38
"Abi!" Ellie menyapa Abi yang sedang berjalan ke arahnya yang akan menuju perpustakaan.
"Ellie!" sapa balik Abi sembari anggukan tanda sopan.
"Mau kemana?"
"Perpustakaan. Mau mengembalikan buku," jawabnya.
"Ikut ya?"
Lelaki itu mengangguk sebagai jawaban. Mereka berdua akhirnya berjalan beriringan menuju ke perpustakaan. Namun, belum sempat sampai belokan menuju koridor, seseorang nampak memanggil Abi dengan nafas yang memburu. Dia Bilqish.
"Abi! Abi!" panggil Bilqish. "Tunggu!"
Abi dan Ellie kompak berhenti dan menoleh ke belakang. Mereka mendapati Bilqish yang sedang berlari ke arah mereka.
"Jalan aja Bil, pelan-pelan..."
"Shit! Ka—kalian ngga denger ya gue panggil dari tadi?" kata gadis itu dengan sedikit marah.
"Denger. Suara sapi tapi," itu jawaban dari Ellie yang nampak muak melihat Bilqish mengganggu dirinya dan Abi.
Abi menggeleng. "Nggak denger Bil. Maaf ya..."
Lelaki itu lantas membuka tasnya lalu mengeluarkan sebotol air mineral dan memberikannya kepada Bilqish. "Minum dulu biar tenang."
Bilqish menurut. Ia mengambil botol minuman milik Abi dan meneguknya hingga habis. Bentuk perhatian itu tak luput dari perhatian Ellie. Gadis itu mencibir dengan kesal, tak dapat melakukan apa-apa agar Abi tak marah lagi seperti tempo hari.
"Sebenarnya ada urusan apa sih lo? Ganggu aja!" ucap Ellie terang-terangan.
"Yee! Sensi apa sih lo anjir!" Bilqish menatap Ellie dengan sinis, begitupula gadis itu. Sepertinya akan ada laser yang keluar jika mereka bertatapan berlama-lama. Oleh karena itu, Abi segera menengahi mereka berdua sebelum perang dunia dimulai. Apalagi mereka masih berada di area kampus, sangat tidak etis jika bertengar di sini. Mereka akan mendapatkan masalah jika hal itu terjadi.
"Sudah sudah, kita ke perpustakaan aja gimana?" ajakan Abi memang bukan tanpa mendasar. Jika mereka berdua ke perpustakaan pasti tak ada kesempatan untuk saling memaki, berteriak, ataupun beradu mulut. Bu Gigih sebagai petugas perpustakaan yang terkenal killer akan memarahi mereka habis-habisan jika hal itu terjadi. Kartu tanda mahasiswa mereka bisa saja disita saat itu juga atau bahkan mereka akan mendapatkan masalah saat sidang esok hari.
Kedua gadis itu menurut, mengikuti Abi dari belakang layaknya anak kecil yang mengekor pada ayahnya. Namun, di balik punggung Abi, mereka berdua masih sempat-sempatnya saling senggol-menyenggol dengan sedikit brutal.
Universitas Chandrabrata sendiri memiliki perpustakaan yang sangat luas sebagai penunjang ilmu pengetahuan anak didiknya. Berbagai literatur dari nasional sampai internasional tersedia lengkap baik dalam bentuk cetak maupun e-book. Abi sendiri sudah sangat dihafali oleh Bu Gigih selaku penjaga. Selain karena selalu datang kemari, Abi pernah ikut magang di sana sebelum bekerja di kedai minumannya itu.
"Abi... Mau ngembaliin buku?" Bu Gigih yang selalu garang layaknya singa pada mahasiswa mendadak bagaikan kucing di hadapan Abi. Wanita berkacamata itu tersenyum dengan manis, membuat Bilqish bergidik ngeri karena ini pertama kalinya melihat wanita itu tersenyum. Mengerikan.
"Iya Bu... Buku dari semester lalu..."
Bu Gigih mengecek satu persatu buku yang Abi bawa. Di sela-sela pengecekannya, wanita itu menurunkan kaca matanya hingga ke hidung. "Kamu mau apa?" tanyanya dengan judes ke arah Bilqish.
