Bagian 3
“KEANEHAN yang kaualami itu terlalu memalukan. Bunga adalah satu-satunya hal penting yang membedakanmu dari yang lain! Tapi, tidak hanya bunga, kau juga tak bisa menyentuh semua tanaman. Itu membuatku terasa hina.”
Kim Dan tidak tahu bahwa seorang penyihir yang dihormati karena jasanya dalam bidang pendidikan anak-anak penyihir mampu mengatakan kalimat itu. Benar bahwa Kim Yoon memang pintar, tetapi beliau sering tidak menerapkan apa yang diajarkan. Layaknya orang zaman dahulu yang suka melakukan kekerasan pada anaknya karena suatu kesalahan, Kim Yoon juga melakukan hal yang sama, tetapi melalui tatapan mata. Dan bisa merasakan tatapan tidak suka dari Yoon ketika masih kecil. Namun, sejak Na Young, ibunya, meninggal, Dan merasa Yoon sedikit melunak. Sayangnya, ternyata tidak. Yoon hanya menyembunyikan ketidaksukaannya. Beliau tidak pernah menerima keadaan Dan yang berbeda.
“Bagaimana Ibu bisa mencintai Ayah?” Dan bertanya dalam kesunyian. Pemuda itu tanpa sadar tertawa miris. Satu-satunya orang yang menerimanya dengan baik dan penuh kasih sayang hanyalah sang ibu. “Aku tidak tahu jika menemui Ibu selalu membuatku menemukan hal baru yang … sayangnya, tidak bagus.” Dan bermonolog lagi.
Beberapa orang memasuki area pemakaman. Dan segera berdiri. Dia ingin menghindar dari siapapun. Suasana hatinya juga semakin memburuk. Ada sedikit ketidakrelaan untuk meninggalkan desa ini selamanya, tetapi Kim Dan juga tidak ingin tinggal di sini.
“Aku pergi, Ibu. Aku selalu berharap Ibu sudah tenang dan bahagia.”
***
Rutinitas Kim Dan yang membosankan terus berulang. Entah sudah berapa lama dia mengurung dirinya sendiri. Kondisinya saat ini sudah seperti orang yang tak punya semangat hidup---sangat berbeda dengan awal-awal Kim Dan menempati gua. Meskipun demikian, masih ada keinginan kecil dalam hati Dan untuk menghilangkan kutukan yang dibawanya sejak lahir. Entah apakah dia bisa mendapat keajaiban untuk itu.
Sampai detik ini, hal yang membuat Dan merasa hidup adalah langkah kaki para jagawana dan dialog-dialog mereka. Beberapa kali dia mendengar suara helikopter yang datang karena ada pendaki yang sakit parah saat menaiki ataupun menuruni gunung. Entah bagaimana reaksi para jagawana ketika mendengar ini, tetapi Kim Dan bersyukur karena pekerjaan mereka membuatnya merasa ingin hidup lebih lama lagi.
“Ah, itu mereka.” Kim Dan mengenal salah dua jagawana yang berlari-lari mendekat ke tempatnya. Choi Rina dan Kang Jaehyuk. Dua orang ini sering bersama sebagai satu tim. Tampaknya, mereka akan menyelamatkan seorang pendaki di puncak gunung. Kim Dan berharap mereka bisa melaksanakan tugas dengan baik dan tidak terluka dalam perjalanan. Dia mengayunkan tongkat. Sesuatu seperti benang putih bercahaya muncul, melingkari kaki Rina dan Jaehyuk. Tak lama kemudian, langkah kaki mereka menjadi lebih cepat. Kim Dan tidak bisa diam saja setelah seharian merebahkan badan di atas tanah sambil melayangkan kerikil-kerikil yang ada sesuka hatinya. Pemuda itu tersenyum kecil ketika punggung Rina dan Jaehyuk menghilang dengan cepat.
