51-ACC

"Apa pun hasilnya aku harus ikhlas dan menerima, bukan malah seperti tadi yang mencak-mencak tak jelas."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Aku terkesiap saat mendapati sepasang tangan yang melingkari pinggang rampingku. Saat ini aku tengah memasak sarapan di dapur, dan sudah dapat kupastikan bahwa tangan Ardalah yang sudah nakal memelukku. Aku mencoba untuk tak terlalu ambil pusing dengan rengkuhan yang Arda berikan, dan memfokuskan diri pada masakan yang sudah hampir jadi di atas wajan.

"Terima kasih," katanya yang membuat persendianku lemas bukan main, bahkan spatula yang kupegang hampir lepas landas jika Arda tak menahannya. Wajahku pun sudah terasa memanas.  Bibirku kelu walau hanya untuk mengeluarkan sepatah dua patah kata saja. Akhirnya hanya anggukan kecillah yang kuberikan sebagai jawaban.

"Siap-siap dulu gih, sekarang kamu kan kerja pagi," titahku ingin segera terbebas dari jerat tangannya. Aku sudah bercucuran keringat karena belum terbiasa dengan kontak fisik yang Arda berikan. Jika Aku mengatakan yang sejujurnya, aku takut menyinggung perasaaannya. Dan kupikir ini adalah cara tersirat agar dia segera meninggalkanku seorang diri saja.

Dengan tanpa aba-aba Arda memutar tubuhku agar menghadap ke arahnya. Aku menunduk malu dan tak ingin memperlihatkan wajah gugup bercampur semu merahku padanya. Bisa ditertawakan habis-habisan aku. Seorang Adara Mikhayla Siregar yang digilai banyak laki-laki bisa tunduk patuh dan dibuat mati kutu hanya karena seorang laki-laki bernama Arda Nazma Dewanda. Sungguh sangat sulit untuk dipercaya.

"Lihat apaan sih, Dar di bawah? Nyari recehan jatuh?" godanya dengan diiringi kekehan menyebalkan. Mau tak mau aku mendongak dan menatap ke arahnya yang kini sudah tertawa dengan begitu puas.

Aku merengut sebal dan segera memutar tubuh untuk menghindar. Masih pagi ini, tapi hatiku sudah dibuat dongkol olehnya. Kesal sekali!

Dengan perasaan yang sudah tak keruan aku mengambil piring saji dan segera memindahkan masakan yang ada di wajan ke atasnya. Hanya dua porsi nasi goreng yang mampu kubuat pagi ini. Tadi aku bangun kesiangan, bahkan melaksanakan salat Subuh pun telat. Ini semua gara-gara suamiku yang super menyebalkan itu.

"Makan," ketusku saat dia tak kunjung mengambil duduk di kursi yang sudah tersedia. Aku melirik sekilas ke arahnya yang ternyata sudah berpakaian rapi dengan seragam kerja. Sepertinya otakku tadi kurang konek dan tak sadar jika sedari tadi Arda sudah tampil siap dengan setelan kerja.

Dia menurut dan duduk berhadapan denganku. Sepiring nasi goreng yang kini sudah terhidang di meja makan sama sekali tak menggoda selera. Dengan ogah-ogahan aku memakannya.

"Jangan lihatin aku kaya gitu dong, Mas. Risih tahu!" cetusku menangkap basah Arda yang terus-menerus menatap ke arahku. Malu.

Dia menggeleng beberapa kali lantas menjawab, "Aku tuh lagi cari pahala di kedua mata kamu." Aku memutar bola mata malas. Mana ada seperti itu.

Dasar aneh! Bilang saja mau modus.

"Makan, Mas. Aku harus berangkat ke kampus ini, kamu juga kan harus buru-buru pergi kerja," kataku memerintah.

Dia mengangguk dan hanyut dalam santap pagi kali ini. Tak ada perbincangan lagi di antara kami. Baik aku maupun Arda sama-sama bungkam dan sibuk dengan makanan yang terhidang. Hatiku jadi berdesir hebat saat berdekatan dengannya, bahkan aku tak berani untuk bertemu tatap dengannya. Aku malu. Sangat amat malu.

Entah apa yang kurasakan hingga jantungku ketar-ketir tak beraturan. Sungguh demi apa pun aku merasa gugup bila bersama dengannya. Padahal dulu tidak seperti ini. Apa mungkin aku sudah mulai menaruh hati padanya? Sontak aku menggeleng pelan. Itu tidak mungkin terjadi. Sangat mustahil.

"Mau bareng?" tanyanya saat dia sudah menegak air putih beberapa tegukan.

Aku menggeleng. "Gak usah aku berangkatnya agak siangan," tolakku. Hari ini aku hanya ingin memberikan proposal skripsi yang sudah berhasil kurevisi, dan kurasa berangkat siang pun tak apa.

Dia mengangguk paham. "Ya sudah aku berangkat dulu. Kamu hati-hati yah, assalamualaikum," katanya.

"Aku yang seharusnya bilang hati-hati sama kamu. Aneh ih," selaku tanpa membalas salamnya.

"Hukum menjawab salam itu wajib lho, Dar," peringatnya yang tanpa sadar membuatku mendengkus kasar.

"Iya ... iya ... maaf. Wa'alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh, Mas Arda." Aku sengaja menjawab salam secara lengkap, bahkan aku pun membubuhi kata sapaan penuh penekanan di sana.

Dia terkekeh pelan dan mendaratkan elusan lembut tepat di atas puncak kepalaku. Aku mengambil alih tangan kanannya untuk disalami. "Cari uang yang halal, jangan sampai kamu kasih makan aku uang haram," kataku setelahnya.

