36
ADAM LEVINE - LOST STARS
***
Perjalanan menuju rumah Abi sebagai tempat dimana Riko berada cukup menguras batin. Pasalnya sedari tadi di mobil, Bu Alisa terus menangis. Wanita itu juga berkali-kali menelepon suaminya—Pak Tonny, tapi tidak ada balasan sama sekali. Pria itu tidak mengangkatnya.
"Bil saya sudah gagal menjadi seorang Ibu, saya gagal..." Bu Alisa menepuk dadanya yang sulit bernafas sedangkan Bilqish dan Stella terus memeluk Bu Alisa yang pasti batinnya terguncang mendengar kabar anak semata wayangnya tersebut.
"Enggak Tante, Tante nggak seperti itu. Riko sedang tersesat, kita bantu dia kembali ke jalan yang benar ya Tante..." kata Bilqish menenangkan.
"Iya Tante, kita kuatkan Riko sama-sama ya... Riko pasti bisa kembali seperti sedia kala," timpal Stella.
Di tengah isakan wanita yang batinnya terluka tersebut, sebuah deringan telepon masuk di ponsel Bilqish. Gadis itu segera mengangkatnya karena tanpa dilihat pun ia tahu siapa yang memanggil. Siapa lagi yang masih menelpon menggunakan panggilan biasa jika itu bukan Abi? Bahkan sampai sekarang lelaki itu masih rajin ke konter untuk membeli pulsa.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam. Ada apa Bi?"
"Anu Bil... Itu..."
"Kenapa? Ada apa?"
Aaron yang sedang mengemudi tertarik dengan percakapan tersebut. Lelaki itu melihat Bilqish dari kaca depan mobil. "Siapa sayang?"
"Abi. Tapi udah dimatiin. Kayaknya ada masalah deh. Kamu bisa lebih cepet nggak?"
Aaron mengangguk. Lelaki itu melajukan mobilnya lebih cepat daripada sebelumnya. Untung saja jalanan cukup lenggang siang ini.
***
Mobil milik Bilqish tiba di daerah perkampungan milik Abi. Mereka keluar secara bersamaan dan masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka lebar tersebut. Namun, anehnya rumah itu kosong. Tidak ada siapapun di sana, tak terkecuali Abi sang pemilik rumah.
"Bi? Abi?" Bilqish masuk ke dalam rumah dan mencari ke seluruh penjuru rumah, tetapi tak ada tanda-tanda Abi di sana.
"Nggak ada?" tanya Stella.
"Kosong. Kemana ya dia pergi? Dia ngga biasanya kayak gini. Apalagi pintu rumahnya nggak dikunci sama sekali."
Aaron yang melihat raut kekhawatiran kekasihnya itu mencoba mengusap lengan Bilqish. Walaupun perasaan cemburu itu mendominasi melihat bagaimana kekasihnya mengkhawatirkan lelaki lain, namun dalam situasi seperti ini Aaron lebih memilih untuk merendahkan egonya. Situasinya sedang tidak pas untuk membicarakan masalah pribadi. Apalagi mereka baru saja berbaikan setelah bertengar akan masalah yang sama.
"Kita tunggu aja ya," kata Aaron berusaha menenangkan.
Mereka semua akhirnya duduk di sofa sembari menunggu Abi datang. Entah mengapa perasaan Bilqish tiba-tiba merasa tidak enak dengan situasi semacam ini. Ia merasa cemas dan khawatir secara bersamaan, tapi ia tidak tahu mengapa hal ini terjadi. Berulang kali Bilqish memanggil nomor Abi dan berulang kali pula panggilan itu tanpa balasan.
"Sebenarnya Abi kemana sih? Riko kok juga nggak ada?" tanya Stella yang ikut gundah dengan situasi ini. Seperti ada yang tidak beres.
Melihat hal itu Aaron mencoba untuk mencari tahu. Ia keluar dari rumah Abi, bertepatan dengan lelaki itu yang berlari ke arahnya dengan ngos-ngosan.
"Mas Aaron!" panggil Abi.
"Lo kenapa Bi? Kok lari-lari?" tanya Aaron. "Udah ditungguin dari tadi. Lo kemana aja?"
