31
"Assalamualaikum. I'm home!" kata Bilqish memasuki rumahnya sembari mengacak-acak rambutnya yang basah.
Saat itulah seseorang yang sedari tadi duduk di kursi ruang tamu berdiri, menatap Bilqish dengan perasaan bersalah. "Maaf tadi aku nggak jawab chat dari kamu. Aku ada rapat," kata Aaron sembari memegang tangan Bilqish yang dingin.
Bilqish menghela nafasnya. Jujur ia lelah berdebat dengan Aaron. Di sisi lain ia ingin marah karena Aaron tidak ada di sisinya saat ia membutuhkan bantuan, tapi di sisi lain ia juga tidak bisa menyalahkannya. Pekerjaannya mengharuskannya melakukan hal itu. Bilqish dipaksa untuk mengerti.
"Hmm," ujar Bilqish sembari berlalu menuju kamarnya.
Mendapatkan respon seadanya membuat Aaron tak gentar. Lelaki itu mengikuti Bilqish menaiki anak tangga sembari menghibur Bilqish yang sedang marah, tentu saja. "Maafin aku ya sayang. Tapi kamu gapapa kan? Ada yang luka ngga? Mobilnya gimana?"
"Gapapa. Semuanya baik-baik aja," jawab Bilqish seadanya.
"Trus Bima mana? Dia kan yang bantuin kamu tadi?"
Bilqish langsung berhenti melangkahkan kakinya pada pijakan terakhir anak tangga. "Bukan Bima yang bantuin aku. Tapi Abi."
"Abi?" Aaron bertanya dengan bingung. "Kenapa Abi?"
"Maksudnya?"
"Kenapa harus Abi? Kenapa nggak ngehubungin Vian? Stella? Atau Bima?"
Bilqish menggenggam tangannya dengan penuh amarah. Entah mengapa pertanyaan yang Aaron berikan seolah meremahkan Abi dan Bilqish tak menyukainya. Abi yang telah berjasa menolongnya tadi, jadi ia tidak akan tinggal diam jika seseorang yang menjadi penyelamatnya dihina seperti ini. "Sekarang aku balik tanya. Kenapa bukan kamu yang dateng? Kenapa harus mereka yang dateng?"
Aaron tersentak. Gadis di hadapannya bukan lagi marah tetapi menjadi sangat marah. Matanya yang lesu nampak nyalang. Sepertinya Aaron salah bicara, tetapi nasi sudah menjadi bubur. Ia tak bisa menariknya kembali. Padahal yang ia ungkapkan adalah bukti rasa cemburu apabila Bilqish dekat dengan lelaki lain.
Sebenarnya dulu Aaron tidak terlalu mengkhawatirkan posisi Abi di hidup Bilqish. Abi bagaikan upik abu yang siap menjadi badut ketika Bilqish merasa kesusahan. Namun, ketika acara syukuran beberapa saat yang lalu, Abi seolah menggeser peran tersebut. Abi terlihat begitu penting dalam kehidupan Bilqish, bukan teman ataupun sahabat, melainkan sosok yang tak bisa dideskripsikan statusnya. Bilqish juga jadi sering membicarakan Abi ketika mereka berdua, bahkan setiap aktivitas yang gadis itu lakukan, selalu ada nama Abi yang disebut. Hal inilah yang membuat Aaron khawatir bahwa posisinya bisa tergantikan oleh Abi kapan saja.
"Aku ada rapat sayang," kata Aaron memelankan suaranya. Tak mau melawan Bilqish yang sedang marah sekarang. "Makanya nggak bisa dateng..."
"Makanya Abi dateng. Dia yang udah nolongin aku. Dia rela hujan-hujanan demi benerin mobil aku Ron!" Bilqish berusaha mengatur nafasnya. "Aku tau kamu lagi rapat. Aku berusaha maklum, tapi please jangan bawa-bawa Abi karena dia udah bantuin aku. Kamu nggak tau seberapa putus asanya aku tadi. Udah hujannya deres banget, aku hampir nabrak tiang listrik, bannya kempes, batre hpku lowbatt, ditambah orang yang aku andalkan ternyata nggak datang saat aku membutuhkannya."
"Bil..."
"Aku capek Ron. Aku mau istirahat," kata Bilqish lalu memasuki kamarnya dan menutup pintu. Aaron yang melihat itu hanya bisa mengacak-acak rambutnya dengan fustrasi.
"Kenapa si cupu itu lagi sih anjir!"
***
Abi menghempaskan tubuhnya di kursi teras depan rumahnya. Badannya seolah remuk dan lelah. Bajunya basah kuyup, bahkan menetes di lantai. Hujan tadi tergolong sangat deras, bahkan menakutkan diiringi petir yang menggelegar. Namun, entah keberanian darimana Abi nekat menyusul Bilqish yang tempatnya jauh dari tempatnya bekerja. Bermodal pinjam motor dari Adit, Abi menyusul Bilqish detik itu juga.
