60-Penjelasan

"Bukan nikmat dunia saja yang dia janjikan, tapi Insya Allah nikmatnya surga pun akan dia persembahkan."

-Adara Mikhayla Siregar

•••

Di saat hati dan perasaan dirasa sudah tenang dan tak begitu memusingkan perihal kejadian yang telah usai. Mengapa fakta-fakta baru datang dan begitu mengejutkan. Semuanya terlalu tak masuk akal dan sulit untuk dipercaya dengan nalar. Aku tak habis pikir dengan Lukman yang begitu ringan tanpa beban memaparkan siapa dalang di balik kecelakaan yang aku dan Arda alami.

Dan parahnya dia menuduh Andra, yang notabene-nya adalah salah satu mantan teman priaku. Tidak seharusnya Lukman menaruh rasa curiga pada dia, jelas-jelas aku dan dia sudah tidak saling berkomunikasi, bahkan aku pun tak tahu menahu dengan kehidupannya yang sekarang. Sangat aneh jika dia memiliki dendam kesumat padaku. Perasaan aku tak memiliki kesalahan apa pun padanya.

"Kecelakaan yang kamu dan Mas Arda alami ada sangkut pautnya sama dia," ulangnya yang berhasil kembali menarikku pada alam nyata.

Aku memutar bola mata malas. Tak mungkin dia melakukan kejahatan kriminal seperti itu. "Jangan suudzon gitu, Man gak baik. Itu jatuhnya fitnah," kataku tak setuju. Mana mungkin dia tega melakukan hal tercela semacam itu. Sangat mustahil.

"Dia dendam dan sakit hati sama kamu karena ulah kamu yang selalu menolaknya untuk memiliki hubungan lebih dari sekadar teman. Dia gak terima makanya dia membuat rem motor Mas Arda gak berfungsi," jelasnya begitu tegas.

"Ah lo pasti bohong. Mana ada kaya gitu, jangan ngada-ngada deh, Man. Masa cuma gara-gara gue tolak doang dia sampe punya dendam kesumat dan mau ngilangin nyawa gue sih," sanggahku keukeuh tak percaya.

Lukman menghela napas berat dan berucap, "Emangnya kamu gak curiga gitu? Kenapa bisa rem motor Mas Arda tiba-tiba blong. Itu ulah Andra yang diam-diam mengikuti kamu. Gak ada yang gak mungkin Adara, sesuatu yang kamu anggap biasa gak mungkin berlaku juga sama orang lain. Kamu pikir ada gitu lelaki yang rela peras keringat hanya untuk wanita yang berniat untuk memanfaatkan dan menghabiskan uangnya begitu saja? Dia sudah memakai hati dan gak bisa mengontrol perasaannya sendiri, sampai dia lupa diri dan berpikiran sempit untuk berbuat hal kriminal. Kalau kamu gak bisa menjadi miliknya, maka orang lain pun gak berhak memiliki kamu, dan dia lebih memilih untuk melenyapkan nyawa kamu agar gak ada satu pun lelaki yang bisa memiliki kamu."

Aku menggeleng keras tak setuju. Itu pasti hanya asumsi tak beralasan Lukman saja. Dengan tanpa diminta ingatanku sudah berselancar pada kecelakaan satu minggu lalu. Rasa sesak pun tiba-tiba menyeruak. "Ada kok. Lo bukti nyatanya, lo gak main hati sama gue dan mau-mau aja gue manfaatin. Jangan-jangan lo juga mau bunuh gue lagi. Lo ke sini mau racunin gue yah," ocehku dengan segala pikiran buruk yang sudah tumpang tindih. Kacau! Semuanya sudah kacau. Apa yang dulu sudah kutanam akhirnya kini kutuai.

"Ngaco kamu kalau ngomong. Kalau aku mau bunuh kamu buat apa juga aku capek-capek lindungin kamu dari kejahatan Andra," katanya dengan nada suara tak terima.

"Ya kali aja lo begitu juga sama kaya tuh orang. Apa segitu berdosanya gue di masa lalu sampai ada orang yang mau basmi gue?" gumamku pelan.

