21-Drama di Pagi Hari

"Sekuat apa pun aku bertahan dan terus memaksakan keadaaan endingnya akan tetap sama. Berakhir di pengadilan."

- Adara Mikhayla Siregar-

•••

Keluar dari kamar mandi sudah disuguhi pemandangan yang sangat tidak ingin kulihat sama sekali. Di kasur berukuran queen size itu terlihat Arda yang tengah berbaring dalam keadaan mata terpejam dan tangan yang sengaja direntangkan. Enak sekali dia tidur di sana tanpa meminta izinku terlebih dahulu.

Aku berjalan menghampiri Arda dan menghadiahi dia dengan guling yang kupukulkan di sekujur tubuhnya. Dia hanya melenguh dan malah menarik selimut tebalku untuk menutupi seluruh badannya. Aku geram melihat dia seperti itu tapi juga sedikit iba, mungkin dia benar-benar kelelahan karena semalaman bekerja.

"Arda bangun! Jangan tidur di kasur gue. Di sofa aja sono." Aku berusaha menarik-narik selimut yang dia gunakan.

Beginilah definisi istri kurang ajar. Suami pulang kerja bukannya disayang-sayang eh ini malah diperlakukan tak wajar. Mohon jangan ditiru kelakuan absurd-ku yang tidak lazim dilakukan ini.

"Ngantuk, Dar... pinjem bentar kasurnya." Dia bergumam tak begitu jelas, tapi masih bisa kumengerti walau harus berpikir ekstra terlebih dulu.

Aku berkacak pinggang, meniru gaya andalan Mamah. "Gak ada! Tempat tidur lo di sofa bukan di ranjang." Dengan sadis tanpa perasaan aku berusaha keras menarik kakinya agar segera turun ke lantai.

Belum berhasil menyingkirkan Arda dari pembaringan, suara Mamah terdengar nyaring dan menggelegar di depan pintu. Aku berdecak sebal sebelum berjalan menghampirinya.

"Apa?" Aku langsung memasang wajah garang. Efek kesal dan dongkol pada Arda jadi Mamahlah yang menjadi sasaran empukku merealisasikan kemarahan.

Mamah menatap horor ke arahku dan menyerahkan nampan berisi makanan, air putih, dan juga secangkir teh hangat. "Suami pulang kerja bukannya disambut dan dilayani, kamu malah asik sendiri. Nih bawa buat suami kamu."

Aku memutar bola mata malas sebelum menerimanya. "Adara baru kelar mandi, Mah."

"Anak perempuan kok bangunnya siang, gak malu apa sama ayam yang bangun sebelum matahari terbit. Kurang-kurangin tuh begadang biar bisa bangun tepat waktu," peringatnya yang membuat tingkat kedongkolanku meningkat tajam. Pagi-pagi seperti ini sudah mendapat teguran. Ish, apakah tidak ada waktu lain?

Aku membuka pintu kamar lebar-lebar dengan menggunakan kaki, karena kedua tanganku sibuk memegang nampan yang lumayan berat ini. Memperlihatkan menantu Mamah yang katanya sempurna dan idaman banyak wanita sedang mengorok di atas pembaringan. Apakah setelah melihat wujud Arda yang sekarang Mamah masih menganggapnya mantu kesayangan? Semoga saja tidak.

Mamah terlihat geleng-geleng kepala dan setelahnya berkata, "Siapin air hangat buat mandinya jangan lupa pakaiannya juga dan ini sarapan kamu kasih sama Nak Arda. Awas kalau sampai bikin ulah lagi." Ingatan Mamah itu sangat tajam dan masih saja mengungkit kejadian yang sudah lalu. Lagian aku juga hanya iseng saja. Kok Mamah masih saja nyindir-nyindir tak jelas.

Panas kuping Adara, Mah.

"Apa kamu gak ada sedikit pun rasa iba dan empati melihat keadaan suami kamu yang seperti itu? Coba kamu lihat dengan mata hati kamu, bagaimana dia bersusah payah mencari selembar rupiah untuk memenuhi gaya hidup kamu. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari karena sudah menyia-nyiakannya." Mamah berbicara dengan lembut dan sorot mata teduh. Tapi itu sama sekali tak berhasil menarik rasa simpatiku agar mau menerima keberadaan Arda.

Acara kultum pagi sudah dimulai dan aku pun sudah siap untuk menyumpal kedua telingaku. Apakah belum cukup semalam aku diceramahi habis-habisan? Dan sekarang masih saja dicekoki hal-hal semacam itu. Aku sudah kebal dan tak mempan. Sadarnya hanya pada saat itu saja tidak berlaku untuk jangka waktu panjang.

"Sudah?" Dengan tidak sopan aku mengutarakan satu kata itu. Mamah sudah bersiap untuk melayangkan dua jarinya ke telinga kananku, tapi karena daya tangkapku yang cepat aku bisa lolos dan segera berlari untuk menghindar.

"Adara! Punya anak satu model kamu saja sudah buat tensi Mamah naik, apalagi kalau banyak." Rasanya aku ingin tertawa mendengar rentetan kata-kata beliau.

"Siapa juga yang minta Mamah buat nambah anak lagi. Cukup Adara aja yang buat Mamah pusing tujuh keliling, jangan sampai ada yang lain," sahutku dengan cengiran tanpa dosa bahkan sesekali tertawa.

