Bagian 2

TIGA bulan berlalu dengan cepat. Tidur, makan, bersembunyi jika ada manusia yang lewat, dan menerbangkan benda-benda di sekitarnya ketika bosan. Semua itu sangat sering Kim Dan lakukan seperti orang yang tidak punya tujuan hidup. Berdoa dan bersemedi di gua membuatnya merasa seperti orang tua yang bodoh karena dia tidak mendapatkan apa-apa. Entah cara berdoanya salah atau memang Dewa Pencipta belum ingin memberikan bantuan.

Alih-alih berdoa sepanjang hari, Kim Dan mulai sering berjalan-jalan di sekitar gua sambil menyamarkan dirinya sendiri agar tidak ketahuan manusia, kemudian menguping pembicaraan orang-orang yang lewat. Sayangnya, dia kerapkali tidak mendengar percakapan mereka secara lengkap karena area persembunyiannya memiliki batas tertentu. Manusia-manusia itu berjalan sejauh yang mereka mau, sedangkan Dan akan selalu berhenti di titik yang sama. Karena itu, dia mengetahui sebagian kecil kabar manusia yang tinggal di kaki gunung atau desa di dekat gunung.

Ngomong-ngomong, Kim Dan penasaran dengan dunia manusia meskipun tidak ingin masuk ke dalamnya. Sejak kecil, dia diperingatkan Kim Yoon untuk tidak mendekat ke bangsa manusia. Alasan itu pula yang membuat ayahnya membuat batasan tak terlihat beberapa meter dari gua tempat Kim Dan berada. Dan hanya ingin tahu kegiatan sehari-hari para manusia yang tidak memiliki kekuatan sihir dan masalah apa saja yang bisa menimpa mereka. Jika mengecualikan penggunaan sihir, apakah bangsa penyihir dan manusia memiliki banyak kesamaan konflik?

“Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku tidak tahu harus melakukan apa!” Kim Dan menggerutu. Dia ingin sekali kembali dan bergaul dengan penduduk Desa Jalan-Berbunga. Tinggal sendirian membuatnya merasa kesepian, apalagi tempat ini selalu sunyi. Pemuda itu pun memejamkan mata. Tongkat sihirnya tertangkup dalam kedua tangannya. Dia mengingat-ingat bagaimana dia menyanggupi permintaan Kim Yoon untuk jauh sementara dengan Desa Jalan-Berbunga dan bagaimana suasana percakapan mereka saat itu.

Meskipun Kim Dan dikurung dalam gua, pemuda itu sedari awal tidak khawatir akan terjebak di sana selamanya. Tidak banyak yang tahu bahwa setiap penyihir selalu bisa keluar dari kurungan penyihir lain dengan mengingat tempat terakhir mereka berada sebelum dikurung. Dengan Mantra Kembali ke Asal, penyihir akan kembali bebas. Cara ini sengaja disembunyikan agar tidak dimanfaatkan oleh orang-orang jahat. Bertahun-tahun berlalu, sebagian orang yang mengetahui mantra itu sudah meninggal dunia. Sebagian lain sengaja menghapus ingatannya sendiri agar tak ada yang menyalahgunakan mantra tersebut di generasi penerusnya---hukumannya tak main-main jika sampai ketahuan.

Satu menit berlalu. Kim Dan tidak lagi merasakan aroma tanah bercampur suhu udara pagi yang dingin. Dia membuka mata, memandang sekeliling dengan penuh suka cita. Keadaan rumah yang dia rindukan sekarang benar-benar ada di depan mata. Kim Yoon masih mengajar di sekolah pada jam-jam seperti ini. Untung saja perbedaan waktu antara Desa Jalan-Berbunga dengan gua tidak jauh sehingga Dan tidak perlu menghitung kapan waktu yang tepat untuk pulang ke rumah.

“Aku ingin bertemu Ibu sebentar,” kata Dan pada dirinya sendiri. Dengan langkah yang pelan, dia melihat-lihat desa yang dia tinggalkan selama tiga bulan terakhir. Musim semi telah beralih menjadi musim panas. Tidak banyak penyihir yang membawa bunga di saku baju, dan hal itu membuat Dan semakin merasa bebas.

“Lee Seon!” Dan menyapa salah satu teman sekolahnya dengan ceria. Namun, ekspresinya berubah ketika si lawan bicara justru menggerak-gerakkan bola mata dengan tidak nyaman. “Hei, ada apa?” tanya Dan, ikut tidak nyaman dengan yang dilakukan Seon. Kemudian, dia ragu-ragu berkata, “Ini aku, Kim Dan. Kau … tidak mengenalku?”

Hati Kim Dan terasa seperti ditusuk ketika Seon perlahan melangkah mundur. Tanpa menanggapi Dan, gadis itu langsung berjalan cepat meninggalkan pemuda itu. Bagi Lee Seon yang sekarang, Kim Dan adalah orang asing.

