14. Palsu
Tiga hari ini, semua sangat sibuk.
Setelah ada penguman resmi tentang akan diangkatnya selir utama kerajaan untuk yang pertama kali, semua orang berbahagia menyambutnya. Akhirnya, akan ada kesempatan bagi kerajaan untuk mendapat putra mahkota yang mereka impikan. Karena aku tidak pernah dapat dapat mengabulkan oleh kondisi kesehatanku.
Posisi Madame ini pun tidak main-main adanya. Klan Wei juga telah memasang ancang-ancang karena kelak akan menjadi prioritas di kerajaan karena statusnya.
Walau klan Jian—klanku—pun tidak diam saja, dan mulai protes akan keputusan raja. Namun itu sama sekali tidak berarti, karena tidak ada dasar hukum yang cukup kuat yang dapat mengabulkan keinginan mereka.
Tiga hari penuh seluruh istana di bersihkan dan dihias semeriah mungkin untuk menyambut datangnya Madame. Bahkan kata Tsu Yi, suasananya lebih meriah di banding saat kedatanganku ke istana, dulu.
Dekorasi siap, makanan siap, pakaian siap, undangan telah tersebar untuk kalangan bangsawan, semua sudah beres. Tinggal ocehan dari mulutku yang tidak kunjung selesai, perkara baju yang harus aku kenakan saat upacara pemberkatan.
"Kenapa harus sebesar dan seberat ini?"
"Pakaian Anda tidak boleh lebih rendah dari apa yang dikenakan pengantin hari ini, karena anda seorang Ratu kerajaan ini," kata Dayang Senior.
"Tapi bukan aku yang menikah, kenapa aku ikut susah?"
"Anda tetap harus menganakannya yang mulia."
Aku melihat para dayang membawakanku tujuh lapis, kalian tidak salah dengar. Itu benar tujuh lapis pakaian yang akan aku kenakan. Dengan jubah keagungan berwarna ungu gelap. Hiasan rambut yang penuh dengan permata dan emas murni. Bayangkan saja kau membawa emas lima kilo di kepalamu, apa kau akan baik-baik saja?
"Mari segera selesaikan ini."
Aku dibersihkan, dan segalanya. Make up, aku percayakan pada Tsu Yi, karena aku telah mengajarinya Teknik make up yang baik dariku. Aku tidak mau seperti orang-orang di era ini yang mengenakan make up seperti boneka caky. Itu menakutkan. Aku Ratu, dan bisa menentukan selera make up-ku sendiri.
Lalu mereka memasangkan semua pakaian di tubuhku. Satu persatu. Saat semua terpasang, bahkan dalam posisi duduk pun aku merasa berat. Bahkan hiasan di kepalaku pun memenuhi pikiranku, seberapa lama aku mampu bertahan dengan semua ini?
Lalu aku mengawasi bayanganku yang ada di dalam kaca, dan mendapati orang yang terlihat sangat berbeda dengan aku yang bisanya.
Aku sering sakit di era ini. Jarang sekali bagiku untuk berdandan dan menunjukan diriku dalam tampilan yang paling sempurna. Hari ini, aku baru melihat diriku yang lain. Wanita muda yang memilki kecantikan alami yang lembut. Wajah ini sangat mirip dengan diriku di masa depan, hanya saja lebih muda.
Untuk kecerahanya, kulit ratu lebih putih dari milikku. Aku banyak berkerja di lapangan, juga An Yize yang suka sekali mengajakku jalan-jalan. Aku tidak pernah sekurus ini di masa depan. Walau juga tidak terlalu gemuk juga. Aku menjaga proprsi dietku dengan ketat. Namun saat ini, tanpa diet aku dapat mengurangi berat badan hanya dengan jatuh sakit beberapa kali dalam sebulan.
Uh... aku mulai pusing dengan semua ini.
"Apa Yang Mulia siap?" tanya Dayang Senior.
Aku perhatikan dia lebih kurus dari sebelumnya. Ia sudah sangat jarang sekali terlihat di istanaku sejak aku memberinya tugas rahasia. Ia hanya akan datang ketika ada acara-acara besar yang menuntutnya harus menjalankan tugasnya untuk menemaniku. Aku akui, ia melakukannya dengan baik. Ia mulai dapat memulihkan citaranya di hatiku.
"Aku siap."
