42-Akad
"Semoga apa yang saat ini sudah kuputuskan adalah sebuah pilihan yang tepat dan tidak mengecewakan."
-Adara Mikhayla Siregar-
•••
Aku mematut diriku di depan cermin yang menampilkan hampir seluruh tubuh. Sebuah kebaya modern model ghamis dengan aksen brocade bermotif bunga-bunga kecil menempel apik di tubuh rampingku. Khimar yang menjuntai hingga menutupi dada ikut serta menjadi pelengkapnya, tak ketinggalan sebuah tiara berukuran kecil menghiasi kepala. Sapuan make up semakin menambah kadar kecantikanku. Aku memang sepercaya diri ini jika membahas perihal penampilan.
"Ngaca mulu dari tadi. Kalau kacanya pecah Mamah gak tangung jawab yah," ocehnya yang membuatku memutar bola mata malas. Beliau ini memang paling bisa membuat mood-ku anjlok. Setidaknya berikanlah aku ruang untuk sedikit berbahagia karena penampilanku yang lain dari hari biasanya.
"Serah Mamah ajalah," sahutku dengan tangan yang sudah bersiap untuk mengambil gawai yang berada di atas kasur.
Sebelum aku benar-benar melepas status lajang---bukan lajang sebenarnya tapi anggap saja aku masih lajang dan ini adalah pernikahan perdanaku---alangkah lebih baiknya mengambil beberapa jepretan dengan menggunakan lensa kamera dan tentunya no effect serta filter. Kecantikanku sudah paripurna tidak ada duanya.
Mamah menggeleng pelan sebelum akhirnya berucap, "Mamah kira kamu bakal kabur dan gak mau lanjutin pernikahan ini. Mamah takut kamu buat ulah lagi."
"Emang niatnya mau kaya gitu, Mah. Cuma Adara mikir lagi, kalau sampai Adara kabur pasti Mamah sama Papah bakal nistain Adara. Lebih parahnya bakal coret Adara dari akta keluarga. Kalau sampai itu terjadi, bisa-bisa Adara jadi gelandangan mendadak," candaku yang mendapat sentilan darinya.
"Alah bohong banget kamu. Pasti kamu gak mau kan pisah sama Nak Arda? Bilang saja jangan pake acara ngeles-ngelesan segala," cetusnya yang dengan enteng mendudukkan tubuh di kursi meja rias yang tadi sempat kutempati. Memoles bibir tipisnya dengan gincu berwarna merah. Mamahku ini memang kebanyakan gaya.
"Jangan duduk! Repot nanti kalau pakaian kamu sampai kusut. Mahal itu harganya," kata Mamah saat bokongku akan mendarat di pembaringan.
Setelah selesai dirias aku harus berdiri seperti patung pancoran. Dilarang keras untuk duduk. Sungguh sangat menyebalkan.
"Perhitungan banget sih Mamah jadi orang tua. Sudah kaya rentenir aja," sahutku kesal.
Uang Papah takkan habis hanya karena membeli kebaya yang kugunakan. Masih banyak di bank. Mamah terlalu norak dan berlebihan.
"Bukan masalah harganya, tapi Mamah gak mau penampilan kamu rusak hanya karena gaun pengantinnya yang lusuh dan lecek. Malu nanti Mamah. Mana temen-temen pengajian Mamah dan juga relasi Papah diundang semua lagi. Dikira Mamah sama Papah gak punya cukup modal nanti."
Aku mendengkus kesal mendengar jawaban Mamah yang begitu menjengkelkan. "Mamah malu kalau Adara tampil kurang maksimal? Terus apa kabar sama tampang mantu Mamah yang pas-pasan? Mamah gak malu punya mantu kaya dia?"
Mamah langsung bangkit dari duduknya menjewer kasar telingaku. Serius deh untuk kalimat barusan aku keceplosan. Tak ada maksud sedikit pun untuk menghina Arda. Beneran aku tidak bohong.
"Punya mulut kok gak ada remnya banget sih, Adara. Kalau sampai kedengaran sama mertua dan suami kamu gimana? Malu-maluin banget tahu gak. Mulut kamu memang harus Mamah sekolahin lagi." Aku meringis saat Mamah melepaskannya dengan begitu tak manusiawi. Rasanya sangat sakit bercampur panas.
"Keceplosan itu, Mah. Beneran deh Adara lagi nyoba ikhlas buat nerima Arda. Gak bakal buat ulah lagi," kataku penuh kesungguhan walaupun sebenarnya masih ada sedikit keraguan, tapi aku tak ingin mempermasalahkan akan hal itu. Otakku suka ngadat kalau membahas hal yang demikian. Urusan cinta dan hati memang memusingkan.