Kim Dan menghela napas. Kesunyian kali ini tak berlangsung lama. Dia mendengar langkah seseorang menuruni gunung, suara-suara dari walkie talkie, dan sedikit percakapan antara pendaki dengan jagawana. Sesuai dugaan, Rina dan Jaehyuk baru saja menyelamatkan seseorang. Mereka kembali melewati depan gua dengan kekuatan sihir Kim Dan yang masih bekerja. Lagi-lagi, Dan tersenyum kecil. Rasanya lega karena dia bisa menolong manusia-manusia tersebut.
***
Langkah kaki yang tak terdengar beraturan menarik perhatian Kim Dan. Ini adalah kali pertamanya mendengar sesuatu yang terasa ragu. Tak lama kemudian, bayangan seorang gadis menghampirinya. Dan mengangkat kepala, menemukan seorang gadis dengan rambut lurus panjang dan paras paling menawan yang pernah dia lihat. Mungkin karena Dan terlihat lelah dan tidak terurus, gadis itu tampak terkejut dan takut.
Dan hanya menatapnya heran, belum sepenuhnya sadar jika ada yang salah. Manusia tidak bisa melihat penyihir yang memantrai dirinya. Dan sendiri selalu menyamarkan keberadaannya agar tidak ketahuan oleh manusia. Selain itu, dia tidak mau dikira sebagai hantu karena pakaiannya yang cukup lusuh dan wajahnya yang entah berupa apa karena tak dirawat.
“Astaga. Apakah kau juga tersesat?”
Pertanyaan gadis itu membuat Dan mengerutkan kening. “Aku?” tanyanya. Pemuda itu mengedipkan mata beberapa kali. “Kau bisa melihatku?”
Gadis itu mengangguk. “Sudah berapa lama kau berada di sini?”
Dan tidak menjawab. Gadis ini seharusnya tidak bisa melihatku ….
“Aku ingin bertanya, apakah kau memiliki ponsel? Aku harus menghubungi seseorang.”
“Kau bukan jagawana?”
“Bukan.” Sekian detik kemudian, gadis itu sedikit kesal dengan balasan Dan. “Apakah kau benar-benar tidak memiliki ponsel?”
Dan menggeleng. Ada sedikit penyesalan karena dia barusan tidak bisa mengerem mulutnya yang entah kenapa tiba-tiba bertanya sesuatu yang tidak berhubungan dengan pertanyaan gadis itu. “Bagaimana … kau bisa sampai ke sini?”
“Aku tersesat.”
“Kau di sini … karena tersesat begitu saja?”
Si lawan bicara mengerutkan kening. Kim Dan belum menjawab pertanyaannya sama sekali dan justru bertanya balik. Benar-benar tidak nyambung. “Astaga. Apakah kau memiliki hari-hari yang sulit? Kau kabur dari rumah dan tertidur di sini?”
Melihat Dan tidak menjawab, gadis itu meneruskan, “Tidak mungkin, bukan? Di sini dingin. Kita harus memberi tanda kepada orang lain atau jagawana. Aku membutuhkan ponsel untuk memanggil---”
“Aku …,” potong Dan, “tidak perlu memanggil orang lain.” Ketika sadar bahwa ucapannya menimbulkan kebingungan pada gadis itu, Dan meralatnya. “Maksudku, aku telah memanggil jagawana. Aku memiliki ponsel, tetapi itu … sangat jelek. Saat ini juga tidak bisa digunakan. Aku hanya tidak ingin menunjukkannya padamu.”
“Oh … baterainya juga habis?”
“Ya, benar …. Ngomong-ngomong, aku Kim Dan. Kau harus kupanggil siapa? Bagaimana kau bisa tersesat?”
“Namaku Lee Yeonseo,” jawab gadis itu. “Entah bagaimana aku bisa tersesat, kurasa aku sudah mengikuti arahan dari teman-temanku dengan baik. Mereka meninggalkan pita di beberapa pohon sebagai panduan jalan, tetapi kira-kira satu kilometer dari sini, pita selanjutnya tidak kutemukan.”