Abi masuk ke dalam rumahnya, saat itu juga Bilqish segera berdiri sedangkan Stella masih terus menenangkan Bu Alisa yang terguncang.
"Lo kemana aja sih Bi?" tanya Bilqish cepat. Tak sabar dan rasanya ingin marah.
Abi menarik nafasnya lalu menghembuskannya berulang kali. "Maaf... Maaf..." katanya.
"Ya trus kenapa? Apa yang terjadi?"
"Itu... Riko... Riko hilang..."
Sontak saja semua orang langsung terkejut. Mereka semua menatap Abi dengan tatapan tak percaya. "Kok bisa? Gimana ceritanya?"
Namun, di tengah kekhawatiran yang melanda, sebuah deringan ponsel terdengar. Abi segera mengangkatnya, ternyata itu panggilan dari Pak Agus.
"Abi! Teman kamu sudah ditemukan! Dia ada di jembatan dan bersikeras mau terjun ke sungai. Kamu sebaiknya segera ke sini sekarang!"
Tiba-tiba suara benda terjatuh terdengar. Mereka semua menoleh ke arah Bu Alisa yang sudah terduduk lemas di lantai kala mendengar berita itu. Wanita itu pingsan.
"Tantee!!" Bilqish dan Stella segera mengerubungi Bu Alisa sedangkan Aaron sudah bersiap untuk menggendong Bu Alisa.
"Taruh di kamar saya aja Mas," kata Abi menuntun Aaron untuk membawa Bu Alisa ke kamar Abi.
Situasi menjadi tidak terkendali. Semuanya menjadi kacau. Sangat kacau. Rasanya kepala Bilqish hendak meledak sekarang. Riko hendak terjun ke sungai, ditambah Bu Alisa yang tiba-tiba pingsan karena terlampaui shock. Ya Tuhan, kenapa hari ini berat sekali?
Jantung Bilqish seperti berhenti berdetak. Tiba-tiba ia sangat sulit memproses apa yang baru saja ia dengar. Gadis itu linglung seketika ketika kata 'terjun ke sungai' terus terngiang-ngiang di kepalanya.
Abi yang melihat tatapan kosong Bilqish segera maju, namun kalah cepat dengan Aaron yang segera memeluk Bilqish dalam dekapannya. "Kamu gapapa?" tanya lelaki itu, membuat Abi mundur satu langkah.
"Riko mau terjun... Riko mau terjun ke sungai, Ron... Kita harus gimana? Aku bingung... Aku nggak tau mau ngapain..."
"Tenang sayang, tenang. Kita masih bisa mencegahnya. Belum terlambat. Ayo!" Aaron mengajak Bilqish untuk bangkit. "La, jagain Bu Alisa ya!"
Stella mengusap air matanya sembari mengangguk. "Selamatkan Riko ya Bil, Ron, Bi..."
Mereka bertiga mengangguk lalu masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, Bilqish menelepon Vian untuk datang. Ia juga berusaha menelepon ulang suami Bu Alisa agar ikut datang ke sana. Mungkin dengan kedatangan orang-orang yang Riko sayang mampu mengubah pikiran Riko untuk terjun ke sungai.
Mereka bertiga akhirnya sampai di jembatan yang sudah ramai orang. Pak Agus dan Pak Tono menyuruh para warga untuk sedikit memberikan tempat bagi Abi dan kawan-kawannya yang barusan datang.
"Riko!" Bilqish memanggil Riko yang sedang berada di tepi jembatan.
Lelaki itu menoleh sebentar, lalu tersenyum. "Bilqish, sahabat gue yang paling baik. Akhirnya lo dateng ke sini buat mengantar gue pergi kan? Oh iya, ntar kalau ke makam jangan bawa bunga ya Bil, bawain gue coklat. Okay?" kata Riko cengengesan di atas sana.
"Enggak! Gue nggak mau lo pergi Ko... Gue nggak mau... Please, turun ya. Turun..." kata Bilqish dengan terisak.
Riko tersenyum. Ia menatap ke langit sebentar sebelum akhirnya menatap ke derasnya aliran sungai di bawah sana. "Hidup gue udah nggak berguna Bil. Gue hancur, hancur banget."
