49-Perbincangan Penuh Makna
"Berikan Arda kepercayaan, bahwa dengan segala keterbatasan yang Arda miliki ini bisa membuat putri Mamah dan Papah bahagia."
-Arda Nazma Dewanda-
•••
Selepas pemeriksaan selesai dilakukan Mamah dan juga Papah langsung mengantarkanku pulang. Sepanjang perjalanan Mamah tak pernah bosan mengeluarkan suara dan berbagai macam petuah. Aku yang memang duduk berdampingan dengan beliau merasa sangat amat terganggu. Tapi karena aku masih memiliki sedikit rasa sopan santun serta tatakrama terhadap orang tua, jadi aku memutuskan untuk menjadi pendengar setia saja.
"Lain kali harus hati-hati, tangan kok disiram-siram air panas. Mau jadi sok jagoan kamu," cercanya. Aku hanya bisa diam saja membiarkan beliau puas berkoar-koar. Ya kali aku sengaja menyiram tanganku sendiri. Dikira aku ini Limbat kali. Mulut Mamah terkadang tidak bisa dikondisikan.
"Sampe rumah nanti langsung ganti baju, sudah basah kuyup itu. Kalau kamu sakit gimana? Nanti Mamah juga yang repot." Ocehannya masih terus berlanjut dan sebagai anak yang baik serta penurut, mending memilih untuk mengangguk paham saja.
"Nak Arda kamu bisa nyetir mobil?" tanya Mamah pada menantu kesayangannya. Heh! Untuk apa juga Mamah bertanya seperti itu? Mau membelikan Arda mobil baru. Daripada mobil itu ditujukan untuk Arda, mending untukku saja.
"Bisa, Mah. Kenapa memangnya?" sahut Arda dengan kepala menoleh singkat ke belakang.
"Besok ambil mobil ke rumah. Sayang mobil bekas Adara gak ada yang pake, lagian Mamah juga gak akan tega lihat anak sama mantu Mamah kesusahan kaya tadi," terang Mamah yang langsung kubalas dengan dengusan kasar.
"Mamah apa-apaan sih. Itu kan mobil Adara, kok malah mau dikasih ke orang lain sih," selaku tak suka.
Aku mendapatkan mobil itu tidak mudah serta memerlukan perjuangan yang panjang. Dan sekarang dengan seenak jidat Mamah langsung memutuskan untuk mengalihkan hak milik kendaraan tersebut pada Arda. Yang benar saja. Bukankah di sini aku yang merupakan anak kandungnya? Tapi mengapa di sini aku seperti dianaktirikan.
"Nak Arda itu bukan orang lain, dia suami kamu kalau perlu Mamah ingatkan lagi. Emangnya kamu sudah bisa nyetir dalam keadaan tangan luka kaya begitu? Lagian kamu ini aneh, Mamah nyuruh suami kamu yang ambil saja sudah kebakaran jenggot begitu. Apalagi kalau Mamah kasih tuh mobil sama orang lain? Bisa nangis darah kali kamu," cerocos Mamah berlebihan. Enak saja kalau ngomong suka sembarangan.
Kebakaran jenggot apaan lagi. Orang aku tak mempunyai jenggot juga. Terus apa katanya? Nangis darah? Ya Allah tuh mulut kok lemes banget yah. Gimana kalau tiba-tiba ada malaikat lewat dan ngaminin ucapan Mamah. Bukannya perkataan seorang ibu itu selalu diijabah sama Allah?
"Iya mending kalian pakai mobil saja. Lebih aman, nyaman, dan juga fleksibel dalam segala situasi serta kondisi," ucap Papah menimpali.
Aku bersyukur ternyata Mamah dan Papah tak lepas tangan begitu saja. Mereka masih memikirkan kelangsungan hidupku setelah berumah tangga. Tempat tinggal layak telah disiapkan oleh mereka, dan sekarang pun mereka masih bersedia untuk memberikan kendaraan yang bisa aku dan juga Arda gunakan. Meskipun sebenarnya itu kendaraanku, tapi aku bisa menghargai itikad baik mereka. Toh mobil itu dibeli pakai uang Papah. Aku hanya usaha nangis-nangis bombay dan membuat drama saja supaya Papah dan Mamah sudi untuk membelikan mobil incaranku. Belum lagi Mamah masih suka membelikan beberapa bahan makanan untuk keperluan dapur. Jika tanpa uluran tangan dari Mamah serta Papah aku tak tahu bagaimana nasib akan kelangsungan hidupku.
