1. Hidup bagai Mati


Harusnya aku mati bukan?

Setelah ban mobilku terpleset licinnya jalan, setelah aku menabrak truk itu, setelah napasku sesak, setelah, setelah ... mencacinya untuk yang terakhir kali.

"Yang Mulia! Yang Mulia! Yang Mulia!"

Laki-laki tua di depanku terus saja memanggilku penuh hormat namun syarat kehawatiran.

"Hentikan," kataku memelas. Kepalaku berdenyut sakit. Sang pelayan memberitahuku tadi, bahwa orang ini ayahku.

Aku syok. Terbangun

Mana mungkin juga. Dia sama sekali tidak mirip ayahku. Ia sedang sibuk mengurus bisnisnya di London sana. Sedangkan pria tua ini, mengenakan baju mentri era Dinasti Qin lama, menangis sesenggukan sambil meracu tidak jelas.

"Aku kemari saat mendengar napasmu berhenti. Aku takut sekali," sambungnya.

"A-ayah," panggilku terbata. Ini aneh.

"Iya Yang Mulia."

"Apa ini surga?"

Aku mengawasi seluruh prabot yang ada di sekitarku sambil berbaring. Selimut yang aku gunakan terbuat dari bahan yang tebal, halus, dan lembut. Walau bantal yang menopang kepalaku terasa sangat keras dan padat. Aku yakin pernah melihatnya di drama kolosal kuno favoritku.

Semua yang ada di ruangan terkesan kuno, rumit, namun bukan barang yang akan kau temukan di rumah-rumah sederhana jaman lama. Prabot-prabot ini bergaya kuno namun mewah dan mahal. Kau akan menemukannya di museum barang antik kerajaan yang harganya mungkin dapat digunakan untuk membeli pesawat jet pribadi.

Ia berpikir sejenak sebelum menjawab.

"Kau adalah Ratu kerajaan Qi, dan ini adalah istanamu. Tentu saja ini surga." Katanya menyimpulkan.

Itu tidak membantu sama sekali.

"Era apa ini?" tanyaku lagi.

"Hah?"

Aku melihat baju putih yang aku kenakan, khas baju dalam dari lapis-lapis baju tradisional China lama.

Ini bukan surga. Aku yakin. Karena harusnya surga tidak semenyakitkan ini bukan? Tubuhku benar-berar sangat berat hingga bernapas saja sulit. Aku ingin berdiri dan mengecek apa yang ada di luar sana. Namun nyatanya tubuhku tak mau diajak kerja sama. Ia hanya ingin berbaring saja, tanpa melakukan apa-apa.

"Tuan, sejak Yang Mulia Ratu sadar, ia seperti melupakan beberapa hal penting. Bahkan ia bertanya siapa dirinya pada hamba," kata salah seorang pelayan pada orang yang disebut ayahku di era ini.

"Yang Mulia. Hamba sama sekali lalai. Hamba sama sekali tidak dapat melindungi Yang Mulia." Ayahku era ini kembali meraung frustasi. Mengunakan Bahasa yang tidak umum digunakan seorang Ayah pada Anaknya.

"Oh, kumohon hentikan. Aku hanya bertanya sedikit hal."

Ayahku semakin meraung takut. Ia memelukku dengan erat sambil menangis, seolah tengah menangisi mayat anaknya yang sudah sudah dingin.

Ini menjengkelkan.

"Lepaskan aku Ayah. Badanku sakit semua."

Si Ayah melepasku, lalu meminta maaf karena menyakitiku.

"Apa benar namaku Wu Gong Jiau Zhan?"

"Yang Mulia~," ia meraung lagi. Mungkin karena aku menanyakan namaku sendiri.

Aku bukan orang yang pandai pelajaran sejarah. Namun selama belajar sejarah, tidak pernah aku mendengar nama Wu Gong Jiau Zhan sebagai seorang Ratu, atau karena aku sedang tidur saat pelajarannya berlangusng?

"Siapa Raja saat ini?" tanyaku.

Dengan bekal kesukaanku pada drama kolosal, aku berharap dapat sedikit tahu tetang apa yang terjadi kini. Kalau memang benar firasatku, aku kini tengah kembali ke masa lalu seperti film-film yang aku tonton. Namun ini benar-benar sulit diterima oleh akal.

"Yang Mulia Ratu. Hamba tidak pantas menyebutkanya."

"Ayah bisa membisikanya untukku."

Ayah menelan lidah, menunjukan ekspresi tertekan. Namun ia menurut, dan berbisik di telinga kiriku.

"Yang Mulia Wu Zi Sun."

