52-Izin Suami

"Aku menganggapnya remeh tak berarti apa-apa, tapi pada kenyataannya itu justru berdampak buruk untuk ke depannya."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Selepas dari kampus aku tak langsung pulang ke rumah, melainkan sejenak mampir terlebih dahulu ke kediaman orang tuaku. Sudah lama aku tak bertemu pandang dengan mereka, dan rasa rindu itu kian naik ke permukaan. Aku ingin memberikan kabar bahagia pada mereka. Aku sudah sangat tak sabar ingin segera mengumumkan pada seisi dunia bahwa sebentar lagi aku akan lulus dan wisuda. Memang yah bahagia itu sederhana. Melihat paraf yang bentuknya tak jelas di atas proposal skripsi saja senangnya bukan main. Masya Allah, aku harus lebih pandai bersyukur lagi jadi manusia.

"Assalamualaikum, Mah, Pah Adara pulang." Aku berteriak dengan kencang dan langsung masuk ke rumah tanpa menunggu yang membukakan pintu.

"Wa'alaikumussalam. Bersisik tahu pake acara teriak-teriak segala," protes Mamah yang baru saja muncul dari balik pintu kamar.

Aku hanya nyengir dan langsung duduk dengan tenang di atas sofa. Mamah ikut serta mendudukkan tubuhnya di sampingku. Beliau merengkuhku dalam dekapan hangat. "Kamu ke mana saja sih? Mamah kangen tahu," katanya setelah mendaratkan beberapa kecupan di puncak kepalaku.

Aku mendongak dan mengecup singkat salah satu pipi beliau. "Adara juga kangen sama Mamah," sahutku yang semakin mengeratkan pelukan di antara kami.

"Ada apa nih ke sini sendirian? Bawa kabar bahagia pasti," cetusnya tepat sasaran. Feeling seorang ibu memang sangat kuat.

Aku mengangguk dan segera melepaskan diri dari kungkungan tangan Mamah. "Jadi sudah berapa minggu?" tanyanya dengan sangat antusias. Keningku mengkerut bingung. Maksud Mamah apaan sih?

"Berapa minggu? Maksudnya? Ya Adara gak tahulah, kan Adara belum---"

"Dicek dong, Sayang biar gak asal tebak," potongnya yang lagi-lagi membuatku kebingungan. Sebenarnya arah pembicaraan Mamah ini menjurus ke mana sih? Kok aku jadi puyeng begini.

"Kenapa harus dicek-cek segala sih, Mah? Orang Adara cuma mau kasih kabar kalau proposal skripsi Adara di ACC. Kok pake acara pake cek-cek segala. Ngaco nih Mamah!" terangku yang langsung disambut dengan sorot keterkejutan, tapi detik berikutnya raut kecewalah yang terpampang di sana. Ada yang salah?

Mamah menghela napas panjang dan menjatuhkan punggungnya ke badan sofa. "Mamah kira kamu lagi hamil cucu Mamah," cetusnya dengan nada judes bin kesal.

Aku membulatkan mata tak percaya. Aku hanya mampu diam dan menggeleng pelan. Mamahku ini ngaco. Hubunganku dan Arda saja bisa terjalin baik-baik saja baru sekitar satu bulan terakhir ini. Masa iya langsung diteror pernyataan semacam itu. Yang benar saja dong.

"Mamah ngomong apaan sih? Gak jelas banget tahu!" sangkalku menepis jauh-jauh penuturan beliau.

Mamah menegakkan tubuhnya dan tanpa izin langsung menyentil keningku lumayan kencang. "Kamu tuh yang gak jelas. Emangnya salah kalau Mamah ngarepin cucu dari anak sama mantu Mamah sendiri?"

Aku meringis menahan sakit dan mengelus pelan dahiku. "Gak salah cuma gak tepat aja waktunya!"

"Terus kapan waktu yang tepatnya?" sengit beliau yang membuatku menghela napas berat. Hidupku tak tenang sekali. Dulu pada saat masih melajang yang ditanyakan pasti, kapan sebar undangan? Terus sekarang pada saat sudah menikah, aku harus kembali menerima pertanyaan yang lebih gila lagi. Kapan punya momongan? Nahas sekali nasibku.

Memangnya tak ada pertanyaan lain yang lebih berbobot lagi apa? Jadi manusia kok selalu merasa tak puas dan ingin lebih sih. Kurang bersyukur tuh. Seharusnya pertanyaan itu dilayangkan pada Allah, bukan malah padaku. Sudah tahu yang namanya jodoh, rezeki, dan maut itu berada di tangan-Nya. Kalau aku berbalik tanya, kapan mati? Apa tak shock mereka.

Aku nyengir kuda tanpa dosa. "Kapan-kapan." Akhirnya hanya kalimat itulah yang mampu kuucapkan.

"Apa jangan-jangan kamu belum menjalankan tugas kamu sebagai istri yah? Ya Allah Adara dosa itu!" selidiknya yang justru membuat wajahku memanas tiba-tiba. Perkataan Mamah sungguh mengada-ngada dan aku tak nyaman mendengarnya.

"Ish kenapa malah jadi bahas kaya gituan sih, Mah? Adara ke sini kan mau kasih kabar kalau proposal skripsi Adara di-ACC," kesalku yang sama sekali tak beliau hiraukan.

"Jawab pertanyaan Mamah, Adara!" Nada suara beliau begitu tegas dan diiringi tatapan mata tajam menuntut.

Aku menunduk dalam tak kuasa untuk memandang tampang tak santai yang beliau perlihatkan. Dengan lancang beliau mengangkat daguku agar melihat ke arahnya. "Jawab!"