Berulang kali Abi bersin tiada henti, mungkin flu sedang menyerangnya kali ini. Ia harus bergegas mandi dan mengerjakan beberapa tugasnya sebelum tugas baru muncul lagi. Maklum, mahasiswa semester tua harus pintar-pintar mencari waktu untuk mengerjakan tugas, apalagi jika disambi kerja seperti Abi.
Lelaki itu menggantung mantelnya di depan rumah. Sebelum ia masuk, terlihat seseorang nampak muncul di hadapannya.
"Mas Aaron?" panggil Abi. "Ada apa Mas?"
Aaron mengambil beberapa uang lembar dari dompetnya lalu menyerahkannya kepada Abi. "Ini sebagai imbalan jasa lo bantu Bilqish, tapi lain kali jangan lakuin itu lagi."
"Saya membantu Bilqish dengan ikhlas." Abi mengembalikan uangnya kepada Aaron. "Tanpa imbalan pun saya akan tetap membantunya."
Aaron mengeraskan tangannya. Ia ingin sekali memukul Abi sekarang juga. Namun, melihat pertengkarannya dengan Bilqish tadi membuatnya enggan melakukannya. Pasti akan menimbulkan masalah baru dan Aaron tidak mau itu terjadi.
"Bilqish itu ranah gue. Biar gue yang ngurus dia. Lo nggak usah ikut campur ya Bi!"
"Mas, kalau Mas mau menjaga Bilqish, sekarang saya tanya. Kemana Mas tadi saat Bilqish butuh Mas? Kemana Mas tadi saat Bilqish perlu bantuan? Kemana Mas?"
Aaron mencengkram baju Abi dengan erat. Kini emosinya memuncak karena ia tak bisa menerima bahwa apa yang dikatakan Abi ada benarnya. Dia kemana tadi saat Bilqish perlu bantuan? Dia kemana saat Bilqish menghubunginya? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Aaron merasa marah pada dirinya sendiri.
"Saya tau apa yang Mas khawatirkan. Tapi saya sama Bilqish cuma teman. Cuma teman, nggak lebih," kata Abi menurunkan tangan Aaron yang mencengkram bajunya. "Tapi kalau Mas menyakiti hatinya, saya akan menjadi orang pertama yang maju untuk melindunginya. Permisi," lanjut Abi lalu masuk ke dalam rumahnya.
"Brengsek!" pekik Aaron dengan sebal.
***
Ditemani dengan teh panas, Abi memaksakan dirinya untuk terus mengerjakan tugas. Bersin-bersin dengan hidung berair terus menganggunya melewati malam yang kian dingin. Badannya menggigil dan panas, tapi Abi tetap memaksakan diri untuk terus mengetik di laptop pemberian Pak Keylan. Ia hanya tidak ingin membuang waktu dengan percuma. Apalagi sekarang masih jam 8 malam, tergolong masih terlalu awal untuk tidur.
Di tengah aktivitas mengetiknya, tiba-tiba kejadian hari ini terlintas di benak Abi. Mulai dari ia yang membawa Bilqish menuju sungai kecil, pengakuan cintanya berkedok alibi, menolong Bilqish yang terjebak hujan, hingga Aaron yang datang ke rumah sambil marah-marah. Begitu banyak momen yang terjadi hari ini, entah itu senang maupun susah, Abi menikmatinya.
Namun, beberapa saat kemudian kepalanya terasa sangat pusing. Semuanya seolah bergerak tidak seimbang. Abi segera berjalan meraih meja demi meja untuk dijadikan tumpuan. Tangannya meraba-raba di sekitaran laci meja untuk mendapatkan obat sakit kepala. Migrannya kambuh. Kepalanya seolah ditekan dari berbagai sisi, sakit. Ini pasti karena dirinya terlalu kelelahan.
Abi merebahkan tubuhnya di kasur. Ia menatap langit-langit dengan mata terpejam. Kepalanya sudah hampir meledak dan ia mengigit bibir bawahnya untuk menahan sakit. Lelaki itu memang punya riwayat sakit migran seperti ini jika terlalu kelelahan. Migrannya membuatnya menjadi sensitif akan bau, cahaya, dan suara. Oleh karena itu, jika penyakitnya menyerang, ia akan pergi ke kamar, mematikan lampu, memakai earphone, dan tidak akan membiarkan wewangian jenis apapun masuk.
"Ya Allah," lirih Abi menekan kepalanya dengan bantal. Rasanya sakit sekali. Ia mau mengeluh, tetapi dia hanya sendirian. Kepada siapa dia akan mengeluh?
Sebuah panggilan telepon terdengar dari balik kamar, tetapi Abi memilih untuk diam. Ia tidak bisa menerima panggilan itu atau kepalanya akan semakin menjadi-jadi.
Di layar teleponnya, sebuah nama nampak muncul di sana.
Mbak Bilqish is calling...
Kasian ya Abi huhu. Dia kayaknya terlalu baik deh jdi orang. Di saat orang2 butuh dia ada, tapi saat ia butuh, orang-orang tidak ada. Kasian huhu untung Mbak Bilqish telepon. Telepon kenapa ya kira-kira? Jawab di komen yaaa!
See u!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top