5-Permintaan Papah
"Perempuan itu seperti mutiara di dasar lautan, berharga dan tak bisa didapatkan oleh sembarang orang. Apa kamu tidak ingin seperti mutiara itu?"
-Arda Nazma Dewanda-
•••
Acara pengajian yang Mamah adakan berjalan dengan lancar. Apa yang kuharapkan jauh dari perkiraan, Papah justru terlihat senang dan menikmati acaranya. Berbeda denganku yang sedaritadi berkipas-kipas ria karena kegerahan. AC yang dipasang mendadak tidak mempan dan aku harus menggunakan kipas mini dengan karakter Doraemaon sebagai tambahan.
Setelah pembukaan dan tausyiah dari penceramah, memanjatkan doa terbaik pada Sang Maha Pencipta, dilanjut dengan acara makan bersama, dan yang terakhir penutupan serta pembagian bingkisan untuk anak yatim dan juga para tamu undangan yang hadir. Selepas semua tamu undangan pulang aku langsung kabur ke kamar. Ingin segera membebaskan diri dari baju gombrong yang tengah kukenakan.
"Mamah niat banget nyiksa anaknya sampe kek gini," celotehku sembari menghapus peluh di sekitar dahi dan leher.
Parah sih ini mah gerahnya berkali-kali lipat dari jogging di pagi hari.
Yang membuatku tambah dongkol dan kesal itu karena sang penceramah yang justru membahas perihal keutamaan menutup aurat bagi seorang wanita muslim. Pasti ini kerjaan Mamah yang menyuruh pak ustaz-nya untuk membahas hal seperti itu.
Tak akan mempan! Orang setiap hari juga Mamah kasih tausyiah yang temanya tak jauh-jauh dari itu. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Tak ada satu pun yang nempel di otakku yang memang agak loading kalau menyangkut perihal agama.
"Adara!" teriak Mamah begitu menggelegar.
Tak bisa apa naik ke atas dan ketuk pintu pelan-pelan sambil manggil penuh kelembutan? Ini mah boro-boro. Setiap hari rumah berasa kaya hutan rimba. Teriak sana-sini, toa masjid saja kalah sama suara Mamah yang tingginya naudzubillah.
"Apaan sih, Mah pake teriak-teriak segala?" Aku berlari dari lantai atas ke bawah untuk menemui sang ibunda ratu.
"Astagfirullah, Adara baju kamu ke mana, hah?" Mamah berkacak pinggang dengan kedua mata yang menyala tajam.
Dengan santai tanpa menghiraukan perkataan Mamah aku duduk di kursi meja makan. Perutku kerongcongan karena baru diisi dengan kue-kue kering saja. Maklum orang Indonesia mah gitu, belum bisa dikatakan sudah makan kalau belum ketemu nasi.
"Sudah deh, Mah jangan ribet kek gitu. Kan perjanjiannya juga cuma buat acara kajian doang. Acaranya sudah kelar kan? Ya otomatis baju gombrongnya juga harus Adara lepas dong," cerocosku tanpa beban sedikit pun.
"Masih ada Nak Arda sama orang tuanya di ruang tengah. Kalau sampe mereka lihat gak enak. Tadi kamu ghamis-an, masa sekarang cuma pake kaus oblong kebesaran dan celana pendek sih," omel Mamah.
Penampilanku kalau di dalam rumah ya seperti ini. Toh yang melihat juga paling Mamah, Papah, dan beberapa pekerja saja. Tak ada masalah bukan?
"Ah, Mamah ribet. Bodo amat. Gak peduli. Siapa mereka sampe ada istilah gak enak segala," sahutku dengan enteng menaikkan satu kaki ke atas kursi. Posisi terenak pada saat makan ya seperti ini.
Tanpa permisi Mamah langsung menggeplak kaki putih mulusku. Lumayan panas dan sedikit merah juga. Tangan Mamah memang paling ajaib dan kejam. "Kamu itu perempuan. Makan kok gak ada etikanya begitu."
