6. Raja Bebal

Keesokan harinya

Rumor mulai menyebar mengenai keinginan Raja yang ingin menjadikan Yi Wen sebagai madame-nya. Berbagai tangapan pun menyertai rumor tersebut. Banyak yang setuju, namun ada pula yang tidak suka dengan ide itu.

Tsu Yi-lah yang menyampaikan gossip itu, saat Ratu tengah menyantap sarapan buah-buahannya seperti radio yang menyampaikan berita di pagi hari.

"Para Mentri menyukai ide bahwa Jendral Yi Wen lebih baik menjadi Madame. Karena sesungguhnya mereka tidak setuju dari awal, bahwa seorang wanita tidak layak turun dalam peperangan, apa lagi menjadi Jendral," ceritanya, sambil mengupas buah-buahan yang akan aku santap menggunakan pisau kecil.

Lagi-lagi, masalah utama masa feodalisme, ketidaksetaraan gender.

Lalu ia melanjutkan lagi, "Adapun yang tidak setuju, karena takut bahwa klan Hong akan semakin berkuasa."

Tidak di masa ini, atau masa lalu, semua selalu berkutat pada kekuasaan bukan?

"Aku masih tidak mengerti. Kenapa Yi Wen tidak langsung diutus untuk menjadi Madame. Bukannya itu hanya satu jentikan jari bagi seorang Raja?" tanyaku pada Tsu Yi .

"Apa yang mulia lupa pada janji Raja dua tahun yang lalu?"

"Kau ingin aku mengingat saat aku sekarat?" aku memberikan alasan yang logis untuk ketidaktahuanku.

"Ah, benar juga. Dua tahun yang lalu Jendral Yi Wen menang dalam peperangan. Setelah pulang dari medan perang, para sesepuh klan Zi Xu mendesak Jendral Yi Wen untuk segera menikah karena usianya yang sudah matang untuk ukuran seorang wanita. Ia kesal, dan saat prosesi pemberian hadiah, ia meminta pada Raja, untuk menyetujui sebuah petisi, bahwa dirinya adalah wanita bebas, yang tidak boleh dipaksa menikah bahkan oleh keluarganya sendiri, bahkan termasuk raja sendiri."

Aha! Aku teringat perkataan Yi Wen sebelum meninggalkan istana kemarin. Jadi begini asal muasalnya.

"Dan itu sekarang menjadi boomerang untuk Yang Mulia sendiri," monologku.

"Lalu?" Aku menggigit apel yang telah dikupas sebelumnya sambil mendengarkan cerita.

Tsu Yi terdiam sesaat, sebelum menjawab dengan lesu, "Saya berharap tidak pernah mendengarnya."

"Katakan saja," bujukku.

"Mereka berharap Raja segera menikah lagi, agar kerajaan secepatnya memiliki Putra Mahkota."

Seperti dugaanku. Banyak sekali orang-orang yang ingin aku segera di turunkan, atau setidaknya segera dimakamkan.

"Iya, mengharpkan anak dari seorang Ratu penyakitan itu sia-sia," jawabku enteng. Tentu aku sudah tidak peduli.

"Yang Mulia. Anda sekarang sudah sehat lagi," protes Tsu Yi .

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan.

"Tapi ... sayangnya aku sama sekali tidak minat untuk tetap di posisi ini."

Ratusan orang, bahkan ribuan orang menginginkan jabatan yang aku miliki sekarang. Namun aku, tidak sama sekali menginginkannya lagi. Aku lebih memilih hidup tenang menjadi biasa-biasa saja, dari pada selalu ketakutan dalam gelimangan harta.

"Kemana pun yang mulia pergi, hamba akan selalu berada di samping Yang Mulia. Apa pun yang terjadi," ujar Tsu Yi tulus.

"Terima kasih," jawabku, menimpali ketulusannya.

Aku melihat sesuatu yang lain di samping Tsu Yi , dan itu bukan buah.

"Kau membawa apa?" tanyaku.

Tsu Yi menyerahkannya padaku.

"Hamba memungutnya," jujurnya.

"Ini sangat harum."

Aku memegang seikat bunga lavender yang sedikit kusut di beberapa tempat, namun baunya sangat harum dan menenagkan.

"Tadi pagi, Yang Mulia Raja memberikan ini pada Jendral Yi Wen."

"Benarkah?" aku terkejut denga gosip kelas satu yang baru yang aku terima. Bukankah ini lebih baik dibanding info tentang voting orang-orang tentang madame yang baru?

"Iya, sepertinya Yang Mulia mengajak Jendral Yi Wen untuk jalan-jalan pagi, tadi."

