61-Sadar

"Aku tergagap saat mendapati suara lembutnya yang sudah sejak lama ingin kudengar. Aku sangat merindukannya dan aku bahagia walau hanya sekadar satu kata saja yang terucap dari sela bibirnya."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Di tengah perbincanganku dan Lukman Tante Annisa datang menghampiri kami dengan raut wajah yang sangat sulit untuk diartikan. Napasnya memburu cepat, dan hal itu membuat pikiranku langsung kacau serta tertuju pada ruang rawat Arda. Ketakutan tiba-tiba saja menyusup dan tanpa sadar membuat laju tungkaiku bergerak cepat memasuki ruang ICU. Dalam hati aku berdoa dan meminta agar Allah tak merenggut nyawa imamku. Sudah cukup Dia mengambil calon buah hatiku, dan tidak untuk cahaya penerangku.

Persendianku lemas bukan main, air mata pun sudah mengambang dan siap untuk diluncurkan. Napasku memburu cepat dengan debar jantung yang bekerja ekstra. Lantunan takbir terangkai indah dalam setiap helaan napas. Aku mematung di tempat menyaksikan seseorang yang tengah terbaring di sana dalam keadaan netranya yang sudah terbuka dengan sempurna. Masya Allah Alhamdulillah suamiku sudah sadarkan diri.

Setelah kesadaranku pulih tanpa dapat kucegah lagi, tubuhku langsung luruh di atas dinginnya lantai dan bersujud ke hadapan-Nya. Kata syukur dan hamdalah tak pernah henti kupanjatkan pada-Nya. Entah berapa lama aku bertahan dengan posisi sujudku, dan aku terbangun pada saat Tante Annisa yang memintanya. Aku langsung berhambur ke dalam dekapan hangatnya dan menangis tersedu-sedu di balik punggung beliau. Ini bukanlah tangis kedukaan, melainkan tangis kebahagiaan. Tangis yang Insya Allah menjadi awal yang baik untuk hubungan rumah tanggaku dan juga Arda.

Dokter dan para tenaga medis mengecek keadaan Arda. Mereka sudah meminta kami untuk sejenak keluar meninggalkan ruangan, dan dengan berat hati kami pun mengikuti titahnya. Dari luar aku bisa melihat bagaimana para tenaga medis tengah melakukan tugasnya.

"Alhamdulillah, Sayang akhirnya Arda sadar juga," tutur Tante Annisa dengan senyum mengembang, tapi derai tangis tak henti turun dari kedua sudut matanya.

Aku mengangguk haru dan kembali merengkuh tubuh ibu mertuaku. Dengan senang hati beliau membalas pelukanku. Tak ada kata lagi yang bisa kami lontarkan. Melihat Arda yang sudah sadar dan membuka mata saja sudah lebih dari cukup. Hanya lantunan kalimat syukurlah yang tak pernah lelah kami gaungkan.

Dokter yang tadi menangani Arda akhirnya keluar dan aku menyambut suka cita kedatangannya. Aku tak sabar ingin mendengar kabar baik perihal keadaan Arda saat ini. Sangat amat antusias.

"Bagimana keadaan putra saya, Dok?" tanya Tante Annisa yang lebih dulu buka suara. Kedua tangan kami saling bertautan dan bergenggaman.

"Alhamdulillah sudah lebih baik dari sebelumnya, Bu," katanya dengan sebuah sunggingan lebar penuh rasa lega.

"Apa kami boleh melihatnya, Dok?" tanyaku harap-harap cemas.

Dokter itu mengangguk singkat dan menjawab, "Silakan tapi setelah pasien dipindah ke ruang rawat."

Aku menaik turunkan kepala paham. "Terima kasih, Dok," ucapku sebelum beliau pergi meninggalkan kami.

"Umi harus urus biaya administrasinya dulu, Sayang. Kamu tunggu di sini yah," cetus Tante Annisa.

Aku menatap penuh tanya ke arahnya. "Umi ada uangnya?" selorohku ragu dan takut menyinggung perasaannya.

"Insya Allah ada," jawabnya mantap dan berlalu meninggalkanku yang kini menatap haru punggung beliau yang semakin jauh menghilang dari pandangan.