Aku bergidik ngeri dibuatnya. Dengan suara tercekat aku pun menjawab, "Sudah kok, Mah." Sumpah demi apa pun tubuhku sudah menggigil hebat tak keruan dengan detak jantung di luar batas normal. Bahkan tanganku pun sudah berkeringat dingin dibuatnya.

"Jangan coba-coba buat bohongin Mamah yah, Adara!" Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. Tidak, aku tidak bohong.

Mamah menjauhkan tangannya. "Ingat Adara surga kamu ada pada suami kamu. Berbaktilah padanya dan jangan sampai menyalahi aturan Agama. Mamah gak suka!"

Aku membawa tangan Mamah dalam genggaman. "Iya Adara tahu, Mah. Adara lagi belajar dan berusaha buat jadi istri yang baik untuk Mas Arda. Mamah percaya kan sama Adara?"

Rona ketidakpercayaan itu sangat tampak pada netra beliau. "Kamu gak niat buat ngibulin Mamah lagi kan?"

Aku mendesah pasrah penuh ketidaksukaan. "Gak. Mamah pegang omongan Adara," kataku meyakinkan beliau.

Nasibku sungguh mengenaskan sekali. Dicap sebagai pembohong dan aku sangat tidak suka. Aku menyesal pernah merangkai kebohongan besar. Sangat amat menyesal.

"Papah ke mana, Mah?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. Bisa panjang kalau aku tak menghentikan perbincangan ini.

"Ya kerjalah pake nanya segala lagi," jawabnya dengan nada suara menyebalkan. Tidak tahukah Mamah kalau itu hanya pertanyaan basa-basi saja? Sebal sekali aku hari ini.

"Selow aja kali, Mah. Sensi banget sih jawabnya," sengitku ikut terpancing emosi. Tadi saja bilang kangen-kangenan dan saling berpelukan, tapi sekarang malah berdebat dan uring-uringan tak jelas.

Mamah mendelik tajam. "Jawab mulu kamu bisanya. Gak sopan!"

Aku menghela napas panjang. "Jawab pertanyaan itu bukannya gak sopan, tapi wujud dari toleransi dan saling menghargai," sahutku dengan kedua tangan yang sudah apik bertengger di depan dada.

"Serah. Kamu ke sini izin sama suami kamu dulu kan?" Aku diam tak minat sedikit pun untuk menjawab. Nanti aku dikira tidak sopan lagi. Kan sebal.

"Kalau ditanya tuh dijawab bukan malah diam saja." Mamah kembali buka suara. Emosiku dibuat naik turun karena tingkah beliau. Ini salah, itu salah, maunya apa sih?

"Lupa tadi abis dari kampus langsung ke sini. Gak sempet buat kasih kabar Mas Arda juga," kataku ogah-ogahan.

"Dosa kamu keluar rumah tanpa seizin dari suami kamu. Setiap langkah kamu gak diridhoi Allah. Kamu tega mau giring Mamah sama Papah masuk neraka?" Aku bergidik ngeri mendengar penuturan Mamah. Sefatal itukah?

"Adara keluar rumah izin kok sama Mas Arda, tapi ya izinnya ke kampus bukan ke rumah Mamah. Ya kan sama aja," selaku.

Mamah geleng-geleng. ""Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Jika dia berbuat demikian, maka Allah akan melaknatnya dan para malaikat memarahinya kembali." [HR Abu Daud Ath-Thayalisi]."

Aku menatap tak percaya pada beliau. Rasa takut mulai hinggap dan memenuhi relung hati terdalamku. Ya Allah aku terlalu menyepelekan sesuatu. Aku menganggapnya remeh tak berarti apa-apa, tapi pada kenyataannya itu justru berdampak buruk untuk ke depannya.

"Surga dan neraka kamu ada pada suami kamu. Jadilah istri shalihah yang taat," nasihatnya yang kubalas dengan anggukan.

Aku mengambil gawai dalam tas dan segera menghubungi Arda untuk meminta izin. Tapi panggilanku tak dia jawab sama sekali, padahal aku sudah berulang kali menghubungi. Aku takut apa yang Mamah katakan menjadi kenyataan.

Cukup satu kali saja aku lalai dan menarik kedua orang tuaku lebih dekat pada neraka, karena tak menutup aurat dengan sempurna. Aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirimi Arda pesan. Semoga saja dia membacanya dan segera memberikan balasan atas pengakuan salah yang sudah kuperbuat. Cukup lama akhirnya gawaiku berdering juga.

Ustaz kaleng-kaleng

Iya gak papa. Maaf tadi gak bisa angkat telepon soalnya lagi ada atasan yang mantau kerjaan aku. Pulangnya nanti aku jemput.

Aku bernapas lega saat mendapat pesan balasan darinya. Alhamdulillah semoga Allah sudi untuk mengampuniku juga. Fokusku teralih saat merasakan elusan lembut tepat di atas puncak kepalaku. Mamah mengukir senyum tipis di sana. "Jangan diulangi lagi yah, Sayang," pintanya yang tanpa pikir panjang langsung kubalas dengan anggukan.

Aku merengkuh tubuhnya dan menenggelamkan wajah di pundak beliau. "Maafin, Adara. Adara belum bisa jadi istri yang baik dan taat untuk Mas Arda," lirihku. Mamah semakin mengeratkan pelukannya dan tak henti-henti memberikan elusan lembut di punggungku. Rasanya sangat tenang dan nyaman.

~TBC~

Masih adakah yang setia dengan cerita ini???
Babnya sudah banyak juga yah, hehe. Gak kerasa dan gak nyangka bisa sebanyak ini. Sungguh di luar ekspektasi 🥳
Sampai bertemu di bab selanjutnya 🙋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top