19
Abi berjalan dengan penuh semangat menuju kelasnya. Entah mengapa hari ini ia merasa begitu bersemangat dan berbeda dari biasanya seolah jiwa-jiwa muda yang telah hilang itu meluap lagi ke permukaan.
Lelaki itu tak munafik. Ia tahu salah satu alasan kebahagiaannya hari ini adalah ketika Bilqish datang menemaninya di bis tadi. Apalagi ketika ada aksi bernyanyi bersama dengan para penumpang lainnya sungguh membuat hati Abi ingin meletup-letup. Ini adalah pengalaman pertamanya bernyanyi di depan umum seperti itu. Sejak dulu ia hanya sering mendengarkan lagu, tak pernah menyanyikannya. Ia terlalu malu melakukannya, tetapi entah mengapa ia tadi sangat ingin mengeluarkan suaranya. Entah dari dorongan mana ia berani menunjukkan suaranya yang sebetulnya tidak bagus-bagus amat. Yang Abi tahu, setiap Bilqish bernyanyi, hatinya tergerak untuk melakukan hal yang sama.
Abi menghirup udara pagi dalam-dalam sembari memejamkan matanya sebentar. Jam kuliah akan berlangsung satu jam lagi, akhirnya ia memilih duduk di taman untuk sekedar berpikir atau membaca buku yang ia pinjam dari perpustakaan.
Namun, di tengah aktivitasnya, seseorang datang dan duduk di samping Abi. "Abi kan ya?" tanya orang itu.
Abi menutup bukunya, cukup terkejut dengan seseorang yang tanpa aba-aba duduk di sampingnya. "Eh Mas Aaron?"
Aaron mengangguk. Ia menggeser tubuhnya menghadap Abi yang nampak bingung, tercetak jelas sekali dari raut wajahnya.
Tanpa basa-basi sekaligus Aaron sendiri yang tak mau melakukan hal tak berguna itu, ia langsung menautkan kedua tangannya untuk to the point atas tujuannya menemui Abi. "Jadi gini, gue mau minta bantuan lo."
Abi cukup heran dengan kata Aaron barusan. Ia benaran tak salah dengar kan? Ia sedang tidak berhalusinasi bukan? Bagaimana tidak? Seorang Aaron meminta bantuan kepadanya? Memang bantuan sejenis apa yang bisa ia lakukan? Bahkan sepertinya lelaki itu bisa melakukan apa saja tanpa dibantu orang sekalipun.
"Bantuan apa ya Mas?"
Aaron menyunggingkan senyumnya. "Besok itu ulang tahunnya Bilqish. Dia pasti ngadain pesta di rumahnya. Kalo gue sekalian mau minta Bilqish jadi pacar gue, menurut lo gimana?" tanya Aaron menatap Abi dengan tatapan menunggu jawaban.
***
Selama jam perkuliahan berlangsung, baru pertama kali ini Abi merasa tidak fokus dalam pembelajaran. Ia sering melamun, bahkan bukunya dipenuhi coretan yang tak berguna. Ucapan yang diterangkan dosen pun hanya masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri. Entah mengapa pikirannya terbayang-bayang dengan kejadian tadi sebelum ia masuk ke dalam kelas, kejadian saat ia bersama Aaron.
"Abi?" Bu Fadya mengetuk meja Abi yang ada di depan. Abi yang mendengar itu sedikit terkejut lalu menatap dosennya itu dengan bingung. "Iya Bu?"
"Hari ini kamu nggak fokus sama matkul saya. Ada apa?" tanya wanita itu yang sedang mengajar Komunikasi Bisnis dengan perut buncitnya, wanita itu hamil tua.
"Maaf Bu, saya lagi banyak pikiran. Kali ini saya akan berusaha fokus."
Bu Fadya mengangguk. Wanita itu cukup memaklumi perbuatan Abi karena ini adalah pertama kalinya mahasiswa panutan itu melakukan hal demikian. Menurutnya wajar seorang siswa tidak fokus dalam pembelajaran karena semakin dewasa mereka semakin dituntut oleh keadaan. Banyak beban yang harus dipikul sehingga tentu banyak pula pikiran-pikiran yang berseliweran di otak, tidak hanya pada pelajaran saja.
