50-Bakti Seorang Istri

"Pertanyaan biasa tapi entah mengapa terdengar aneh di telinga. Tidak seperti biasanya."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Pernikahan akan terlihat sempurna dan bahagia jika kita sendiri yang menciptakan kebahagiaan tersebut. Saling menerima kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh pasangan masing-masing, adalah hal yang paling pertama dan harus diutamakan. Sebuah kejujuran serta komitmen pun tak kalah penting dan wajib ada di dalamnya.

Kini aku bisa lebih merasakan apa itu arti dari sebuah ketenangan dan juga kelegaan hati dalam menjalani setapak demi setapak kehidupan ini. Dari hari ke hari aku terus belajar bagaimana menjadi seorang istri idaman, meskipun masih jauh dari kata itu tapi setidaknya aku sudah berusaha semampuku.

Aku selalu mengikuti apa pun yang Arda perintahkan dan Arda larang, meskipun terkadang harus ada sedikit perdebatan serta percekcokan. Tapi tak apa, bukankah itu yang dinamakan dengan seni berumah tangga? Anggap saja itu bumbu penyedap yang akan semakin membuat pernikahanku dan Arda semakin kokoh dan kuat.

Belakangan ini aku kerja rodi demi merampungkan tugas akhir yang sudah melambai-lambai minta segera diselesaikan. Dan beruntungnya aku memiliki suami seperti Arda yang mau membantu mengetik serta membaca-baca ulang hasil dari buah pemikiranku. Kendala tangan yang cedera sekitar dua minggu lalu membuatku mau tak mau menerima pertolongan Arda.

Kata dokter tanganku mengalami luka bakar derajat dua, di mana kerusakan kulit terjadi pada kulit paling luar (epidermis) dan sebagian kulit bagian dalam (dermis). Rasa nyeri yang kurasakan disebabkan karena iritasi ujung saraf. Permukaan area luka pun berwarna merah atau pucat. Bahkan kulit tampak berair disertai lepuh (gelembung berisi cairan). Alhamdulillah sekarang sudah lebih baik karena aku rutin menggunakan salep dan obat yang dokter berikan.

"Kalau aku sudah lulus aku mau kerja ah," gumamku. Sayang kalau gelar sarjana yang kumiliki tidak dipergunakan dengan baik. Setidaknya dengan bekerja aku bisa membantu perekonomian keluarga kecilku dan juga Arda.

Selama ini aku berusaha sekuat tenaga untuk tak menginjakkan kaki ke pusat perbelanjaan, aku takut kalap dan hanya akan membuang-buang uang gaji Arda dengan percuma. Aku belajar berhemat dan me-manage pemasukan yang telah Arda berikan. Susah memang tapi karena usaha keras serta tekat yang kuat akhirnya aku bisa merealisasikannya.

"Gak usah kerja, mending kamu di rumah saja jadi ibu rumah tangga." Aku mencebik kesal saat suara penolakan itu Arda layangkan.

"Aku mau bantu kamu cari nafkah," selaku memberikannya pengertian. Untuk apa Mamah dan Papah menguliahkanku mahal-mahal jika akhirnya aku hanya menjadi seorang ibu rumah tangga saja. Kalau tahu akan seperti ini mending tidak usah sekolah saja sekalian.

Arda berjalan menghampiriku yang tengah duduk lesehan di atas karpet. Meletakkan dua gelas minuman segar di meja lantas duduk berhadapan denganku. "Tugas untuk mencari nafkah itu tugas aku, bukan kamu. Selagi aku mampu memenuhi kebutuhan kita, aku gak akan kasih izin kamu untuk bekerja," tuturnya lembut tapi syarat akan ketegasan.

"Tapi kan sayang gelar sarjana aku. Aku ngejar gelar itu sampai bertahun-tahun, dan menggelontorkan uang yang gak sedikit. Kalau akhirnya cuma jadi ibu rumah tangga aja, mending aku gak usah sekolah," ungkapku blak-blakan.

