang, tatapan matanya meneduh menatapku hingga aku terpaksa harus mengguntingnya, dan bergegas mendahului melintasi pekarangan.
"Kamu sudah makan?" aku bertanya sambil menyalakan lampu ruang depan. Semuanya rapi dan terletak di tempatnya semula. "Tadi kamu masuk rumah, atau seharian di tempat Lidia?" sambungku tanpa maksud apa-apa.
"Aku sudah makan, dan ya, aku masuk rumah, tapi memang nggak seharian di dalam." Dia mengekor sampai aku mencapai ambang pintu kamar. "Aku agak tak enak berada di dalam saat kamu nggak ada. Jadi tadi aku agak berkeliling memperkenalkan diri."
"Memperkenalkan diri?"
"Ya, ke semua penghuni sini supaya tidak terjadi salah paham."
Mulutku yang melongo karena kaget masih belum mengatup.
"Lidia bilang sebaiknya begitu, jadi dia mengantarku berkeliling dan menunjukkan copy surat laporanku ke polisi."
Tak urung, aku tertawa, tapi canggung. Tertawa untuk inisiatif Lidia yang patut kuacungi jempol, dan canggung karena saat ini kami bicara tepat di depan kamar tidurku.
Seolah menyadari posisinya, dia bertanya, "Kamu mau teh?"
"Ya, tentu," aku menimang kunci dan baru membuka pintu setelah dia melewati punggungku menuju dapur yang letaknya tak lebih dari tiga langkah dari tempatku berdiri.
Suara denting gelas dan perkakas dapur terdengar jelas dari balik dinding saking kecilnya tempat ini, dan setiap kali memikirkan bahwa di tempat sesempit ini aku tinggal bersama orang asing, dadaku berdetak lebih kencang dari yang seharusnya. Semua kegiatan yang biasa kulakukan tanpa banyak pertimbangan kini kulakukan pelan dan tanpa suara, termasuk menarik turun resleting celana panjang, atau melepas hajat di kamar mandi.
Sebagian dari diriku merasa tak nyaman, tapi sebagian lagi merasakan sensasi menegangkan. Setiap kali kami tak sengaja bersentuhan saat berpapasan, atau saling memberi ruang supaya yang lain bisa lewat, rambut halus di sekujur tubuhku meremang, tak jarang darahku berdesir, atau degup jantungku seperti terlewat satu detakan.
"Silakan."
"Terima kasih."
Secangkir teh hangat dan teman bicara setelah seharian bekerja shift siang, tawaran Riko mungkin akan kutunda beberapa hari ke depan. Mengapa teh yang dibikinkan orang lain selalu terasa jauh lebih harum dan menentramkan saat dihirup? Uap panasnya membelai pipiku yang dingin disapu angin malam.
"Tadi aku mengobrol banyak dengan Lidia, mungkin dia akan mencarikanku pekerjaan di tempat kerjanya, atau di tempat rekan kerjanya," dia bicara setelah teguk teh hangat pertamaku. "Hari ini aku ke kantor polisi dua kali, mereka bilang informasi seperti ini nggak semudah itu didapat kalau keluargaku tak melakukan aduan ke polisi. Paling nggak ... mereka butuh waktu sehari dua hari."
Aku mengambil napas dalam-dalam.
"Kalau sudah lebih dari dua kali 24 jam, kemungkinan akan lebih lama ...," suaranya melemah.
Dan aku ikut tercenung bersama air mukanya yang terpancar gundah. Ingin mengelus, atau menepuk punggung tangannya memberi dukungan, tapi tak punya nyali. Kutangkupkan kedua telapak tanganku di cangkir, kucermati permukaan teh dengan khidmat. Aku tidak tahu harus ngomong apa.
"Aku juga ke rumah sakit," sambungnya. "Tapi kamu benar, mereka terus memintaku menunggu dan tak memanggilku sampai kira-kira ... tiga jam kemudian."
"Itulah kenapa orang nggak boleh miskin zaman sekarang," celetukanku melompat begitu saja. "Seharusnya induk semang memanggil polisi malam itu, bukannya memasukkanmu ke rumah. Paling tidak, polisi akan mengurus pengobatanmu di rumah sakit."
