10. Menyadariku

"Kau siap?"

Kami telah berada di depan gerbang belakang istana. Ia menggunakan pakaian biasa, begitu pula aku. Ia harusnya tidak melakukan ini karena ini terlarang. Namun kami tetap pergi dengan cara menyelinap lewat gerbang belakang. Namun tetap saja kami tidak sendiri, ada pengawal yang setia berada di sampingnya, mengendarai kuda yang sejenjang kuda milik kami. Memusatkan perhatian ke semua arah, untuk mencegah terjadnya hal-hal yang di luar rencana.

"Tentu saja." Jawabku.

Kami menaiki kuda yang sama. Ia memboncengku di depan. Sangat berbeda dengan Yize yang selalu memboncengku di belakang dengan sepedah motornya. Lalu kuda yang kami tumpangi segara ia lecut dan menggerakan langkahnya menuju tempat yang aku kehendaki.

Namun jangan dibayangkan bahwa adegan di atas kuda ini romantis. Karena walau kami ada di satu kuda, tubuh kami menerapkan jarak dengan sendirinya. Bahkan ketika punggungku tidak sengaja myenyetuh dadanya, aku akan langsung menciptakan jarak lagi dengan otomatis

"Kita mau ke mana?"

"Apa di sini ada pantai?" tanyaku.

"Ada. Tapi sangat jauh dari sini."

"Kemudian lupakan."

Aku berpikir sejenak sambil melihat-lihat sekitar.

"Sungai, padang rumput, danau?"

"Kita jalan saja. Ada beberapa tempat seperti yang kau sebutkan," katanya meyakinkan.

Untuk menuju daerah yang kami maksud, kami harus pergi ke tempat yang sedikit jauh dari pusat kota. Daerah kerajaan ini di masa lalu meiliki kondisi alam yang gersang dan merupakan dataran tinggi yang banyak dipenuhi rumput-rumput tanggung berduri. Lebih dekat ke arah sungai, barulah ditemukan kehidupan.

"Uhuk, uhuk." Aku tidak bisa menahan gatal di tenggorokanku.

"Kenapa?"

"Tidak apa. Aku sensitif pada dingin." Wilayah ini sangat dingin bagiku walau bagi orang normal ini adalah hawa yang sejuk.

"Kau harusnya menggunakan baju yang lebih tebal," nasehatnya.

"Aku akan mengingatnya lain kali."

Tanpa peringatan ia lebih mendekatkan tubuhnya ke arahku. Hingga punggungku menempel pada dadanya. Itu membuatku sedikit hangat, atau panas ....

Ada hutan yang membentang di sekitar sungai yang jernih dan udara yang sejuk. Aku meminta raja untuk berhenti dan melihat-lihat sekitar dari atas kuda jenjang kerajaan.

"Berhenti." Perintahku.

"Ini tempat angker." Kilahnya, tidak setuju. Namun tetap menghentikan laju kudanya.

Tempat ini sangat indah. Rimbun pohon, sungai jernih dan ikan-ikan yang menari. Bila aku bisa membuka resort di sini, pastilah akan banyak sekali pengunjung yang datang untuk menikmati pemandangan alam yang asri.

"Bahkan mahluk goib punya selera yang baik saat memilih tempat. Kapan-kapan bisa kau gunakan." Saranku.

"Tempat ini sangat pekat," kilahnya. Aku tidak paham pemikiran orang-orang kuno memandang dunia. Namun ini aku anggap sebagai cara mereka untuk melestarikan keragaman hayati. Kalau manusia telah menjamah daerah ini, aku yakin keindahan ini akan hilang dalam sekejab mata.

"Tidak saat pagi. Datanglah kapan-kapan. Ayo pergi." Aku menuruti keinginannya untuk pergi, juga karena tenggorokanku yang semakin gatal karena udara yang terlalu dingin.

Kami berjalan lagi. Kali ini untuk menghindari keterlambatan saat kembali ke istana, kami memutuskan untuk kembali ke pusat kota dekat istana kerajaan.

Untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan jalan-jalan. Aku menyeuruhnya untuk melewati rute yang berbeda, yaitu kebun bunga lavender yang dimiliki oleh kerajaan.

"Padang rumput bunga lavender, adalah salah satu ekspor utama kerjaan ini ke negara lain. Ini digunakan untuk membuat wewangian, garam mandi, teh, obat, dupa, dan segala khasiatnya."

Aku dibantu turun dari kuda oleh Raja, dan mulai berkelilinng untuk mengagumi keindahan dari kebun yang identik dengan warna ungu, kesukaanku. Aku sungguh menyukainya. Wangi ini selalu berhasil menenangkanku.

"Sayangnya kau tidak bisa membawa Yi Wei kemari. Ini sangat indah. Tapi dia alergi bunga," kesimpulanku.

