41-Keputusan

"Sungguh aku ini manusia kufur nikmat yang sudah terpedaya oleh keindahan dunia. Masih adakah waktu dan kesempatan untuk memperbaiki hubunganku dengan-Nya?"

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Di saat hati ini mulai bimbang dan ragu untuk memutuskan suatu hal, tak ada siapa pun yang bisa kujadikan sebagai sandaran. Semuanya kupendam sendiri dan bergelut dengan segala asumsi yang saling tumpang-tindih memenuhi kepala. Bukankah ini yang selalu kuinginkan dan perjuangkan mati-matian? Tapi kenapa pada saat semesta mengizinkan hatiku malah dilanda kegundahan.

Bayangan akan segala bentuk kelakuan burukku pada Arda saling berseliweran dan sangat amat mengganggu pikiran. Namun detik berikutnya kebaikan-kebaikan Ardalah yang terbayang dalam angan dan ingatan. Dua hal yang saling berlainan itu kian gencar dan membuat perasaanku semakin kacau tak keruan. Entah apa yang harus kuputuskan. Berpisah darinya atau tetap bertahan di sisinya?

Seharusnya aku kembali mengukuhkan niat dan tujuan awal. Aku sudah lancang menggunakan hati serta perasaan hingga hal-hal sepele semacam ini saja kupikirkan. Sungguh saat ini otakku tak bisa berpikir dengan jernih. Rasanya terlalu rumit dan sangat sulit. Aku tak ingin ada di posisi sekarang yang serba salah dan serba kebingunan. Terlalu banyak yang menggangu pikiran, hingga tak sadar membuat kepalaku pening tak ketulungan.

Akalku menentang dan meminta untuk mengakhiri semua ini, tapi hatiku dilanda kebimbangan. Perpisahan sudah di depan mata bahkan Arda sendiri yang menawarkannya. Tapi kenapa di saat jalan itu terbuka dengan sangat lebar, kegundahan hati datang menghadang. Aku tak pernah dipusingkan dengan hal-hal semacam ini, tapi sekarang aku harus terlibat jauh di dalamnya. Masalah hati dan perasaan memang membingungkan.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar dan menampilkan wajah semringah Mamah mengalihkan fokusku yang sudah berlarian ke mana-mana. Dengan tanpa izin beliau duduk di tengah-tengah aku dan Arda yang saling bungkam.

"Lihat deh Adara, Nak Arda," ocehnya dengan tangan sibuk memegangi gawai. Dari layar berukuran lumayan besar itu terlihat bagaimana indah, megah, dan mewahnya kediaman kedua orang tuaku yang sudah disulap dan dirombak dengan sedemikian rupa.

Aku dan Arda saling mencuri pandang dan berdialog melalui sorot mata. Aku tak mungkin tega menghancurkan rona bahagia di wajah Mamah, begitu pula dengan Arda. Jahat sekali jika aku sampai hati berbuat hal seperti itu. Selama aku menyandang status sebagai keturunan beliau, tak pernah sedikit pun aku membuatnya bangga serta bahagia.

Mungkinkah ini cara Allah agar aku bisa berlapang dada menerima kehadiran Arda? Dia mengirimkan Mamah dengan wajah semringah bahagia. Jika memang dengan berlangsungnya pernikahan ulang ini membuat rona cerah di wajah beliau semakin merekah indah, aku akan melakukannya. Biarkan orang tuaku yang menjadi alasan utama tergelarnya pernikahan ini.

Insya Allah ini yang terbaik untukku. Sudah cukup aku mengecewakan beliau. Sekarang saatnya untukku membalas budi baik beliau. Meskipun aku tahu ini tidak ada apa-apanya. Semoga apa yang saat ini kuputuskan adalah yang terbaik.

"Mamah gak sabar pengin cepat-cepat besok. Gak sia-sia Mamah sewa jasa wedding planner profesional sekelas mereka, kerjanya bagus, rapi, dan cepat," imbuhnya masih dengan senyum mengembang. Hatiku sakit seperti dihujam ribuan pedang. Sangat amat menyesakkan.

"Kalian berdua harus istirahat yang cukup biar besok pas bangun seger dan gak kecapean. Mamah pinjem selimut sama bantalnya. Ada kan?" tuturnya dengan diakhiri sebuah pertanyaan.

"Mamah tidur di sini saja sama Adara biar Arda yang tidur di sofa," cetus Arda yang langsung Mamah balas dengan gelengan.

"Gak papa kalian tidur saja di sini. Mamah gak mau ganggu kalian," katanya dengan diiringi sebuah kekehan. Sangat terlihat jelas bahwa beliau tengah berbunga-bunga bahagia.

"Tapi kan, Mah---" Arda masih berusaha untuk membujuk Mamah. Aku tahu dia tak enak hati pada Mamah. Dia sangat menghormati serta memperlakukan Tante Annisa dengan baik, dan kurasa dia pun akan memperlakukan Mamah sebagaimana dia memperlakukan ibunya.

"Jangan sungkan kalau sama Mamah, anggap Mamah kaya Umi kamu sendiri yah, Nak," ujar Mamah penuh kelembutan dan ketulusan.

Arda mengukir senyum tipis. "Karena Arda sudah menganggap Mamah seperti Umi Arda sendiri makanya Arda gak akan membiarkan Mamah tidur hanya beralaskan sofa saja. Mamah tidur di sini yah," tolaknya sopan.

Aku saja yang merupakan anak kandung beliau tak pernah berlaku manis sama seperti yang Arda lakukan. Aku merasa tertampar melihat interaksi Arda dan Mamah. Mereka tidak memiliki hubungan darah tapi rasa hormat yang Arda tunjukkan sungguh membuatku iri. Aku tak pernah memperlakukan Mamah sebaik yang Arda lakukan sekarang.

