33

Bilqish, Vian, dan juga Stella keluar dari kontrakan Abi secara bersamaan. Abi dan Ellie yang berada di luar segera bangkit dari duduknya.

"Gimana?" tanya Abi kepada Bilqish.

Gadis itu hanya diam begitupula kedua sahabatnya yang memilih untuk berpamitan pergi.

"Sorry Bi, gue nggak bisa cerita sekarang. Titip Riko ya. Gue pamit pergi dulu. Btw thanks ya," pamit Bilqish sembari menatap Ellie sebentar lalu berjalan keluar menuju mobilnya.

Melihat sikap ketiga orang itu tentu membuat Abi dan Ellie kebingungan. "Emang sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Ellie.

"Mungkin masalah pertemanan mereka. Hal seperti itu wajar kan?"

Ellie mengangguk. "Yaudah sekarang lo makan dulu gih. Abis itu istirahat lagi. Gue balik ke kampus ya?"

Abi menerima bekal buatan Ellie lalu melambaikan tangannya ketika gadis itu pergi dari area kontrakannya. Sebuah aroma tumis kangkung tercium, menggugah selera Abi saat itu juga.

Saat Abi masuk rumah, kondisinya sudah sedikit tidak aturan. Riko nampak menatap kosong ke depan, seolah tidak punya harapan apapun. Abi sendiri melihat perubahan drastis dari Riko yang dulu ia kenal. Namun, sekali lagi Abi tidak bisa ikut campur dalam masalah orang lain yang bukan ranahnya.

Abi melihat sebuah bungkusan di meja. Di sana tertulis notes bahwa makanan itu sebagai tanda terima kasih karena Abi sudah membantu Bilqish membenahi ban mobilnya. Ya, makanan itu dari Bilqish. Seutas senyum terbit di bibir Abi.

Lelaki itu lantas menaruh berbagai lauk di piring dan mangkuk. Ia kemudian menghampiri Riko di tempat duduknya. "Makan dulu Mas," kata Abi memberikan sebuah kotak bekal kepada Riko.

Riko tidak mengangguk ataupun menggeleng. Lelaki itu hanya diam. Matanya sayu menatap depan. Bibirnya pun menjadi pucat.

"Mas? Sakit?" tanya Abi yang masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Tetapi lagi-lagi tak ada respon yang Riko berikan. Lelaki itu masih diam.

Abi akhirnya menuju meja makan, mengambil nasi dan lauk lalu memakannya karena obatnya harus diminum lagi agar rasa meriangnya berkurang. Sembari makan, Abi melihat dengan jeli keberadaan Riko di rumahnya. Sebenarnya kejadian ini termasuk kejadian yang sangat mustahil terjadi. Bayangkan saja seseorang yang menganggap bahwa kau adalah musuhnya tiba-tiba memohon bantuan kepadamu bahkan sampai ke rumahmu. Bukankah itu sangat jarang terjadi?

Abi meneguk air putihnya dan menelan pil obatnya dengan sekali tegak. Sampai makanannya habis pun, Riko masih tak menyentuh kotak bekal tersebut. Bahkan posisi duduknya tidak berubah. Abi jadi takut, apakah Riko sedang kesurupan? Atau apa? Kenapa dia hanya diam saja?

"Mas?" Abi berusaha memanggil Riko, tak ada sahutan.

"Mas?" Abi memegang pundak Riko. Saat itulah lelaki itu seolah terkejut dengan keberadaan Abi di sampingnya.

Riko tak berbicara. Ia lantas berdiri dan menuju pintu. Sebelum lelaki itu keluar, Abi sudah menahan daun pintu.

"Gue mau keluar!" kata Riko.

Abi menggeleng. "Nggak Mas, Mas Riko harus di sini. Ini amanah dari Bilqish," katanya.

"Udah cukup sekali lo bantuin gue Bi. Gue nggak mau berhutang banyak sama lo," jawab Riko sembari menyuruh Abi untuk minggir dan berhenti mencegahnya.

"Saya melakukannya dengan ikhlas, Mas. Tidak perlu merasa berhutang atas hal ini." Abi menutup kembali pintu rumahnya. "Bilqish yang bilang kalau Mas sementara di sini aja."