****
Aku yang pertama masuk ke aula utama. Tentu aku sangat jarang untuk menempati kusriku sebagai Ratu. Terakhir dulu saat aku ingin mengambil perhatian Raja. Namun saat ini aku melihat semua orang menatapku dengan pandangan yang tidak seperti sebelumnya.
Dulu, saat aku menatap dan melihat ke arah mereka, mereka akan menatapku dengan tatapan penasaran yang sama, seperti yang aku lakukan. Saat ini, saat aku mealkukan itu, mereka akan mundur teratur, dan menyembunyikan wajah mereka seolah tengah ketakutan. Aku tidak paham. Saat aku duduk di singgasana Ratu, barulah aku bertanya pada Dayang Senior.
"Apa yang terjadi pada para Mentri? Kenapa aku merasa mereka lebih berhati-hati padaku?"
Dayang senior tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak sebelum menyatakan pendapatnya.
"Menurut sepengetahuan hamba, mereka mulai menghormati Yang Mulia Ratu, karena kasih sayang Yang Mulia Raja telah mencapai Yang Mulia Ratu akhir-akhir ini. Jadi mereka tidak bisa lagi semena-mena, atau meremehkan Yang Mulia."
"Begitukah," kataku menyimpulkan.
Kenapa tidak dari dulu saja. Menjelang akhir dari masa jabatan Ratu, mereka baru mengeluarkan sisi terbaik mereka.
Pengumuman dari depan aula utama terdengar, bahwa Madame akan memasuki ruangan.
Lalu masuklah iring-iringan kecil para wanita pengawal, dengan seorang yang menjadi pusatnya berjalan paling depan. Mengenakan gaun merah emas ukiran naga, dengan hiasan kepala khas pernikahan—aku pikir beratnya hampir sama denganku—ia berjalan dengan anggun dan tegar seperti pilar, megah seperti singgasana, juga kecantikannya yang baru saja disibak dari balik penampilan biasanya yang tomboy.
Semua orang terpana oleh kecantikannya. Tombak perang yang kokoh, kini bersemai mengeluarkan kuncup bunga dari ujungnya.
Ia duduk di kursi Madame, sebelah kiri Raja.
Kini semua orang mulai berbisik secara terang-terangan. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan. Semua tenagaku hampir habis hanya untuk menjaga punggungku agar tegak duduk dan menfokuskan semua energi untuk bertahan hingga akhir acara.
Raja menjadi orang terakhir yang masuk ke dalam ruangan. Ia telah menghilangkan dukanya seminggu yang lalu. Kini yang terlihat hanya sosok tegas, kuat, tegar yang berjalan tegap kearah singgasana.
Ia menatap Madame-nya dengan suka cita, lalu menatapku dengan senyumannya.
Ingin rasanya aku memberikan telepati untuknya, agar segera mengakhiri semua ini. Kalau ia tidak mau aku pingsan di depan semua orang. Namun seperti biasa, ketidakpekaannya pada apa pun, membuatku harus mengelus dada, dan sabar menerima.
Akhirnya, prosesi pernikahan dimulai.
Para dayang membantuku berdiri, Madame berjalan ke arahku. Aku mengambil mahkota Madame, ia menunduk, lalu aku memasangkan di atas kepanya.
"Bertahanlah dengan makota kecil ini untuk sementara, karena Kau akan mengenakan yang lebih besar lagi nanti," kataku lirih, dan aku pastikan dia mampu mendengarku.
Acara selanjutnya, bertukar arak antara Raja dan Madame seraya meminta restu para leluhur. Akhirnya, setelah satu persatu acara telah dilalui dan semua prosesi berjalan baik.
Sejak itu, aku sudah tidak bisa fokus. Tenggorkanku gatal, napasku pendek, kepalaku pening. Yang bisa aku lakukan adalah menjaga kesadaranku tetap ada selama proses pemberkatan. Lalu duduk sebentar untuk menyambut tamu undangan. Tengah-tengah acara penyambutan tamu sebagai perjamuan, aku meminta undur diri karena kondisiku yang hanya tinggal menunggu detik saja untuk pingsan.
Aku berhasil mencapai kamar tepat waktu, dan tumbang setelahnya bahkaan tanpa berbenah.
****
Huh ...
Badanku terasa remuk saat aku bangun. Hampir mati rasa tepatnya, pusingnya pun belum hilang juga. Saat aku membuka mata, ada yang lebih membuatku terkejut hingga bangun dengan terlalu cepat.
Aku langsung memijat keningku karena lebih pening dari sebelumnya.