Wow, dia bergerak cepat. Terlalu cepat.

"Lalu Raja memberikan lavender ini untuk Jendral Yi Wen?" tanyaku antusias.

"Benar, yang Mulia."

"Kemudian, bagaiamana bisa ini ada di tanganku sekarang?" aku menimbang-nimbang apa yang sebenarnya terjadi.

"Jendral Yi Wen tidak menerimanya," jawab Tsu Yi .

Aku memiringkan kepala penasaran, tapi juga sedikit heran.

"Wah, bukankah itu sangat lancang?" responku, rasional.

Tsu Yi menggeleng cepat.

"Jendral Yi Wen bersin-bersin saat berada di dekat bunga itu," penjelasannya.

"Alergi?"

Aku mengambil sebuah anggur hitam dan memakanya secara langsung, namun langsung menyesal karena rasanya sungguh asam. Karena Tsu Yi susah payah mengambilnya, jadi aku telan saja bulat-bulat lalu aku dorong dengan meminum air.

"Sepertinya demikian. Setelah menolak bunga itu, Jendral Yi Wen pamit dan pergi meniggalkan raja sendiri."

"Lalu raja membuang bunganya?"

"Iya, karena kasihan maka saya bawa pulang."

Aku mengangguk-angguk paham.

"Sayang sekali. Padahal ini sangat indah dan wangi. Kita letakan saja di pojok ruangan. "

"Baik yang mulia."

Tsu Yi menerima lagi bunga itu, lalu menaruhnya di vas pojok ruangan yang juga ia isi dengan air.

"Lalu, apa tidak ada hal yang lain?"

Tsu Yi berpikir sejenak sebelum menjawab.

"Hmm ... Jendral Yi Wen tidak banyak bicara, begitu pula Raja. Sekalipun Raja memulai pembicaraan. Hanya dijawab singkat oleh Jendral Yi Wen. Karena itu, sulit sekali terciptakan percakapan di antara mereka."

Aku merasa ada yang aneh dengan cerita yang Tsu Yi tuturkan.

"Ngomong-ngomong, kau tahu sangat detail hingga percakapan mereka. Posisimu ada di mana?" aku penasaran.

"Di atas," jawabnya menunduk malu-malu.

"Atas?" tanyaku tidak paham.

"Hamba sedang mengambil buah untuk sarapan yang mulia," Tsu Yi mengatakannya dengan sangat pelan dan menunduk dalam, tapi masih terdengar olehku.

"Hahahahaha ...." Aku tertawa sekencang-kencangnya, baru menyadari apa yang sebenarnya pelayanku alami.

"Hamba belum sempat turun, dan mereka telah sampai di bawah pohon."

"Kau sungguh lucu. Hahahaha ...."

"Anda harus melihat ini." Ia menyincing lengan tangannya, memperlihatkan banyak bentol-bentol merah pada sekujur lengan dan kakinya. "Tidak ada yang luput dari serangan semut merah. Hamba harus menahan diri untuk tidak menjerit karena sakit."

Aku tertawa tanpa henti mendengar cerita Tsu Yi yang polos.

"Aku kenyang. Mari kita jalan-jalan."

Kami berkeliling. Tentu bukan hanya aku dan Tsu Yi . Saat aku keluar dari istana, sebagai kamuflase yang sempurna, semua dayang Ratu yang lebih dari sepuluh juga ikut dalam perjalanan mereka. Tentu dari luar, istana ratu terlihat baik-baik saja. Walau nyatanya penuh dengan hal yang berbahya.

Di taman istana sampaing danau kerajaan, terdapat aula terbuka yang bisa digunakan raja atau ratu untuk bersantai atau belajar di pagi hari. Di sana kini terdapat Raja yang terlihat membuka buku namun sama sekali tidak membalik halaman sedikitpun setelah sekilan lama aku memperhatikan.

Dari yang aku dengar tadi pagi, setidaknya ini kesempatan yang tepat bagiku untuk mengambil hati orang yang sedang patah hati, bukan?

It's show time....

"Bolehkah Ratu ini bertanya, kenapa Raja muram di pagi yang cerah ini?"

Sepuluh orang datang ke aula terbuka, yang mulia Raja bahkan tidak menyadarinya. Ia terlihat gelagapan saat melihat rombonganku tiba-tiba telah ada di hadapanya seperti telah melakukan teleportasi.

"Kau datang, Ratu," jawabnya singkat. Menata emosinya agar tidak terkesan terkejut dengan kehadiran kami.

"Saya memberikan hormat kepada Yang Mulia Raja." Aku melakukan Gerakan menunduk sekali untuk formalitas.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya, seolah ingin segera mengakhiri urusan, dan dapat mengusirku secepat mungkin.

