28-Runyam

"Apa yang terjadi sekarang sungguh sangat di luar perkiraan. Bisakah beri aku waktu sejenak untuk rehat?"

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Sebelum mobil yang dikendarai Lukman masuk ke dalam pelataran komplek, aku sudah lebih dulu meminta dia untuk menurunkanku di depan pos satpam. Aku tak ingin dia melancarkan aksinya yang tadi belum sempat terealisasi. Bisa runyam dan gagal total rencanaku untuk segera terbebas dari jerat pernikahan yang Arda ciptakan. Tapi yang terjadi sekarang sungguh di luar dugaan.

"Aku perlu bicara sama suami kamu, Adara. Diam dan jangan banyak bicara." Aku menyilangkan kedua tangan tepat di depan dada. Bisa-bisanya Lukman bersikap otoriter seperti itu. Aku takkan membiarkan dia berbuat macam-macam.

"Jangan gila deh, Man ini adalah cara satu-satunya supaya gue bisa lepas dari pernikahan konyol ini."

Lukman melirikku sekilas lantas berkata, "Mengakhirinya dengan sebuah kebohongan bukanlah hal yang baik. Aku takut kamu akan menyesalinya di kemudian hari. Dia laki-laki baik, aku yakin itu. Cobalah buka hati kamu untuk menerima dia sebagai suami."

Untuk kali pertamanya dia mampu berkata dengan panjang lebar, tapi hal itu justru membuatku muak tak ketulungan. Apa yang dia lontarkan tak ada faedah-nya sama sekali. Hanya buang-buang energi.

"Gue gak akan nyesel. Inget baik-baik dalam otak lo. Turunin gue di sini atau gue nekat loncat sekarang." Aku mengancamnya dengan penuh kesungguhan. Tapi jujur sih itu hanya sebuah gertakan saja.

"Coba saja kalau bisa," sahutnya dengan diiringi senyum miring.

Shit! Lukman memang sangat cekatan dan pintar, dia sudah berhasil mengunci otomatis semua pintu mobil. Aku hanya bisa mendengus dan melontarkan kata-kata makian karena ulah Lukman yang begitu menjengkelkan.

Laju mobil semakin melambat karena memang hanya tinggal melewati satu rumah saja kita akan sampai di depan gerbang bangunan yang aku dan Arda tempati. "Kalau lo sampe nekat bilang yang sebenarnya sama Arda, gue bakal bongkar status kita yang sebenarnya sama Nyokap lo. Biar lo tahu gimana rasanya hidup di bawah tekanan." Aku berkata dengan nada suara pongah. Semoga saja ucapanku kali ini mempan dan membuat Lukman berubah pikiran.

"Turun!" Bukannya menyahuti rentetan kata-kataku dia malah memerintahku. Untuk yang pertama kalinya aku sangat tidak menyukai tingkah Lukman yang begitu beda dan tak biasa.

Pintu mobil sudah terbuka dengan lebar tapi aku masih enggan untuk melepaskan jerat sabuk pengaman yang melingkari tubuhku. Biarkan saja Lukman yang menemui Arda seorang diri.

"Ayo turun, Adara." Aku tak merespons dan malah sengaja membuang muka ke arah yang berlawanan. Aku takkan mau mengalah.

Aku mendengar helaan napas berat keluar dari sela bibirnya. "Ya sudah kamu turun dan aku akan pulang sekarang," katanya yang berhasil membuatku mengalihkan fokus agar menatap ke arahnya.

"Serius?" Aku tak mau ambil risiko jika ternyata dia hanya mengibuliku saja.

Lukman mengangguk singkat dan aku pun tak membuang waktu lagi untuk segera turun dari mobil.

"Sudah sono pulang. Ngapain masih berdiri di sini?" kataku karena curiga dengan gelagat Lukman yang terlihat begitu enggan untuk melangkah kembali menuju kemudi mobil.

"Iya, Adara," sahutnya.

Dia memang tidak pernah bermain-main dengan apa yang telah dikatakannya. Syukurlah ternyata ucapannya mampu dipercaya.

"Mau ke mana kok buru-buru gitu? Apa gak mau mampir dulu?" Aku memutar tubuh ke arah belakang, ada Arda di sana yang tengah berdiri menyandar pada pagar besi yang sudah dia buka setengah. Sejak kapan tuh orang ada di sini?

Mendengar suara ketipak langkah kaki yang semakin mendekat, sontak membuat kepalaku refleks berputar ke arahnya. Lukman terlihat tengah berjalan mendekat padaku. Aku memberikannya tatapan membunuh, tapi dia sama sekali tak gentar dan malah semakin bergerak dengan cepat. Kepalaku mendadak pusing tak keruan, dihadapkan dengan posisi seperti sekarang sangat jauh di luar perkiraan. Perasaanku campur aduk sulit untuk diterjemahkan.

"Lukman," katanya dengan tangan yang sengaja dia sodorkan ke hadapan Arda. Senyum laki-laki itu terbit saat Arda menyambut baik jabatan tangannya.

"Arda," balas Arda. Netranya begitu menelisik penampilan Lukman dari atas sampai bawah, bahkan sesekali aku menangkap basah dia yang terpergok tengah melihat ke arahku.

"Masuk." Satu kata itu meluncur bebas dari sela bibir Arda. Aku tak tahu apa itu sebuah tawaran atau ajakan.