Saat dewasa, orang-orang dituntut untuk selalu bisa, dituntut untuk selalu tersenyum, dituntut untuk selalu menjadi yang terbaik. Mereka melakukan itu bukan karena keinginan, tetapi karena dipaksa oleh keadaan. Ketika masa dewasa telah datang, tak ada lagi yang bisa dijadikan pegangan kecuali diri sendiri, tak ada yang bisa diandalkan kecuali diri sendiri, dan tidak ada juga yang bisa dijadikan sandaran kecuali diri sendiri. Orang lain tidak bisa dijadikan andalan penuh, secara sifat manusia memang semu, datang dan pergi secara bergantian. Tujuan menetap hanya untuk sementara, bukan untuk selamanya.
Abi mengerjapkan matanya sekali lagi. Kali ini ia akan berusaha fokus dalam pembelajaran walaupun tak mau. Ia kembali menulis materi yang ada di PPT dengan cepat sebelum Bu Fadya menggulirnya ke slide berikutnya.
"Abi!" Seseorang memanggil Abi ketika lelaki itu baru saja keluar dari kelas.
Abi yang mendengar suara itu segera berlalu seolah tak mendengarnya. Ia berjalan dengan sedikit cepat keluar kampus diikuti namanya yang terus menerus dipanggil.
"Abi! Ish! Tunggu!" Bilqish terus berlari mengejar Abi dengan menyebut namanya berkali-kali. Tetapi anehnya lelaki itu tak mau menoleh sedikitpun. Ia malah terus berjalan seolah sedang menghindarinya. Aneh, padahal tadi pagi saat mereka berangkat bersama-sama tidak ada kejadian yang aneh. Tetapi mengapa sekarang lelaki itu bersikap demikian?
Bilqish yang sudah marah dan kesal segera melepas sepatu ketsnya. Tali sepatunya ia panjangkan lalu sepatu itu ia putar-putar di udara. Dalam hitungan ketiga, gadis itu melempar sepatu hitam putih itu ke arah kepala Abi.
Duakk!
Tepat sasaran. Sepatu itu melayang tepat mengenai kepala Abi membuat lelaki itu terjungkal ke depan. Langsung saja Bilqish meringkus lelaki itu dengan mendudukinya agar ia tak bisa lari kemana-mana lagi bak sedang menangkap pencopet.
"Bilqish! Bilqish!" teriak Abi ketika Bilqish dengan santainya menduduki tubuhnya yang terjatuh ke tanah. Persetan dengan semua yang menontonnya, Bilqish tak peduli. Gadis itu sudah biasa menjadi bahan tontonan, berbeda dengan Abi yang berusaha menyembunyikan wajahnya yang menahan malu.
"Bilqish, bisa berdiri tidak?" tanya Abi dengan suara memberat karena menahan tubuh Bilqish yang tentu saja tidak ringan.
Gadis itu menggeleng sembari melihat kuku-kukunya yang belum ia potong. "Kenapa lo ngehindari gue?" tanya Bilqish to the point.
Abi menggeleng, berusaha mengangkat tubuhnya dari tanah dengan sekuat tenaga. "Nggak, aku nggak ngehindari kamu."
"Trus kenapa dipanggil nggak noleh?" Bilqish menatap Abi yang sudah memerah menahan beban berat. Namun, gadis itu tak merasa kasihan sedikitpun. Bahkan secuil pun tidak. Sadis!
"Kapan Bilqish manggil?"
Bilqish semakin menurunkan tubuhnya hingga beban Abi bertambah kali lipat di bawah sana. Lelaki itu mendengus, menatap ke arah Bilqish dengan tatapan memohon. "Bil—Bilqish, bi—bisa berdiri dulu nggak?"
Bilqish menggeleng. "Jawab dulu!"
"Aku sudah jawab tadi."
Gadis itu menggeleng. "Lo bohong!"
Abi kembali menatap Bilqish dengan susah payah lalu mulai menghirup udara dalam-dalam. Dengan pelan, Abi mulai mengangkat tubuhnya yang diduduki oleh Bilqish. Bahkan Urat-urat di tangannya keluar karena hal itu. Wajahnya pun memerah dan penuh keringat. Mengangkat Bilqish ternyata bukan perkara yang mudah. Akhirnya dengan sekuat tenaga lelaki itu berbalik dan menggendong Bilqish bak bridal style. Tentu hal ini membuat Bilqish terkejut setengah mati dan langsung mengalungkan tangannya ke leher lelaki itu secara spontan.