Aku berusaha sebisa mungkin mempertahankan senyum palsu dan ramahku.

"Saya sedang berjalan-jalan, ketika mendapati yang mulia terlihat tidak baik-baik saja."

"Yang Mulia Ratu terlalu mencampuri urusan saya. Ratu dapat melanjutkan perjalanan lagi tanpa menghiraukan keadaan saya," katanya, dengan kesopanan yang dibuat-buat.

Sepertinya aku harus langusung ke pokok pembicaraan.

"Kalau begitu biarkan hamba menebak."aku pura-pura berpikir dengan memegang daguku dengan jari ibu jari dan jari telunjuk. "Ini ada hubungannya dengan Jendral Yi Wen."

Raja tersentak gaget dan langsung memandangku heran.

Kena kau!

"Itu bukan urusanmu, Ratu," jawabnya, lagi-lagi ketus.

Aku tidak peduli, maka aku teruskan saja lagi.

"Jenderal Yi Wen adalah Wanita yang misterius, namun menyimpan keagungan yang sangat tinggi dalam dirinya. Sisi wanitanya membuatnya tidak hanya berjalan menggunakan logika semata, ia menggunakan hatinya untuk berlaku dalam hidup. Ia adalah Wanita yang baik," pujianku, dan itu memang benar adanya.

Yang Mulia Raja mulai tertarik, lalu menutup bukunya yang terbuka, dan kini kami saling berhadapan satu sama lain untuk pertama kali.

"Kau pun berpendapat demikian?" ujarnya mulai tertarik.

"Iya. Dia adalah sosok yang sangat bijak dan baik untuk menjadi kandidat Ratu."

"Apa ini sarkas? Kau menuduhku ingin menyingkirkanmu?"

Ops, sepertinya aku terlalu cepat.

"Tidak Yang Mulia. Sungguh, hamba bersedia untuk mengundurkan diri dari posisi ini," penjelasanku. Tidak ingin semua ini menjadi sia-sia.

Raja terdiam sejenak.

"Apa kau sedang tidak sehat Ratuku? Kau ingin dimakzulkan?" ancamnya.

Raja tidak percaya pada apa yang aku katakan, ia mencari-cari celah rencana yang menurutnya tengah aku sembunyikan. Ini tidak berjalan seperti yang aku perkirakan. Tenang Su Jian, kita hanya harus melakukan yang terbaik. Soal hasil itu urusan nanti.

"Iya yang mulia. Jabatan ini terlalu berat untuk hamba. Saya ingin pensiun saja," tregasku.

"Oh ... kau ternyata memang gila." Raja berdiri, lalu berteriak keras pada para pengawalnya, "Bawa Ratu ke kediamannya. Dia sedang tidak sehat sekarang."

Sial, ini tidak akan berhasil.

"Tunggu Yang Mulia. Dengarkan aku. Aku punya saran untukmu untuk memikat hatinya," tawaranku.

Para pasukan hendak maju untuk membantuku berdiri dan segera pergi, namun mendengar pernyataan yang aku lontarkan, tiba-tiba yang mulia berubah pikiran.

Ia memberikan aba-aba tangan pada pengawalnya, untuk berhenti memaksaku berdiri, dan menyuruh mereka untuk kembali ke post jaga mereka masing-masing.

"Apa yang ingin Ratu sampaikan?" tanyanya, setelah semua terkendali.

Aku mengembuskan napas lega karena tidak diusir.

"Aku punya ide. Berikan gelar penghormatan baginya sebagai seorang Wanita. Yang Mulia Raja harus menjunjung kehormatanya sebagai seorang kesatria sekaligus seorang Wanita. Yakinkan dia bahwa Anda menghormati setiap pahlawan perang di kerajaan ini tanpa membedakannya berdasarkan jenis kelamin," aku mengakhiri kalimat panjangku. Berusaha menekan tiap kata agar dapat meyakinkan raja tentang kesungguhan yang coba aku tawarkan.

"Kau benar-benar gila. Bawa Ratu ke kamarnya!"

DasarRaja bebal. Akhirnya aku diusir dengan tidak hormat oleh Raja. Kami kembali kekediaman dengan perasaan hampa. Dayang Senior yang sejak awal memandangku aneh,sekarang dia terlihat semakin jijik. Begitu pula dengan yang lainya. Hanya TsuYi yang terlihat sedih dengan apa yangaku alami, yang pasti membuatku bahagia karena aku masih punya satu orang yangdapat aku percaya.

Bersambung ...


Sabtu -Minggu kita bertemu ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top