"Hidup Mamah terlalu banyak aturan. Ini jangan, itu jangan. Nikmati aja kali, Mah jangan dibawa beban," celetukku yang mendapat jeweran maut dari dua jari tangannya
Belum selesai dengan acara jewer-jeweran suara seseorang menghentikan kegiatan Mamah yang sedang menyiksaku dengan tanpa perasaan. "Lho hijabnya kok dilepas, Nak Adara?" Aku menoleh saat mendapati suara Tante Annisa, ibunya Arda si ustaz kaleng-kaleng.
"Gerah, Tan. Acaranya juga sudah kelar, kan?" jawabku lancar. Berkata jujur itu enak dan tidak usah pusing-pusing merangkai kata demi kata untuk menutupi satu kebohongan dengan kebohongan lainnya. Hidup apa adanya sajalah jangan dibuat ribet.
Mamah mencubit lenganku tanpa pemberitahuan. Seharian ini Mamah berlaku anarkis dan sadis. Aku laporkan ke KOMNAS HAM dan juga Perlindungan Perempuan baru tahu rasa beliau.
"Ish, apaan sih Mah pake acara cubit-cubit segala. Jangan main kode-kodeanlah, ngomong aja to the point," semburku yang kembali mendapat delikan tajam.
Tanpa dosa aku kembali melanjutkan acara makan yang banyak dihentikan paksa. Sudah tahu anaknya sedang kelaparan tapi masih saja diganggu.
Sama anak yatim baiknya tak ketulungan tapi sama anak sendiri sadisnya yang tak ketulungan. Salah besar itu. Seharusnya sebelum memuliakan orang lain, muliakan dulu anaknya. Jangan sampai kebolak-balik.
"Maafkan putri saya yang mulutnya bocor kaya keran air ini yah, Bu." Aku geleng-geleng mendengar hinaan Mamah.
Lancar sekali bibirnya mengataiku yang merupakan anak kandungnya sendiri. Sungguh kejam dirimu.
Tante Annisa tersenyum tipis menanggapi. "Gak apa-apa, Bu." Suaranya lembut sekali tidak seperti aku dan Mamah yang kalau ngomong sudah kaya ngajak ribut orang.
Pernah sih beberapa kali Mamah berbicara dengan nada lembut, tapi itu tergantung mood dan juga kalau ada maunya saja. Keluar tuh sifat menggelikannya.
"Naik ke atas sana. Ganti baju sama yang lebih layak, jangan malu-maluin Mamah sama Papah," bisiknya.
Dengan cepat aku mengeleng kuat. Tak akan pernah aku memakai baju semacam itu lagi!
"Rambut kamu bagus yah, panjang hitam lagi," puji Tante Annisa yang duduk berseberangan denganku dan juga Mamah. Posisi kami hanya terhalang meja makan saja.
"Iya dong orang aku rutin perawatan. Nih, Tan kulit aku juga kinclong begini." Dengan bangga aku memamerkan rambut serta kulit tanganku yang mulus dan bersih.
"Iya tapi sayang---" Tante Annisa seperti sengaja menggantung kalimatnya, membuatku penasaran tingkat akut. "Sayang kenapa, Tan?"
Tante Annisa tersenyum simpul sebelum berkata, "Tapi sayang keindahan yang kamu miliki itu dinikmati oleh banyak orang yang tak berhak untuk melihatnya."
Perkataan Tante Annisa tepat menusuk ke dada. Rasanya itu perih tapi tak berdarah. Nusuk bener tuh kata-kata.
Aku hanya bisa diam tanpa komentar. Kalau diskakmat Mamah masih bisa jawab, tapi kalau seperti ini ceritanya lebih baik mingkem dan kunci mulut rapat-rapat. Salah sedikit pasti kena sindiran pedas lagi.
"Dengerin tuh." Punya Mamah satu-satunya bukan membela justru tambah ngejatuhin. Mana Papah? Aku butuh Papah sekarang untuk mencari pembelaan dan pengaduan.