Bilqish menatap Abi yang terus menggendongnya entah kemana. Kali ini ia ingin menyembunyikan wajahnya karena sangat-sangat merasa malu. Bahkan ketika mereka melewati lorong-lorong penuh mahasiswa yang baru saja keluar kelas, Bilqish berencana berteriak untuk diturunkan, tetapi entah kenapa tenggorokannya tercekat. Untuk sekedar berkata saja tidak bisa, apalagi untuk berteriak. Pada intinya, Bilqish mati kutu. Dia mematung, menatap Abi yang terlihat keren dari bawah dagu.
Berkali-kali Bilqish menggeleng kuat. Bukan, bukan ini yang ia rencanakan. Ia tak pernah membayangkan Abi akan menggendongnya seperti ini. Tetapi kenapa lelaki itu berusaha nekat melakukannya? Bahkan di hadapan semua orang? Kenapa bisa? Tipikal cowok cupu seperti dia sangat mustahil melakukan ini.
Dengan pelan-pelan, Abi menurunkan tubuh Bilqish di sebuah bangku taman. Lelaki itu mengusap keringatnya yang ada di dahi lalu mulai mengacak-acak rambutnya yang basah, tepat di hadapan Bilqish. Hal ini membuat rambut Abi yang biasanya rapi seketika berantakan. Lelaki itu juga melepas kancing bagian atas kemejanya hingga lehernya sedikit terekspos. Gerah, Abi mulai meminum air minum yang ada di tasnya.
Bilqish melihat semua itu dengan saksama bahkan sedetail itu. Bagaimana Abi mengusap keringatnya dengan maskulin, mengacak rambutnya dengan penuh gaya, bahkan melepas kancing kemejanya yang biasa ia kancingkan sampai ke atas dengan sangat berkharisma. Gadis itu meneguk salivanya dengan susah payah, menatap jakun Abi yang naik turun karena sedang minum.
Abi ngos-ngosan lalu menatap Bilqish dengan lekat. Lelaki itu lantas jongkok di hadapan Bilqish lalu memasangkan sepatu yang gadis itu lepas tadi di kakinya yang telanjang.
Bilqish lagi-lagi dibuat membeku. Dia hanya bisa diam dan menatap Abi dengan penuh perhatian memasangkan sepatu di kakinya lalu mengikat tali sepatunya dengan sangat rapi. Setelah selesai, lelaki itu duduk di samping Bilqish dengan santai, seolah tak terjadi apa-apa barusan padahal jantung Bilqish sudah hampir copot karena perlakuan Abi yang begitu manis.
"Bilqish mau bicara apa?" tanya lelaki itu akhirnya.
Bilqish mengerjap karena sedang melamunkan pesona Abi saat ini. Gadis itu meneguk salivanya lalu membalas tatapan mata Abi yang entah sejak kapan menjadi sangat canggung. "Eh... Oh... Tadi gue panggil lo berulang kali, kenapa nggak nyaut sih? Sengaja ya?"
Abi tersenyum, menunjukkan earphone dan juga MP3 playernya yang berwarna hijau ke arah Bilqish. "Aku lagi dengerin lagu. Maaf kalau tadi nggak denger kamu manggil aku," katanya. Padahal dia berbohong. MP3 playernya mati. Ia hanya belum siap bertemu Bilqish setelah apa yang dikatakan Aaron.
Bilqish terdiam. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia juga yang sangat bodoh mengapa harus berreaksi berlebihan hanya karena Abi tidak menyahutnya saat ia panggil? Bukankah jika teman-temannya melakukan hal itu ia sangat bodo amat? Tetapi mengapa kali ini ia marah sekali hingga melempar sepatunya ke arah Abi?
Bilqish berdehem sebentar. Ia mengambil earphone yang ada di tangan Abi lalu memasangkannya di telinganya. "Ehem, emang lo denger lagu apa sampe ngga denger gue panggil?" ucap Bilqish yang berusaha mengalihkan perhatian karena merasa sangat malu. Ia sendiri dalam hati meruntuki kecerbohonnya dengan terus mengatakan supah serapah. Betapa bodohnya dia tadi, bahkan sampai menduduki Abi yang terjatuh. Dia gila! Benar-benar gila!
Abi tertawa ringan. Ia tahu betapa malunya Bilqish setelah mendengar fakta yang sebenarnya. Fakta yang berusaha ia tutupi. Namun, lelaki itu tak mau membahasnya lebih jauh lalu menujukkan lagu yang ia dengar tadi. Lagu Happier dari Olivia Rodrigo.