Aku langsung teringat sesuatu yang familiar. Nama ini sungguh tidak asing bagiku. Karena ini adalah drama kolosal China terbaru yang popular di era saat ini. Aku yang juga penggemar drama kolosal sangat antusias karenanya. Siapa yang tidak kenal Wu Zi Sun yang keren?

"Jadi aku adalah Ratu Yi Wen Zi Xu yang terkenal?" aku langsung terbangun dari tidurku, yang pastinya langsung aku sesali karena tubuhku langsung menunjukan rekasi kesakitan yang berlebihan.

Siapa yang tidak mengenal Ratu Yi Wen . Ratu agung yang mengubah seorang Raja lalim dan kejam Wu Zi Sun, menjadi Raja yang arif dan sangat peduli pada rakyatnya. Aku tidak menyangka akan bereingkarnasi mejadi orang paling berpengaruh dalam sejarah kerajaan ini. Aku merasa ini tidaklah buruk.

"Yang Mulia. Apa yang sebenarnya yang mulia katakana. Anda adalah Ratu kerajaan ini. Yang Mulia terlahir dengan nama Wu Gong Jiau Zhan. Putri satu-satunya dari Wang Jiau Zhan. Mentri pangan kerajaan ini. Kenapa Yang mulia menyebutkan nama yang lain? Pelayan! Cepat panggilkan tabib kemari!"

"Hah? Jadi aku bukan Ratu Yi Wen ?"

"Tidak ada Ratu yang lain selain Anda di kerajaan ini. Mohon untuk tidak memberikan gelar kehormatan itu untuk orang yang bahkan tidak ayahmu tahu."

Lantas, aku ini siapa? Aku menjambak rambutku sendiri, mencoba mengingat detail yang tertinggal.

Aku teringat sesuatu yang membuatku langsung lemas lagi, dan menjatuhkan diri di atas tempat tidurku.

Aku sedikit mengingat tentang Ratu penyakitan yang mati pada episode pertama dalam drama. Bahkan nama maupun wajah sang ratu sama sekali tidak ditunjukan bahkan disebutkan secara jelas. Apa lagi sejarah, asal-usul, watak, karakter, sama sekali tidak diketahui. Ia hanya tahu, tiba-tiba mati. Bahkan saking tidak pentingnya, aku lupa kapan tepatnya sang Ratu mati.

"Yang Mulia telah mendapat kesempatan ke dua. Kita harus mensyukurinya."

Ini sungguh sangat tidak menguntungkaan. Coba ingat sesuatu. Ingat sesuatu tentang ratu ini.

Karena penyakitan, banyak mentri yang ingin menyingkirkan ratu. Iya. Aku ingat sesuatu. Ada rumor yang mengatakan kematian ratu tidak murni karena sakit, namun karena diracun. Para mentri merasa ratu saat ini tidak akan mungkin memberikan pewaris, maka harus segera disingkirkan. Satu-satunya cara adalah dengan meracuninya pelan-pelan.

Keluar kandang singa, masuk lubang buaya.

Oh Tuhan. Apa yang sedang kau cobakan padaku. Aku telah mati sekali karena tertabrak truk, sekarang kau memintaku mati karena keracunan?

"Ayah! Kau ayahku bukan?"

"Tentu saja," kata pria yang mengaku ayahku dengan nada iba.

"Aku sakit karena diracuni oleh seseorang. Bisakah kau menyelidiki ini untukku?"

Pria itu tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatapku dengan sedih dan berusaha menghiburku.

"Yang Mulia lebih baik istirahat dulu. Hamba akan sebaik mungkin menjaga yang mulia tetap sehat dan memberikan pewaris yang sehat bagi raja."

Lalu ayah bermitan dari kediaman Ratu.

Aku sendirian bersama dayang senior yang sepertinya selalu bersamaku. Ekspresinya menujukan kehawatiran pada kondisiku. Namun aku tahu, tidak ada yang dapat dipercaya di tempat ini.

Setelah Ayah pergi, dayang Senior menyerahkan sebuah ramuan obat padaku dalam sebuah wadah cawan.

"Silahkan minum Yang Mulia, ini adalah obat untuk hari ini."

Aku duduk dari posisi tidurku. Kondisiku lebih mendingan dibanding saat aku bangun tadi, aku sudah tidak pusing dan mungkin bisa berjalan walau hanya benerapa langkah saja.

Dayang Senior mengambil ramuan dalam cawan, lalu dengan sebuah sendok perak, lalu mencicipinya. Setelah sendok bekasnya ia singkirkan, ia aduk lagi ramuan itu menggunakan sendok emas, lalu ia berikan padaku.

Aku hampir meminumnya, sebelum aku mencium aroma yang tidak baik dari dalam cairan itu. Aku tidak tahu obat, namun aku tahu bahwa obat tidak seharusnya bau karat besi. Apa yang sebenarnya orang-orang ini berikan padaku?