"Apa perlu aku ingatkan sudah berapa banyak pria yang kamu buang dan campakkan pada saat kamu sudah bosan dan puas untuk menguras uangnya?" Pertanyaan bernada sindiran itu sungguh amat menyinggungku. Aku tahu bahwa aku di masa lalu sangat brutal dan nakal. Tapi aku tak percaya jika efeknya akan sampai seperti sekarang.

"Ka... ka... kalau lo tahu dari awal kenapa lo gak cegah gue dan Mas Arda buat pake motor itu?" tuntutku kembali tertuju pada pembahasan utama. Tanpa dia beritahu pun aku sudah tahu berapa banyak jumlah pria yang sudah kusakiti hatinya.

"Orang suruhanku bergerak lambat, Adara. Aku pun kurang waspada karena Andra yang berhasil mengelabuiku," katanya dengan nada tinggi penuh rasa kecewa. Pandangannya menerawang jauh seakan-akan dia tengah mengulang kejadian beberapa waktu lalu.

"Te... te... terus sekarang dia ada di mana?" selorohku dengan suara tercekat. Antara percaya dan tak percaya bahwa orang terdekatkulah yang berniat untuk melenyapkan nyawaku. Sungguh sulit untuk dipercaya, tapi itu memang benar adanya.

"Sudah ditahan oleh pihak kepolisian, Om Dito yang mengurus semuanya." Perkataan terakhir Lukman membuatku membatu dan diam seribu bahasa.

"Kenapa lo baru bilang sekarang? Dan kenapa juga harus lo yang bongkar semuanya sama gue." Napasku naik turun penuh emosi. Di sini aku yang menjadi korban, tapi kenapa tak ada satu pun orang yang memberitahuku perihal dalang di balik kecelakaan yang menimpaku.

Bodoh. Aku sangat bodoh karena langsung percaya begitu saja dengan kesaksian palsu seorang polisi yang waktu itu datang tanpa diminta dan menjelaskan kejadian yang tak sesuai dengan kebenaran. Apa mungkin orang yang mengaku-ngaku sebagai aparat negara itu sebenarnya orang suruhan Papah? Seharusnya aku sudah menduga dan menaruh curiga dengan kejanggalan kecelakaan yang aku dan Arda alami. Aku harus segera meminta keterangan Papah yang menjadi aktor utama di balik peristiwa ini.

"Om Dito yang minta aku untuk tutup mulut. Beliau gak mau membuat mental kamu kembali terguncang, padahal keadaan kamu belum sembuh total. Kamu pasti akan terus menyalahkan diri kamu sendiri kalau tahu siapa orang di balik terciptanya kecelakaan itu. Maafkan aku karena baru bisa jujur sekarang," tuturnya penuh rasa penyesalan.

Aku menunduk dalam dan mengusap gusar permukaan wajahku. Aku memang sumber kesengsaraan yang menimpa Arda. Seharusnya aku tak melibatkan dia dalam masalahku. Tapi sekarang dialah yang harus menjadi korban atas perbuatanku di masa lalu. Rasa penyesalan dan bersalah itu kian naik ke permukaan dan membuatku malu untuk menampakkan wajah di hadapannya. Apa yang harus kukatakan nanti jika dia sadar? Apakah aku sanggup untuk membongkar segala kesalahan yang sudah kuperbuat.

"Gue emang salah di sini. Gak seharusnya gue ngelibatin Mas Arda dalam drama hidup gue," kataku.

"Jangan berpikiran seperti itu Adara. Ini sudah menjadi jalan takdir dari Allah," sahutnya seperti tengah menenangkan dan juga menghiburku yang sudah dalam keadaan kacau berantakan.

Aku hanya diam dan setelahnya mengangguk kelu. "Jadi sejak kapan lo kenal bokap gue?"

"Aku sudah lama mengenal baik Om Dito karena aku terlibat hubungan bisnis dengan beliau. Dan untuk masalah Andra, dari awal dia memang sudah berniat untuk balas dendam sama kamu, tapi selalu berhasil kami gagalkan. Itu sebabnya Om Dito menikahkan kamu diam-diam dengan Mas Arda, beliau tidak bisa setiap waktu menjaga dan melindungi kamu dan dengan hadirnya Mas Arda beliau bisa sedikit tenang, karena banyak orang yang melindungi kamu," jelasnya membongkar sebuah rahasia besar yang selama ini dia tutup rapat-tapat.