“Itu terdengar menyeramkan.”
Lee Yeonseo mengembuskan napas. Dia juga bercerita bahwa dia ingin kembali dengan melihat pita-pita sebelumnya, tetapi dia tiba-tiba tidak ingat. Jarak antar pita lebih dari seratus meter. Yeonseo tidak tahu jika pita akan ditaruh sejauh itu. Juga, Yeonseo berada di barisan terakhir dalam perjalanan. Jadi, dia memilih jalan sembarangan setelah tidak menemukan sinyal untuk ponselnya. Saat ini, baterai ponselnya sudah berwarna merah. Dinyalakan selama beberapa detik saja, ponsel Yeonseo akan mati lagi.
“Kalau begitu, mari tunggu sampai para jagawana datang.” Kim Dan mengakhiri percakapan. Yeonseo kemudian meringkuk sambil menenggelamkan kepala di antara kedua lutut. Kim Dan berdiri dan menjauh. Jantungnya berdetak semakin kencang. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Tadi, pemuda itu hanya berpura-pura menjadi pendaki. Bagaimana mungkin dia menghubungi jagawana, bentuk ponsel manusia saja baru diketahuinya hari ini. Bagaimana dia harus menutupi kebohongannya?
Sebuah ide muncul. Dan mengayunkan tongkatnya ke arah ponsel Yeonseo yang tergeletak di dekat gadis itu. Dalam sekejap, baterai ponsel itu pun terisi penuh. Yeonseo pasti akan menghubungi seseorang. Setelah gadis itu menemukan jalan pulang, Dan akan menghapus ingatannya tentang mereka. Ide itu membuat Dan tersenyum kecil. Sekali-sekali membantu manusia tidak akan menjadi masalah. Pemuda itu beberapa kali melakukannya ke Choi Rina dan Kang Jaehyuk.
Lee Yeonseo perlu kembali ke dunianya, bukan terjebak bersama Kim Dan yang bukan dari bangsa manusia. Manusia dan penyihir seharusnya terpisah, bukan berada dalam satu tempat yang sama.
“Lee Yeonseo, bisakah aku mengatakan sesuatu?”
Yeonseo mengangkat kepala.
“Sebaiknya kau juga menghubungi jagawana. Teman-temanmu pasti panik jika mereka tak menemukanmu di tempat tujuan.”
“Bukankah sudah kubilang bahwa bateraiku habis?” Untuk kali kedua, Yeonseo merasa Dan tidak menangkap ceritanya dengan baik. Dan melirik ponsel Yeonseo. Yeonseo mengikuti arah pandangan pemuda itu, kemudian membulatkan mata. “Baterainya!” ucapnya spontan.
“Kurasa, kau sempat salah melihat.” Dan juga beralasan bahwa ponsel Yeonseo sempat menyala karena ada notifikasi masuk. Padahal, dialah yang sengaja menyalakan benda itu usai menyihir baterainya.
“Ini aneh sekali,” kata Yeonseo, masih tidak percaya. Tadi benar-benar hampir menyentuh angka nol. Namun, dia berterimakasih kepada Kim Dan. “Aku tidak akan mengetahuinya jika kau tidak mengatakannya.” Yeonseo segera mengetik sederet nomor yang pernah dia catat di selembar kertas. Jaga-jaga bila terjadi hal yang tidak diinginkan seperti hari ini.
Usai menghubungi kantor pos jagawana, Yeonseo melipat kertas yang sedari tadi dipegang. Lalu, dia mengambil beberapa bibit bunga yang dibelinya beberapa hari yang lalu. Dia lupa mengeluarkannya dan bibit-bibit itu akhirnya tetap berada dalam tas. “Kim Dan-ssi, apakah kau ingin memiliki ini?” tanya Yeonseo sambil memberikan salah satu bungkus berisi biji bunga.