"Aku ingin kau mencicipinya sekali lagi," perintahku pada Dayang Senior. Ini hanya intuisi, tapi aku sangat yakin bahwa ini benar.

"Kenapa Yang Mulia. Hamba telah meminumnya, dan tidak ada apa-apa. Ini hanya ramuan obat untuk menyembuhkan penyakit Yang Mulia."

"Habiskan. Lalu ambil lagi yang baru untukku," perintahku semakin marah karena pembangkannya. Aku tahu, ada hal yang telah disembunyikan Dayang ini dariku.

Ia mau membantah lagi, namun melihat ekspresiku yang jengkel, ia menutup mulutnya rapat-rapat.

Tubunya berberak maju, ia tidak punya pilihan lain selain mengambil cawan yang ada di depanku. Dengan tangan bergetar, ia membawanya ke dekat mulut, lalu meinumnya sampai tak bersisa.

"Hamba sudah meminumnya, Yang Mulia."

Aku melihat eksperesinya yang ketakutan, entah padaku atau obat yang baru saja ia konsumsi. Namun aku benar-benar penasaran dengan teori yang ada di benakku kini.

"Panggilkan Dayang yang lain!" perintahku.

"Semua dayang?" tanyanya.

"Iya."

Ia memanggil semua dayang Ratu yang sedang berdiri di lorong depan kamar Ratu.

Aku melihat satu persatu dari mereka masuk dalam kamar. Pengalamanku untuk menyeleksi calon pegawai baru, aku gunakan saat ini.

Aku berdiri, dibantu Dayang Senior di sampingku untuk menyeimbangkan tubuh yang masih sempoyongan. mendekati satu persatu dari mereka, mereka terlihat takut padaku.

Setelah itu, tanpa basa-basi, aku ungkapkan maksudku mengumpulkan mereka semua.

"Jadi saat ini, aku mengumpulkan kalian karena ingin menjadikan salah satu dari kalian, menjadi Dayang kepercayaanku. Apa kalian bersedia?"

"Iya, Yang Mulia." Semua orang menjawab serentak.

"Hak sepesial yang akan kalian terima adalah, makan bersamaku, bahkan makan-makanan yang sama denganku, minum minuman yang sama denganku, bahkan aku akan memerikan emas tambahan untuk kalian. Apa kalian tertarik?"

Saat aku menyatakan hal tersebut banyak diantara mereka terlihat semakin ketakutan, dan menunduk makin dalam.

Aku paham, mereka juga telah mencium ada yang tidak beres dengan istana ini, juga yang lebih menjengkelkan, mereka diam saja saat mengetahui itu.

Mereka hanya mematung di tempat mereka berdiri. Gestur tubuh mereka juga tidak dapat bohong. Saat aku berkeliling hanya ada tiga orang terlihat tenang dan tidak gemetar ketakutan saat aku berada di dekat mereka. Aku memanggil ketiganya, lalu mengirim yang lain untuk keluar dari kamarku.

Aku memuliai introgasiku.

"Sebelum memutuskan, aku ingin menanyakan sesuatu pada kalian."

Aku melihat mereka dari atas sampai bawah, aku ingin mereka merasa terintimidasi. Lalu menyatakan pendapat paling jujur versi mereka.

"Akhir-akhir ini, aku sama sekali tidak nafsu makan karena penyakitku. Aku ingin tahu, apa yang akan berikan padaku untuk membuatku lebih bernafsu saat memakan makananku?" tanyaku.

Dayang paling kiri mejawab pertama," Saya akan menemani dan melayani yang mulia sepanjang waktu makan. Hamba yakin kebersamaan di waktu makan, akan mencimtakan nafsu makan yang lebih besar."

Lalu dayang paliang tengah menjawab selanjutnya, "Saya akan menyuruh Tukang Masak kerajaan untuk memasak hidangan paling enak dan khusus untuk Yang Mulia Ratu. Setelah itu kita bisa makan dan minum bersama. Saya harap dengan kembalinya nafsu makan yang mulia, akan membuat yang Mulia lebih sehat lagi nanti."

"Itu jawaban yang bagus sekali. Lalu yang terakhir."

Anak ini paling kecil dari semua dayang yang aku temui. Namun aku lihat paling berani dan lincah diantara semuanya.

"Saya akan menghidangkan macam-macam buah-buahan dan sayuran yang akan saya petik sendiri dari kebun istana untuk yang mulia," jawabnya lantang.

Aku terkejut dengan apa yang ia kemukakan. Aku ingin mengujinya sekali lagi. Aku ingin tahu, apa dia benar-benar ingin menolongku atau hanya kenaifan gadis kecil biasa.