Aku tersentak kaget mendengarnya. Aku terlalu sombong diri dan paling mengerti Lukman, tapi pada kenyataannya aku sangatlah jauh tertinggal di belakang. Bahkan aku tak sadar bahwa di antara dia dan Papah terlibat hubungan bisnis.

"Jadi sebenarnya lo sudah tahu dari awal kalau Mas Arda itu suami gue? Tapi lo pura-pura gak tahu apa-apa. Bagus lo yah! Kurang ajar banget sih lo ngibulin gue sampe sebegininya!" Aku menghadiahi Lukman pukulan brutal dengan menggunakan tas tangan yang sedari tadi berada dalam pangkuan.

Akhirnya luapan kekesalan dan rasa dongkolku tersalurkan juga pada lelaki itu. Sudah sedari tadi aku mati-matian menahannya, dan kurasa sekaranglah waktu yang tepat untuk menumpahkan segala bentuk sumpah serapah padanya.

"Aduh... sakit... Adara! Anarkis banget sih kamu jadi perempuan!"

"Cukup Adara! Dengerin aku dulu," pintanya memelas. Aku menurut walau masih ada sedikit rasa dongkol serta tak terima dalam hati.

"Iya semua yang kamu bilang itu bener. Aku dan Papah kamu memang bersekongkol, tapi itu murni untuk kebaikan kamu. Dan aku pun ingin mengetes kadar kesabaran suami kamu saat mengetahui kalau kamu masih berhubungan dengan aku. Tapi aku gak terima saat kamu malah melibatkan aku dan berpura-pura hamil anak aku. Itu diluar skenario aku dan Om Dito."

Aku mencebik kesal saat lagi-lagi mendengar banyak kejujuran dari bibirnya. "Terus apa kabar sama nyokap gue, Lukman?" Aku curiga juga jika Mamah pun ikut serta dalam drama menyebalkan ini.

"Iya, kejadian waktu itu memang sudah jadi skenario kami bertiga supaya kamu ngaku dan bisa jujur sama perasaaan kamu. Lebih tepatnya supaya kamu mau mengulang pernikahan dengan Mas Arda," sahutnya yang membuatku geleng-geleng kepala.

Pantas saja tuh pernikahan bisa tergelar dengan mewah nan wah. Padahal waktunya sangat mepet dan sangat tidak memungkinkan. Drama macam apa yang tengah kualami sekarang. Ingin marah dan menangis tapi tak tahu caranya karena rasa kesal serta dongkollah yang saat ini mendominasi. Akan kuadili Mamah dan Papah jika bertemu nanti.

"Apa lagi yang lo sembunyiin dari gue? Jangan coba-coba buat ngibulin gue lagi. Awas aja lo!" Aku memperlihatkan bogeman ke arahnya.

Lukman bergidik ngeri dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gak ada, Adara," katanya dengan menampilkan dua jari tangannya sampai berbentuk huruf 'V'.

Aku meraup wajahku dengan kedua tangan. Kejujuran Lukman sungguh membuatku kesal dan bingung dalam waktu yang bersamaan. Selama ini aku merasa bersalah karena drama yang kuciptakan, tapi pada kenyataannya kedua orang tuakulah yang sudah lebih dulu memulai semua dramanya. Pernikahan macam apa yang tengah kujalani sekarang?

"Kalau lo kenal baik sama bokap nyokap gue, kenapa mereka gak ngejodohin gue sama lo aja? Kagak bakal nolak gue kalau laki modelan lo yang jadi suami gue," ocehku melantur ke mana-mana.

Lukman terbatuk-batuk mendengar perkataanku yang kelewat nyablak tanpa saringan. "Sembarangan kamu Adara kalau ngomong. Lihat tuh suami kamu lagi berjuang antara hidup dan mati, eh kamu malah ngomong kaya tadi," tegurnya yang kusambut dengan cengiran.

"Becanda doang kali. Serius amat lo jadi orang," kekehku yang lagi-lagi disambut gelengan olehnya.