"Kamu jangan khawatir Adara semua biaya rumah sakit sudah ditanggung Om Dito, tadi beliau yang meminta aku untuk melunasi semuanya. Aku akan meminta pihak rumah sakit untuk memindahkan Mas Arda ke ruangan VIP," tutur Lukman yang sepertinya sudah menangkap raut kecemasan yang tengah kurasakan.

"Abi pasti akan marah kalau tahu Papah sudah lancang membayar biaya rumah sakit Mas Arda. Gue gak mau mereka terlibat perdebatan hanya karena hal seperti itu," tuturku terduduk lesu di kursi yang tersedia di depan ruang ICU.

"Kamu jangan terlalu mencemaskan tentang hal itu, Dar. Aku yakin Om Arga bisa bersikap bijak dalam menyikapi hal ini. Lagi pula apa yang dilakukan Om Dito pun gak salah kok, beliau mau meringankan beban besannya." Aku hanya bisa mengangguk saja. Bingung itulah yang kini tengah melandaku.

•••

Aku menatap sendu ke arah Arda yang saat ini belum kunjung membuka suara. Aku dilanda kecanggungan dan kehabisan kata-kata. Entah apa yang harus kukatakan untuk mencairkan suasana di antara kami. Yang kulakukan hanya diam dan menunduk dalam, sesekali melirik ke arahnya yang ternyata tengah menatap ke arahku juga.

"Dar!"

"Mas!"

Aku tergagap saat mendapati suara lembutnya yang sudah sejak lama ingin kudengar. Aku sangat merindukannya dan aku bahagia walau hanya sekadar satu kata saja yang terucap dari sela bibirnya.

"Kamu butuh sesuatu, Mas?" tanyaku dengan memberikan sebuah sunggingan lebar. Dia menggeleng dan kembali bungkam tanpa kata. Entah apa yang membuatnya diam membisu seperti itu.

"Kamu baik-baik saja kan?" suaranya rendah dan lirih. Aku tak kuasa untuk menahan tangis yang sudah mengambang dan siap untuk ditumpahkan. Dia baru saja sadar dari koma dan kalimat yang pertama kali dia ucapkan sungguh membuatku terharu.

Aku mengambil tangan kanannya dan mengecup lembut punggung tangan dia. "Aku yang seharusnya nanya gitu sama kamu, Mas. Kamu baik-baik saja, kan?" tanyaku balik.

Dia tersenyum hangat dan menghapus cairan bening yang entah sejak kapan sudah bercucuran dengan begitu deras. "Jangan nangis. Aku gak papa, Dar," ungkapnya.

Aku merengkuh tubuhnya dan bersandar nyaman dalam dekapan hangatnya. Aku merasakan sebuah kecupan singkat tepat di puncak kepalaku, serta elusan lembut yang berasal dari tangannya tak pernah lelah mengusap punggungku. "Kamu buat aku takut, Mas. Aku takut kamu kenapa-napa dan pergi ninggalin aku," isakku.

Tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari bibirnya, dan aku pun memilih untuk melepaskan pelukanku di tubuhnya. Aku takut melukai fisiknya yang belum sembuh dengan benar. Dia masih dalam tahap pemulihan.

"Ekhem! Rumah sakit ini." Aku menoleh ke belakang dan mendapati wajah menyebalkan Lukman yang ternyata sudah membawa serta pasukan. Mamah, Papah, Tante Annisa, dan juga Om Arga ada di sana.

"Iya siapa bilang ini rumah makan. Pergi sono ah," usirku kesal. Bisa-bisanya dia datang di waktu yang tidak tepat dan merecoki romantisme yang tengah aku dan Arda lakoni.

Para tetua menggelegarkan tawa puasnya. Dan berjalan lebih dekat menghampiriku yang tengah duduk di samping bed yang Arda tempati. Mamah dan Tante Annisa berdiri di samping kanan dan kiriku, Mamah memberikan elusan lembut tepat di puncak kepalaku dan berkata, "Akhirnya mantu Mamah sadar juga, putri semata wayang Mamah nangisin kamu mulu tuh."

Aku mencebik sebal dan menatap sengit ke arahnya. "Emangnya salah kalau Adara nangisin suami sendiri?" tanyaku tak santai dan sedikit nyolot.

