22-Masih Berlanjut
"Merayakan pesta pernikahan sama saja seperti mendeklarasikan status jandaku pada khalayak ramai."
-Adara Mikhayla Siregar-
•••
Baru kali ini aku merasa ingin cepat-cepat keluar dari rumah besar Mamah dan Papah. Rasanya sangat tidak betah. Mungkin efek karena diceramahi habis-habisan kali yah. Entahlah, yang jelas aku ingin segera meninggalkan rumah penuh kemewahan ini. Dan yang membuatku semakin kesal itu karena Papah dengan sengaja mengajak Arda main catur serta meninggalkanku bersama Mamah. Hanya berdua saja. Kalau kaya gini ceritanya kultum pagi bisa dilanjut hingga beronde-ronde.
"Jangan ajak Adara ngomong kalau niat Mamah cuma mau ceramahin Adara doang." Aku langsung angkat bicara saat melihat mulut Mamah yang sudah mulai akan terbuka.
Mamah berdecak lantas berucap, "Sama orang tua gak ada sopan-sopannya banget kamu." Aku hanya nyengir saja.
Mamah itu bukan hanya seorang ibu saja tapi juga sudah seperti sahabat, jadi jangan heran dengan interaksi kami berdua yang kelewat santai.
"Adara mau pulang duluan ajalah, bosen juga di sini." Aku sudah bersiap untuk bangkit dari dudukku, tapi tangan Mamah begitu cepat mencegah.
"Di rumah ada apaan sampai kamu gak betah dan mau buru-buru pulang. Tuh lihat Papah sama suami kamu lagi asik main catur di pinggir kolam renang."
Dengan enteng tanpa beban aku menjawab, "Adara gak punya apa-apa tapi di sana kuping Adara terasa damai dan tentram karena gak denger ocehan Mamah."
Mamah berdecak dan mengucap istigfar berkali-kali. Aku hanya menampilkan deretan gigi putih bersihku. "Becanda, Mah jangan dianggap serius gitulah."
"Sudah nikah tapi tetap saja sifat petakilan dan ceplas-ceplos kamu gak ada perubahan. Gak malu apa sama suami kamu yang kelakuannya terarah dan sopan." Tuh kan bener dampak tausyiah tadi pagi berimbas buruk untuk kesehatan telingaku. Apa Mamah tak bosan mendakwahiku terus-terusan?
"Apa kamu gak bisa lihat kedekatan Papah kamu sama Nak Arda? Biasanya di pagi hari seperti ini Papah akan sibuk dengan laptop dan berkas-berkas kantor. Jadi Mamah minta pertimbangin lagi keputusan kamu."
Aku mengalihkan fokus agar melihat ke arah Papah dan Arda yang begitu asik bermain catur. Aku dan Mamah saja tidak bisa membatasi Papah agar sedikit mengurangi waktu kerjanya, tapi Arda yang bukan siapa-siapa justru bisa membuat Papah lupa akan rutinitas padatnya. Tapi aku tak suka karena Mamah yang selalu mendesakku agar mau menerima kehadiran Arda. Tidak semudah itu.
"Jangan drama deh, Mah," elakku yang tak ingin membuat Arda besar kepala dan meninggalkan bekas harapan bagi Mamah karena satu pemikiran dengannya.
"Emang dasar mata hati kamu sudah diliputi rasa gak suka. Kebaikan apa pun yang suami kamu lakukan akan salah dan gak berarti apa-apa. Mamah gak ngerti sama jalan pikiran kamu," katanya dengan nada suara sedikit jengkel.
"Adara juga gak ngerti sama pola pikir Mamah yang terlalu mengagung-angungkan Arda sampai sebegitunya. Mamah harus inget kalau manusia itu gak ada yang sempurna, banyak cacatnya. Jadi stop puji-puji Arda terus," sahutku dengan nada judes sekaligus kesal.
"Mamah tahu itu, tapi setidaknya kamu bisa melihat sisi baik dari suami kamu. Kelebihan Nak Arda itu hanya satu, dia mampu menutupi semua kekurangan dalam dirinya hingga membuat orang-orang di sekitarnya merasa dia sempurna tanpa celah. Sedangkan kamu hanya bisa melihat kekurangannya tanpa pernah mau mengakui kelebihannya. Sadar, Adara sebelum semuanya terlambat dan buat kamu menyesal." Mamah pergi begitu saja meninggalkanku yang masih duduk mencerna setiap kata per kata yang beliau lontarkan.
Menyesal? Heh, rasanya sangat tidak mungkin aku menyesal hanya karena menyia-nyiakan lelaki model Arda. Tak ada sedikit pun yang bisa kubanggakan darinya. Tampang? Jelas nol besar dan bahkan aku malu jika jalan berdampingan dengannya. Finansial? Masih jauh di bawah standar.
Uang yang selalu Arda berikan persatu minggu sekali itu tak seberapa. Masih sangat kurang untuk memenuhi gaya hidupku yang kelewat hedon. Beruntung aku masih memegang kartu gold unlimited milik Lukman yang memang sudah sejak lama berada di tangan. Tak ada niatan sedikit pun untuk menyerahkan kartu ajaib yang bisa memberikanku kesenangan itu, lagi pula Lukman pun merasa fine-fine saja.