"A—Anu... Baca buku," Bilqish segera ngacir entah kemana setelah mendapat tatapan garang itu. Bukannya takut, Bilqish hanya tak suka ditatap penuh intimidasi. Apalagi nanti jika Bu Gigih menyangkutpautkan dirinya dengan ayahnya yang berkuasa. Ia paling tidak suka dengan hal itu.
Melihat hal itu Abi hanya tersenyum tipis sedangkan Ellie yang masih setia di samping Abi melihat ekspresi tersebut dengan diam. Gadis itu membeku.
***
"Baca apa?" Abi menaruh bukunya di samping tempat duduk Bilqish. Gadis itu terkejut hingga ponsel yang berada di balik bukunya terjatuh.
"Ngagetin aja lo!" Bilqish marah dengan berbisik. Ia masih dapat mengendalikan dirinya untuk tidak berteriak dan marah-marah dengan suara keras.
Lelaki itu terkekeh, duduk di samping Bilqish. "Tadi kenapa nyariin?"
"Anu..."
Belum sempat Bilqish menjawab, Ellie datang dengan sedikit menggebrak buku-bukunya di atas meja. Hal itu tak luput menjadi perhatian bagi pengunjung lainnya.
"Gila ya lo!" kata Bilqish.
"Minggir, ini bangku gue!"
"Emang ada tanda kalo ini bangku punya lo?"
Ellie berdecih. "Gue yang selalu duduk di sini sama Abi. Ngerti nggak lo?"
Kini Bilqish yang tersenyum smirk. "Dih? Umur lo berapa sih njir? Masalah bangku aja dipermasalahin. Prik banget jadi bocah," akhirnya Bilqish memilih bergeser ke samping kanan Abi sehingga lelaki itu diapit oleh dua gadis.
Bilqish bukannya menyerah. Ia hanya merasa bahwa tak ada gunanya berdebat dengan hal-hal yang tidak berguna. Berebut bangku? Hey, yang benar saja. Ia sudah menginjak umur 22 tahun dan berebut bangku sangatlah kekanak-kanakan sekali.
Setelah kedua belah pihak tenang, Abi mulai membuka bukunya. Lelaki itu membaca bait perbait barisan kalimat yang ada, begitupula Ellie. Walaupun ujian akhir semester sudah berlangsung, gadis itu bahkan sudah siap mencatat materi untuk semester depan. Sedangkan Bilqish masih asik dengan ponselnya, menggulir video TokTik yang membuatnya harus menahan tawa.
"Bi Bi, liat!" Bilqish menarik kemeja Abi agar lelaki itu fokus pada ponsel Bilqish. Abi menurut dan melihat video berdurasi 15 detik yang menampilkan seseorang sedang menggoreng cimol hingga meletus. Sebenarnya tidak ada yang lucu dari video itu. Hanya saja si penggoreng cimol itu menggunakan mantel dan helm sebagai pelindung diri dari cipratan minyak. Sepele, tapi membuat Bilqish tertawa terbahak-bahak.
"Kamu kalo masak kayak gini juga kan?" tanya Abi.
"Ye, nggak lah! Gue malah ngga pernah tuh pegang kompor," kekeh Bilqish sementara seseorang di samping Abi sudah berdecih. "Pantesan. Orang kaya mah tinggal nyuruh-nyuruh doang bisanya. Ini dididik nggak sih sama orang tuanya?"
Cukup, Bilqish sudah tidak tahan lagi. Gadis itu berdiri menghampiri Ellie dengan emosi yang menggebu-gebu. Nggak diajak ngomong tapi malah ikutan nimbrung. Eh ngatain pula, siapa yang tidak emosi? Sedari tadi Bilqish sudah menahan diri, tetapi nenek lampir di sana terus saja menyenggolnya.
"Mau lo apa sih njir?" Bilqish menatap Ellie dengan tajam sedangkan gadis itu masih sibuk dengan bukunya.