"Nggak usah sok perhatian deh lo! Minggir," Riko mendorong Abi ke samping lalu melangkah pergi begitu saja. Abi yang melihat itu tentu tak bisa berbuat apa-apa. Ia juga tak bisa memaksa Riko untuk berada di rumahnya. Itu bukan kehendaknya lagi.

***

Abi merebahkan tubuhnya di atas kasur. Jujur, punggungnya seolah remuk karena sedari tadi ia tidak sempat untuk merebahkan dirinya. Sebenarnya demamnya sudah turun, namun kepalanya sedikit pening.

Baru saja ia memejamkan matanya, seseorang mengetuk pintu Abi dengan keras. Suaranya terdengar seperti suara Pak Agus, tetangganya yang rumahnya ada di ujung jalan.

"Abi! Abi!" panggil Pak Agus dengan terus menggedor pintu rumah Abi.

Abi langsung bangun dari tidurnya. Ia membuka pintu dengan cepat. "Pak Agus? Ada apa Pak?"

"Ada pemuda yang tiba-tiba jatuh di ujung jalan. Tadi Bu Irma lihat itu teman kamu. Coba kamu cek dulu Bi..."

Menghiraukan rasa pening yang merangsang di kepalanya, Abi segera berlari menuju ujung jalan. Bahkan saking khawatirnya ia sampai lupa memakai alas kaki. Jadi, ia berlari dengan telanjang kaki di tengah banyaknya kerikil yang menusuk telapak kakinya. Sementara Pak Agus mengekor di belakang Abi sembari berteriak untuk berjalan pelan-pelan saja.

Benar saja, tepat di hadapannya para ibu-ibu dan bapak-bapak daerah rumahnya tengah mengerubungi satu titik. Abi segera menerobos masuk pada kerumunan itu untuk melihat sosok pemuda yang Pak Agus maksud tadi.

"Mas Riko!" Abi memanggil Riko dengan keras sembari menepuk pipinya pelan. "Mas? Mas Riko?"

"Itu benar teman kamu Bi?" Pak Tono selaku ketua RT setempat.

"Benar Pak. Ini teman saya," jawab Abi.

"Yaudah para bapak-bapak, mari kita bawa ke rumahnya Abi," titah Pak Tono menginstrupsi warganya untuk saling bahu membahu mengangkat Riko ke kediaman Abi.

Setelah mereka sampai dan menaruh Riko di kamar Abi, para warga pulang. Tak lupa Abi mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan.

Abi menatap Riko dengan saksama. Ia tidak tahu apa masalah yang terjadi terhadap lelaki itu. Namun, ia paham bahwa setiap masalah pasti ada solusinya.

Sore sudah menjelang malam. Abi terus menunggu Riko siuman, tetapi tak ada tanda-tanda lelaki itu bangun dari tidurnya. Abi juga sudah mengabari Bilqish mengenai apa yang terjadi dan akan tiba beberapa saat lagi.

Sebuah suara mesin mobil yang dimatikan membuat Abi beranjak keluar. Benar, Bilqish telah tiba. Ia membawa beberapa keresek berisi makanan untuk santapan makan malam Abi dan Riko.

"Gimana keadaannya?" tanya Bilqish sembari duduk di kursi teras.

"Belum siuman sampai sekarang."

Gadis itu menghela nafasnya. "Jujur, gue nyesel Bi... Gue seolah nggak berguna banget jadi temen. Gue nggak tau kalau temen gue, sahabat gue sendiri bisa kayak gitu. Gue nggak tau dan nggak pernah tanya masalah dia apa. Gue taunya mereka baik-baik aja," kata Bilqish dengan nada yang sedih.

"Enggak. Hust... Kamu nggak boleh ngomong gitu." Abi berusaha menenangkan Bilqish yang sudah terisak. "Semua orang punya rahasia yang emang nggak bisa diceritain ke orang lain Bil. Mungkin mereka lebih memilih memendam daripada mengutarakannya. Mereka pasti masih belum siap untuk cerita, untuk berbagi perasaan kepada orang lain. Mereka takut kalau mereka cerita, orang itu akan sedih, kecewa, bahkan pergi. Itu keputusan yang mereka ambil untuk mencegah segala kemungkinan buruk yang terjadi dan kita sendiri emang nggak punya kuasa untuk memaksa seseorang menceritakan kisahnya masing-masing," kata Abi.