"Hem ... dari mana kau tahu, Yi Wei alergi bunga?" tanya Raja heran.

"Eh ...." Sial! Aku keceplosan.

"Se-sebagai macomblang yang baik, harus tahu seluk-beluk, bibit, bebet, dan bobot dari orang yang menjadi incaran. Tentu ini informasi yang haruslah aku tahu sebelum merencanakan hal-hal lain untuk kalian. Karena itulah aku disebut, professional."

Raja terlihat puas dengan jawabanku, dan mengangguk-angguk setuju.

Fuh .... Syukurlah nilai pelajaran mengarangku tidak pernah remidi. Aku tidak pernah kekurangan ide untuk dapat mencari-cari alasan dalam waktu yang relative singkat.

"Kita jadikaan saja ini tempat favorit kita. Aku akan mengajakmu ke sini lagi lain kali," janji Raja.

"Itu ide yang hebat. Lain kali kita bisa piknik."

"Kau menyatakan istilah yang aneh lagi."

Aku hanya menyauti dalam senyum.

"Bisakah kau mengambilkan aku seikat lagi bunga? Milikku telah layu di kamar," pintaku.

"Tentu."

Aku yang memandangnya.

Selalu memandangnya.

Masa kini, ataupun masa lalu.

Ia memotong beberapa bunga dan tangkai.

Cukup banyak dan diberikan padaku.

Ditemani sepoi angin yang membawa wangi kesukaanku.

Juga menerbangkan jubah kami.

Matahari yang menari sejuk di tengah taman.

Ia yang indah, dan senyum yang menyertainya.

Untuk pertama kali dalam perjumpaan kami, di era ini.

Kehangatannya sampai padaku.

Aku tersipu.

Raja mengibaskan tangannya untuk menyadarkan aku dari lamunan. Kemudian membawaku untuk pergi ke tujuan yang selanjutnya.

Setelah beberapa saat, akhirnya kami mencapai pemukiman penduduk. Di sana juga terdapat pasar yang cukup ramai. Banyak orang berlalu Lalang. Barang-barang yang tidak aku ketahui fungsinya, yang tidak ada lagi di masa depan, bahkaan yang bentuknya berbeda dari pada yang ada di masa depan. Sebuah Menara tinggi terlihat dari ujung kota, menjulang paling tinggi dibanding parit tinggi yang mengelilingi perbatasan dari negara kami. Puncak tertingginya terdapat penjaga yang berpatroli, mencegah orang asing masuk dengan tanpa permisi.

Lebih dekat lagi, mulai terlihat wajah kota ini sesungguhnya. Rumah-rumah kuno dan lebih terkesan kumuh. Tata kota yang menurutku kurang baik. Bangunan megah terlihat mencolok bagai kilauan emas, yang kumuh terlalu kecil seperti kamar mandi kotor yang tak terpakai lama. Yang kaya berbalut sutra, yang miskin bertelangkup karung goni.

Kami tidak dapat menunggangi kuda, karena jalanan ramai maunusia. Karena hari telah siang bahkan hampir sore, juga kami belum makan siang, sebuah kedai yang sangat ramai menarik perhatian kami. Kami memutuskan untuk berhenti di salah satu kedai makanan yang bahkan dari jarak 100 meter telah tercium aroma kaldu menggoda dari makanan yang mereka sajikan.

Mereka menjual mie kuah kaldu. Rasanya sangat enak dibanding dengan apa yang aku makan selama ini di dalam istana. Rasa rakyat memang yang terbaik.

"Kalau makanan istana seenak ini setiap hari, aku akan gemuk dalam waktu seminggu." Aku menyeruput kuah kental pekat kaldu yang begitu jernih. Mie yang kenyal dan potongan daging sapi tipis.

"Nikmati selagi bisa." Raja pun terlihat sepertiku, menikmati dengan sepenuh hati, hidangan yang ada di depannya.

Aku mencari-cari nama restoran ini, aku harus datang lagi kapan-kapan. Ternyata aku menemukan fakta yang menarik, aku tahu restoran ini di masa depan. Aku tidak percaya saat mereka mengatakan restoran mereka telah berdiri selama 500 tahun.

Restoran ini adalah salah satu tempat yang paling sering aku datangi bersama Yize. Dan ternyata ....

Apa ini yang disebut lingkaran kehidupan. Tempat yang sama, orang yang mirip, dan era yang berbeda.

"Apa?" tanya Raja, mengamati aku yang mengalami perubahan emosi.

"Tidak." Aku berusaha menutupi senyumku dalam dehaman. Kalau saja tubuhku ini baik-baik saja, aku ingin memesan arak dan merayakan kesimpulan yang mengejutkan ini.

"Kau sangat-sangat aneh." Raja membuka percakapan.