"Lidia juga bilang begitu," tuturnya sambil menunduk. "Dia juga bilang ... kalau sekarang aku di rumah sakit dan ternyata sampai beberapa waktu setelah kondisi fisikku sembuh keluargaku tak ada yang mencari, aku bakal kembali ke jalan tanpa pernah mengenal kalian yang sangat baik membantuku. Mungkin ini lebih baik ... untuk sementara waktu ... mungkin aku bisa mulai dari awal di sini. Setidaknya ... aku bisa meringankan biaya hidup kita berdua."
Bahuku otomatis menjengit mendengar kalimat pungkasannya. Bola mataku yang tadinya fokus ke pusat permukaan air teh beralih padanya.
"Ma-maksudku ... supaya aku nggak terlalu merepotkanmu," dia langsung menyadari ada yang aneh dalam ucapannya. "Maksudku kalau aku nggak tahu sampai berapa lama aku harus bikin kamu repot, paling nggak sedikit-sedikit aku bisa membantu...."
"Pekerjaan apa yang nggak butuh identitas?" tanyaku, tak ingin keadaan makin canggung kalau kami terus membahas.
"Mungkin keamanan, atau tukang bersih-bersih ... valet parking ...."
Alisku bertaut. "Kamu bisa nyetir?"
"Aku nggak tahu, tapi sepertinya nggak terlalu asing bagiku. Entahlah ... mungkin nanti bisa dicoba dulu. Pekerjaan apa saja, kalau kamu tidak ... keberatan ...."
Kenapa aku harus keberatan?
"Maksudku kalau kamu tidak keberatan aku tetap tinggal di sini sampai aku bisa mengganti sewa, atau pindah ke tempat lain ...," terangnya. "Kalau di tempat Lidia, dia bilang dia bahkan sudah kesulitan mencari tempat kosong buat meletakkan sepatu barunya ...."
Dia tertawa sendiri karena aku hanya bisa menarik salah satu sudut bibirku dengan berat hati. Jadi kalau Lidia punya tempat untuknya, nggak akan ada bedanya dia tinggal di tempat siapa?
Dengan ganjalan yang tiba-tiba tersangkut di rongga dadaku, aku meneguk sedikit air teh hangatku dan memutuskan memberi tahu, "Kalau tempat Lidia tidak cukup, sebenarnya Riko menawarkan kamar adiknya yang baru akan pulang tahun depat dari studinya di Cina."
Dia tak bisa mengikuti.
"Riko tak keberatan kalau kamu mau tinggal di rumahnya."
Matanya mengerjap. "Riko temanmu?"
"Iya ... maksudku kalau buatmu hanya soal tempat, daripada di tempat Lidia, lebih baik di tempat Riko. Di sana jauh lebih luas, mungkin dengan bantuannya kamu akan lebih cepat menemukan keluargamu-"
"Is that what you want?" tanyanya memotong.
"Apa itu artinya apa itu yang kumau?" balas tanyaku.
"Iya. Apa kamu mau aku tinggal di tempat Riko saja?"
Aku tak bisa langsung menjawab. "Sebenarnya aku juga kurang yakin Riko sungguh-sungguh atau tidak."
"Kalau dia sungguh-sungguh?"
"Yah tadi kan kamu nyebut-nyebut soal rumah Lidia."
"Kamu nggak memahami ceritaku dengan teliti. Bukan aku yang bilang begitu, Lidia yang lebih dulu menolak meski aku nggak pernah punya ide seperti itu. Dia menawariku pekerjaan supaya aku bisa meringankan bebanmu dengan ngasih aku tempat tinggal. Dia tak bisa membantuku selain itu, rumahnya sudah terlalu sempit."
Aku menelan ludah, suaranya sedikit meninggi dan ia bicara lebih cepat dari biasanya.
"Aku nggak mau tinggal di tempat Lidia," gumamnya. "Apalagi Riko, meski sebenarnya aku juga tak punya hak memilih tinggal di sini."
Hening. Aku terlalu segan untuk merespons meski ketegasannya barusan menceluskan jantungku. Atmosfir yang terbangun setelah itu terasa sangat intens, udara seakan berhenti. Wajah tampannya tampak gusar, mungkin mencemaskan apa yang akan kukatakan, padahal aku hanya menahan napas terlalu lama dan tak punya rencana mengucapkan sesuatu.