"Percuma berhijab tapi kalau kelakuannya masih bar-bar. Mending hijabin dulu hatinya baru orangnya." Setelah berpikir keras dan cukup lama akhirnya aku bisa berkata dengan lancar.
Jawaban klasik yang sering kudengar di televisi semoga saja bisa menyelamatkanku dari kritik pedas Tante Annisa. Namun sayang seribu sayang ternyata aku salah besar dan malah semakin memperpanjang obrolan. Bisakah aku menarik ulang kata-kataku barusan?
"Itulah salahnya manusia. Hati kok dihijabin? Hati itu harusnya dibuka lebar-lebar supaya gampang menerima pencerahan bukan malah ditutup rapat-rapat. Aurat yang seharusnya ditutup malah diumbar gratisan. Salah persepsi itu," tuturnya lembut tapi berhasil membuatku kembali bungkam.
"Sekarang kamu berdalih tidak menutup aurat karena akhlak kamu jauh dari kata baik. Tapi apa kamu akan melakukan hal serupa jika itu berlaku pada lisan kamu yang tak bisa berkata baik. Kamu akan mencopotnya juga?" Aku bergidik mendengarnya. Omongan Tante Annisa membuatku takut bukan malah sadar.
"Umi kata Abi pulang," ucap Arda yang baru saja muncul dari arah ruang tengah. Untuk kali ini aku berterima kasih karena kedatangannya yang sudah menyelamatkanku dari kultum dadakan.
Tante Annisa bangkit dan berjalan menghampiri Mamah dan juga aku bergantian. Saling bersalaman dan cipika-cipiki, perempuan memang selalu seperti itu saat bertemu dan akan mengakhiri pertemuan.
"Perempuan itu seperti mutiara di dasar lautan, berharga dan tak bisa didapatkan oleh sembarang orang. Apa kamu tidak ingin seperti mutiara itu?" Ibu sama anak memang sama saja.
Kerjaannya menyindir dan memberikan siraman rohani. Aku malas untuk menanggapi. Bersikap bodo amat dan seolah tak mendengar apa-apa adalah pilihan terbaik.
Selepas kepulangan Arda, Tante Annisa, dan Om Arga aku segera menghampiri Papah yang tengah duduk santai di ruang keluarga dan langsung berhambur ke dalam pelukannya
Papah membalas pelukanku dan sesekali mencium ubun-ubunku, hal yang sangat kusukai. "Kenapa tadi Papah gak usir semua tamu aja sih. Adara kesiksa tahu, pake baju gombrong kaya tadi," kataku yang malah dibalas kekehan olehnya.
"Gak boleh ngomong kaya gitu dong, Sayang," tuturnya mengingatkan. Beliau itu sangat penuh perhatian dan kasih sayang kalau sudah berada di rumah. Tapi lain cerita kalau di luar sana.
"Kalau besok tagihan kartu kredit membengkak jangan salahin Adara yah, Pah. Salahin aja Mamah yang sudah buat rambut Adara jadi lepek kaya gini," aduku. Papah justru tertawa lepas dan menjawil hidung mancungku gemas.
"Apa pun yang buat kamu bahagia, Sayang." Beginilah enaknya menjadi anak tunggal yang sangat disayang. Segala kebutuhan pasti akan mudah kudapatkan, tanpa harus repot-repot mengeluarkan bujuk rayu setan.
"Tapi Papah minta satu hal sama kamu, boleh?" sambungnya.
Aku langsung duduk tegak dan menghadap ke arahnya. Tumben pakai ada syaratnya segala.
"Apa aja terserah Papah pasti akan Adara turutin," sahutku mantap.
Permintaan pertama Papah, jangan sampai aku membuatnya kecewa.
Papah membelai rambutku sejenak sebelum berkata, "Kalau Papah minta kamu tutup aurat. Apa kamu bersedia? Hanya itu yang paling Papah harapkan dan tunggu-tunggu."
~TBC~
Lanjut lagi di next chapter yah. Hayoh tebak kira-kira apa jawaban Adara?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top