Mamah menatap horor ke arahku. "Awas kalau sampai kamu macam-macam lagi. Mamah akan benar-benar coret nama kamu dari akta keluarga," ancamnya yang langsung membuatku bergidik ngeri. Jangan sampai hal itu terjadi. Mau tinggal di mana aku nanti?
Aku mengembuskan napas pelan. "Insya Allah Adara bakal coba buat buka hati dan jalanin pernikahan ini. Tapi kalau di pertengahan jalan Adara nyerah, Mamah jangan nistain Adara yah," ucapku dengan dibarengi cengiran tanpa dosa.
Tak ada satu pun manusia yang tahu akan kelangsungan nasibnya di masa depan. Begitupun denganku, apa yang baru saja kukatakan hanya untuk berjaga-jaga dan tidak bermaksud untuk mendahului takdir-Nya.
Mamah menyentil pelan keningku. "Kalau mau ngomong saring dulu sana. Jangan asal jeplak kaya gitu, kalau ada Malaikat lewat terus aminin ucapan kamu gimana? Doanya yang baik-baik saja kan bisa!" cerocosnya.
Dalam keadaan akan menghadapi ijab kobul saja masih sempat menerima kultum dadakan. Memang yah jiwa ustazah Mamah sudah mendarah daging dan tak bisa ditinggalkan.
"Mau nunggu di sini apa ikut ke bawah nyaksiin Arda ngucap akad?" Pertanyaan itu aku dapatkan dari Tante Annisa yang baru saja muncul dari balik pintu.
Acara pernikahan digelar di kediaman Mamah dan Papah, baik acara akad maupun resepsinya akan diadakan secara serempak pada hari itu juga. Entah berapa lama Mamah mempersiapkan semua ini. Beliau memang manusia terniat sepanjang masa. Tak sia-sia usahanya menggunakan jasa wedding planner profesional sekelas mereka. Hasilnya sangat memuaskan. Bahkan baju pengantin yang aku dan Arda kenakan pun sudah tersedia, tinggal pakai saja. Aku curiga Mamah memang sudah mempersiapkan semuanya secara matang tanpa sepengetahuanku.
Aku melirik Mamah meminta pertolongan. Bingung. Aku tak tahu harus menjawab apa. "Ya sudahlah mending kamu turun saja ke bawah, duduk berdampingan sama Nak Arda. Orang kalian sudah halal kok, ini hanya untuk dokumentasi saja." Sahutan itu berasal dari bibir bergincu milik Mamah.
"Adara ngikut gimana baiknya ajalah," putusku yang disambut senyum semringah Mamah dan juga Tante Annisa. Kedua wanita yang usianya hampir berdempetan itu langsung menggandeng tanganku. Mamah di sebelah kanan dan Tante Annisa di sebelah kiri.
Mendadak debar jantungku berdegup dengan begitu kencang. Bahkan perasaanku sudah campur aduk dibuatnya, saling tumpang-tindih dan membuat suasana hatiku tak keruan. Ada apa ini? Kenapa bisa semendebarkan ini. Padahal tadi aku biasa-biasa saja, bahkan masih sempat-sempatnya adu mulut dengan Mamah. Tapi kenapa sekarang lain?
Aku yang biasanya berjalan dengan tegak dan dagu terangkat, mendadak ciut saat melihat ramainya para tamu undangan yang menatap ke arahku. Aku hanya mampu menunduk dalam dan menatap lantai yang sudah dilapisi karpet berwarna merah terang. Mendadak aku gugup dan tak bisa berjalan dengan normal. Gerak tungkaiku pun kian melambat, seperti tak ingin segera sampai ke tempat tujuan.
Mamah mendudukkanku tepat di samping Arda yang sudah rapi dengan balutan pakaian pernikahan khas untuk mempelai laki-laki. Dari sudut mata aku bisa melihat kalau dia sempat mencuri pandang ke arahku. Aku tahu kalau aku cantik, tapi tak usah dilihat sampai sebegitunya juga kali. Bisa malu kalau sampai para tamu undangan tahu.
Bapak penghulu mulai mengeluarkan suaranya, aku tak bisa menangkap dengan jelas apa yang tengah beliau sampaikan. Tapi yang jelas beliau tengah membuka acara akad nikah ini. Beliau meminta Papah dan Arda untuk saling berjabatan. Deru napasku semakin memburu dengan cepat, takut kalau Arda salah sebut nama dan melakukan kesalahan-kesalahan lain yang di luar dugaan.
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq." Aku membatu tak percaya saat dengan lantang Arda mengucapkan kobul. Darahku serasa mengalir dengan begitu deras dan gejolak dalam dadaku memberontak hebat. Dia menggunakan bahasa Arab?
"SAH?"
"SAH!"