"Kamu ini bisa banget sih bikin Mamah seneng, tapi Mamah gak mau ah. Kalian itu suami istri, mana ada ceritanya tidur pisah ranjang. Itu gak baik." Penuturan Mamah sangat mengusikku. Apa jadinya jika beliau tahu bagaimana kelakuan burukku yang selalu menyuruh Arda untuk tidur di sofa. Aku tak pernah mengizinkan dia untuk tidur di kamar yang sama denganku.

"Sudah ah Mamah gak mau ganggu kalian. Di mana bantal sama selimutnya?" sambung Mamah yang sudah bangkit dari duduknya.

Aku menggerakkan tungkai menuju almari, mencari benda yang Mamah pinta lantas menyerahkannya pada beliau. Mamah itu keras kepala, sama sepertiku. Sekali tidak ya akan tetap tidak. Sangat berkemungkinan kecil membuat beliau berubah pikiran.

"Kamu beruntung karena mendapatkan suami seperti, Nak Arda. Dia sangat memuliakan ibunya dan Mamah yakin dia juga bisa memperlakukan kamu dengan baik. Jangan sia-siakan dia dan Mamah harap Allah segera menumbuhkan perasaan cinta di hati kamu."

Itu adalah kalimat terakhir yang beliau utarakan saat aku mengantarnya ke ambang pintu. Perkataan Mamah malah semakin membuatku merasa bersalah. Beliau itu seperti paranormal yang memiliki keahlian bisa membaca pikiran. Kepekaan Mamah memang sangat pantas untuk kuacungi jempol.

"Arda," panggilku meminta sedikit perhatian darinya yang tengah sibuk berkomat-kamit ria di atas pembaringan. Entah apa yang tengah dia lakukan dengan kedua netra terpejam dan juga jari-jarinya yang sengaja dia gerak-gerakan. Zikir mungkin?

Kedua netranya terbuka dan senyum tipis terpatri apik di sana. "Apa, Dar?" selorohnya. Tanpa kata aku langsung duduk di hadapan dia dengan kaki yang sengaja kulipat.

"Ada yang mau gue omongin sama lo," ungkapku basa-basi dan berusaha untuk menetralkan detak jantung yang sudah bekerja di luar kendali. Aku tak pernah membuang-buang waktu hanya untuk mencairkan keadaan, tapi entah mengapa saat ini aku memerlukan pemanasan agar bibirku bisa berkata dengan lancar.

Dia terkekeh pelan sebelum berujar, "Kamu kenapa sih, Dar kok aneh banget. Biasanya juga ceplas-ceplos dan gak banyak basa-basi kaya gini."

Aku mendengus tanpa sadar. Tidak tahukah dia apa yang saat ini tengah kurasakan? Sudah tahu aku sedang berusaha untuk meredam gengsi dan juga ego. Tapi dengan entengnya dia malah berkata seperti itu.

"Gue serius Arda." Aku berkata dengan nada tak santai. Dia benar-benar menyebalkan dan selalu membuatku naik pitam.

"Iya ... iya ... Apa Adara?" sahutnya dengan memasang tampang serius.

Menarik napas panjang lalu mengembuskannya secara perlahan. Hal itu kulakukan secara berulang-ulang, berharap dengan cara ini bisa sedikit menetralkan irama jantungku yang semakin berulah tak tahu diri.

"Gue mau lanjutin pernikahan kita."

Akhirnya satu kalimat yang terdiri dari lima suku kata itu bisa keluar lancar tanpa hambatan. Aku tak peduli dengan respons yang akan Arda berikan. Yang ada dalam otakku sekarang hanyalah kedua orang tuaku. Mungkin dengan cara ini aku bisa menebus semua kesalahan yang telah kuperbuat. Anggap saja sebagai alat penebus dosa.

Untuk perihal hati yang masih enggan menerima Arda sebagai suami biarkan dipikirkan nanti. Aku pun sudah muak dan capek dengan diriku yang terlalu banyak drama. Mungkin ini bisa menjadi batu loncatan agar aku bisa lebih mendekatkan diri pada Sang Illahi. Hanya kebaikanlah yang kuharapkan saat ini.

Rona terkejut sangat kentara sekali di wajah pas-pasan milik Arda. Aku sudah menyiapkan hati dan mental jika dia akan menertawakanku habis-habisan. Entah harus kutaruh di mana mukaku ini. Di saat dia ingin menyerah aku justru ingin memperjuangkan, tapi di saat dia sedang berjuang aku malah mati-matian menentang.

Memang benar Allah itu maha membolak-balikkan hati manusia, dengan satu entakan saja Dia bisa merubah segalanya. Hal yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin karena kuasa-Nya. Ke mana saja aku selama ini hingga tak pernah menyadari kemahabesaran-Nya?

Aku memang hamba lalai yang diliputi dengan kesombongan hati. Merasa tak membutuhkan campur tangan-Nya, padahal aku hidup di atas bumi yang Dia ciptakan. Bahkan limpahan rezeki yang kunikmati berasal dari uluran tangan-Nya. Sungguh aku ini manusia kufur nikmat yang sudah terpedaya oleh keindahan dunia. Masih adakah waktu dan kesempatan untuk memperbaiki hubunganku dengan-Nya?

Sebuah anggukan singkat Arda berikan, bahkan tarikan di kedua sudut bibirnya pun sudah sangat mewakili. "Kita perbaiki semuanya dan mulai buka lembaran baru."

~TBC~

Bagaimana? Menurut kalian Adara beneran taubat atau cuma pura-pura taubat doang?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top