Aku dan Lukman masih sama seperti dulu, terikat dalam hubungan tak jelas yang saling menguntungkan. Dia yang memang dasarnya tak bisa kutinggalkan tetap keukeuh ingin selalu bersamaku, dan aku pun masih membutuhkan dia untuk menjadi ATM berjalan. Ya, biarkan saja terus seperti ini.
Lukman mengetahui statusku yang sudah menjadi istri orang tapi dia tidak tahu siapa laki-laki yang sudah lancang mengucapkan akad pernikahan. Yang dia tahu hanya sebatas, aku dinikahkan paksa oleh kedua orang tuaku dengan pria biasa yang jauh di bawah standar. Hanya itu saja. Tidak lebih.
Lukman bukan hanya sebagai temanku saja, tapi dia sudah seperti seorang kakak yang selalu menjaga dan melindungiku dari berbagai ancaman. Bersama dia aku merasa nyaman dan dispesialkan, berbeda jika bersama dengan Arda yang malah membuatku merana tak ketulungan.
Setiap hari diingatkan inilah, itulah, jangan inilah, jangan itulah. Pokoknya hidup Arda banyak aturan dan tak bisa diajak santai. Sedikit saja aku membuat kesalahan, pasti akan ditegur habis-habisan hingga kupingku panas dan berakhir dengan perdebatan yang tak berkesudahan. Bertengkar dan adu mulut sudah menjadi makanan sehari-hari.
Suara ketipak langkah semakin mendekat ke arahku, aku menoleh dan mendapati Papah yang sedang berjalan beriringan dengan Arda. Beliau tersenyum sebelum akhirnya mendaratkan bokong tepat di sampingku, sedangkan Arda duduk jauh di depan sana.
"Lama yah? Maaf tadi Papah terlalu asik mainnya," katanya sembari mengelus puncak kepalaku pelan.
Aku membalas dengan senyum tipis. Melihat wajah Papah yang begitu berbinar bahagia membuat hati kecilku berontak. Aku takut Mamah membongkar kebohonganku dan akan membuat Papah marah besar. Aku tak mau hal itu terjadi.
"Kok malah bengong sih?" tanyanya yang kembali membawaku ke alam sadar.
Aku menggeleng dengan sedikit sunggingan. "Gak kok, Adara cuma kangen aja sama Papah. Rasanya sudah lama banget Adara gak ketemu Papah."
Papah memelukku dari samping dan dengan senang hati aku membalas pelukan hangatnya. "Maafin Papah yah, Sayang akhir-akhir ini sibuk kerja terus. Apalagi Papah juga harus urus acara resepsi pernikahan kalian," bisiknya tepat di atas ubun-ubunku.
Bukan akhir-akhir ini saja, Pah. Tapi memang setiap hari juga Papah tak ada waktu untukku. Rasanya aku ingin mengatakan kalimat itu, tapi kerongkonganku tercekat sulit untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Membahas soal resepsi pernikahan, mendadak hatiku berdenyut ngilu.
"Mamah ke mana?" seloroh Papah saat beliau sudah melepaskan rengkuhannya.
Aku hanya bisa menjawab seadanya, "Ke kamar kali."
Kepala Papah menggeleng pelan sebelum berujar, "Kebiasaan, pasti kamu buat Mamah marah yah?" Aku hanya nyengir saja. Tebakan Papah memang benar begitu adanya.
"Adara mau pulang dulu, Pah. Salamin aja sama Mamah kalau anak semata wayangnya yang suka bikin tensi Mamah naik sudah pulang," kataku dengan sedikit kekehan.
Papah tertawa ringan. "Ya sudah hati-hati. Inget besok atau lusa kalian harus fitting baju ke butik. Kapan pun bisa sih, tapi usahakan secepatnya biar designer-nya bisa kerja secara maksimal." Aku mendengus tanpa sadar. Kenapa harus diingatkan soal itu lagi sih?
"Kenapa? Kok kaya gak semangat gitu?" Aduh, please deh, Pah jangan bahas soal pesta pernikahan dulu. Pening kepala Adara.
Akhir bulan depan juga ini rumah tangga akan bubaran, jadi tak usahlah buang-buang uang hanya untuk merayakan status jandaku saja.
"Kami pulang dulu yah, Pah." Suara Arda menyelamatkanku dari pertanyaan Papah yang tak bisa kujawab. Aku bisa bernapas lega untuk saat ini tapi tak tahu untuk waktu ke depannya.
"Papah titip Adara yah, Nak. Jangan bosen-bosen buat tegur dan ingetin Adara kalau dia salah. Kalau Adara sering berulah dan buat kamu naik darah, jewer saja kupingnya." Sebelum aku benar-benar pergi Papah masih sempat-sempatnya berkata demikian.
Dikira aku ini barang kali, pakai acara dititip-titip segala. Aku ini anak Papah.
Arda mengangguk dan menjawab, "Insya Allah, Pah." Aku memutar bola mata malas melihat kelakuan Arda yang semakin hari semakin carmuk pada kedua orang tuaku. Muka satu saja sudah membuatku eneg apalagi kalau tuh muka ada dua.
~TBC~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top