Dia mengukir senyum tipis dan menjawil gemas hidung bangirku. "Insya Allah," sahutnya yang kusambut dengan sunggingan.

•••

Sekitar pukul sembilan pagi aku memutuskan untuk berangkat ke kampus dan segera mendatangi dosen pembimbing. Semoga saja untuk kali ini langsung di-ACC dan aku bisa segera melanjutkan dua step terakhir sebelum wisuda, seminar dan sidang. Kuharap Allah memperlancar segala urusan pendidikanku.

"Jadi bagaimana, Pak?" tanyaku yang sudah bosan menunggu selama sekitar dua jam bersama beliau. Rasanya badanku sudah pegal-pegal karena duduk terlalu lama. Sedari tadi tuh dosen hanya membolak-balik proposal skripsiku, tanpa ada niat untuk membaca isinya. Dia pikir aku ini apaan? Disuruh duduk manis di depannya dan memperhatikan dia yang tengah menilai hasil kerjaku.

Beliau menutup proposal skripsiku. "Besok kamu kembali lagi ke sini. Saya sedang banyak pekerjaan dan tak ada cukup waktu untuk mengecek proposal kamu," katanya enteng tanpa beban.

What? Lantas dua jam yang tadi dia habiskan untuk apa? Aku di sini duduk dengan resah gelisah tak tentu arah ingin segera mendapat kejelasannya. Tapi dengan tanpa dosa beliau malah berkata seperti itu. Tolong berikan aku stok kesabaran agar tak meledak sekarang di hadapannya. Sungguh sangat menyebalkan.

Dengan hati dongkol aku berdiri. Memasang senyum manis penuh kepalsuan. "Terima kasih, Pak." Aku berkata dengan nada biasa tapi penuh penekanan.

Baru saja aku akan memutar kenop pintu suara bariton miliknya kembali menguar ke indra pendengar. Apalagi? Ingin rasanya aku mengatakan kata tersebut, tapi aku takkan mungkin sanggup dan memiliki keberanian yang cukup.

"Ya, Pak. " Akhirnya dua kata itulah yang meluncur bebas dari sela bibirku. Sepertinya gelar ratu drama sejagat raya itu pantas kembali kusandang.

"Proposal kamu ketinggalan," katanya dengan mata mengarah pada setumpuk kertas yang sudah kususun rapi dan jilid di atas meja.

Aku mengembuskan napas singkat dan langsung mengambilnya. "Terima kasih." Lagi-lagi hanya ungkapan terima kasihlah yang kuucapkan.

Aku keluar dari ruangan beliau dengan hati dongkol tak keruan, tapi detik berikutnya otakku langsung berjalan. Jika proposal ini berada di tanganku, lantas kapan diperiksanya dong? Aku menghela napas gusar dan memilih duduk di bangku kosong yang berada di luar ruangan dosen. Kenapa tugas akhirku dipersulit sih? Aku ingin segera bebas lepas dari kampus ini.

"Gimana? Di-ACC kan?" Aku mendongak saat mendapati Maryam tengah berdiri tegak di depanku.

Aku tersenyum kecut dan menyerahkan proposal skripsiku pada perempuan bercadar itu. "Boro-boro di-ACC, dibaca aja kagak," ocehku dengan kedua tangan meraup permukaan wajah. Rasanya sangat kesal dan dongkol.

Maryam duduk di sebelahku dan kembali menyerahkan proposal skripsiku. "Jangan suuzan gitu. Coba kamu buka deh," katanya yang kubalas dengan dengkusan.

"Bukannya suuzan tapi emang bener kali. Kesel gue ditahan selama dua jam tapi gak ngasilin sama sekali. Parah banget sih. Mana besok gue disuruh datang lagi buat menghadapnya. Sebel tahu!" cerocosku yang malah membuka sesi curhat colongan.

"Lihat tuh," ucap Maryam dengan tangan bergerak mengarah pada proposal skripsi yang berada di atas pangkuan. Pandanganku mengabur saat mendapati paraf, berserta tanggal hari ini di sana.

"Ini serius proposal gue di-ACC?" tanyaku tak percaya. Anggukan yang Maryam berikan membuatku senang bukan kepalang dan langsung merengkuh tubuh Maryam penuh kehangatan.

Aku merasakan elusan lembut di punggungku. "Makanya lain kali kamu jangan suuzan dulu. Beliau meminta kamu besok ke kampus lagi pasti minta kamu buat ngasih surat pengajuan sidang," ungkapnya.

Aku mengangguk pelan dan melepaskan pelukannya. "Ternyata tuh dosen ngerjain gue. Huft, percuma dong tadi gue ngegerutu gak jelas karena ulahnya yang malah buat gue nunggu selama berjam-jam."

Maryam terkekeh pelan. "Sudah ah, yuk kita pulang," ajaknya yang langsung kusambut dengan anggukan.

Langkahku terasa sangat ringan tanpa beban. Sangat beda dengan tadi yang terasa memikul begitu banyak beban hidup dan cobaan. Aku sudah sangat berdosa karena tadi sempat menggerutu tak jelas dan berprasangka buruk pada beliau. Seharusnya tak seperti itu. Apa pun hasilnya aku harus ikhlas dan menerima, bukan malah seperti tadi yang mencak-mencak tak jelas.

~TBC~

Yuhuuuu ... Adara ia back🥳
Terima kasih sudah membaca dan sampai bertemu di bab selanjutnya🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top