“Apa ini?” Kim Dan mengambil bungkus dari Yeonseo yang sudah terbuka. Dikeluarkannya isi dari dalam benda tersebut yang merupakan biji bunga matahari. Dan langsung menjatuhkannya. Sudah sangat lama dia tidak menyentuh sesuatu yang berkaitan dengan tanaman. Situasi ini membuatnya teringat bagaimana dia menyentuh mawar untuk ditabur di atas tanah yang menimbun jasad ibunya, kemudian selalu berakhir gagal. Di sisi lain, perasaan sedih juga menyergap Kim Dan karena kutukannya belum hilang.
Tidak ada gambar ataupun tulisan yang menjelaskan isi produk yang dibawa Yeonseo. Kemasan itu berupa kertas putih yang dibentuk seperti bungkus obat. Kim Dan sedikit menyesal karena langsung menuang isinya, bukan melihatnya terlebih dahulu.
Sementara itu, sambil mengeluarkan bungkus bibit tanaman lain, Yeonseo berkata, “Kau bisa mengambilnya jika mau, Kim Dan-ssi.” Namun, karena Dan menggeleng, dia mengambil bungkus itu. Bagian atasnya sudah terbuka dan Yeonseo melihat isinya. Dia menaikkan salah satu alis. Bukan biji bunga yang ada di kemasan itu, melainkan kumpulan debu-debu halus. “Apa ini?”
Kim Dan menelan ludah. Gadis pemilik bibit itu tidak tahu bahwa Dan-lah penyebabnya. Yeonseo kemudian menatap pemuda itu. “Isinya bukan ini. Kau baru saja menyentuhnya, bukan?”
Kedua kelopak mata Dan melebar. Siapapun dapat merasakan getaran ketakutan dari pemuda itu. Dan mengalihkan pandangan ke arah bungkus yang dipegang Yeonseo, berpura-pura tidak mengerti.
“Kau melihat bibitnya?” tanya Yeonseo, kemudian dia berbicara sendiri, “Astaga, apa mungkin isinya jatuh? Di dalam tas juga tak ada sisanya.”
“Kau bisa membelinya lagi.” Dan menghela napas karena Yeonseo tak henti-hentinya mencari ke mana perginya bibit itu. Bagaimanapun juga, Dan tidak bisa menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Itu akan terdengar tidak masuk akal bagi manusia.
Mengapa aku dipertemukan dengan seseorang yang membawa bibit tanaman? Dan menyandarkan punggung ke dinding gua. Sejak Yeonseo datang, hidupnya terasa tidak tenang. Dia memejamkan mata, mencoba mengatur napas. “Astaga, jangan melakukannya lagi. Aku tidak menyukai bunga,” ucapnya ketika Yeonseo ingin memberikan bibit tanaman lain. Kemudian, dia memutuskan untuk tidur agar tidak diajak bicara oleh gadis di sampingnya yang sibuk merapikan isi tas.
***
“Menyebalkan.” Yeonseo bersungut-sungut. Dia sedang berada di luar gua. Berdekatan dengan Kim Dan membuatnya cepat merasa kesal. Begitu mudahnya Dan menyarankan untuk membeli biji bunga matahari lagi, padahal Yeonseo mencari itu begitu lama karena jarang ada penjual bibit tanaman yang dekat dengan rumahnya. Kalaupun ketemu, pasti jarang yang memiliki biji bunga itu.
Sudah sepuluh menit Kim Dan tidur. Yeonseo kembali ke dalam gua. Dia mencari-cari Dan yang tidak berada di tempat semula. Ada rumput kecil yang tumbuh di dekat tempat Dan tidur, tetapi sekarang sudah tidak ada. Sekilas, terlihat debu-debu halus di sana. Yeonseo jadi bingung. Dia pun masuk semakin jauh ke dalam gua. Di sana semakin gelap. Namun, dia mulai melihat sosok dengan kemeja, jas, dan celana putih. “Kim Dan!” panggilnya.
