36-Tak Sesuai Harapan

"Akhirnya setelah hidup merana dan tersiksa bersama dia, Semesta mengizinkanku untuk merasakan indahnya kebahagiaan karena terbebas dari kungkungan pernikahan tak diinginkan."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Sepanjang perjalanan Mamah tak sedikit pun membuka suara, aku merasa sedikit bersalah pada beliau sampai membuatnya menangis dan enggan untuk memarahiku lagi. Lebih baik melihat Mamah yang berkoar-koar menyuarakan kekesalan, dibandingkan harus mendiamkanku seperti sekarang. Aku pun tak tahu kendaraan beroda empat ini akan membawaku pergi ke mana. Terserah Mamah sajalah, aku juga yang salah dalam hal ini.

"Turun!" Aku bergidik ngeri saat mendengar nada suara tegasnya. Ternyata beliau membawaku ke rumah, tempat aku berteduh bersama laki-laki pilihannya.

Aku hanya menurut saja, bingung juga harus berkomentar apa. Melangkahkan kaki dengan tidak semangat dan kepala menunduk dalam. Aku sudah seperti terdakwa yang akan melaksanakaan persidangan.

"Lho ada apa, Mah kok balik lagi?" Pertanyaan itu bersumber dari mulut Arda. Mungkin dia terkejut melihat kedatangan kami.

"Masuk Mamah perlu bicara sama kalian," katanya dengan tanpa permisi langsung mendaratkan bokong di sofa yang telah tersedia.

"Perlu Arda buatkan minuman atau bawakan makanan, Mah?" tawarnya basa-basi, yang mendapatkan gelengan singkat dari Mamah.

Sudah tahu keadaan sedang genting seperti ini, tapi masih saja jiwa pembantunya keluar. Dia memang sangat cocok jika bekerja menjadi seorang asisten rumah tangga, bukan malah menjadi majikan seperti sekarang.

Aku dan Arda duduk saling berdampingan sedangkan Mamah duduk di depan sana, hanya terhalang meja saja yang menjadi sekat di antara kami bertiga. Wajahnya begitu datar dan menyiratkan kemarahan. Aku semakin menunduk takut dibuatnya.

"Tadi katanya kamu mau pergi, tapi kenapa sekarang malah balik lagi? Sama Mamah lagi," cetusnya dengan suara rendah yang mungkin hanya bisa kudengar seorang diri saja.

"Diem lo," desisku dengan mata menyala tajam ke arahnya. Bagaimana kalau sampai Mamah mendengar pertanyaan konyol yang dia lontarkan. Bisa dijadikan daging cincang aku.

"Arda kenapa kamu mengizinkan Adara keluyuran sendirian?" Pertanyaan itu beliau lontarkan pada Arda, sang menantu kesayangan.

Pertanyaan macam apa itu. Tak berbobot sama sekali. Aku ini manusia merdeka yang bebas pergi ke mana saja tanpa harus ada pengawasan dari siapa pun, apalagi dari makhluk sejenis Arda. Memangnya aku ini buronan apa? Heh! Sangat menyebalkan.

Arda melirik sekilas ke arahku dengan sorot mata penuh tanya, aku hanya membalasnya dengan tatapan tajam penuh ancaman. Awas saja kalau sampai dia berbicara jujur dan blak-blakan tentang kelakuanku yang selalu memperlakukannya dengan tidak wajar.

"Keluyuran bagaimana maksud Mamah?" Lelaki itu malah kembali melontarkan sebuah pertanyaan unfaedah-nya. Kalau ditanya tuh dijawab bukan malah ngeluarin pertanyaan balik.

Mamah menghela napas singkat sebelum berucap, "Memangnya kamu gak tahu kalau selama ini Adara masih suka keluyuran bareng teman-teman prianya?"

Arda kembali melihat ke arahku. Aku memberi kode agar dia tak berbicara macam-macam pada Mamah. Awas saja kalau sampai dia berbicara yang tidak-tidak dan membuatku semakin berada di ujung tanduk.

"Tahu, Mah memangnya kenapa?"

Dasar laki-laki minim rasa peka. Kenapa masih juga bertanya dan hal itu malah semakin membahayakanku dan juga dirinya. Dia itu kelewat polos atau otaknya memang rada kurang berfungsi sih? Mamah semakin berani memperlihatkan kemarahannya padaku.

Tamatlah riwayatmu Adara! Ampun Mah. Ampun!

"Kalau kamu tahu kenapa masih dikasih izin?" geramnya dengan gigi saling bergemelatuk. Kalau aku bisa menghentikan waktu, sudah pasti akan kuhentikan sekarang juga. Sayangnya aku tak memiliki kemampuan semacam itu.

Arda hanya diam saja. Aku tahu dia bingung harus menjawab apa. Di satu sisi  dia tak ingin mengibuli orang tuaku, tapi di sisi lain dia juga tak ingin aku kena damprat Mamah habis-habisan. Ya mungkin saja begitu. Aku harap saat ini dia mampu untuk diajak bekerja sama.

Pilihannya sederhana saja, jika dia berkata jujur apa adanya maka secara tidak langsung dia menerjunkanku pada amukan Mamah. Tapi jika dia memilih berkata dusta dan menutupi semuanya, maka secara otomatis dia telah menyelamatkanku, dan tentunya aku akan sangat amat berterima kasih padanya.

"Jawab! Kenapa kalian malah saling berpandangan. Awas saja kalau sampai kalian membohongi Mamah!" ancamnya.