"Enggak Ko... Ini semua masih bisa diperbaiki. Banyak yang masih sayang sama lo. Gue, Stella, Vian, dan kedua orang tua lo sayang sama lo Ko. Kita butuh lo, kita nggak mau lo pergi..." Bilqish maju sedikit demi sedikit untuk meraih tangan Riko. Namun lelaki itu segera memperingatkan Bilqish untuk tidak mendekat.
"Jangan mendekat Bil atau gue terjun sekarang juga!"
Aaron menarik Bilqish menjauh. Ia tahu kata-kata seseorang yang sudah tak punya harapan benar-benar akan dilakukan. Jika benar Bilqish mendekat mungkin bisa saja Riko nekat menjatuhkan tubuhnya ke sungai.
Di tengah ketegangan yang menyelimuti, Vian datang dengan nafas tak beraturan. "Rikooo!" panggil lelaki itu dengan nada terisak.
Lagi-lagi Riko tersenyum. "Lo juga dateng Bro? Kayaknya pada semangat nganterin gue pergi ya..."
Vian mengacak rambutnya dengan keras. "Bego! Turun Ko! Turun!"
"Di sini enak Vi, udaranya seger."
"Jangan bercanda! Please gue mohon lo turun, gue bakal turutin semua yang lo mau Ko... Please..." kata Vian membujuk Riko.
Riko menggeleng. "Semua itu udah nggak berarti lagi buat gue Vi. Hal yang paling membahagiakan bagi gue udah pergi dan gue milih ikutan pergi bersama kenangan-kenangan itu. Nggak ada masa depan buat gue Vi..."
"Ayolah Ko, bunuh diri nggak menyelesaikan masalah. Apa lo nggak mikirin gimana perasaan—"
Ucapan Vian terpotong ketika suara seorang wanita yang tengah terisak hebat hadir di sana. Bu Alisa yang baru saja sadar dari pingsannya segera diantar Stella menuju jembatan. Wanita itu begitu sakit melihat anaknya tengah berdiri di atas batas pembatas jembatan dan dijadikan tontonan oleh orang-orang. Ia benar-benar tidak sanggup...
"Nak, turun Nak. Mama di sini. Mama akan terus sama kamu. Mama akan selalu ada buat kamu. Mama nggak bisa hidup kalau tanpa kamu Nak... Mama janji akan jadi Mama yang baik buat kamu, please turun ya Nak..." bujuk Bu Alisa dengan terisak.
"Mama... Kalau Mama sayang sama Riko, kenapa Mama mau cerai sama Papa? Kenapa kalian mau pisah? Kenapa Ma?"
Suara Bu Alisa semakin terisak. Air mata luruh di kedua matanya yang cantik. Wanita itu terduduk di aspal jalan, memohon ke anak semata wayangnya untuk tidak melakukan hal tersebut. "Mama mungkin gagal menjadi seorang istri, tapi Mama nggak mau gagal menjadi seorang Ibu, Nak. Mama mohon, beri Mama kesempatan untuk memperbaiki ini semua... Mama mohon Riko... Mama nggak minta apa-apa. Mama cuma minta kamu hidup, temani Mama..."
Suara Riko bergetar. Lelaki itu sebenarnya tak tega melihat ibunya bersimpuh di hadapannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Ia pun juga sudah terlampaui mengecewakan untuk kedua orang tuanya. Ia berhutang banyak dan sekarang kecanduan narkoba. Ia juga tidak pintar sama sekali. Memangnya apa yang hebat dari dirinya? Tidak ada. Dia tidak berguna sama sekali. Mungkin kedua orang tuanya juga kecewa melahirkan anak seperti dirinya dan itu juga dapat menjadi alasan mengapa mereka berpisah.
"Riko!" tiba-tiba suara itu terdengar di seberang sana.
Riko semakin terisak melihat Papanya datang. Ia tidak bisa dengan ini semua. Ia terlalu lemah. Batinnya tak kuasa jika melihat seseorang yang begitu ia kagumi datang dengan derai air mata. Ini kali pertamanya ia melihat Papanya menangis dan itu untuk dirinya.
"Turun ya Nak, maafin Papa. Maafin Papa..."