"Gak usah, Pah, Mah. Maaf bukan bermaksud untuk menolak kebaikan Mamah dan juga Papah, tapi Arda ingin membangun keluarga kecil kita mulai dari nol. Kalau kita terus-menerus menggantungkan hidup sama Mamah dan Papah. Kapan kita bisa mandirinya?" sahut Arda sangat jauh di luar dugaan.
Ingin rasanya aku menyangkal penolakan yang Arda utarakan. Tapi cengkeraman tangan Mamah membuatku urung untuk melakukannya. Aku melirik tajam ke arah Mamah yang justru dibalas tatapan tajam balik oleh beliau. Dan akhirnya aku hanya bisa diam mengikuti titah Mamah melalui pancaran netranya.
"Adara bukan perempuan yang bisa diajak susah, Nak Arda. Dia paling anti dengan hal-hal semacam itu. Lagi pula Papah gak akan tega melihat anak dan mantu Papah hidup serba kekurangan. Sebagai orang tua Papah ingin melihat anak mantu Papah bahagia," jelas Papah memberikan pengertian. Aku sangat sepaham dan sepemikiran dengan Papah. Beliau memang sangat amat mengenal dan mengertiku luar dalam.
Dari kaca spion aku bisa melihat Arda mengukir senyum tipis. "Bahagia gak selalu berlimpahan harta, Pah. Arda tahu kalau memang Adara terbiasa dengan kemewahan dan segala jenis fasiltas terbaik yang Papah dan Mamah berikan," dia terdiam sejenak, menatap lekat padaku lantas kembali melempar pandangannya pada Papah, "berikan Arda kepercayaan, bahwa dengan segala keterbatasan yang Arda miliki ini bisa membuat putri Mamah dan Papah bahagia." Dia menutupnya dengan sunggingan.
Entah apa yang saat ini tengah kurasakan. Antara bahagia haru bercampur kesal menjadi satu kesatuan. Aku tak mengerti dan tak bisa sejalan dengan pemikirannya. Tak ada satu pun suami yang bisa menerima dengan sukarela bantuan dari mertuanya. Itu adalah fakta yang harus kuakui. Mungkin dia merasa direndahkan serta tak bisa diandalkan untuk membahagiakan anak gadis orang. Ya singkatnya gengsi mungkin.
"Tapi, kan---"
Ucapan Mamah terpotong karena penuturan Arda. "Maaf Mah, Pah kalau Arda lancang memotong ucapan Mamah. Arda tahu kalau Arda cuma orang baru dalam hidup Adara. Tapi saat Adara sudah resmi menjadi istri Arda, semua beban hidup, tanggung jawab, serta kesalahan-kesalahan yang Adara perbuat dilimpahkan sepenuhnya pada Arda. Kelak di akhirat nanti Allah akan mempertanyakan kepemimpinan Arda. Cukup sekali saja Arda lalai dalam membawa biduk rumah tangga ini, Arda gak akan pernah mau mengulangi kesalahan yang sama lagi."
Baik aku, Papah, dan Mamah hanya mampu diam tak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku bisa merasakan kesungguhan dalam setiap kalimatnya, hanya saja aku tak yakin dengan diriku sendiri. Bisakah aku mengimbangi gaya hidupnya yang serba pas-pasan dan kelewat sederhana itu?
"Allah gak akan mempertanyakan berapa banyak jumlah nafkah yang mampu Arda berikan. Tapi Dia akan mempertanyakan seberapa besar tanggung jawab Arda sebagai kepala keluarga. Berikan Arda kepercayaan dan kesempatan untuk membuktikannya, Pah, Mah," sambungnya.