Aku menyeruput sup terakhir di mangkokku, bahkan ingin menjilati sisanya. Kalau saja tidak ingat bahwa diriku masih menyandang gelar Ratu, dan Raja tepat di depanku.

"Apanya?" tanyaku tidak paham.

"Semua."

Aku mengambil minumanku. Lalu menyeruputnya perlahan. Ini hangat. Namun aroma rempah dan teh menyebar dari dalamnya. Aku meyukainya.

"Kau bisa memulainya dari salah satu," kataku. Sejurnya aku lebih tertarik pada minuman hangat yang aku pegang. Aku menghirupnya, dan ingin tahu apa rahasia dari bahan-bahan yang dicampur ke dalam minuman ini.

"Kau tidak pernah, seterbuka ini padaku."

"Ok." Aku mulai tertarik. "Jadi, bagaimana sosok aku yang dulu, menurut Anda yang Mulia."

Ia diam sejenak. Terlihat berpikir. Lalu mengambil arak pesananya, dan meneguknya dengan kasar.

"Sejujurnya, aku tidak mengenalmu. Kau terlalu pendiam. Sedang aku, tidak tertarik sama sekali pada ... apa pun tentang-mu."

"Ya, aku bisa melihatnya." Juga merasakannya.

"Lalu tiba-tiba kau mulai berbicara. Bahkan terlalu banyak bicara. Di saat aku mendengar bahwa umurmu mungkin hanya akan bertahan kurang dari setahun, bahkan tidak akan mencapai tahun baru mendatang."

"Ya ... Aku belum mati. Dan bukankah itu hal yang baik. Kau Raja, aku Ratu. Komunikasi adalah hal terbaik dalam sebuah pernikahan," kataku, basa-basi.

Raja tersenyum kecut.

"Aku bahkan tidak pernah menganggap kau istriku. Aku hanya sekali melihatmu, yaitu pada hari pernikahan. Lalu selama tiga tahun kita menikah, aku sama sekali tidak ingin melihat, atau pun mengunjungimu lagi."

Kau mungkin berharap aku segera mati dan dapat kawin dengan Yi Wen bukan?

"Ok, jadi intinya?"

"Hanya itu," kata Raja. Lalu menyeruput araknya lagi.

Mungkin aku bisa menyimpulkan. "Em ... Jadi .... apa kau ingin kita seperti dulu? Kau ingin menjauhiku dalam damai, lagi? Atau kau ingin aku segera mati?"

"Tidak! Jangan berkata seperti itu." Tiba-tiba dia terlihat marah, atau mungkin ... murung?

Aku kaget.

"Apa?" tanyaku, tidak paham kenapa ekspresinya secepat itu berubah.

"Jangan—" Raja tersekat dalam kalimatnya sendiri. Merasa tersudut.

"Jangan apa, Yang Mulia? Saya tidak paham." Aku sugguh-sungguh penasaran.

Ia menarik napas dalam-dalam, dan menyampaikannya dalam suara rendah.

"Jangan mati."

Dua kata itu, langsung membuat tengkukku tegang. Apa yang sebenarnya orang ini harapkan dariku. Jangan sampai aku salah paham karena empatinya.

Raja menunduk sangat dalam, tidak ingin menujuknan ekspresinya saat ini. Aku merasa tidak enak karenanya.

"Yang Mulia, Kau lihat aku sekarang? Aku baik-baik saja. Sehat. Bahagia. Bersamamu. Kurasa itu cukup."

"Entahlah, aku hanya tidak ingin kau pergi," katanya.

Suasana mendadak canggung. Kami tenggelam pada pikiran kami masing-masing.

Aku meneguk minumanku sebelum melanjutkan, "Yang Mulia mersakan semua ini, karena kita sudah mulai dekat. Rasa ingin menghindari perpisahan ada ketika kau merasa telah terbiasa akan sesuatu di sekitarmu. Ketika itu tidak ada, timbulah rasa tidak terima."

Aku tersenyum kecut oleh pernyataanku sendiri.

"Aku tidak mengerti."

Lebih singkatnya. Kalau saja aku tidak mendekatimu. Kalau saja kau masih menciptakan jarak dariku. Kau mungkin tidak pernah menganggapku hidup, dan kematianku tidak akan ada artinya apa-apa bagimu. Sebagaimana sejarah asli dari kisah yang kita jalani.

"Kau bisa mencarinya pelan-pelan." Aku berdiri dari kursi yang ku gunakan, lalu memberikan isyarat pada Raja untuk segera membayar makanan kami.

"Lalu ke mana lagi?" tanyannya, setelah menaiki kuda kami.

"Menara keamanan itu," jawabku, menunjuk arah Menara tinggi yang sedari tadi menjadi pusat perhatianku.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top