3-Tak Bisa Menolak
"Cobalah sekali-kali tuh otak sama hati disirami materi rohani, biar setan-setan pada minggat semua."
•••
Aku sudah bersiap untuk pergi hangout bersama temanku, hanya sekadar berkeliling Mall dan belanja untuk menghabiskan uang. Sangat menyenangkan bukan? Tentu saja.
Dikaruniai wajah di atas standar harus kumanfaatkan dengan sebaik mungkin. Salah satu caranya dengan menggaet banyak teman pria, hanya untuk menghabiskan waktu luang bersama.
Bermodalkan dress selutut dengan model rok mengembang, sepatu tinggi, dan juga tas tangan yang semakin memaksimalkan penampilan. Tak ketinggalan rambut hitamku yang dibiarkan tergerai dengan jepit rambut di sebelah kanan.
"Mau ke mana kamu?" todong Mamah saat aku baru saja menginjakkan kaki di tangga terakhir. Tidak bisakah beliau melihat bahwa aku sudah tampil maksimal dan siap untuk hangout?
"Biasa, Mah," jawabku acuh tak acuh. Helaan napas keluar dari bibir Mamah yang sudah dipoles gincu berwarna merah.
"Gak bisa gitu semalem saja kamu diam di rumah?" sindirnya.
"Sudah terlanjur janji, Mah paling bentar lagi juga orangnya datang." Sebisa mungkin aku memberi beliau penjelasan.
"Apa kamu lupa hari ini hari apa?" tanyanya.
Aku memutar bola mata malas. "Hari Jumat, lebih tepatnya malam Sabtu," terangku ogah-ogahan. Apaan pula beliau bertanya seperti itu? Tak jelas sekali.
Tanpa permisi Mamah menjewer kuping sebelah kananku hingga terasa panas dan mungkin juga memerah. "Sa... sa... sakit... Mah...." Aku meringis agar beliau segera menyingkirkan tangannya jauh-jauh.
"Umur masih muda tapi penyakit pikun kok sudah menahun. Malam ini kita ada kajian rutin di rumah. Kamu gak boleh pergi ke mana-mana." Aku menampilkan cengiran tanpa dosa sembari mengelus telinga yang tadi menjadi sasaran empuk Mamahku tercinta.
Setiap perdua minggu sekali, lebih tepatnya Jumat malam Mamah selalu mengadakan pengajian rutin yang biasanya dihadiri oleh tetangga dan juga anak-anak yatim. Kegiatan ini sudah sekitar dua bulan belakangan ini beliau langsungkan, dan biasanya aku bisa menghindar dengan cara pergi dari pagi hingga tengah malam. Tapi sekarang mendadak aku hilang ingatan.
"Ya sudah sih, Mah kalau emang mau ngadain siraman rohani silakan aja. Gak usah pake acara ngajak-ngajak Adara segala." Memang dasar mulutku yang tidak bisa dikendalikan, ngomong sama orang tua saja ceplas-ceplos tanpa saringan.
Mamah memasang wajah sangar dengan kedua tangan berkacak pinggang. Sejak kapan Mamahku yang berhati lembut dan penuh kesabaran ini meradang menghadapiku yang kelewat tidak sopan dan terkesan serampangan kurang ajar.
"Sepanjang Mamah melakukan acara kajian kamu gak pernah ada. Cobalah sekali-kali tuh otak sama hati disirami materi rohani, biar setan-setan pada minggat semua. Jangan malah pergi jalan-jalan gak jelas. Ngabisin uang saja kerjaan kamu!" jelasnya yang membuatku memberengut sebal.
Aku dan Mamah memang berbeda pandangan dalam hal beragama. Kalau aku cukup dengan mengamalkan segala jenis ibadah yang wajib, lain halnya dengan beliau yang justru menjalankan sampai ke sunnah-sunnahnya. Beliau itu taat pada aturan, tapi sayang saja beliau harus mendapatkan anak sepertiku yang jauh dari kata anak baik dan penurut.
"Batalin acara kamu, naik ke atas Mamah sudah siapkan pakaian yang lebih layak untuk kamu pakai," sambungnya yang membuatku mendengus tak suka.
Mamah itu tak pernah bosan dan lelah mengingatkanku untuk menutup aurat sebagaimana mestinya seorang wanita Muslim. Tapi apalah dayaku yang imannya kendor dan tak pernah naik-naik ini. Selalu ada saja alasan yang kujadikan sebagai tumbal agar bisa menghindar.
"Gak mau ah. Paling Mamah nyuruh Adara pake baju modelan mukena. Ih gak ada yah!" Aku menolak mentah-mentah titahnya.
Pasti tuh baju panas dan akan membuatku kegerahan, belum lagi modelnya yang monoton dan tak cocok untuk anak muda sepertiku. Sorry to say saja aku masih muda dan belum siap untuk memakai baju sejenis itu.
"Sekali saja nurut sama Mamah bisa gak sih?"
Tidak bisa Mamah. Anakmu ini bukan ukhti-ukhti shalihah yang bersedia mengikuti syariat agama dengan baik dan benar. Salat saja masih perlu diingatkan apalagi memakai baju gombrong yang kelewatan zaman. Big No.
"Gak ada gitu-gituan. Kalau emang Mamah mau ngadain acara pengajian ya sudah silakan. Adara gak bakal ikut campur dan mending ngerem aja di kamar," tolakku dengan kepala menggeleng keras dan jari telunjuk yang sengaja kugerak-gerakkan. Aku sudah mengambil ancang-ancang untuk melesatkan diri masuk ke dalam kamar.