Satu kata sakral itu menggema ke setiap sudut ruangan. Aku tak percaya bahwa aku akan menikah dengan lelaki seperti Arda. Semoga apa yang saat ini sudah kuputuskan adalah sebuah pilihan yang tepat dan tidak mengecewakan.
"Silakan salim sama suaminya, Nak Adara," kata pak penghulu dengan senyum menyebalkan. Aku hanya diam menatap Papah dan Arda secara bergantian. Mana berani aku melakukan hal semacam itu di depan khalayak ramai.
"Gak usah Pak Penghulu," sahut Arda yang membuatku sedikit lega. Sepertinya dia tahu kegelisahan yang tengah kurasakan.
Bapak penghulu itu mengangguk singkat dengan masih diiringi senyum misterius. Sedangkan para tamu undangan sudah bersorak-sorak tak jelas di sana. Malu sekali rasanya. Kalau tahu akan seperti ini lebih baik aku memilih diam di kamar dan menyaksikan Arda di depan layar monitor yang tersambung pada CCTV saja.
Aku dan Arda diminta untuk menandatangi beberapa berkas pernikahan, yang sebenarnya sudah dari dulu kita miliki hanya saja buku yang terdiri dari dua eksemplar itu belum pernah kusentuh. Tapi sekarang jari-jariku sudah mulai berkhianat dan dengan lancang menandatanginya tanpa beban.
"Kamu ada wudu Adara?" tanya Arda dengan suara pelan. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.
Tadi sebelum aku dirias habis-habisan Tante Annisa memintaku untuk mengambil air wudu terlebih dahulu, dan aku pun mengikuti titah beliau tanpa banyak tanya serta protes. Takut kena damprat Mamah.
"Kita salat sunnah dua rakaat setelah akad," katanya dengan sedikit senyum tipis. Salat apa yang Arda maksud? Memangnya ada salat semacam itu? Kenapa aku baru mendengarnya?
Arda pamit kepada Papah, Om Arga, pak penghulu, dan juga para saksi untuk membawaku sedikit melipir ke arah mushola yang berada di sayap kanan rumah. Dari sini aku bisa melihat para tamu undangan yang saling berseliweran, mungkin mereka pun bisa melihat kegiatanku dan Arda yang akan melaksanakan salat dua rakaat ini.
"Caranya gimana? Niatnya kaya apa?" tanyaku saat Arda sudah berdiri tegak di hadapanku. Sudah tahu istrinya tak pandai agama, ya diajarin dulu kek tata caranya. Jangan main asal seperti ini.
"Gerakan dan bacaannya sama kaya salat biasa, cuma niatnya saja yang beda. Ushalli sunnatan nikaahi rak'ataini ba'diatan lillahi ta'ala. Allahu Akbar," beritahunya.
"Pelan-pelan dong," protesku. Mana bisa aku menghapal niat itu dalam keadaan jantung yang sudah ketar-ketir tak tahu diri. Belum lagi rasa gugup yang tiba-tiba saja muncul semakin menambah kacau dan membuat kerja otakku sedikit lambat.
Arda kembali membacanya dengan perlahan agar aku bisa mengikuti gerak bibirnya. Perlu sekitar lima kali pengulangan sampai akhirnya aku bisa melafadzkannya dengan baik dan benar.
Selama salat berlangsung aku sama sekali tak mendapatkan ke-khusuk-an, pikiranku sudah bercabang ke mana-mana. Memikirkan urusan dunia yang takkan ada habisnya. Sampai tanpa sadar Arda sudah mengucapkan kalimat salam. Aku diam menunggu dia menyelesaikan sesi doa singkat, dan setelah itu dia langsung menghadap ke arahku, meletakkan tangan kanan tepat di atas ubun-ubunku dan tangan lainnya dia tengadahkan ke atas.
"Allahumma Innii Asaluka Min Khoiriha wa Khoiri Ma Jabaltaha Alaihi. Wa Audzu bika Min Syarri wa Syarri Ma Jabaltaha Alaih. Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan dari apa yang Engkau berikan kepadanya serta Aku berlindung kepada-Mu daripada keburukannya dan keburukan yang Engkau berikan kepadanya." Aku termangu mendengar doa yang baru saja Arda ucapkan.
Bibirku kelu walau hanya untuk sebatas mengucapkan kata "Aamiin" saja. Ada apa denganku? Kenapa bisa sampai mati kutu seperti ini?
~TBC~
Sudah sah ni yah😂
Ayo siapa yang penasaran sama lanjutannya? Kira-kira berulah lagi gak yah Adaranya🤔
Oh iya picture di atas cuma sekadar gambaran baju pengantin Arda sama Adara aja yah man teman. Terima kasih sudah membaca dan sampai bertemu di bab selanjutnya😄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top