Mamah menutup pintu kamar agak sedikit kasar. "Jangan lupa pesan Mamah, Adara!" Aku tak menyahut. Bisa panjang kalau aku terus menimbrungi perkataan beliau.

Aku meletakkan nampan di atas nakas. Melihat air minum dalam gelas membuat ide gilaku keluar dari peradaban, dengan tanpa aba-aba dan diiringi tawa setan aku menyiram wajah Arda hingga basah kuyup dan dia terbangun dengan air muka yang sulit untuk diartikan.

"Adara!" geramnya dengan kedua mata menyala tajam. Aku hanya cengengesan tanpa dosa dan kembali menyimpan gelas kosong itu di atas nampan.

Aku berjalan mundur saat kedua tungkainya melaju ke arahku. Raut wajahnya sangat kentara sekali diliputi kekesalan. Aku bergidik melihat Arda seperti itu. "Becanda kali, jangan dianggap serius kaya gitulah," ucapku dengan langkah kaki yang semakin menjauh.

Arda sama sekali tak memberikan respons dan justru semakin mempercepat langkahnya, tanpa pikir panjang lagi aku langsung berbalik arah dan melesat menuju pintu untuk segera menyelamatkan diri. Baru saja aku bernapas lega karena sudah berhasil keluar, suara Arda kembali menggelegar hingga semakin membuatku bergidik takut. Kenapa tuh orang pakai acara teriak-teriak segala?

Tak lama pintu kembali terbuka dan memperlihatkan Arda dengan wajah masam dan kening memerah seperti terpentok sesuatu. Tawaku pecah tak terbendung saat menyadari bahwa itu karena ulahku yang tadi menutup pintu dengan tak sabaran.

Ups, jidat lebarnya itu kembali mendapatkan perlakuan anarkis dariku. Bekas semalam saja belum sembuh benar dan sekarang ditambah lagi. Bagus Adara. Lanjutkan aksimu.

"Sorry itu murni kecelakaan tanpa ada unsur kesengajaan. Tapi gak papa sih itung-itung balas dendam karena lo sudah tidur di kasur gue tanpa izin." Setelah mengatakan itu aku langsung berlari cepat menuruni anak tangga.

"Kalian lagi pada ngapain sih teriak-teriak sampai kedengaran sampai sini. Terus kenapa lagi tuh napas ngos-ngosan kaya habis lari maraton?" Baru juga sampai di ruang keluarga suara Mamah sudah menggangu gendang telinga.

Aku tak menghiraukannya dan malah sibuk menghidupkan televisi, mengotak-atiknya agar menemukan channel yang pas. "Kalau jam segini acara gosip sudah bubaran. Nah mending nonton ini saja," kata Mamah enteng setelah merebut remot televisi dan menggantinya dengan acara tausyiah pagi.

Biasanya televisi itu dipenuhi dengan acara berita, tapi aku baru tahu kalau sekarang ada acara siraman rohani juga. Mungkin bosen kali yah bahas politik yang tak ada habisnya dan sekarang pindah haluan ke arah yang lebih religius.

"Wih lagi bikin apaan tuh, Mah?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. Aku malas kalau sampai Mamah kembali membahas perihal keagamaan. Otakku bisa-bisa ngadat dan konslet kalau terus menerus dijejali hal semacam itu.

Kedua mata Mamah langsung berbinar terang, tangannya begitu lincah memotong benang dan melepaskan kain dari pembidang---salah satu alat yang digunakan untuk membentangkan kain sehingga mudah disulam dan untuk mencegah kerutan pada kain. Berbentuk bulat melingkar---lantas memperlihatkannya padaku. "Bagus gak?"

Keningku mengkerut saat melihat baju mungil berwarna biru, aku yakin itu adalah pakaian bayi. Tapi yang menjadi pertanyaannya adalah, untuk siapa? Apa mungkin Mamah berniat untuk menambah anak lagi. Jika memang benar aku harus segera mencegahnya sebelum hal yang sangat tidak kuinginkan itu terjadi.

"Pasti bagus, kan? Iya dong, kan buat calon cucu Mamah nanti," celotehnya yang tiba-tiba saja membuat kepalaku pusing.

Ngomong apaan lagi tuh Mamah. Apa beliau lupa dengan kejadian semalam saat aku membongkar sebuah kebohongan besar yang membuatnya marah dan pergi begitu saja? Aku tak mengerti dengan jalan pikirannya yang tak mudah ditebak.

"Mamah amnesia yah? Periksa yuk Adara takut penyakitnya makin parah," cetusku spontan tanpa saringan.

Wajah Mamah langsung berubah sendu. Aku melihat ada kekecewaan di matanya. "Jangan bahas itu. Mamah mau pernikahan kamu sama Nak Arda berumur panjang, bukan hanya sebatas kontrak yang bertahan dalam waktu satu setengah bulan."

Aku menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya kasar. "Adara akan kabulkan semua permintaan Mamah, tapi gak berlaku untuk yang satu ini."

Mamah memegang kedua tanganku dan menggenggamnya penuh kehangatan. "Setidaknya bertahan untuk Mamah dan Papah. Kamu gak mau kan lihat orang tua kamu kecewa? Mamah yakin cepat atau lambat perasaan kamu akan bisa berubah. Buka hati kamu."

Aku diam beberapa saat sebelum akhirnya berani berucap, "Adara gak bisa, Mah." Sekuat apa pun aku bertahan dan terus memaksakan keadaaan endingnya akan tetap sama. Berakhir di pengadilan.

~TBC~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top