Mamah malah tergelak dan mendaratkan kecupan singkat di salah satu pipiku yang kini masih tertutup niqab. "Suami katanya?" goda beliau yang disambut tawa menggelegar oleh seluruh penghuni ruangan.

Aku bersidekap dada dan memasang tampang garang yang sama sekali tak bisa dilihat oleh orang-orang. "Serah Mamah!"

"Kamu sih tidurnya lama banget, kasihan tahu mantu Umi harus peras air mata sampai gak ngurus penampilan dirinya sendiri," adu Tante Annisa dengan senyum menjengkelkan.

"Berapa lama memangnya? Perasaan cuma sebentar doang kok," sahut Arda dengan wajah polosnya.

Aku mendengus tanpa sadar. "Satu minggu sebentar yah, Mas? Masih kurang lama? Aku tinggal kamu kalau beneran gak bangun-bangun. Mending cari yang baru aja sekalian," sengitku kesal dan dongkol. Enak saja dia kalau ngomong suka sembarangan.

"Emangnya masih ada yang mau gitu sama kamu?" ujar Papah tiba-tiba larut dalam obrolan.

Dengan usil aku berdiri dan mendekat ke arah Lukman yang diam menyimak. "Ada. Nih orangnya," kataku santai dan berdiri tegak berdampingan dengan Lukman.

Lelaki itu menatap penuh peringatan padaku dan berjalan pergi menghampiri Papah. "Bisa dicincang hidup-hidup aku sama Mas Arda dan Papah kamu. Aku sudah tobat, Adara," cetusnya yang membuatku geleng-geleng kepala.

Papah merangkul bahu Lukman penuh kebanggaan. "Ini baru yang namanya lelaki sejati. Kamu seharusnya berterima kasih sama rekan bisnis muda Papah ini, tanpa dia Papah gak bakal bisa bongkar kebusukan mantan teman pria kamu," ujar Papah.

Aku memutar bola mata malas. "Terima kasih? Ish... ish... gak salah itu, Pah? Kalian pinter banget sih buat drama dan ngibulin Adara!"

Papah menggeleng pelan dan berujar, "Bukan drama, Sayang tapi itu cara Papah menjaga putri semata wayang Papah." Aku tak berminat untuk menyambung pembahasan lagi. Bawaannya kesal jika aku mengingat rahasia besar yang mereka sembunyikan.

"Apa kabar, Mas?" cetus Lukman menghampiri Arda lebih dekat lagi.

Arda mengukir senyum tipis dan menjawab, "Alhamdulillah sudah lebih baik."

Lukman hanya manggut-manggut saja dan keheningan kembali menyelimuti kami. Kehabisan bahan pembicaraan sepertinya. Aku pun lebih memilih untuk kembali mendudukkan diriku di kursi samping bed-nya Arda.

"Kamu serius mau ninggalin aku dan kembali lagi sama Lukman?" tanya Arda tiba-tiba. Aku dibuat membatu dan menatap nyalang ke arahnya. Apa yang tadi sempat kukatakan hanyalah sebuah guyonan. Lagi pula minggu depan lelaki itu akan menikahi gadis pujaannya. Yang benar saja. Aku tidak mungkin melakukan hal gila semacam itu.

Aku sedikit tertawa sumbang menetralkan gemuruh dalam hati yang tiba-tiba hadir tak terkendali. "Ya gaklah, Mas. Kamu mah apa-apa dianggap serius, rileks aja kali," tuturku yang langsung Mamah hadiahi dengan jitakan sadis.

"Makanya tuh mulut kalau mau ngomong disaring dulu. Suami baru sadar dari koma malah ngelantur gak jelas. Kurang-kurangin lah sifat kamu yang nyablak dan serampangan itu," tegurnya.

Aku mengelus keningku yang menjadi korban sadis tangan nakal beliau. "Iya... iya... iya... maaf gak lagi deh." Hanya kalimat itulah yang berhasil kulontarkan. Bedebat dengan manusia sejenis beliau tidak akan ada habisnya.

~TBC~

Ada yang senang karena Arda sudah sadar???
Oh ya tadinya mau publish malam, tapi kan kalau malam pasti sibuk tarawih dan ibadah lainnya, jadi aku update sekarang. Gak papa kan update lebih cepat dari jadwal?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top