19-Malu
"Sungguh memalukan dan takkan pernah kubiarkan hal itu kembali terulang."
-Adara Mikhayla Siregar-
•••
Sebuah hubungan lumrahnya berlandaskan cinta dan kasih sayang, terlebih dalam sebuah pernikahan. Setiap ujian dan cobaan yang datang menghadang akan dihadapi secara bersama-sama dan bergandengan tangan. Bukan malah sepertiku yang saat ini ingin sekali pergi jauh dan menghindar.
Istilah sakinah mawadah warohmah itu sama sekali tak ada dalam rumah tanggaku. Mungkin memang sudah menjadi jalan hidupku yang jatuh tersungkur dalam pernikahan tak diinginkan. Memang benar sesuatu yang diawali dengan keterpaksaan akan berakhir dengan sebuah penderitaan dan kekecewaan yang mendalam.
Tak ada ketenangan dan kedamaian saat berdekatan dengannya. Tak ada kekosongan dan kehilangan saat berjauhan dengannya. Semuanya terasa berat dijalani, hanya rasa tak nyaman yang kerap kali dijumpai. Perdebatan dan perselisihan paham adalah hal yang tidak dapat dihindarkan.
Persoalan kecil akan selalu berakhir panjang karena keegoisan hati yang tidak ingin saling berbenah diri. Rasanya begitu tidak mungkin jika rumah tangga seperti ini akan bertahan sesuai waktu yang sudah ditentukan. Baru hitungan hari saja sudah membuatku menderita tak berkesudahan. Lelah hati dan pikiran yang hanya bisa kurasakan.
Aku menangis tersedu-sedu di sudut kamar dengan kedua kaki yang sengaja kutekuk, kepalaku pun dibiarkan bertumpu di antara lipatan kaki. Sedangkan Arda tengah duduk di sofa panjang yang berada dalam kamar. Dia tengah mengobati luka di keningnya, hasil karya tanganku yang melayangkan sebuah vas bunga berukuran sedang. Semua laki-laki memang sama saja, mereka selalu memaksakan kehendak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Aku sama sekali tak sudi untuk melihat ke arahnya yang masih meringis kesakitan. Rasa sakit yang dia rasakan tidak setimpal dengan apa yang saat ini kurasakan.
"Kamu salah paham Adara. Aku gak akan melakukan apa pun sama kamu," katanya entah untuk yang ke sekian kali. Aku tak percaya. Jelas-jelas tadi dia memaksaku untuk mengambil air wudu dan salat sunnah. Dia pasti akan berbuat yang macam-macam, dan sebelum itu terjadi aku menghadiahi vas bunga saat kepalanya menoleh ke belakang dengan ucapan salam, tanda salat telah usai.
Tangisku masih belum reda, aku takut dia berbuat hal gila. "Salah paham lo bilang? Gue gak bodoh untuk nangkep maksud lo, Arda! Lo emang laki-laki gak tahu diri." Aku membalasnya dengan begitu emosi.
Helaan napas berat terdengar keluar dari mulutnya. "Tadi sudah masuk waktu Isya dan aku mau kita salat jamaah, Adara. Otak kamu harus dibersihin biar gak konslet," ungkapnya. Aku mendongak saat merasakan langkah Arda yang semakin mendekat.
"Salat Isya apaan? Gue gak bego yah. Jelas-jelas Isya itu empat rakaat bukan dua rakaat. Gue emang gak tahu agama tapi gue tahu berapa jumlah rakaat dalam salat wajib." Aku berkata dengan napas memburu cepat.
Dia berusaha menggapai puncak kepalaku yang masih terbalut mukena putih. "Jauh-jauh dari gue!" Arda tak mengikuti perkataanku, dia justru mengangkat daguku agar melihat ke arahnya.
Aku berusaha untuk menepis tangan Arda tapi dia malah semakin berani untuk menangkup wajahku agar menatap lurus padanya. "Tadi itu kita salat qobliyah Isya, Adara. Salat sunnah dua rakaat sebelum melaksanakan salat wajib," jelasnya yang membuat kedua bola mataku membulat sempurna.
"Lo bohong, Arda! Jangan ngibulin gue!" seruku yang justru disambut gelak tawa olehnya. Ada yang lucu?
"Sudah sana ambil wudu lagi---" Aku langsung memotong cepat ucapan Arda. "Lo mau ngajak gue apaan lagi, hah?"
Arda menepuk-nepuk puncak kepalaku pelan dan berujar, "Jamaah Isya, Adara. Pikiran kamu emang harus segera dibersihin."
Wajahku langsung memanas, detak jantungku pun memompa dengan begitu cepat. Entah mau ditaruh di mana mukaku yang sudah merah padam karena malu ini. Ingin rasanya aku memaki Arda sekarang juga.
"Buruan." Karena malu aku pun mengikuti titahnya. Cukup lama aku terdiam di kamar mandi hanya untuk melihat rona merah di pipi.
•••
Saat aku dan Arda turun ke bawah untuk makan malam, Mamah dan Papah langsung memberondong kami dengan banyak pertanyaan, perihal kening Arda yang diperban dan juga karena mataku yang sembab karena terlalu lama menangis. Aku hanya diam saja bingung mau menjawab apa, kalau aku jawab jujur pasti aku akan habis diejek oleh mereka.
"Oh, ini Mah biasalah cuma insiden kecil." Aku bersyukur karena Arda hanya berkata seperti itu. Tidak terlalu spesifik yang hanya akan membuatku malu berkepanjangan.