"Jadi sekarang aku memang butuh nama," katanya, aku baru bisa bernapas lagi sesudahnya. "Aku akan membayar sewa begitu dapat pekerjaan."
"Apa kamu yakin bisa mengerjakan pekerjaan yang bisa ditawarkan tempat hiburan malam buat seseorang tanpa identitas kayak kamu?" tanyaku cepat dan sungguh-sungguh, siapa tahu dia nggak paham benar situasinya.
"Apa tempat kerjamu ada pekerjaan untukku?" malah tanyanya. "Kalau ada, itu lebih baik. Kamu nggak perlu cemas tiap pulang malam, aku bisa menjagamu."
"Aku nggak butuh dijaga."
"Setelah apa yang menimpaku, dan jam kerjamu yang kadang sampai selarut ini?"
Rahangku mengatup. "Nggak ada lowongan di tempat kerjaku."
"Aku bisa menggunakan pisau dengan sangat terampil, kamu sudah lihat sendiri. Mungkin kalau aku ditest, mereka akan mempertimbangkan satu posisi."
"Lebih baik kita mikirin nama panggilan untukmu dulu."
"Kamu saja yang mikirin nama untukku," katanya seperti mengibas supaya bisa kembali membahas topik sebelumnya. "Kalau Riko berniat membantuku dengan tempat tinggal, lebih baik dia membantu dengan memberiku pekerjaan."
"Riko sama-sama karyawan sepertiku. Dan kenapa aku yang harus memilihkan nama untukmu?"
"Karena nggak ada orang yang memilih namanya sendiri," dia bilang. "Anggap saja kamu mengadopsi anjing dan kamu harus memberinya nama."
"Anjing?" aku memekik. "Kamu menyebut dirimu sendiri anjing?"
"Kenapa? Anjing makhluk yang sangat mengesankan. Mungkin aku lupa ingatan, tapi hal-hal mendasar seperti ini sudah terlanjur tertanam di dalam hati. Dia tidak ikut hilang karena-"
"Perasaan seperti cinta tinggalnya bukan di kepala, dia tidak ikut hilang jika kamu lupa ingatan," aku menyambung. Pria itu tertawa sementara aku mengangguk-angguk mengulang kalimat yang pernah diucapkannya. "Apa itu benar?"
"Aku nggak tahu, tapi nyatanya ... ada hal-hal yang langsung aku bisa seperti menggunakan pisau, atau berapa banyak garam yang harus kutabur di atas telur mata sapi hingga memenuhi seleraku."
"Mungkin kalau ternyata kamu punya istri, kamu juga akan tahu saat melihatnya?"
"If I love her," katanya.
Jawabannya membuatku terkesiap karena tak mengharapkannya, namun dengan cepat aku membasahi bibir dan berdeham demi menyamarkan betapa setujunya aku dengan pendapat itu. Dia benar. Banyak orang menikah bukan karena cinta.
"Baiklah. Aku akan memanggilmu Pluto," kataku sambil menyatukan kedua telapak tangan hingga berbunyi. "Bagaimana?"
"Not in million years," katanya pura-pura keji.
"Katamu tak ada orang yang memilih namanya sendiri?"
"Iya, sih, tapi aku nggak mau dipanggil Pluto. Aku bilang namai aku seperti kalau kamu mengadopsi anjing, atau mungkin bayi ... bukan berarti menamaiku dengan nama anjing!"
"Oke ... karena kamu pandai menggunakan pisau ... bagaimana kalau Gordon? Dari Gordon Ramsey?"
"Apa nggak terlalu kebarat-baratan? Mungkin aku cuma akan jadi buruh cuci, tukang valet parking, atau tukang pel lantai toilet di klub malam."
"Jaka."
"Terlalu Sunda. Kayaknya aku bukan orang Sunda."
"Joko."
"Terlalu Jawa ... apa menurutmu aku orang Jawa?"
Aku tak bisa berhenti tertawa.
Vote dan komen, yaaa!
Makin gemay nggak sih sama Max-Anna :3 Baru ini kayaknya saya bikin karakter ceweknya yang begitu membumi, nggak blak-blakan, pemalu, manis, persis banget sama kepribadian saya /langsung dicambuk/
Come on, yang pelit vote didoain keteknya bisulan. Sakit tahu bisulan di ketek.
Muaaachhh!!!
Kin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top