"Kalau Om Dito dan Tante Dita jodohin aku sama kamu, itu sama saja seperti mereka memberikan kamu surga dunia yang semu. Kamu gak bakal pernah bisa berubah dan merasakan apa yang namanya hidup sederhana dalam lingkup keimanan serta ketaqwaan," tuturnya dengan nada tak santai. Dia seperti tengah menahan rasa kesal. Tapi bodo amatlah. Tak peduli aku.

"Iyalah serah calon manten aja. Suka-suka lo," sahutku tak ingin memperpanjang topik perbincangan. Bisa naik darah aku kalau terus melanjutkannya.

Tapi apa yang Lukman katakan ada benarnya juga. Jika dialah yang terpilih menjadi kandidat sebagai calon suamiku, pasti aku takkan membuat banyak drama dan malah senang menerima pernikahannya. Lah wong Lukman itu paket komplit, sudah tampan, mapan, dan juga berkantung tebal. Rezeki nomplok deh kalau sampai ada perempuan yang berhasil menjerat hati lelaki itu.

"Gimana kabar Marwah? Lo gak niat buat mainin dia kan?" tanyaku memilih topik pembicaraan lain.

Dia tersenyum tipis penuh makna, dan rasanya aku ingin kembali menghadiahi wajah tampannya dengan timpukan sadis. "Baik mungkin, aku sama dia gak pernah tukar kabar. Masih haram belum benar-benar jadi mahram," katanya dengan tampang menyebalkan.

"Bahasa lo sudah kaya orang bener aja. Lupa lo kalau dulu kerjaan lo keluyuran mulu sama gue. Emang gue ini mahram lo gitu?" cibirku yang justru dia balas dengan kekehan.

"Itu dulu Adara sebelum aku tobat dan mengenal Marwah. Pilihan orang tua memang gak pernah salah, gak nyesel aku memutuskan untuk melanjutkan proses perjodohan ini," ucapnya dengan wajah berbinar-binar. Sangat kentara sekali bahwa lelaki itu memang sudah mulai menaruh hati pada gadis pilihan ibunya. Aku ikut senang mendengarnya.

"Serius nih sudah tobat?" candaku yang disambut tawa ringan tanpa beban olehnya.

"Insya Allah," sahutnya dengan senyum tulus penuh kesungguhan.

Memang benar apa yang dikatakan Lukman, bahwa pilihan orang tua tidak akan pernah salah. Dan aku pun merasakan sendiri dampak baiknya, walau harus dibumbui dengan segala konflik dan intrik yang menguras tenaga jiwa dan raga terlebih dahulu. Tapi itulah yang dinamakan dengan seni dalam berumah tangga. Setiap masalah yang datang hanya sekadar untuk menguji kadar ketahanan dan bertujuan untuk mengokohkan hubungan.

Pernikahan yang semula sangat tidak kuinginkan, kini berubah menjadi sumber kebahagiaan. Bahkan lelaki yang dulu sangat tidak kusukai kini sangat amat kucintai. Aku sudah benar-benar jatuh hati padanya. Bukan karena rupa apa lagi harta, tapi karena iman dan takwanya. Itu jauh lebih indah serta menenangkan. Bukan nikmat dunia saja yang dia janjikan, tapi Insya Allah nikmatnya surga pun akan dia persembahkan.

~TBC~

Assalamualaikum
Selamat pagi,
Bagaimana dengan Ramadan kali? Apa ada yang tarawih atau tetap #dirumahaja. Semoga puasa kita di hari pertama ini dilancarkan sampai bedug Magrib yah, Aamin🤗

Nah sampai sini sudah mengingatkah sosok Andra itu siapa? Jika belum, baik akan aku ceritakan sedikit. Andra pernah muncul di Bab Pertama, sosok lelaki yang menurunkan Adara di pinggir jalan karena dia kesal tak mendapatkan status kejelasan dari Adara. Di awal bab aku sengaja gak mencantumkan nama dia, karena memang sengaja untuk Bab 59 & 60. Kalau kalian peka dan teliti, sebenarnya dalang dari kecelakaan yang Adara dan Arda alami ini bisa kalian temukan dengan cepat, karena di Bab 1 aku memberikan clue dan juga kalimat-kalimat tersirat bahwa Andra memiliki dendam kesumat sama Adara. Sampai sini masih ada yang bingung?

Kalau ada silakan ditanyakan😊

Sudah yah, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top