32
Hidup sendiri bukanlah perkara yang mudah. Dengan hidup tanpa ada orang lain yang menemani mengharuskan kita untuk mandiri, bisa melakukan semuanya sendiri. Kita juga dituntut untuk serba bisa karena saat hidup sendiri, yang diandalkan hanyalah diri sendiri. Seperti sekarang, di tengah demamnya yang tak kunjung turun, Abi menggayuh si Entong keluar dari daerah kontrakannya untuk mencari apotek terdekat. Obat yang biasanya ia beli di warung tak mempan juga sedangkan siang nanti ia harus masuk kelas dan bekerja. Tak ada waktunya untuk istirahat, aktivitasnya padat.
"Mbak, obat pereda demam satu," kata Abi pada apoteker yang ada di sana.
Wanita berhijab sebagai apoteker itu mengangguk, memberikan beberapa kaplet obat dengan beragam jenis karena Abi tidak hanya demam tetapi flu juga. Setelah membayar, lelaki itu terdiam sebentar di depan sepeda bututnya. Tiba-tiba kepalanya menjadi sangat pusing. Ia tidak bisa melanjutkan perjalanan jika begini kondisinya.
Akhirnya Abi memilih untuk menepi di sebuah warung. Karena obat yang ia beli mengharuskan dirinya untuk makan terlebih dahulu, Abi membeli roti sebagai ganjalan perutnya lalu meminum obatnya satu per satu sembari istirahat. Namun, sebuah objek tak sengaja ia tangkap. Matanya menyipit melihat seorang laki-laki tengah berlari dengan ketakutan di sebarang jalan. Laki-laki itu terlihat sangat familiar, tetapi siapa?
Abi memutuskan untuk mengikuti langkah lelaki itu yang masuk ke sebuah gang buntu. Ia terlihat ketakutan, panik, dan cemas.
"Mas Riko?" panggil Abi melihat Riko tengah bersembunyi di balik tong sampah.
Menyadari ada yang memanggil namanya, Riko langsung bangkit. "Abi?" Lelaki itu menggenggam tangan Abi dengan kuat. "Abi please bantu gue Bi... Gue—"
"Mau lari kemana lo!" Tiba-tiba dua orang pria berteriak dengan keras sembari membawa pemukul basbol. Kedua pria itu berperawakan tinggi dan besar. Ada beberapa tatto yang menghiasi lengan dan kakinya. Salah satu pria itu berambut gondrong yang sengaja dikuncir. Mungkin ini pertama kalinya Abi melihat preman yang ada di TV. Tapi ini bedanya nyata.
Riko langsung bersembunyi di balik lengan Abi, takut. Sedangkan Abi meneguk salivanya susah payah, ia juga sama-sama takut jika orang yang berhadapannya berperawakan seperti ini.
"Minggir lo! Gue nggak ada urusan sama lo ya! Gue ada urusan sama si bocil ini!" kata seorang preman menarik kerah Riko dengan keras hingga membuat tubuh Riko yang kurus menjadi terhuyung ke depan.
"Tunggu Pak, ini ada masalah apa ya? Riko ini teman saya," ucap Abi.
Seorang preman berambut gondrong itu tertawa. "Dia hutang sama kami."
"Berapa ya Pak?"
"Seratus Juta belum bunga."
Mendengar hal itu Abi langsung melotot. Ia tidak percaya Riko berhutang sebanyak itu kepada kedua pria ini yang ternyata adalah seorang rentenir.
"Ayo bawa dia!" kata salah seorang pria menarik Riko dengan kasar.
"Bi tolong Bi! Gue mohon Bi.." teriak Riko tak karuan sambil mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi memelas. Baru pertama kalinya lelaki itu memohon kepada seseorang yang ia benci. Seseorang yang ia benci, garis bawahi itu.
Abi yang tak tega melihat Riko segera maju untuk melakukan negoisasi. "Pak, kalau semisal bayar dua bulan lagi gimana? Posisinya memang belum ada uamg, tapi kami janji akan membayarnya."