Papah menepikan sejenak mobil di pinggir jalan. Beliau menghadap ke arah Arda lantas memeluknya. "Papah percayakan Adara sama kamu, Nak. Papah yakin kamu bisa merubah putri Papah menjadi perempuan sekaligus istri yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Maafkan Papah karena sudah lancang ikut campur dengan kehidupan rumah tangga kalian. Papah hanya takut," ungkap Papah yang entah mengapa membuat linangan air mataku sudah mulai saling berjatuhan.
Aku tahu Papah pasti mengkhawatirkanku yang tak pernah hidup susah. Aku tahu itu. Tak ada satu pun orang tua yang bisa dengan lepas membiarkan anak-anaknya berkeliaran di dunia yang kejam ini, terlebih lagi bagi seorang ayah. Aku adalah putri satu-satunya, Papah selalu menuruti apa pun yang kumau. Kebahagiaanku selalu menjadi prioritasnya dan saat aku sudah resmi menjadi seorang istri, aku yakin beliau merasakan kekosongan serta kehampaan dalam hati.
Segala fasilitas, dari mulai hal-hal terkecil sampai yang besar sekalipun selalu beliau penuhi tanpa pernah ada kata penolakan ataupun cermahan panjang kali lebar. Berbeda dengan Mamah yang jika aku meminta uang jajan saja pasti akan beliau ceramahi habis-habisan. Kalau kupingku belum panas serta mulut beliau belum kebas tuh uang tak bisa landing dengan selamat dalam tas.
Mamah dan Papah memang sangat berbeda dalam memperlakukanku. Jika Papah melimpahkan kasih sayangnya melalui fasiltas-fasilitas yang kubutuhkan, lain halnya dengan Mamah yang selalu mencekokiku dengan omelan-omelannya. Aku tahu niat keduanya sama-sama baik, dan memang setiap individu selalu berbeda-beda dalam mengungkapkan kasih sayangnya.
Papah mengurai pelukannya. Menatap ke arahku lantas berucap, "Jadilah istri yang baik dan penurut, Nak. Sepenuhnya kamu sudah menjadi milik suami kamu, berbaktilah padanya. Papah selalu mendoakan yang terbaik untuk rumah tangga kalian berdua."
Jika tidak sedang berada dalam mobil pasti aku akan segera berhambur ke dalam pelukan hangatnya. Aku terlalu beruntung dikarunia orang-orang sebaik mereka. Ke mana saja aku selama ini? Selalu menganggap hidup ini tak adil dan kejam, padahal sudah sangat jelas bahwa akulah yang terlalu menyudutkan diri sebagai korban. Aku terlalu angkuh dan egois untuk bisa menyadari semua ini.
"Mau sampai kapan pun kamu akan tetap menjadi anak Papah dan Mamah. Tapi sekarang bakti kamu bukan hanya kepada kami, ada suami kamu yang lebih berhak untuk menerimanya. Mamah sayang sama Adara." Tanpa babibu lagi aku langsung berhambur ke dalam pelukan Mamah. Di balik mulut merecon super pedasnya ternyata menyimpan begitu besar kasih sayang. Entah harus dengan kata apa aku mengungkapkan rasa terima kasihku pada beliau.
Mamah mengurai pelukannya, menghapus cairan bening yang masih saja lancang keluar tanpa izin. "Kalau kalian perlu apa-apa, bilang saja sama Mamah dan Papah. Jangan sungkan," tutur Mamah dengan lirikan mata ke arah Arda.
Arda mengangguk singkat, lengkungan indah bulan sabit itu terbit di kedua sudut bibirnya. Bismillah, semoga kejadian ini bisa mendewasakan serta membuatku lebih bisa lagi menghargai Arda. Menjalani kehidupan rumah tangga tanpa beban dan tidak terlalu memusingkan perihal uang serta kekayaan. Memang tak mudah, tapi aku akan berusaha untuk mempermudah semuanya. Semoga Allah memperlancarnya.
~TBC~
Apakah Arda mampu untuk merealisasikan janjinya pada kedua orang tua Adara?🤔
Hayoh jawab hayoh😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top