Merasa diabaikan, Bilqish mengambil buku tersebut dengan paksa. Sontak saja aksi ini mendapat perhatian dari pengunjung lain yang mendengar bunyi keributan di tengah ruangan yang sangat tenang ini.
"Heh!" Ellie akhirnya berdiri, membalas tatapan tajam Bilqish tanpa takut. "Elo yang apa-apaan anjir!"
Abi berusaha melerai mereka berdua. Namun, yang didapatkan adalah bentakan dari keduanya.
"Sekarang lo ngobrol deh. Maksud lo apaan tadi?"
"Emang gue ngomong sama lo ya? Emang gue nyebut nama lo ya?"
Suara Ellie terdengar begitu memuakkan bagi Bilqish. Gadis itu menggenggam erat tangannya hingga memutih. Bahkan giginya bergemelatuk menahan amarah.
"Gue udah berusaha setenang mungkin buat nggak ngeladenin sikap lo yang kayak bocil. Kalo lo ada unek-unek sama gue, ngomong! Jangan jadi pengecut!" Bilqish mengambil tasnya lalu pergi dengan amarah yang memuncak. Ia tak mau melihat wajah Ellie lama-lama atau ia khilaf dengan sebuah bogeman mendarat di wajah gadis itu.
Ellie terduduk lemas di kursinya. Nyatanya untuk melawan gadis seperti Bilqish membutuhkan banyak tenaga yang ia keluarkan. Di sisi lain Abi hanya menatap Ellie dengan tatapan tanpa ekspresi. Lelaki itu lantas mengambil tasnya dan berlari mengejar Bilqish.
***
"Bilqish! Bilqish!" panggil Abi terus menerus di area kampus. Ia tahu pasti Bilqish masih berada di sekitaran kampus.
Suara bunyi pukulan terdengar di balik pohon-pohon. Abi tentu saja segera mengeceknya. Ternyata benar, Bilqish sedang meninju salah satu pohon yang ada di sana dengan kuat. Amarahnya memuncak dan ia tak bisa mencari samsak lain selain pohon tidak berdosa ini.
"Bilqish?" Abi mendekat, menyuruh Bilqish untuk berhenti menyakiti tangannya yang sudah berdarah. "Pukul aja aku, jangan ke pohon."
Bilqish tak menggubris perkataan Abi. Ia terus memukul pohon itu hingga lecet. "Bilqish... Tenang... Tenang..." lelaki itu menurunkan tangan Bilqish yang terhenti di pohon lalu menuntun gadis itu untuk duduk di salah satu kursi taman.
Dengan cekatan, Abi mengeluarkan kotak P3K yang ada di tasnya. Entahlah, sepertinya tas lelaki itu seperti kantong ajaib doraemon. Banyak sekali barang-barang yang ada di sana untuk kesiapsediaan Abi pada kondisi tertentu, seperti sekarang.
Abi membersihkan luka tangan Bilqish yang lecet menggunakan alkohol. Gadis itu meringis, perih katanya.
"Pegang bahuku Bil. Biar aku tau gimana rasa sakitnya," kata Abi dengan tetap fokus mengobati luka Bilqish. Bahkan lelaki itu dengan telaten meniupinya dengan pelan.
Mendengar perkataan itu serta menatap Abi yang sibuk mengobati lukanya membuat Bilqish tak bisa berkata apa-apa. Ia bengong, tak tau harus merespon apa hingga Abi kembali memberikannya alkohol sehingga gadis itu tersadar dari lamunannya. "Aw!" pekik Bilqish sembari meremas bahu Abi dengan keras. Bukannya kesakitan, Abi malah tersenyum dan melanjutkan memberikan obat merah dan memerban luka Bilqish.
"Sebenarnya gue paling benci diremehin Bi... Gue nggak suka." Kini Bilqish angkat bicara.
Abi sempat memperhatikan Bilqish sebentar, lalu mulai melanjutkan mengobati gadis itu.
"Mereka pikir menjadi orang kaya itu mudah? Mereka pikir dengan menjadi orang kaya bisa bahagia? Emang sih gue punya nyokap dan bokap yang selalu support gue. Mereka sayang bahkan sayang banget sama gue. Tapi itu nggak cukup Bi. Emang problemnya bukan dari mereka, tapi dari pemikiran-pemikiran orang yang bikin gue takut, bikin gue benci." Bilqish terisak.