Mamah mengembuskan napas lelahnya, memasang wajah penuh permohonan. Ah, Mamah memang paling jago pasang tampang muka menyedihkan supaya aku luluh dan mau mengikuti titahnya.
"Iya... iya... Adara mau," putusku yang langsung disambut senyum lebar serta pelukan hangat darinya. Mamahku ini memang patut dan pantas memenangkan piala citra sebagai aktris terbaik. Akting beliau sudah tidak bisa diragukan lagi.
"Ayo biar Mamah bantu kamu dandan. Bi tolong bereskan semuanya, jangan sampai ada yang terlewat," tutur Mamah yang langsung dipatuhi oleh beberapa pekerja yang membantu persiapan acara malam ini.
Beliau itu sangat perfeksionis dan harus serba sempurna, terlebih lagi dalam hal ibadah. Harus minim cacat. Kata beliau memuliakan anak yatim itu ganjarannya sangat luar biasa, dan well Mamahku tersayang ini melakukannya dengan total.
Aku menatap tak suka pada beberapa helai pakaian yang sudah tersusun rapi di atas ranjang. Mamah begitu antusias menunjukan serta memamerkan pakaian yang bahannya kelewat panjang.
"Pake celana jeans sama kemeja lengan panjang aja yah, Mah," bujukku yang langsung dihadiahi tatapan horor mengintimidasi.
Dengan tanpa persetujuan Mamah menyerahkan sebuah baju kurung berwarna pink pastel, dilengkapi dengan kancing berwarna hitam di depannya, pita di bagian sebelah kiri mempermanis baju tersebut, dan di bagian tangannya pun terdapat beberapa garis hitam.
Aku semakin bergidik saat Mamah memamerkan kerudung panjang yang depannya bisa menutupi sampai perut, dan yang paling mengerikan lagi bagian belakang kerudung itu mungkin sampai sebatas lutut. Tak kebayang aku memakai baju model seperti itu. Belum apa-apa aku sudah berkeringat dingin.
"Buruan pake, bentar lagi acaranya dimulai," cetusnya dengan kasar mendorongku ke kamar mandi. "Mah...," mohonku yang sama sekali tak beliau tanggapi.
Aku berdiri tak tenang di depan cermin. Membolak-balik pakaian yang menggerahkan badan. Pandanganku menilik begitu intens baju yang masih berada di tangan.
"Pake... gak... pake... gak... pake." Ish kenapa kelima jari kiriku berdusta dan meminta memakai pakaian semacam gorden ini.
"Adara!" Panggilan dengan nada suara tinggi itu berhasil membuyarkan lamunanku. Dengan ragu dan tak ikhlas aku memakai baju gombrong tersebut. Kalau sampai teman-temanku tahu, bisa jadi bahan buly-an berminggu-minggu.
Aku keluar dengan wajah masam. Rasa gerah sudah mulai menjalar bahkan keringatku pun sudah mulai bercucuran. "Nah kalau gini kan cantik. Kenapa gak dari dulu saja sih kamu ghamis-an kaya gini," cerocos Mamah yang sama sekali tak peduli dengan tampangku yang sudah lecek seperti uang kembalian angkot.
"Kalau Mamah ngomong begitu lagi Adara buka nih." Aku sudah bersiap untuk melepas penutup kepala berwarna hitam yang membingkai kepalaku, dan menyembunyikan rambut indahku yang tadi diikat asal. Besok aku harus ke salon untuk merawat rambutku lagi.
"Jangan gitu dong," pintanya dengan memasang tampang sendu. Kalau tidak ingat beliau adalah wanita yang sudah mengandung dan melahirkanku, akan kupastikan mukanya takkan seindah ini lagi. Akan kucakar-cakar tanpa ampun. Papah tolong selamatkan anakmu yang tertindas ini. Hanya Papah yang tidak pernah menyuruh ataupun memaksaku berpenampilan seperti sekarang.
"Ayo turun. Di bawah sudah rame," kata Mamah dengan hati riang tanpa beban menggandeng lengan kananku. Langkahku terasa sangat berat dan tak mau keluar dari persembunyian.
Siap-siaplah menerima tatapan aneh penuh tanya dari orang-orang di bawah sana Adara.
"Gerah, Mah! Pake selendang aja yah. Serius ini mah aku gak kuat. Panas banget." Aku mencoba bernegosiasi di tengah anak tangga. Siapa pun tolong bantu aku untuk menghilang sekarang.
"Panas segitu saja kamu sudah ngeluh. Apa kamu gak pernah mikir gimana panasnya api neraka?." Kalau sudah seperti ini aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bibir tipis Mamah memang paling jago membuatku mati kutu.
"Tapi kali ini aja yah, Mah. Gak ada hari-hari berikutnya." Memang dasar jiwa perempuan sekali aku ini dalam keadaaan seperti ini saja masih sempat tawar-menawar seperti pembeli di pasar.
"Iya... iya... terserah kamu saja," tukas Mamah yang sepertinya sudah lelah adu mulut denganku.
~TBC~
Bagaimana nih? Apa ada yang nunggu kelanjutannya?
Bab ini hanya pengantar untuk bab selanjutnya yah. Isinya hanya sebatas basa-basi doang, hehe. Sampai ketemu di bab berikutnya🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top