Kedua pria itu mengerenyit bingung, seolah tak percaya dengan omongan Abi. Apalagi mereka baru pertama kali bertemu dengan lelaki di hadapannya ini.
"Apa perlu kita buat perjanjian tertulis?"
"Jaminan lo apa ha?" tanya salah seorang preman itu.
Mendengar pertanyaan itu membuat Abi bingung. Abi sendiri tidak punya apa-apa untuk dijadikan jaminan. Rumahnya tak mewah, barang-barangnya tidak ada yang mahal, lantas apa yang harus ia jadikan jaminan? Hidupnya?
"S—saya punya mobil Pak! J—Janji kalau lebih dari dua bulan mobilnya buat Bapak," kata Riko dengan nada terbata-bata.
Kedua pria itu nampak berdiskusi sebentar lalu mengangguk. "Baik, kita buat perjanjian tertulis."
Abi menuliskan beberapa persyaratan saat perjanjian tertulis itu dilakukan, seperti pihak rentenir dilarang menagih hutang atau menemui pihak penghutang ketika belum jatuh tempo, sedangkan pihak penghutang wajib melunasi hutang beserta bunganya sebelum jatuh tempo pula. Apabila penghutang melakukan pelanggaran, maka jaminan berupa mobil Jeep Wrangler akan menjadi milik pihak rentenir sedangkan apabila pihak rentenir melakukan pelanggaran, waktu pembayaran diperpanjang selama satu bulan. Kedua belah pihak setuju dengan perjanjian tersebut.
Salah seorang pria tersebut mengambil pisau dari sakunya, menarik tangan Riko dengan cepat lalu menghunuskan pisaunya tepat di jari jempol lelaki itu. "Cap!" titahnya. Riko menurut, walaupun perih ia melakukan cap jempol dari hasil darah yang keluar dari jarinya lalu melakukan tanda tangan.
Setelah di rasa keduanya mendapatkan masing-masing surat perjanjian, kedua pria itu lantas pergi sedangkan Riko terduduk lemas di hadapan Abi.
"Btw thanks ya, gue cabut dulu..." kata Riko sembari berdiri dan melangkahkan kakinya dengan tidak seimbang. Badannya seolah remuk dan pikirannya melayang-layang. Dalam sepersekian detik, lelaki itu terhuyung ke depan. Riko jatuh pingsan.
***
"Riko? Ko? Bangun Ko!" seseorang menepuk pipi Riko berulang kali dengan cemas. Raut wajahnya begitu khawatir melihat keadaan sahabatnya itu jauh berbeda daripada dulu. Tubuhnya yang bugar menjadi kurus. Bahkan wajahnya sangat pucat sekali.
Riko mengerjapkan matanya sebentar lalu terkejut melihat ketiga sahabatnya, yaitu Bilqish, Stella, dan Vian sudah ada di hadapannya. "Gue di mana?" tanyanya.
"Di rumah Abi. Dia yang nyelametin lo," kata Vian.
Lelaki itu lantas melihat sekelilingnya. Pantas saja rumah ini tampak asing. Riko kemudian memegang kepalanya, berusaha mengingat apa yang terjadi. Batinnya terkejut ketika menyadari bahwa seseorang yang ia benci melihat kelemahannya tadi, bahkan ia memohon agar dia membantunya. Gila gila gila! Hancur sudah harga diri Riko di hadapan Abi!
"Diminum dulu Ko," kata Abi memberikan segelas air putih kepada Riko.
Riko menerimanya, meneguknya dengan tandas karena memang sedari tadi tenggorokannya sangat kering.
"Yaudah saya tinggal dulu di luar. Barangkali kalian mau bicara," kata Abi lalu menutup pintu rumahnya dan duduk-duduk di teras depan rumah. Saat itulah Ellie datang membawa rantang dengab senyum lebar.
"Abi!" panggil gadis itu di ujung halaman rumah.
"Ellie, kenapa ke sini?" tanya Abi.
