12-Perjanjian Tertulis
"Hanya sebuah hubungan kerja sama, bukan hubungan dua insan manusia."
-Adara Mikhayla Siregar-
•••
SURAT PERJANJIAN KESEPAKATAN NIKAH
Pada tanggal dibacanya surat ini, telah disepakati perjanjian kerja sama oleh dan antara para penandatangan di bawah ini :
1. Adara Mikhayla Siregar dalam hal ini bertindak sebagai Pihak Pertama.
2. Arda Nazma Dewanda dalam hal ini bertindak sebagai Pihak Kedua.
Berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Para Pihak atas dasar profesionalitas serta itikad baik dengan surat ini telah bersepakat untuk mengadakan perjanjian dengan memakai ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Baik Pihak Pertama ataupun Pihak Kedua sepakat untuk tidak saling mengurusi urusan pribadi masing-masing.
2. Pihak Kedua harus dan wajib memenuhi semua kebutuhkan Pihak Pertama, hanya dalam hal finansial.
3. Pihak Pertama maupun Pihak Kedua tidak perlu menjalankan kewajiban sebagaimana pernikahan pada umumnya.
4. Tidak ada kata cinta dalam hubungan pernikahan sementara ini.
5. Tidak ada kontak fisik di antara dua belah pihak. Jika sampai hal itu terjadi maka dengan secara otomatis perjanjian dibatalkan dan pernikahan pun berakhir.
Demikianlah akta ini dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak dalam surat pernyataan bermaterai dan mempunyai kekuatan hukum.
Pihak Pertama,
Adara Mikhayla Siregar
Pihak Kedua,
Arda Nazma Dewanda
Aku menyerahkan kertas putih yang sudah kucorat-coret dengan tinta hasil tanganku sendiri. Arda membacanya dengan seksama dan sesekali mengernyitkan kening, seperti heran dan tak setuju dengan apa yang tertera di sana. Bodo amat. Yang jelas aku mau dia menyetujui apa yang sudah kutuliskan.
"Kerja sama?" tanyanya membeo tak percaya.
Aku mengangguk mantap. "Hanya sebuah hubungan kerja sama bukan hubungan dua insan manusia!" tuturku penuh penekanan pada tiga kata terakhirnya.
"Kalau ada yang mau lo tambahin silakan. Tapi jangan sampe lo otak-atik pasal yang sudah gue buat," sambungku menambahkan.
Arda menyerahkan kertas itu padaku dan berujar, "Syarat yang kamu ajukan hanya menguntungkan diri kamu pribadi. Sedangkan aku menjadi pihak yang dirugikan. Aku gak setuju."
Aku berdecak. "Lo mah ribet orang cuma tanda tangan doang juga," selaku masih teguh pendirian.
Aku tidak mau dirugikan karena pernikahan dadakan ini. Bagaimana pun aku menjadi pihak tertindas dan tersiksa. Setidaknya selama satu bulan setengah itu aku bisa memanfaatkan Arda dengan menguras habis uangnya yang tak seberapa. Biar tahu rasa dia. Seenak jidat ngucap akad dan sebagai konsekuensinya dia harus memenuhi segala jenis kebutuhan serta gaya hidupku yang kelewat hedon dan luar biasa menguras kantong.
"Aku hanya menyetujui pasal no dua selain itu aku gak setuju. Sebagai seorang kepala keluarga memang sudah seharusnya aku memberikan nafkah untuk memenuhi kebutuhan istriku. Tanpa perlu kamu minta pun aku akan memberikannya," jelasnya.
"Istri... istri... gak ada gitu-gituan yah. Gue sama lo itu cuma sebatas partner bisnis. Hubungan kerja sama yang saling menguntungkan." Aku tak setuju karena dia hanya menyetujui satu pasal saja. Dan apa-apaan itu pakai acara panggil istri segala? Aku tak sudi untuk menyandang status tersebut.
"Menguntungkan?" Dia bertanya dengan sorot mata sulit untuk diartikan. Rasanya aku ingin ketawa setan sekarang juga, belum apa-apa dia sudah kehabisan kata-kata untuk menghadapiku. Kuyakin setelah ini dia bisa berada di bawah kendaliku. Lihat saja pembalasanku!
Aku mengangguk tanpa keraguan, bahkan tangan kananku sengaja kukibas-kibaskan di depan wajah. "Gue yang untung dan lo yang rugi." Salah satu sudut bibirku terangkat sempurna.
Berkali-kali aku melihat Arda mengembuskan napas kasar. Makanya jangan macam-macam dengan Adara Mikhayla Siregar. Makan tuh surat perjanjian!
"Aku akan menandatanginya kalau kamu menghapus empat pasal yang lain," tukasnya tegas.
Aku menggeleng keras. "Lo tanda tangani sekarang atau gue bakal urus berkas-berkas perceraiannya?"
Aku tak akan goyah dan setuju akan permintaannya. Pernikahan ini hanya berlangsung sekitar satu bulan setengah, dan aku tak ingin sesuatu yang tak kuharapkan kehadirannya justru mengganggu semua rencana yang sudah kupersiapkan dengan matang, walau dalam keadaan yang serba dadakan.
Arda mengambil alih kertas yang masih kupegang, dan dia membalik belakang kertasnya yang masih kosong. Tangannya lincah bermain di sana, aku hanya diam menunggu dia menyelesaikan kegiatannya.
"Suka gak suka, mau gak mau kamu harus setuju. Gak ada tawar-menawar lagi!" katanya sebelum menyerahkan selembar kertas yang sudah agak lecek itu.