Pak Tonny mendekat perlahan-lahan ke arah Riko. Pria itu bahkan menghempaskan jasnya ke tanah seolah hal itu tidak berarti lagi baginya. Kemejanya ia lipat sampai ke siku lalu tangannya terus terulur. Tak pernah terpikirkan di benaknya bahwa keputusan yang ia ambil akan berdampak sejauh ini. Tidak, ia tidak bisa membiarkan hal ini terjadi.
"Kenapa Papa ke sini? Bukannya Papa mau ke Dubai sama calon istri Papa?"
Pak Tonny menghembuskan nafasnya dengan berat. "Maafin Papa, Riko. Papa sadar bahwa itu semua hanya kesenangan sesaat. Papa sibuk mencari kebahagiaan lain padahal nyatanya kebahagiaan itu sudah ada di depan mata sejak lama. Papa terlalu buta akan semua itu. Maafin Papa, Nak. Kita perbaiki ini semua sama-sama ya? Papa janji nggak akan begitu lagi. Kamu yang terpenting buat Papa, Riko... Papa janji kita akan hidup bersama menjadi keluarga yang utuh, sama Mama juga. Ya Nak ya?"
"Papa bohong!"
Pak Tonny mengusap wajahnya dengan gusar. "Papa memang pembohong, tapi untuk kali ini, pegang omongan Papa, Nak. Kalau Papa ingkar, kamu bisa ngelakuin apapun ke Papa. Papa serius..."
Tangan Pak Tonny segera menyambar lengan Riko ketika lelaki itu lengah hingga mereka terhempas ke pinggir jembatan dengan posisi Riko yang jatuh dalam pelukan Pak Tonny. Mereka semua terisak dengan kejadian itu. Bu Alisa juga mendekat, memeluk Riko dengan tangisan yang tak terbendung. Begitupula dengan Stella yang langsung memeluk Vian serta Bilqish memeluk Aaron. Mereka semua terhanyut dalam kejadian siang itu yang begitu menguras tenaga dan emosi. Akhirnya Riko selamat...
Abi bahkan tak kuasa menahan tangisnya. Ia paham betul bagaimana perasaan Riko. Semalam mereka bercerita banyak hal. Riko pernah bilang bahwa kebahagiaan terbesarnya adalah bersama dengan keluarga yang lengkap. Namun, tiba-tiba kabar keretakan rumah tangganya membuat Riko stress. Bahkan Papanya juga sudah menyiapkan pengganti ibunya dengan begitu cepat, menambah sakit yang Riko rasakan. Berbagai cara sudah ia lakukan untuk memperbaiki semuanya, namun Riko tetaplah hanya seorang anak yang tidak bisa mematahkan ego kedua orang tuanya. Oleh karena itulah mungkin bunuh diri menjadi satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah. Padahal, bunuh diri bukanlah jalan yang benar dan tidak menyelesaikan apapun. Bunuh diri hanya seperti menambah garam di atas luka yang menganga dan sama saja menyakiti orang dua kali lipat lebih dahsyatnya.
"Riko, jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup lagi ya. Kamu adalah hadiah dari Tuhan yang paling berharga untuk kami. Maafin Papa dan Mama yang egois dan lupa akan anugerah yang telah Tuhan berikan dalam bentuk kamu... Kita perbaiki semuanya sama-sama ya sayang..." kata Bu Alisa sembari terus menciumi pucuk rambut Riko. Entah mengapa rasanya ia melihat anaknya seperti anak kecil berusia enam tahun lagi. Ia terlalu sibuk bekerja hingga tak menyadari anaknya telah tumbuh dewasa. Walaupun begitu, anak tetaplah anak. Ia masih memiliki pemikiran untuk ingin terus disayang oleh kedua orang tuanya, begitupula Riko. Walaupun ia sudah menginjak usia dewasa, namun sifat kanak-kanak dalam dirinya tetap ingin terus bersama orang tuanya. Ia tak ingin orang tuanya berpisah.
Riko yang seperti seorang anak kecil di dekapan kedua orang tuanya itu mengangguk. "Baik Ma, Baik Pa... Maafin Riko juga ya..."
Sedewasanya anak, mereka tetap seperti anak kecil di mata orang tuanya
Semoga ada hikmah ya yang dipetik dari kejadian Riko ini. Bagi kalian yang lagi dititik yang down, percayalah bahwa masih ada harapan di masa depan. Jangan menyerah! Okay?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top