Oh, I hope you're happy
Oh, aku harap kau bahagia
But not like how you were with me
Tapi tidak sebahagia seperti saat bersamaku
I'm selfish, I know, I can't let you go
Aku egois, aku tahu, aku tak bisa melepaskanmu
So find someone great, but don't find no one better
Carilah seseorang yang baik, tapi tidak lebih baik dari diriku
I hope you're happy, but don't be happier
Aku harap kau bahagia, tapi jangan lebih bahagia
Bilqish melepas earphone itu setelah reff lagu tersebut selesai dinyanyikan. Gadis itu tersenyum, "Lagu yang bagus," katanya.
Abi mengangguk. "Aku setuju."
Kemudian keduanya terdiam, saling berada di pikiran masing-masing sembari menikmati keindahan taman sekaligus merasakan sejuknya angin sepoi-sepoi. Menenangkan.
Bilqish menatap Abi sebentar lalu ia menatap ke depan lagi. "Lo mau tau hadiah apa yang dikasih bokap gue buat lo?"
Abi mengangguk. "Memangnya apa?"
Bilqish bergerak ke samping, pandangannya sepenuhnya menatap Abi. Hal ini juga dilakukan oleh Abi hingga keduanya saling tatap. "Datang ke acara ulang tahun gue besok," ucap Bilqish lalu berdiri meninggalkan Abi yang belum menjawab apa-apa. Gadis itu sudah bergerak menjauh lalu dalam beberapa langkah, ia berbalik. "Gue tunggu!" teriaknya keras.
Abi tersenyum. Entah itu senyum senang atau senyum penuh kepahitan, ia tak tahu. Tiba-tiba sekelebat ucapan dari Aaron tadi pagi mulai terbayang lagi di benaknya.
"Bantu yakinin Bilqish buat nerima gue ya Bi, bisa?" Kata Aaron pagi tadi. Tentu saja Abi mengangguk sebagai jawaban. Mau tak mau ia harus melakukannya walaupun harus mengorbankan perasaannya.
***
"Muka lo kusut banget kenapa Bi?" tanya Adit ketika melihat temannya itu sedari tadi lesu, tak bersemangat seperti biasanya.
Abi yang mendengar itu segera menoleh. Ia menatap Adit lama, menimang-nimang apakah sebaiknya ia bercerita atau tidak. Kalau ia cerita, ia pasti akan dijadikan sumber candaan Adit, tetapi kalau tidak, ia pasti tidak akan menemukan jawabannya. Masalahnya ini bukan mengenai soal matematika yang sudah disediakan rumus untuk menjawab. Ini masalah hati dan perasaan yang kadang tidak bisa dijawab hanya dengan untaian kata.
"Hmm, ada salah satu temen lagi ulang tahun. Enaknya datang atau enggak ya?"
Jelas wajah Adit nyengir sekarang. Lelaki itu lantas merangkul Abi dengan tatapan menggoda. "Temen atau temen?" kekehnya.
"Temen kok! Kenapa emang?"
"Kalo beneran cuma 'temen' setau gue lo bakal tegas nolak karena yang gue tau, lo ngga suka acara begituan. Lo nggak suka keramaian, bahkan ke mall aja kalo bukan urusan kerja, lo mana mau sih Bi? Ya nggak?" tebak Adit yang seratus persen bahkan dua ratus persen benar. Abi adalah tipe introvert yang tidak suka keramaian. Ia lebih suka berada di perpustakaan yang sepi daripada di kerumunan. Oleh karena itulah Abi sangat jarang memiliki teman. Ya karena tidak ada yang bisa satu visi misi dengan hidupnya yang sunyi. Kesepian? Abi sudah sering merasakannya hingga sepi menjadi kawan. Bosan? Tidak. Kadang saat kita sendiri, kita bisa lebih mengenal diri sendiri.
Abi mengangguk. Apa yang dibilang Adit memang benar. Seharusnya ia menolak bukan? Tetapi mengapa ia tak bisa menolak ajakan Bilqish?
"Udah, ikut aja. Acara ulang tahun formal kan? Gue pinjemin jas, gimana?" tawar Adit membuat Abi langsung mengangguk sebagai jawaban. "Matur suwun Dit!" katanya dengan senyum sumringah. Ia sudah tahu jawabannya apa.
