15-Melancarkan Aksi Pertama

"Jangan kebanyakan basa-basi kalau jadi orang. Makanan basi saja berakhir di tempat sampah, apalagi omongan manusia?"

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Seperti layaknya perempuan kebanyakan yang gemar bergosip dan menonton acara gosip, aku pun sama. Setiap sore menjelang Magrib datang memang waktunya untuk aku bersantai bersama dengan televisi yang menampilkan rentetan kehidupan selebritis. Cukup menghiburku dari penatnya masalah hidup yang tak menemukan titik terang.

Tapi kegiatanku sekarang sedikit terganggu karena kehadiran Arda yang selalu mengutarakan ceramah panjang kali lebar. Ingin menyumpal kedua telinga dengan headset rasanya tidak mungkin, karena sudah pasti aku takkan bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.

Untuk kalian orang-orang berotak jenius yang ahli menciptakan teknologi canggih, tolonglah buatkanku headset yang bisa disambungkan ke televisi. Untuk harga tenang saja aku pasti akan membayarnya. Kalau perlu akan kulebihkan.

"Bisa gak sih gak usah recokin hidup gue mulu? Pengang nih kuping daritadi denger omongan lo!" semburku yang sudah sangat kesal dan terganggu.

Dia menghela napas berat. "Di waktu menjelang Magrib seperti ini seharusnya kamu habiskan dengan tadarus Al-qur'an, bukan malah nonton acara seperti itu."

Ini adalah kalimat yang sudah berkali-kali keluar dari mulutnya. Yang nonton siapa? Yang ribet siapa? Kalau gak suka pergi saja sana. Gak usah ganggu dan buat mood orang lain hancur berantakan.

"Lo mau nanggung dosa gue gara-gara tadarus dalam keadaan datang bulan?" omelku pada akhirnya. Aku sudah muak mendengar ocehannya yang membuat darahku mendidih. Baru hari pertama hidup satu atap saja sudah seperti ini, apalagi nanti?

Arda terlihat mengelus dada pelan dan beristigfar. "Kalau kamu lagi halangan bisa baca wirid, zikir, sama salawat supaya waktu kamu gak kebuang percuma. Walaupun dalam keadaan haid kamu masih bisa mendapatkan pahala dan ketenangan jiwa," katanya dengan suara lembut penuh kesabaran.

"Hidup lo repot dah, ini salah, itu salah, ini jangan, itu jangan. Ini nih yang paling gue gak suka dari lo, kerjaan lo ceramahin gue mulu. Bisa gak hidup lo nyantai dikit tanpa perlu mikirin sudah berapa banyak dosa yang lo buat hari ini? Gue gak bisa kaya lo yang apa-apa mikirin dosa dan pahala. Lo sama gue itu emang gak akan pernah bisa cocok dan akur dalam segala hal!"

Aku langsung mematikan tayangan televisi dan pergi menuju ke kamar. Menguncinya agar dia tidak bisa masuk ke dalam. Dasar ustaz kaleng-kaleng kurang kerjaan, kalau mau ceramah tuh di masjid. Efek cita-citanya yang tak kesampaian jadi begitu tuh. Kerjaannya dakwahin aku mulu.

Rumah tangga macam apa yang saat ini tengah kujalankan. Dia yang begitu gemar berbuat segala hal dalam ketaatan, sedangkan aku yang justru gemar bermaksiat tanpa tahu aturan. Segala bentuk ibadah dari mulai yang wajib sampai yang sunnah dia kerjakan, sedangkan aku hanya melakukan hal-hal yang wajib saja.

Dilihat dari sisi mana pun aku dan dia takkan pernah bisa jalan beriringan bersama. Pasti selalu ada saja hal yang kita ributkan, terlebih lagi dalam hal agama yang tidak begitu kupaham.