"Aku tidak suka buah dan sayur. Apakah ada makanan lain yang ingin kau tawarkan padaku?"

"Tidak ada Yang Mulia. Hamba hanya punya itu saja." lagi-lagi, tidak ada keraguan dalam kata-katanya.

"Kau yakin?" Tantangku.

"Iya, Yang Mulia."

"Lalu minumnya?"

Ia menrik napas sebelum menjawab, "Air sumur yang akan saya ambil sendiri dari sumur bersih di kerajaan, atau air hujan yang akan kita kumpulkan sendiri dari depan istana ini."

"Apa kau gila? Memberikan air hujan untuk diminum Seorang Ratu!" bentak Dayang Senior, berdiri dan akan segera mengusir anak ini dari istanaku.

"Hentikan." Perintahku untuk Dayang senior.

Aku telah menemukan siapa yang pantas menemaniku. Orang yang tahu segalanya, dan ia ingin membantu dengan sukarela.

"Siapa namamu?"

"Tsu Yi, Yang Mulia," jawab Dayang Kecil itu.

"Selain Tsu Yi dan Dayang Senior, silahkan kalian kembali ke lorong istana."

Dua orang kandidat lain pergi dari dalam kamar. Lalu Dayang Senior kembali menyatakan pendapatnya.

"Untuk apa Ratu menerima Dayang yang akan memberikan Air hujan pada seorang Ratu. Dia sama sekali tidak layak!" Protesnya, menggebu-gebu.

"Itu lebih baik. Dari pada Dayang yang memberikan makanan beracun pada Ratunya. Jelas-jelas ia sudah tahu."

"Tidak ada racun di makanan Yang Mulia. Hamba berani menjaminnya."

Penyangkalan ini sungguh menjengkelkan.

"Oh, tentu aku dengan senang hati akan membuktikannya. Mulai saat ini hingga waktu yang tidak ditentukan, kau akan menggantikanku memakan-makanan Ratu setiap harinya. Kau adalah Dayang Senior Ratu yang aku muliakan. Maukah kau menemaniku makan di sistana ini?"

"Hamba, hamba tidak pantas memakan-makanan mewah itu."

"Kau menerima titahku. Tidak ada yang boleh melawannya. Siapkan makan siangku, dan makan siang Ratu." Aku melirik ke arah Dayang Senior saat mengatakannya.

"Aku akan pergi menyiapkannya," Dayang Senior hampir berdiri sebelum aku menghentikan.

"Tidak perlu. Biar Tsu Yi yang melakukannya. Dayang Senior tetap di sini dan temani aku."

Makan siang disiapkan. Buah-buahan yang matang dan ramun telah disiapkan untukku. Juga air jernih yang langsung Tsu Yi ambilkan dari dalam sumur yang layak konsumsi.

"Mari kita makan Dayang Senior." Aku mempersilahkan.

Aku mengambil apel, lalu segera memakannya bahkan tanpa dikupas. Mereka menatapku tapi aku tidak peduli.

"Silahkan dimakan."

Dayang Senior menelan ludah, ia mengambil sumpitnya dengan gemetar takut. Ia mengambil nasi putih dan memakannya dengan perlahan. Satu suapan dan ia menaruh sumpitnya kembali.

"Kenapa kau berhenti?"

"Hamba merasa tidak pantas memakan makanan Ratu," katanya mengelak.

"Kalau begitu kau tidak boleh berdiri dari tempatmu duduk saat ini, sebelum semua piring-piring itu bersih dari makanan."

Aku memakan pisang yang disediakan Tsu Yi padaku sambil menikmati pemandangan Dayang Senior yang ketakutaan memakan makanan yang biasa ia bawakan padaku setiap harinya.

Ia bahkan menangisi setiap suapan makan yang masuk ke mulutnya. Namun aku tidak peduli. Ia pantas mendapatkan balasan dari diam-nya dia saat aku mengalami keracunan bertahun-tahun lamanya.

Setelah berhasil menghabiskan makanan sebanyak itu, Dayang Seior meminta izin untuk meninggalkan istana Ratu untuk melakukan sesautu.

Aku mengizinkannya. Aku tahu ia akan memuntahkannya. Aku tidak setega itu untuk membiarkannya mati perlahan seperti yang aku alami. Cukup membuatnya makan makananku setiap hari, aku rasa itu hukuman paling tepat untuknya saat ini.

***

Keesokan harinya aku mendengar kematian Ayahku. Ia meninggal di tengah penyelidiakan mengenai kasus keracuanan yang dialami Ratu.

Kini Aku sudah tidak punya siapa-siapa.

Bersambung .....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top