***
Setelah pulang dari kelas, Bilqish dan Stella berencana pergi ke mall untuk membeli gaun pesta ulang tahun Bilqish dan beberapa hal lainnya. Sebenarnya Bilqish sendiri tidak mau, tetapi Stella tetap memaksanya. Ia harus tampil cantik besok. Harus!
"La, gue nggak mau pake gaun yang ada belahannya gini," itulah satu dari sekian protes yang keluar dari mulut Bilqish mengenai gaun yang Stella tunjukkan. Gadis itu mendengus, tak berminat dengan seluruh gaun yang ada di butik terkenal itu.
"Trus lo maunya yang gimana sih Bil? Hampir seluruh gaun lo tolak gara-gara banyak hal. Lo mau pake baju gamis aja?" keluh Stella sembari mengembalikan gaun terakhir yang ditolak Bilqish di butik itu.
Bilqish kembali berjalan menyusuri area butik. Kakinya berhenti pada sederet kostum yang beraneka ragam temanya. Ada kostum ala-ala pirncess, ada kostum koboi, dan ada kostum ala halloween. Yap! Kostum ala halloween! Ini pasti sangat menyenangkan ketika pesta ulang tahunnya bertema hantu seperti ini.
Tanpa basa-basi Bilqish segera mengambil baju bergambar tulang-tulang yang ada di sana. Stella yang melihatnya segera menghampiri. "Loh, kok lo beli kostum sih Bil? Bukannya nanti malah salah tema ya?"
Tersenyum, Bilqish mengambil ponselnya yang ada di tas. "Mbak, aku mau ganti tema halloween ya. Thank you!" dan dengan mudahnya ia mengganti dekorasi tema yang sudah dirancang sejak dulu membuat Stella geleng-geleng kepala.
"La, kabari temen-temen ya kalau temanya halloween. Gue mau ke suatu tempat dulu. Oh ya, ini gaun buat lo. Bye bye!" pamit Bilqish yang langsung keluar dari butik itu, meninggalkan Stella yang cengo di tempatnya.
"Holang kayah mah bebas!" ucapnya sembari terkekeh melihat perilaku sahabatnya itu.
***
Sembari menuju mobil, Bilqish mengetikkan sesuatu di ponselnya untuk seseorang lalu mengemudikan mobilnya ke arah sana.
Tanpa ada waktu yang lama, pesan itu sudah berbalas, menimbulkan senyum sumringah di bibir Bilqish.
Tepat lima belas menit perjalanan, mobil Bilqish menepi di sebuah halte terdekat. Di balik mobil, ia membuka kacanya lalu melambaikan tangannya pada seseorang yang tengah menunggunya datang. Abi yang melihat mobil Bilqish segera menyebrang lalu masuk ke dalam mobil itu dengan cepat.
"Kenapa Bil?" tanya Abi setelah memasang seatbeltnya.
"Tema gue besok jadinya halloween. Lo udah ada kostum?"
Mata Abi sedikit melotot. Ia benar-benar terkejut dengan pergantian tema yang begitu mendadak ini. Apalagi ini H-1 sebelum acara dan bagaimana bisa itu berubah dalam sekejap?
"Kenapa ganti?" tanya Abi yang penasaran dengan pegantian tema yang begitu dadakan itu.
Bilqish tersenyum, menatap Abi ketika lampu merah menyala. "Pengen aja. Lo udah ada kostum?"
Tentu saja Abi mengangguk, walaupun ia berbohong. Ia mencari jas formal saja sudah susah, apalagi dengan kostum halloween seperti itu? Darimana ia bisa mendapatkannya? Tetapi ia juga tak mau membebankan Bilqish dengan berkata tidak. Mungkin sebentar lagi ia akan mencari akal untuk mencari kostum itu.
Mobil Bilqish sudah berhenti di area rumah Abi. Lelaki itu masih enggan untuk turun. Ada hal yang harus ia bicarakan. "Lalu kenapa ngajak ketemu?" tanyanya bingung.
"Mau nganter lo balik aja sama ngasih tau kalo temanya ganti. Oh ya, sepeda lo masih belum beres?"
"Belum. Mungkin besok."
Bilqish mengangguk. "Hadiah dari bokap dikasih besok saat gue ultah. Lo harus dateng, apapun yang terjadi!"
Jadi gimana? Kalian tim siapaa?
Enak bener ya anaknya Keylan gonta ganti tema ulang tahun kayak pesen makanan aja njir wkwkwk
Next tidak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top