“Kau mengejutkanku!” Kim Dan tak sadar ikut berteriak. “Mengapa kau masuk ke sini?”
“Apa yang kaulakukan?”
“Aku ingin tidur!” balas Dan. “Kau tetaplah di sana. Jangan membuat jagawana nanti tidak bisa menemukanmu. Panggil aku jika jagawana sudah datang.”
“Astaga.” Yeonseo tidak menyangka bahwa Kim Dan bisa memberi perintah sesuka hati. Dia tadi kesal, tetapi kenapa Dan sekarang juga kesal dengannya? Wajar bagi Yeonseo untuk mencari pemuda itu jika tiba-tiba menghilang. Kim Dan, kan, juga harus ditolong. Pemuda itu harus kembali ke rumah, bukan malah menyembunyikan diri di tempat yang lumayan gelap seperti ini.
***
Kim Dan berusaha berjalan tanpa menimbulkan suara. Tiga meter dari pintu gua, dia iseng menumbuhkan tanaman putri malu di udara. Dulu, dia sering sekali melakukan ini karena suka keunikan daun-daunnya yang akan menutup jika disentuh. Hal itu tampak lucu bagi Dan, meskipun tak lama kemudian tanaman itu akan menjadi debu. Karena hanya putri malu satu-satunya tanaman yang membuat Dan senang, Na Young menyarankan putranya untuk mengambil bunga putri malu sebagai identitasnya. Oleh Kim Dan, bunga yang asalnya berwarna ungu diubah menjadi warna putih. Kedua sudut bibir Dan melengkung ke atas ketika memori itu terputar. Tanpa sadar, telunjuk Dan mendekat ke daun-daun putri malu. Mereka menguncup, kemudian segera hancur menjadi debu.
“Apa yang kaulakukan?”
Jantung Kim Dan langsung berdetak kencang. Dia tidak ingin berbalik badan. Pemilik suara itu pastilah Yeonseo. Keheningan melingkupi mereka selama beberapa detik.
Yeonseo melihat Dan menghancurkan sebatang putri malu menjadi debu dengan mata kepalanya sendiri. Seperti terserang suatu penyakit mematikan, daun yang disentuh itu tiba-tiba retak dan berubah warna menjadi abu-abu, kemudian berubah menjadi debu yang beterbangan.
“Aku tidak mungkin salah melihat.” Yeonseo masih menatap belakang kepala Dan. Dia teringat akan rumput kecil di sebelah Dan tidur yang sekarang sudah tidak ada ketika diperiksa. “Kau juga melakukan sesuatu pada bibit bungaku, bukan?”
“Lee Yeonseo ….” Kim Dan akhirnya berbalik menatap Yeonseo. “Itu sebuah ketidaksengajaan.”
Yeonseo ingin bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi, tetapi dia masih mengunci tatapan mata Kim Dan. Dia ingin tahu apa lagi yang akan dikatakan oleh pemuda itu.
“Maafkan aku. Andai saja aku bisa mengembalikan milikmu, tetapi tidak bisa.”
“Mengapa?” Yeonseo tidak tahan untuk tetap diam ketika Dan terlalu lama berpikir. “Ada apa, Kim Dan?” tanyanya lagi. Sedari awal Yeonseo sampai di gua, dia tidak bisa menebak Kim Dan orang seperti apa. Dia asal menyimpulkan saja kalau Dan sedang kabur dari rumah. Melihat Dan tidak menanggapi apa pun tentang asumsinya, Yeonseo semakin yakin kalau pemuda itu sebenarnya bukan kabur. Pasti ada yang dia sembunyikan. []
[Bagian 3 dari Mati pada Musim Semi kali pertama dipublikasikan pada 31 Mei 2022.]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top