"Kenapa kau di sini?" tanyaku pada Raja yang entah kenapa ada di kamarku, pada malam pengantinnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Raja yang langsung menopangku.
"Apa yang Yang Mulia Raja lakukan di sini?" tanyaku, setelah mulai dapat mengusai diri. Jangan bilang dia ingin meminta saran pernikahan?
Ia menyibakkan rambut yang menempel di wajahku karena keringat. Ia masih belum menjawab pertannyaanku.
"Yang Mulia. Bukankah ini malam perjamuanmu dengan Madame? Kau tidak seharusnya ada di sini."
"Aku melihat kondisimu tidak baik selama prosesi. Aku mencemaskanmu."
Tuhan. Aku menjodohkannya dengan Madame agar dia segera melepasku, tapi kenapa dia sekarang semakin melekat padaku?
"Terima kasih. Tapi, ini sungguh tidak berguna." Aku melepaskan rangkulannya dengan kasar.
"Apa yang tidak berguna?" tanyannya tidak terima.
"Masa depanmu ada di sana! Kenapa kau malah kembali ke masa lalu?!" Entah kenapa aku benar-benar marah saat ini. Kesopanan yang biasa aku gunakan untuknya, kini telah habis.
"Kenapa harus masa lalu, kau adalah masa depanku juga," klilahnya.
"Masa depanmu adalah Yi Wei!"
"Kau adalah Ratu, Yi Wei adalah Madame. Kalian akan sama-sama menjadi masa depanku."
Apa yang sebenarnya ia inginkan?
"Bagaimana mungkin itu terjadi. Kau akan segera mengangkatnya sebagai Ratu. Posisi Ratu hanya dapat diisi satu orang saja. Kau akan segera menggulingkanku!" protesku.
"Dari mana kau mendapat teori itu?!"
Aku benar-benar terkejut karena elakakannya. Dia pura-pura hilang ingatan atau apa?
"Kau yang berjanji padaku akan melepaskanku setelah mendapat Madame!" aku berteriak-teriak, marah. Angap saja aku sudah lupa tatakrama untuk berbicara pada Raja. Kini aku harus bicara dengan cara seorang istri yang mendapati suaminya telah berbohong.
"Kapan aku pernah berjanji?"
Aku benar-benar ingin mencakar mukanya. "Kau dulu pernah mengatakan ...."
"Kau yang mengatakannya. Aku hanya menimpali, tapi aku tidak pernah berjanji!"
Kau tahu bagaimana persaanku saat ini. Kau pernah lihat luka menganga? Kau akan tahu ketika itu disiram alkohol, seperti itu rasanya.
"Kau hanya meminta jaminan keselamatan dariku. Dan aku akan menepatinya dengan cara menjagamu tetap di sampingku," katanya! Tanpa rasa berdosa! Tanpa rasa bersalah telah membohongi dan membodohi!
"Yang Mulia. Apa yang kau harapkan dari daging yang akan segera busuk sepertiku?" tanyaku, karena marah napasku menjadi pendek, dan aku bahkan siap mati saat ini kalau bisa.
"Kau baik-baik saja. Kau akan segera sehat. Aku akan mencarikan tabib terbaik untukmu." Ia terlihat sedikit khawatir.
"Kau gila. Kau pembohong. Pembual. Khianat!" cercaku, napasku pendek, aku mencari pegangan di lantai tempatku duduk, karena mataku yang semakin gelap.
"Kau boleh mencelaku apa saja. Tapi aku tidak akan pernah melepasmu," katanya.
Ada sesorang yang tengah memegangiku. Ia membantuku untuk berbaring, aku tahu itu Raja. Namun aku terlalu kesal untuk mengakui bahwa aku tidak punya daya untuk menolak bantuan darinya. Aku bahkan sudah tidak mampu menjawab.
Napasku tersengal, dan semakin merana dengan terakan raja yang memanggil tabib untuk segera mengobatiku. Aku sudah pasrah, namun ia menang lagi. Aku tidak tahu apakah bisa bertahan malam ini. Dalam derita dan mimpi buruk akan kesepian dalam istana.
Bersambung ...
Untuk melanjutkan membaca cerita, bisa langsung ke KaryaKarsa:
Judul : Mati di Episode Satu
Penulis : cupchocochip
Monggo bisa langsung cus ke sana. Jangan lupa komen-komen guys ya ...
Terima kasih ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top