"Arda gak ada kuasa untuk melarangnya, Mah lagi pula selama itu masih dalam tahap wajar, gak papa kok," katanya begitu santai tanpa beban. Dia tidak tahu saja di sini aku sudah duduk dengan tidak tenang.

Mamah menggeleng secara berulang-ulang. Beliau pasti semakin tak mengerti dengan kehidupan rumah tangga kami yang dipenuhi dengan drama dan kebohongan yang tak berkesudahan. Ya siapa suruh pakai acara jodoh-jodohin aku segala ya jadi begini kan ceritanya.

"Adara itu istri kamu. Memang sudah menjadi kewenangan kamu untuk mengizinkan ataupun melarang dia. Apalagi kalau istri kamu terang-terangan main belakang." Omongan Mamah benar-benar pedas dan sangat memojokan. Nistakan saja anak gadismu ini Mah.

"Istri ... istri ... cukup Mah! Adara itu masih lajang, belum punya pasangan apalagi suami." Aku menyahut dengan penuh keberanian.

Sebenarnya sih takut, tapi aku juga tak mau terus jadi tersangka. Jelas-jelas di sini akulah yang menjadi korbannya.

"Lajang? Terus apa kabar sama janin yang ada dalam perut kamu itu?" Aku membisu dibuatnya.

Mamah memang paling jago membuatku mati kutu. Janin apaan lagi. Korek-korek sini perut Adara Mah.

"Serah Mamah ajalah. Serah! Gak peduli." Akhirnya hanya kata itulah yang bisa kukeluarkan.

"Sekarang Mamah minta kalian untuk mengakhiri pernikahan kontrak kalian---"

Aku langsung bersorak kegirangan dan dengan cepat memotong perkataan Mamah, "Kenapa gak dari dulu aja sih, Mah ngomong kaya gini." Aku senang bukan kepalang. Akhirnya beban yang selama ini kutanggung akan segera hilang. Terima kasih Mamahku sayang.

"Kalau orang tua lagi ngomong, jangan asal dipotong. Dengerin dulu sampai selesai," geramnya yang kubalas dengan cengiran.

Tidak usah Mamah teruskan, aku tahu pasti Mamah menyuruhku untuk cepat-cepat ke pengadilan untuk mengurus berkas-berkas perceraian kan? Iya dong. Pasti itu.

"Mamah sudah tahu?" Arda membeo dengan tampang shock-nya.

Makanya kalau jadi orang update dong, biar tak ketinggalan info. Dasar kudet!

"Sudah." Ini adalah jawaban yang kuberikan pada pertanyaan konyol Arda.

Akhirnya setelah hidup merana dan tersiksa bersama dia, Semesta mengizinkanku untuk merasakan indahnya kebahagiaan karena terbebas dari kungkungan pernikahan tak diinginkan.

"Kenapa kamu gak pernah cerita sama aku, Adara?" tuntutnya tak tahu malu.

Aduh nih laki satu bibirnya kaya perempuan juga ternyata. Buat apa juga aku membicarakan hal semacam itu padanya. Hanya buang-buang waktu dan energi saja.

"Mau gue kasih tahu lo kek, gak kek. Gak ngaruh juga karena ujungnya pernikahan kita akan kelar juga," terangku ogah-ogahan.

Arda menghela napas singkat. "Kamu sama sekali gak mau mempertimbangkan tawaran aku, Dar?"

Tolonglah jangan membuat drama di depan Mamah. Apa dia tidak mempunyai urat malu? Mengemis cinta seorang perempuan sepertiku. Masih banyak perempuan di luaran sana yang mau menerima dia dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dan aku tak termasuk dalam deretan para perempuan itu.

Aku ingin membebaskan dia, agar tidak lagi terbebani oleh dosa-dosa yang telah kuperbuat selama ini. Jika dia terus berada di sampingku, aku hanya akan membebani langkahnya dalam urusan akhirat. Aku tidak mau. Cukup aku saja. Ini dosaku, kesalahanku, dan tidak sepantasnya Arda yang menanggung semua ini. Aku harus tahu diri.

"Gak!" singkatku cepat. Aku tak ingin membuat dia banyak berharap, yang akhirnya hanya akan membuat kesakitan di hatinya. Aku sudah cukup kejam selama ini dalam memperlakukannya, dan aku tak ingin memperbesar penderitaannya.

Mamah berdehem pelan, sepertinya beliau tengah mencari perhatian agar aku dan Arda kembali fokus pada perbincangan. Aku kembali memfokuskan pandangan pada beliau. "Mamah ingin kalian mengakhiri kontrak pernikahan yang telah kalian sepakati. Ini perintah yang gak bisa kalian tolak ataupun bantah."

Aku menyunggingkan senyum lebar pada Mamahku yang sangat pengertian ini. "Dengan senang hati Adara akan mengikuti titah Mamah." Aku melirik penuh rasa iba pada Arda yang begitu menampakan wajah muram suram. Seharusnya dia bahagia sepertiku bukan malah seperti ini.

"Persiapkan diri kalian, besok kita akan menggelar akad ulang sekalian resepsi pernikahan."

Boom! Aku terkejut bukan kepalang dengan apa yang baru saja Mamah utarakan. Apakah beliau tidak salah memilih kosakata? Bawa aku ke dokter THT sekarang. Aku ingin memeriksakan telingaku yang sepertinya sudah tidak berfungsi dengan baik.

~TBC~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top