"Ada yang ingin saya bicarakan. Apakah Mas bersedia?" tanya Lukman sopan, bahkan laki-laki itu menambahi embel-embel 'Mas'. Sungguh ini membuat jantungku berdetak tak keruan. Apa yang akan terjadi nanti?

Arda mengangguk singkat dan dengan enteng membuka pagar rumah dengan begitu lebar agar mobil bermerk mahal milik Lukman bisa masuk ke dalam. Kakiku rasanya membeku dan sulit untuk digerakkan, kepalaku saja sudah pening bukan main. Suara klakson memerintahkanku agar segera menyingkir, dengan berat hati dan antara sadar tak sadar kedua tungkaiku berjalan semakin dalam menuju pelataran.

"Silakan masuk," ucap Arda mempersilakan Lukman untuk segera masuk dan duduk di sofa yang berada di ruang tengah. Lukman dengan tanpa beban mengangguk serta melontarkan kata terima kasih.

"Sebentar saya buatkan minum dulu," kata Arda yang langsung melesat ke arah dapur.

Aku takkan menyia-nyiakan waktu yang singkat ini untuk mengusir Lukman. Pokoknya aku harus berhasil dan membuat Lukman tutup mulut perihal kebohongan yang telah kuciptakan.

"Pulang sekarang!" Lukman hanya diam bahkan dia seperti tak menganggap keberadaanku.

"Please, Man untuk kali ini aja lo ikutin apa mau gue." Untuk kali pertamanya aku memohon-mohon pada orang lain dan orang itu adalah Lukman, teman pria yang sudah kukenal bertahun-tahun.

Dia mengangkat kepalanya, menatap ke arahku yang duduk berseberangan dengannya. "Masalah ini sudah terlalu jauh, Adara. Kamu sudah keterlaluan," katanya dengan tatapan mata tajam.

"Keadaan yang maksa gue, Lukman!" sahutku tak mau disalahkan. Kedua netraku menatap ke arahnya dengan sengit.

"Bukan keadaan yang membuat kamu seperti ini, tapi diri kamu sendiri yang sudah memulainya dengan cara yang gak baik." Aku menggeleng tegas tak terima dengan apa yang baru saja dikatakan Lukman. Di sini aku yang menjadi korban dan aku tak ingin terus berada dalam situasi seperti sekarang. Hanya cukup sampai di sini saja.

"Lo gak tahu apa-apa tentang hidup gue dan diri gue. Pergi sekarang dan kesepakatan kita selesai," kataku sembari menyerahkan kartu gold unlimited miliknya.

Jika dia sudah tidak mau diajak kerja sama, lebih baik mundur dan tinggalkan. Masih banyak pria di luar sana yang mau membiayai hidupku.

"Maaf menunggu lama." Aku menoleh ke sumber suara. Arda sedang berdiri di sana dengan sebuah nampan berisi dua gelas kopi dan satu gelas teh hangat. Kenapa dia harus datang sekarang?

"Gak papa," sahut Lukman santai.

Dengan telaten Arda meletakkan minuman buatannya di atas meja. Sangat cocok sekali dia menjadi seorang asisten rumah tangga. Ya, seharusnya memang seperti itu jalan ceritanya, bukan malah seperti sekarang yang sangat jauh dari perkiraan.

"Kedatangan saya ke sini untuk me---"

Aku menyela ucapan Lukman dengan bar-bar. "Menegaskan kalau Lukman adalah ayah biologis dari anak yang gue kandung. Dan untuk ngingetin lo kalau status lo cuma suami sementara. Paham?!"

Aku bisa melihat netra Lukman yang menyala dengan begitu tajam. Melirik ke arah Arda yang menampilkan wajah shock tak percaya. Aku bisa melihat urat-urat lehernya yang begitu tercetak jelas di sana. Kedua tangannya mencengkeram tepian sofa dengan begitu kuat. Aku ngeri sendiri melihat Arda yang menampakan wajah seperti itu.

"Pergi sebelum saya berlaku kurang ajar kepada Anda. Dan Adara masuk kamar sekarang!" Aku merinding takut mendengar nada suara tegas penuh intimidasinya. Tapi kedua kakiku tak bisa bohong kalau aku begitu enggan untuk meninggalkan mereka berdua.

"Semuanya bisa dibicarakan secara baik-baik. Mas sudah sa---"

"Saya bilang pergi sekarang!" Arda bangkit dari duduknya. Jari telunjuk dia mengarah pada pintu yang masih terbuka dengan sangat lebar.

"Saya bisa jelaskan semuanya," pinta Lukman yang juga sudah berdiri tegak saling berhadapan. Aku hanya mampu diam dan menyaksikan.

Tangan kanan Arda melayang di udara sudah sangat siap untuk melayangkan sebuah bogeman mentah di wajah Lukman. Aku menutup kedua mataku agar tak melihat aksi adu jotos di antara mereka. Cukup lama aku menunggu sampai akhirnya kedua netraku terbuka dan melihat Arda yang sudah mencengkeram kuat kerah leher kemeja Lukman.

"Pergi sekarang!" Dia menghempaskan Lukman hingga limbung dan jatuh tersungkur di sofa.

Lukman segera berdiri dari posisi mengenaskannya, menarik sebelah tanganku dengan lancang seraya berucap, "Saya perlu bicara dengan istri Mas!"

Arda tak menyahut, dia malah pergi meninggalkan kami berdua. Kepalaku rasanya mau pecah mengingat scen per scen yang baru saja berseliweran di depan mata. Kenapa masalah ini menjadi runyam seperti sekarang?

~TBC~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top