Makanya kalau mau nikahin perempuan pikir dulu yang matang, tuh perempuan bisa satu jalan dan satu pemikiran tidak? Kalau tidak bisa ya jangan maksain keadaan jadi kaya begini kan ending ceritanya. Mau diakhiri sudah tanggung basah dan lebih baik menceburkan diri saja sekalian. Nasi sudah menjadi bubur dan tidak akan pernah mungkin bisa menjadi bulir-bulir beras lagi.

Arda. Satu nama itu berhasil menjungkir balikkan hidupku. Dia itu ada hanya untuk membuatku sengsara. Kalau Tuhan menciptakan kota Bandung dalam keadaan tersenyum, lain cerita pada saat Dia menciptakan Arda. Sungguh demi apa pun aku ingin melenyapkan makhluk-makhluk sejenis dia.

•••

Aku terbangun saat jam sudah menunjukan pukul enam pagi, tanganku menggapai nakas untuk mencari ikat rambut lalu mengikatnya dengan asal tak beraturan, lantas membungkusnya dengan kerudung terusan yang berada di atas bantal. Aku takkan pernah pamer aurat di depan Arda berabe kalau nanti ada setan yang lewat. Bisa tamat riwayatku. Terus lagi aku takkan pernah ridho dan ikhlas kalau Arda melihat rambut hitamku yang panjang dan indah ini. Enak banget tuh orang dapat gratisan.

Membuka pintu kamar dan berjalan ke arah dapur untuk sedikit menyegarkan kerongkongan. Aku mendengar suara gemericik air di kamar mandi samping dapur, sudah bisa dipastikan kalau itu adalah Arda. Tanganku menggapai gagang kulkas mencari bahan makanan untuk sarapan. Meskipun kelakuanku bar-bar tak tahu aturan, tapi kalau untuk urusan dapur aku cukup bisa diandalkan.

Isi lemari pendingin itu sudah dipenuhi dengan berbagai macam jenis bahan makanan, dari mulai daging-dagingan, sayur-sayuran, buah-buahan, hingga produk siap saji yang hanya perlu dipanaskan. Pasti ini kerjaan Mamah yang tak ingin anaknya mati kelaparan gara-gara tak punya cukup banyak uang. Tenyata aku sudah salah menduga, kedua orang tuaku tak benar-benar melepasku begitu saja. Syukurlah, tambah bagus lagi kalau mereka masih bersedia memberikanku pemasukan untuk mencukupi segala jenis kebutuhanku yang sangat banyak itu.

Karena kemalasan dan rasa dongkol masih mendarah daging, aku memutuskan untuk menggoreng telur mata sapi dan juga nasi. Bodo amat tuh makanan mau dimakan atau dibuang, yang jelas aku sudah berusaha menjalankan peranku sesuai dengan surat perjanjian. Tak ada niat sedikit pun untuk membuatkan kopi atau teh hangat seperti yang dilakukan istri-istri kebanyakan. Aku masakan nasi dan telur saja sudah harus syukur alhamdulillah. Jadi jangan harap minta yang aneh-aneh.

"Sarapan buat lo sudah gue siapin di meja makan. Terserah mau lo makan atau buang. Suka-suka lo aja," kataku saat berpapasan dengan Arda.

Dia sudah berpakaian rapi tapi rambutnya masih basah oleh air. Namun aku heran, dapat pakaian dari mana dia? Bukannya semua pakaiannya ada di kamar dan kamar dari semalam kukunci. Aku mencium bau-bau mencurigakan.

"Maaf tadi sebelum Subuh aku masuk kamar tanpa izin, buat ambil perlengkapan salat sama seragam kerja," jelasnya tanpa diminta. Mungkin dia menangkap sinyal penuh selidik di wajahku.

"Dari mana lo dapat kuncinya?" tanyaku menyelidik. Bahaya kalau seperti ini ceritanya, Arda pasti punya kunci cadangan makanya dia bisa keluar masuk tanpa sepengetahuanku.

"Bukannya Mamah memberikan kita masing-masing satu kunci? Kamu lupa yah," jawabnya sekaligus mencoba untuk mengingatkanku.