SURAT PERJANJIAN KESEPAKATAN NIKAH
Pada tanggal dibacanya surat ini, telah disepakati perjanjian kerja sama oleh dan antara para penandatangan di bawah ini :
1. Adara Mikhayla Siregar dalam hal ini bertindak sebagai Pihak Pertama.
2. Arda Nazma Dewanda dalam hal ini bertindak sebagai Pihak Kedua.
Berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Para Pihak atas dasar profesionalitas serta itikad baik dengan surat ini telah bersepakat untuk mengadakan perjanjian dengan memakai ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Pihak Kedua harus dan wajib memenuhi semua kebutuhkan Pihak Pertama.
2. Pihak Pertama maupun Pihak Kedua harus menjalankan peran sebagai suami dan istri sebagaimana pernikahan pada umumnya.
3. Pernikahan akan tetap berlangsung sesuai waktu yang telah disepakati, tanpa pengecualian sama sekali. Jika ada yang melanggar harus mau dan menerima sanksi dari pihak bersangkutan.
4. Pihak Pertama harus bersedia memberikan Pihak Kedua keturunan.
Demikianlah akta ini dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak dalam surat pernyataan bermaterai dan mempunyai kekuatan hukum.
Pihak Pertama,
Adara Mikhayla Siregar
Pihak Kedua,
Arda Nazma Dewanda
Mataku membola tak percaya. Perjanjian macam apa yang dia tulis. Itu hanya menguntungkan dia sendiri sedangkan aku dirugikan.
Enak di dia gak enak di aku.
"Ogah. Gue gak setuju. Itu mah sama aja lo ngerugiin gue!" kataku menggebu-gebu.
"Kamu merasa dirugikan? Aku pun sama dengan apa yang kamu rasakan saat membaca surat kesepatakan yang kamu buat." Dia menarik sebelah sudut kanan bibirnya ke atas.
Licik juga ternyata tuh orang. Aku harus berhati-hati dengan kecerdikan yang dia miliki.
Aku berdecak kesal. "Kalau lo minta anak, sama saja lo ngiket gue lebih lama. Gak ada gitu-gituan!"
Aku tidak bodoh untuk tahu akal bulus di balik pasal keempat itu. Dalam agama Islam tidak boleh menceraikan istri dalam keadaan hamil. Dan itu sama saja aku memperpanjang masa pernikahan yang tak diinginkan ini. Aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi.
"Selain mencari ridho Allah tujuan dari sebuah pernikahan itu untuk mendapatkan keturunan," ucapnya begitu lancar tanpa beban.
Tuh mulut minta kucincang apa? Aku tak mau berpisah dalam keadaan diriku yang sudah tidak utuh lagi. Berstatus sebagai janda saja aku tidak mau, apalagi ditambah dengan julukan janda satu anak. Tidak! Aku takkan membiarkan hal itu terjadi.
Dikira perempuan dinikahi hanya untuk menjadi mesin pembuat anak saja kali. Aku bukan wanita bodoh yang dengan mudah menyerahkan sesuatu yang begitu berharga dalam hidupku pada sembarang orang, apalagi itu untuk seorang Arda Nazma Dewanda.
"Lo coret pasal keempat dan gue akan tanda tangan. Kalau lo tetep keukeuh ya sudah mending kita ke pengadilan sekarang," tukasku final tidak bisa diganggu-gugat.
Kalau dia bisa mengancamku aku pun akan mengancamnya balik.
"Kalau gitu aku juga akan mencoret pasal pertama," sahutnya yang membuatku kesal bukan kepalang.
Mana bisa aku hidup tanpa uang dan kemewahan, walaupun kuyakin gaji dia tak seberapa. Tapi setidaknya kasihlah aku nafkah selama menjadi istrinya hanya istri sementara bukan sementerus. Tolong diingat dan kalau perlu dicatat dengan capslock jebol serta cetak tebal.
Arda itu hanya pegawai pabrikan biasa yang berpenghasilan pas-pasan. Papah dan Mamah pasti akan lepas tangan dan tidak mungkin lagi memenuhi semua yang kuperlukan pada saat aku sudah sah menjadi istri orang. Hidup tanpa harta dan kemewahan? Itu sama saja seperti membunuhku secara perlahan-lahan. Memang sih aku masih memiliki satu ATM berjalan yang bersumber dari Lukman, tapi aku rasa itu tidak akan cukup dan aku harus mencari suntikan dana dari orang lain. Ya seperti Arda misalnya.
Aku memutar otak untuk menyanggah dan menolaknya lagi. Cukup lama dan akhirnya sebuah ide cemerlang muncul begitu saja. "Ok gue setuju. Mana kertasnya?" cetusku yang membuat mata dia berbinar senang.
Silakan nikmati saja kebahagiaan sesaatmu wahai ustaz kaleng-kaleng menyebalkan. Sebelum keinginan kamu tercapai aku akan lebih dulu membuat kamu mundur dan dengan sukarela melayangkan gugatan cerai ke pengadilan agama.
Aku sangat menunggu waktu itu. Semoga saja segera terkabul. Bukankah doa orang yang teraniaya itu diijabah Allah Subhanahu wa Ta'ala? So, kuharap Dia bersedia mempercepat doaku.
~TBC~
Bagaimana nih isi dari surat perjanjian antara Arda dan Adara? Apakah rencana dan doa Adara akan terkabul? Tunggu kelanjutan kisah mereka yah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top