Pokoknya aku harus bekerja. Setidaknya jika aku mendapatkan penghasilan sendiri, aku bisa sedikit menyegarkan mata dengan berbelanja. Sepanjang aku resmi menjadi istri Arda, aku tak pernah lagi memanjakan diriku sendiri.

"Al ummu madrasatun, ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Gelar dan ilmu yang selama ini kamu pelajari gak akan sia-sia hanya karena kamu menjadi seorang ibu rumah tangga. Pola asuh dan cara mendidik orang tua yang berpendidikan dengan orang tua yang gak pernah merasakan duduk di bangku sekolah, jelas akan berbeda. Justru dengan kamu menjadi seorang ibu rumah tangga, ilmu kamu akan lebih bermanfaat lagi. Karena apa? Karena kamu mengamalkannya secara langsung pada anak-anak kamu," jelasnya yang berhasil membuatku sejenak bungkam.

"Tapi kan aku---"

"Tapi kan aku apa? Kamu pasti mau poya-poya lagi kan kalau punya penghasilan sendiri?" selidiknya tepat sasaran.

"Ish ... ish ... kamu sok tahu banget sih," sangkalku yang dibalas dengan dengusan.

Arda memang sudah sangat mengenalku luar dalam, tahu saja apa yang sedang kupikirkan. Aku curiga dia itu keturunan paranormal yang bisa membaca pikiran orang lain.

"Bukannya sok tahu tapi emang bener, kan?" tegasnya. Aku menatap sengit dengan kedua tangan yang sudah bertengger apik di depan dada. "Au ah Mas nyebelin."

Dia malah tertawa dengan begitu puasnya. Apakah ada yang lucu? Heh! Suamiku ini memang memiliki keanehan tingkat tinggi. Bingung aku dengan kepribadian dia yang selalu berubah-ubah seperti bunglon.

"Gajian bulan depan kita jalan-jalan keluar deh. Di tempat aku kerja lagi banyak orderan, dan pasti aku bakal lembur. Lumayan kan uangnya bisa kamu pakai," cetusnya yang langsung kusambut sunggingan manis.

Tapi detik berikutnya senyumku pudar. Bulan depan? Itu masih sangat lama karena baru kemarin Arda menerima upah kerjanya. "Kenapa gak sekarang aja sih, Mas? Kan uang gaji kamu masih ada di tangan aku. Daripada nunggu bulan depan, masih lama tahu," protesku yang dibalas dengan kekehan serta gelengan.

Arda mengelus lembut ubun-ubunku. "Nanti yah, kalau jalan-jalannya sekarang kamu pasti gak akan puas. Insya Allah kalau bulan depan uangnya cukup," katanya dengan senyum tipis.

"Iya ... iya ... deh ... iya aku ngikut aja. Yang penting bisa cuci mata," sahutku pada akhirnya menyetujui perkataan Arda.

"Maafin aku yang gak bisa menuhin semua keinginan dan gaya hidup kamu," tuturnya yang berhasil membuatku terhenyak kaget.

Aku menggeleng pelan dan memberanikan diri untuk menggenggam tangannya. "Gak papa kok, aku yang seharusnya minta maaf karena gak bisa ngertiin kamu. Maafin aku yah, Mas."

Mau bagaimanapun aku berusaha, sepertinya gelar cewek matre itu akan terus melekat dalam diriku. Aku masih belum mampu mengendalikan diri agar tak menghambur-hamburkan uang. Aku sangat lemah jika harus benar-benar menghilangkan kebiasaan-kebiasaanku terdahulu. Rasanya sangat sulit. Padahal aku sudah mati-matian meredam segala keinginanku, tapi ternyata aku masihlah Adara yang sama seperti sebelum-sebelumnya.

Arda tersenyum manis dan menangkup wajahku penuh kelembutan. "Aku sudah berjanji akan membuat kamu bahagia, dan mungkin ini adalah salah satu caranya," dia melepaskan tangannya dan beralih menggenggam kedua tanganku, "selagi aku mampu dan bisa Insya Allah aku akan memberikan apa yang kamu butuhkan. Tapi gak bakal sesering dulu. Ingat, Dar rezeki yang Allah berikan kepada kita itu gak semuanya milik kita, ada hak orang lain yang jauh lebih membutuhkannya."