Lagi-lagi Mamah yang berbuat ulah. Aku ingin menangis dan meraung-raung agar Allah mau menghilangkan sifat menyebalkan Mamah yang selalu membuatku sengsara.

"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Malas untuk kembali berbincang dengannya. Buang-buang waktu dan energi saja.

Masalah kunci kamar biarkan sajalah, nanti bisa kuambil dan sembunyikan tanpa sepengetahuan dia. Enak saja kalau sampai dia memiliki kunci cadangannya, bisa-bisa aku tidur dengan tidak tenang karena takut kalau malam-malam dia menyusup dan bangun lebih awal agar tidak ketahuan.

"Kamu gak makan?" tanyanya yang hanya kubalas dengan lirikan mata malas. Jangan kebanyakan basa-basi kalau jadi orang. Makanan basi saja berakhir di tempat sampah, apalagi omongan manusia?

Lebih baik aku segera membersihkan diri daripada menjawab pertanyaan tak bermutunya. Aku langsung memasuki kamar mandi yang terdapat di dalam kamar. Hari ini aku akan mengajukan judul skripsi, semoga untuk kali ini bisa langsung disetujui. Rasanya sangat malas untuk pergi ngampus dalam keadaan unmood seperti sekarang.

Tapi apa boleh buat jika ini adalah sebuah keharusan, dan mau tak mau aku harus menjalaninya. Aku memutuskan untuk memakai rok polos bergaris warna navy, yang kupadu-padakan dengan blouse abu, dan juga kerudung pashmina yang senada dengan warna rokku. Memoles wajah dengan berbagai macam alat make up, sepatu berhak tinggi dan juga tas semakin memaksimalkan penampilanku.

Saat keluar dari kamar aku sama sekali tak menjumpai batang hidung Arda. Mungkin dia sudah berangkat kerja. Meja makan sudah rapi dan bersih, bahkan bekas makannya pun tak meninggalkan jejak. Syukurlah dia cukup tahu diri dengan tidak membiarkan kedua tanganku berubah menjadi kasar seperti kuli.

Tapi pada saat aku menginjakkan kaki keluar gerbang, aku dibuat kaget karena keberadaan Arda yang tenyata masih nangkring di atas motor matic hitamnya. "Ngapain lo masih ngejogrog di sini, hah?" semburku setelah memastikan benar-benar sudah mengunci gerbang.

"Ayo buruan naik aku anterin kamu ke kampus," cetusnya yang langsung kusambut dengan gelak tawa penuh ejekan.

"Lo ngajak gue ke kampus naik beginian? Gak salah tuh. Maaf-maaf aja nih yah bentar lagi jemputan gue datang," sahutku dengan gaya pongah andalan.

Bisa malu tujuh turunan kalau sampai aku ke kampus hanya dengan menaiki kendaraan beroda dua itu. Turun kasta dong.

Tak lama dari itu suara mesin mobil serta klakson terdengar. Aku menarik sebelah sudut bibirku sebelum berucap, "Motor lo ngalangin mobil cowok gue. Singkirin sana!"

Tanpa beban sedikit pun aku berkata hal demikian. Biarkan saja dia sakit hati karena ucapanku barusan, toh aku berbicara sesuai dengan fakta dan kenyataan. Sekali-kali dia harus disadarkan agar tahu diri dan sadar dengan statusnya yang jelas-jelas tak sebanding denganku.

"Siapa, Dar?" tanya Lukman saat dia sudah membukakanku pintu mobil.

Dengan enteng tanpa beban aku menjawab, "Sudahlah mending kita berangkat sekarang. Buang-buang waktu doang kalau cuma mau tahu urusan orang lain. Gak penting!"

Aku sengaja menekan kata demi katanya. Sebisa mungkin aku harus segera membuat Arda sakit hati serta menyerah di tengah jalan. Dengan begitu dia sendiri yang akan menyerahkan diri ke pengadilan agama. Aku sudah sangat muak jika harus hidup satu atap lebih lama lagi dengannya.

~TBC~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top