“Seon … tunggu, Lee Seon!” Dan bermaksud mengejar gadis itu, tetapi urung. Ini terasa janggal. Tidak mungkin Seon tiba-tiba melupakannya, kecuali jika ingatannya dihapus.

Tunggu. Dihapus? Kim Dan langsung menegakkan kepala. Dia pun berlari ke rumahnya.

Sementara itu, Seon yang bahunya tak sengaja tertabrak oleh Dan hampir kehilangan keseimbangan. Gadis itu menyadari bahwa si penabrak adalah orang aneh yang entah dari mana bisa mengetahui namanya. “Astaga, dia mengejutkanku. Dia siapa, sih?”

***

“Ayah! Buka pintunya!”

Kim Yoon membelalakkan mata. Dia segera menarik Kim Dan masuk dan langsung menutup pintu. Bisa-bisanya pemuda itu berteriak padahal rumah mereka berdekatan dengan rumah-rumah penduduk lain. “Tidakkah kau mempunyai sopan santun? Bagaimana kau bisa berteriak seperti itu ketika bertemu ayahmu?”

“Apakah Ayah melakukan sesuatu kepada Seon?”

“Apa?”

“Lee Seon, Ayah! Putri dari Lee Hyun dan Ji Yeon, pemilik kebun mawar. Dia temanku sejak kecil. Apakah Ayah menghapus ingatannya?” Tempo bicara Kim Dan terdengar sangat cepat. Sayangnya, Kim Yoon sepertinya tidak ingin menjawab. Kim Dan menganggap bahwa yang dia tanyakan memang benar terjadi.

“Bagaimana Ayah bisa melakukan hal itu?” Dan bertanya lagi. “Apakah aku melakukan kesalahan? Katakan apa itu, jangan malah melakukan sesuatu kepada siapapun yang berkaitan denganku.”

Hening sejenak. “Ini demi kebaikanmu sendiri,” balas Yoon. “Apa kata orang jika kau tiba-tiba menghilang begitu saja selama tiga bulan terakhir?”

“Aku …,” Dan sadar bahwa dia tidak bisa menjawab pertanyaan Yoon, jadi dia berkata, “telah membuat Ayah malu meskipun sampai sekarang belum ada yang tahu kutukan itu, bukan? Juga, karena tidak ada Ibu, Ayah menyingkirkanku sesuka hati?”

“Kau terlalu sering berpikir buruk.” Yoon tampak tidak berniat meredam kekecewaan putranya. “Ayah tidak akan melakukan ini jika telah menemukan cara untuk menyembuhkanmu. Kembalilah ke gua. Biarkan Ayah mencari tahu melalui buku-buku pengetahuan di perpustakaan desa. Seharusnya ada cara. Seharusnya ada.” Volume suara Yoon semakin turun menjelang kalimat terakhirnya. Dan hampir tak bisa mendengar.

“Mengapa kita tidak jujur saja? Bisa saja orang lain tidak mengganggapku sebagai hal yang buruk, bukan?”

“Kau tidak pernah berpikir sebaliknya?” Yoon membalikkan pertanyaan Dan. “Keanehan yang kaualami itu terlalu memalukan. Bunga adalah satu-satunya hal penting yang membedakanmu dari yang lain! Tapi, tidak hanya bunga, kau juga tak bisa menyentuh semua tanaman. Itu membuatku terasa hina. Kau bahkan membuat ibumu menangis saat kali pertama sengaja menyentuh tanaman untuk menunjukkan keanehanmu!”

Kim Dan mengedipkan mata berkali-kali, tak percaya dengan perkataan ayahnya. Hatinya terasa dirobek. Untuk kali pertama, dia merasa terbuang dan tidak pantas berada dalam rumah itu. Perlahan-lahan, dia mundur dari hadapan Kim Yoon. “Itu ... mengapa Ayah menyalahkanku?”

“Siapapun juga akan berkata seperti itu jika memiliki putra yang tak bisa menyentuh bunga,” balas Kim Yoon.

“Ayah membuatku tidak ingin kembali ke sini.”

“Terserah apa yang akan kaulakukan.”

“Ayah, aku tidak ingin kembali ke sini.” Kim Dan menekan setiap kata. “Seharusnya memang aku tidak ke sini karena sudah tidak ada yang mengingatku!”

“Dengar. Ayah sudah bilang, jangan kembali ke sini sebelum kau menjadi penyihir yang semestinya.”

Keras kepala. Kim Dan tidak menyukai salah satu sifat sang ayah tersebut. Oleh karena itu, daripada berdebat, Dan lebih memilih keluar dari rumah. Urusan rindu dengan teman-temannya atau tidak, itu sudah tidak penting. Tidak ada yang mengenalnya. Tidak ada yang menyapanya. Tidak ada yang mencarinya. Semua itu menjadi alasan yang masuk akal untuk tidak menginjak desa ini lagi. []

[Bagian 2 dari “Mati pada Musim Semi” kali pertama dipublikasikan pada 31 Mei 2022.]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top