"Tapi yang dialami Riko itu udah parah banget Bi. Orang tua mereka mau cerai dan itu buat Riko stress. Dia depresi dan lari ke narkoba. Dia hutang seratus juta lebih ke rentenir dan gue nggak tau apa-apa. Apa gue nggak shock denger kisah dia kalo gitu?"

Abi tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Pantas saja Bilqish merasa bersalah jika kenyataannya seperti itu.

Riko sendiri adalah anak tunggal dari keluarga kaya raya. Ia hidup dalam kemewahan sejak ia lahir dan memiliki keluarga yang cukup harmonis. Ayahnya yang seorang pengusaha kerap melakukan kerja sama dengan Pak Keylan, ayahnya Bilqish. Orang tua mereka juga dekat di samping Riko ikut masuk dalam satu band yang Bilqish dirikan. Melihat orang tuanya yang memutuskan untuk tiba-tiba bercerai tentu membuat Riko shock. Ia stress melihat kedua orang tuanya yang hampir setiap hari bercek-cok, bertengkar, dan saling memaki satu sama lain. Rasa cinta dan kasih sayang serta kehangatan di dalam rumah menguap seketika berganti kelam dan badai yang melanda.

Riko memang bukan anak kecil lagi, tapi siapa sih anak yang tidak stress dan depresi melihat orang tua yang awalnya saling mencintai berubah menjadi saling membenci? Riko memang bukan anak kecil lagi, maka dari itu orang tuanya pikir tidak apa-apa untuk bertengkar bahkan melakukan supah serapah di hadapannya. Padahal mau dewasa ataupun masih kanak-kanak, hati seorang anak itu sama. Ia tidak suka melihat orang tua bertengkar. Ia pasti merasa sedih, stress, bahkan bisa mencapai kepada level depresi.

Riko menjadi salah satu contoh korban anak broken home yang terjerumus ke hal-hal yang negatif. Berawal dari coba-coba untuk menenangkan pikiran, Riko mencoba narkoba dan berakhir candu. Uangnya habis untuk narkoba hingga membuatnya berhutang pada rentenir sampai ratusan juta dengan alibi 'harga narkoba semakin mahal karena susah didapat'. Riko yang sudah candu tentu tak berpikir panjang selain menuntaskan hasratnya. Dia korban.

"Aku nggak tau kalo Mas Riko punya masalah seperti itu... Aku turut prihatin," kata Abi yang tiba-tiba tak bisa berkata-kata lagi untuk menanggapi kasusnya Riko.

Bilqish sendiri mengangguk, mengusap sebagian air matanya yang jatuh. "Makanya gue ngerasa bersalah banget Bi. Banget... Ini tadi gue, Stella, sama Vian lagi cari cara untuk menyelesaikan masalah ini satu-satu. Mulai dari kecanduan dia, hutang dia, dan keluarganya dia."

"Satu-satu aja Bil, gapapa. Kalau butuh apa-apa hubungin aku. Aku siap membantu."

"Untuk sementara dia tinggal di rumah lo gapapa kan? Kondisi rumahnya sedang nggak bagus. Gue takutnya dia tambah stress. Setidaknya kalo di sini kan ada lo yang mantau. Ya Bi?"

Abi mengangguk. "Iya, gapapa. Biar Mas Riko tinggal di sini aja gapapa."

"Thanks ya. Thanks untuk semuanya."

Lelaki itu tersenyum. "Anything for you..." ucapnya sembari menatap manik mata Bilqish.





Hwaaaa kasian Rikooo! Buat kalian yang punya kisah seperti Riko terus berjuang yaaa! Kalian ngga sendirian kok. Masih ada kita semua. Jangan menyerah dan jangan terjerumus pada hal-hal yang negatif yaaa. Seperti kata Abi, apapun masalahnya pasti ada solusi dan jalan keluarnya kokk.

Makasi udah baca sampe part ini! Dahh see youuuu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top