Aku mengangguk paham dan memberikan Arda senyum terbaik yang kumiliki. "Iya aku tahu kok. Aku janji deh gak bakal sekalap dulu kalau belanja, aku beli barang yang emang aku butuhin bukan yang aku penginin," balasku.

Hidup satu atap selama lebih dari satu bulan bersamanya membuatku sudah benar-benar mengenal sosok Arda. Walaupun sikap misteriusnya masih sering muncul tanpa diduga, tapi itu tak separah dulu.

Dia selalu mengingatkanku banyak hal, terlebih dalam hal agama. Hubungan sesama hamba, dan hubungan dengan Sang Maha Pencipta adalah point utama yang selalu diajarkannya. Bagaimana berlaku dan bertindak pada sesama manusia agar tak saling menyinggung dan menyakiti.

"Kamu tahu tujuan dari sebuah pernikahan untuk apa?" tanyanya tiba-tiba. Pertanyaan biasa tapi entah mengapa terdengar aneh di telinga. Tidak seperti biasanya.

"Membina sebuah keluarga yang sakinah, mawadah, dan warohmah," jawabku.

Dia mengukir senyum tipis, mengelus lembut puncak kepalaku lantas berucap, "Menghalalkan apa yang Allah larang dan haramkan."

Keningku mengkerut bingung. Tak mengerti dengan maksud dari perkataan Arda. "Maksud Mas apa?" cetusku.

Dia tak menjawab dan malah mengukir senyum mencurigakan. Aku berpikir keras dan mencerna kata demi kata yang baru saja dilontarkan oleh Arda. 'Menghalalkan apa yang Allah larang dan haramkan.' Sepenggal kalimat itu memenuhi memori dan ingatanku.

Karena saking seriusnya aku sampai tak sadar bahwa Arda sudah lancang mendaratkan sebuah kecupan di pipi sebelah kananku. "Ambil wudu gih."

Aku membatu di tempat dengan pemikiran yang berkeliaran ke mana-mana. Tiga kata yang baru saja Arda ucapkan terngiang-ngiang dalam ingatan. Belum lagi efek dari kecupan singkat Arda yang sampai saat ini masih sangat terasa. Ini adalah ciuman pertama yang dia berikan padaku. Masya Allah rasanya sungguh tak bisa kugambarkan.

"Adara!" Aku terkesiap dan antara sadar tak sadar mengikuti titahnya.

Sekembalinya aku dari kamar mandi Arda sudah berdiri tegak di atas sajadah, bahkan perlengkapan salatku pun sudah siap dan tinggal pakai saja. Tangan Dan kakiku bergetar hebat saat mendengar takbir yang Arda gaungkan. Sebisa mungkin aku memfokuskan otak agar bisa khusuk dalam salat, tapi nyatanya aku tak bisa. Bahkan sampai suara salam terdengar pun aku masih sibuk dengan segala pemikiran yang sudah saling tumpah tindih memenuhi isi kepala.

Dia membalikkan tubuhnya, senyum indah terukir manis di sana. Tangan kanannya diletakkan tepat di atas ubun-ubunku, dan tangan lainnya dia tengadahkan. Bibirnya bergerak melantunkan doa yang tidak kuketahui dan baru pertama kali kudengar.

"Apakah boleh aku meminta hak-ku?" tanyanya lembut dan pelan. Mataku mengerjap-ngerjap linglung. Debar jantungku sudah memburu dengan begitu cepat tak keruan.

Aku memberanikan diri untuk melihat tepat pada iris matanya. Dengan ragu aku mengangguk malu dan kembali menunduk dalam. Dia mengangkat daguku agar kembali menatap ke arahnya. "Kamu ikhlas?"

Dengan suara gemetar dan jantung berdebar aku menjawab, "Insya Allah, Mas."

~TBC~

Cut ... Cut ... 🤣🤣🤣

Cewek matre model Adara juga bisa gugup gemetar kek gitu yah😂
See you next chapter yah teman-teman🙋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top