"Kalian berdua habis berantem yah?" selidik Mamah dengan sorot mata mengintimidasi.
Kenapa hanya aku saja yang Mamah curigai? Arda-nya kok gak? Dia yang jadi dalang utamanya tuh.
Tanganku langsung sibuk mengambil piring yang sengaja disimpan tengkurap di depanku. Tanpa kata aku mengambil nasi serta meletakkannya di atas piring. Baru saja aku ingin memasukkan nasi ke mulut Mamah kembali buka suara, "Adara... Adara... bukannya sibuk layani suami, eh malah asik sendiri. Sekali-kali tegur Adara kalau gak bisa ngelakuin tugasnya sebagai istri, Nak Arda."
Aku memutar bola mata malas, menyimpan kembali sendokku di piring dan menatap Mamah yang berseberangan denganku. Tanpa ragu aku berkata, "Mamah ribet. Apa-apa harus Arda dulu yang pertama, Arda aja gak protes."
Papah yang duduk di kepala kursi meja makan dekat denganku tanpa komando menyentil dahiku. "Arda... Arda... panggil yang benar. Itu suami kamu. Gak ada sopan-sopannya kamu sama suami sendiri." Aku mengaduh kesakitan akibat ulah Papah. Menginap di sini satu hari saja sudah banyak mendapat teguran dan omelan. Bagaimana jadinya kalau aku tetap tinggal di sini?
"Dilarang buka suara di meja makan," cetusku sama sekali tak menanggapi ocehan Mamah dan Papah.
Setelah mendengar perkataanku keadaan menjadi hening, hanya suara denting sendok yang beradu dengan piring.
"Bagaimana Nak Arda cocok sama lidah kamu gak? Ini resep dari Umi kamu lho, tadi beliau kasih ke Mamah supaya Adara bisa masakin makanan kesukaan kamu," ungkap Mamah begitu riang dan senang. Terlihat sekali Mamah sangat menyayangi Arda seperti beliau menyayangiku.
Arda tersenyum tipis dan menyahut, "Cocok kok, Mah. Masakan Mamah sama Umi gak ada bedanya, sama-sama enak." Nih orang lagi cari muka atau apa sih? Jangan puji Mamah kaya begitu, bisa terbang nanti hidungnya.
"Kalau masakan Adara gimana? Dia jago masak lho." Aku menyemburkan air yang masih belum kutelan sempurna. Mulut Mamah minta disekolahin, malah bongkar kartu as aku segala lagi.
Arda menatapku dan Mamah bergantian, dari sorot matanya sangat menunjukan ketidakpercayaan. Mamah dengan tanpa dosa kembali bicara, "Mamah sengaja ajarin Adara masak biar kalau dia nikah gak buat malu Mamah. Mau dikasih makan apa suaminya kalau Adara gak bisa masak. Mamah yakin sih Adara pasti masakin kamu yang enak-enak, kan?"
Aku menelan ludah dengan susah payah saat Arda ingin membalas ucapan Mamah. Aku sudah menyiapkan ancang-ancang untuk lari bila Arda berkata jujur apa adanya.
Arda terlihat menggaruk tengkuknya dan berucap dengan ragu, "Adara yah, Mah? Em... itu... enak kok enak masakannya."
Mamah langsung menghujamiku dengan tatapan horor, beliau pasti curiga mendengar jawaban Arda yang tak meyakinkan.
"Tiap hari Adara masakin kok, Mah. Beneran. Kalau gak percaya tanya aja sama Arda. Iya, kan?" Aku sengaja menginjak kakinya karena dia yang tak kunjung buka suara.
"I... iya... Mah." Aku bernapas lega dan segera membebaskan kaki Arda dari kelakuan kejam tungkaiku.
"Dimasakin apa kamu sama Adara?" tanya Mamah yang berhasil membuatku berkeringat dingin. Bisa dicincang hidup-hidup kalau Mamah sampai tahu aku hanya memasakan telur saja sebagai lauk pauknya.
Setelah aku resmi menyandang status sebagai istri sementaranya aku memang selalu rutin menyiapkan makanan untuk dia santap, tapi menu yang kumasak selalu itu-itu saja tak ada perubahan. Aku hanya memasakannya telur dan nasi putih saja. Aku pun melakukan hal itu karena aku tak ingin melanggar surat perjanjian, bukan karena aku sudah mulai luluh dan membuka hati.
Aku dan Arda saling bertukar pandang. Dia terlihat bingung antara harus berkata jujur atau bohong. Sedangkan aku meminta dia agar tidak membongkar kelakuanku yang sudah mengerjainya habis-habisan. Arda memutuskan kontak mata kami dan mulai membuka mulutnya.
Tapi belum sempat dia berucap aku langsung memotongnya dengan cepat. "Aa... aa... Adara kasih makan Arda telur tiap hari, Mah." Daripada Mamah mendengarnya dari Arda, lebih baik langsung dariku saja. Setidaknya aku masih bisa selamat karena berkata jujur.
"Adara!" teriak Mamah dan Papah saat aku sudah berlari menuju anak tangga untuk menyelamatkan diri. Aku hanya meringis dan nyengir setelah berada di tangga teratas.
"Maafin Adara, Mah, Pah." Aku berkata dengan nada suara tinggi agar dapat mereka dengar.
~TBC~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top