"Sedari kecil banyak banget temen yang deket sama gue gara-gara gue orang kaya. Selain itu, nggak ada. Nggak ada yang pernah tulus sama gue Bi. Mereka cuma ngincer harta, relasi, dan yah uang. Gue nggak punya temen yang ada saat gue suka dan duka. Baru ketemu sekarang. Anggota band gue. Makanya gue sayang banget sama mereka, gue nggak mau mereka kenapa-kenapa, gue nggak mau mereka sakit."
"Bilqish..."
"Emang jadi orang kaya mudah? Enggak! Asal mereka tahu, gue harus jaga sikap untuk menghargai citra dan reputasi bokap nyokap gue. Walaupun mereka nggak minta, orang sekitar dengan pemikiran jahat mereka pasti akan membuat bokap nyokap gue sakit hati kalau tau anaknya nggak bisa bersikap baik. Mereka akan berpikir bahwa bokap nyokap gue nggak bisa mendidik anaknya, nggak bisa bikin anaknya berprestasi atau sukses kayak mereka. Pemikiran-pemikiran itu yang bikin gue takut mengecewakan kedua orang tua gue setelah semua yang mereka kasih ke gue Bi... Makanya gue nggak suka kalau orang mikir jadi orang kaya itu enak padahal beban mereka lebih besar... lebih berat."
Abi memberikan sapu tangannya ke arah Bilqish. Lelaki itu bingung harus bereaksi seperti apa. Jujur, ia ingin memeluknya sekarang tapi ia sadar diri. Ia tak bisa melakukannya.
"Bilqish... Pemikiran-pemikiran orang nggak perlu dimasukkin ke hati ya? Mereka cuma ngomong, mereka cuma tau covernya aja. Bahkan mereka ngomong pun tanpa dipikir. Jadi buat apa kita mikirin omongan mereka? Yang penting orang sekitar dan orang terdekat kamu tau kamu aslinya seperti apa, tau perjuangan kamu sampai di titik ini seperti apa yang aku yakin itu nggak mudah. Pikirin aja bagaimana menjadi orang yang lebih baik ke depannya. Fokus pada masa depan dan kebahagiaan kamu. Ya?"
Bilqish mengangguk. Baru pertama kali ini ia mencurahkan segala bebannya bersama orang lain. Biasanya ia hanya akan memendamnya. Memang dari masalahnya ini kedua orang tua Bilqish selalu memberikan support, tidak pernah menekannya untuk melakukan sesuatu, bahkan membebaskannya melakukan banyak hal. Namun, di balik itu semua Bilqish menanggung kepercayaan yang begitu berat. Ia harus membuktikan bahwa kedua orang tuanya tidak salah memberikan kepercayaan itu kepadanya. Pada intinya, Bilqish tak mau melukai kepercayaan itu, tak mau mengecewakan mereka atas semua sikap yang Bilqsih lakukan. Ia tidak mau kedua orang tuanya dijadikan bahan gunjingan karena tidak bisa mendidiknya dengan baik, padahal mereka ada orang tua yang luar biasa.
"Udah selesai," kata Abi sembari menutup segala obat-obatan yang ia bawa dan memasukannya lagi ke dalam tas.
"Thanks ya..." kata Bilqish menatap Abi dengan mata yang masih berkaca-kaca. "Udah selalu ada buat gue."
Hmmmmmmm emang banyak anak yang kayak gitu ngga sii? Mereka takut melukai kepercayaan orang tua yang udah dikasih. Rasanya pasti penuh dengan rasa bersalah. Takut ngga dipercaya lagi, takut berbuat salah, takut mengecewakan mereka. Jadi, selama orang tua percaya, jangan disia-siakan ya guys
Oh ya jangan juga terlalu memikirkan omongan orang lain yang ngga penting dan jangan mudah menjudge orang lain yaa! Ingat ituu
Bye byee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top