Ellie hendak masuk ke dalam rumah, namun segera dicegah oleh Abi. "Ada Bilqish, Vian, Stella, sama Riko. Mereka lagi bicara penting. Kita di luar aja ya..."
"Tapi kan—"
Abi menarik kursi agar Ellie duduk. "Sebentar aja kok. Biarin mereka menyelesaikan masalah mereka dulu."
Sementara di luar Abi dan Ellie tengah membahas mengenai alasan Abi tidak masuk kampus hari ini, di dalam rumah suasana sangat tegang. Atmosfirnya begitu menakutkan. Bilqish berkali-kali mengajukan pertanyaan kepada Riko, namun lelaki itu tetap diam membisu.
"Ko, apa yang sedang terjadi? Kasih tau kami, kami pasti bantu," ujar Stella yang sudah tak tahan lagi melihat sebegitu keras kepalanya Riko selama ini.
"Ko, cerita. Katanya kita sahabat. Selalu ada saat susah dan senang. Kok lo melanggar prinsip itu sih," tambah Bilqish yang berusaha melunak.
"Ko, ngomong dong. Kenapa penampilan lo bisa berubah gini? Kenapa jarang masuk kampus? Lo alfa berapa coba? Bisa-bisa ngulang semester kayak Bilqish lagi," kata Vian sembari mendapatkan pukulan keras dari Bilqish. "Ya nggak usah diperjelas anjir!"
Riko menghela nafasnya. "Gue nggak pantes jadi sahabat kalian. Kalian terlalu baik buat gue..."
"Apaan sih njir!" Bilqish menghela nafasnya. "Cerita atau gue panggilin Abi buat cerita. Sedari tadi dia diem gara-gara menghargai lo, Ko. Dia pengennya lo cerita langsung ke kita."
Stella sudah gemas sendiri. Rasa penasarannya sudah berada di tingkat dewa. Gadis itu berdiri, berjalan menuju gagang pintu. Namun, sebelum pintu itu dibuka, Riko membuka suaranya sehingga Stella mengurungkan niatnya untuk membuka pintu.
"Jadi sebenarnya gue punya hutang. Seratus juta," kata Riko mengawali ceritanya.
Sontak ketiga sahabat Riko terkejut bukan main. Bagi mereka uang seratus juta antara mahal dan murah. Namun, yang paling membuat mereka terkejut adalah uang sebanyak itu adalah hasil hutang dan Riko orangnya. Riko yang paling anti meminjam uang, meminta uang, bahkan selalu menomersatukan gengsinya di atas rata-rata. Lelaki itu anak konglomerat. Dia kaya sejak lahir. Jadi, mendengar ia berhutang membuat mereka terkejut.
"Kenapa? Bokap lo nggak mau ngasih duit lagi?"
Riko menggeleng. "Jatah yang dikasih bokap nggak cukup."
Stella menutup mulutnya tak percaya. "Emang lo pake buat apa sih Ko uang sebanyak itu?"
Mendapat pertanyaan itu membuat Riko terdiam cukup lama. Ketiga sahabatnya tidak menekan ataupun memaksa Riko untuk melanjutkan ceritanya. Ini adalah fakta yang terberat dan yang paling Riko takuti. Ia takut semua yang ia miliki akan hilang jika fakta ini terungkap, entah itu keluarganya atau pertemanannya.
"It's Okay, kita bakal selalu dukung lo kok," kata Bilqish berusaha menenangkan.
Mata Riko berkaca-kaca. Tangannya yang berbalut perban mengambil sesuatu dari sakunya lalu menunjukannya kepada ketiga sahabatnya. Benda itu bentuknya butiran kecil-kecil seperti garam lalu terbungkus dengan plastik kecil.
"Sorry guys, gue pecandu."
Hwaaa Bang Rikooo! Kenapa sii? Kok bisaaa? Kasian banget hwaaa. Semoga bang Riko bisa cepet sembuh yaaa. Sending virtual hug hihi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top