12

Jam sudah menunjukkan angka lima. Langit juga sudah menyemburatkan warna orange di angkasa. Seluruh anak-anak nampak berkumpul di musholla untuk menutup pertemuan mereka hari ini dengan wajah yang sumringah sehabis mendapat es krim gratis. Bahkan beberapa mulut dari mereka nampak blepotan bekas es krim yang masih menempel. Lucu sekali.

"Gimana ngajarnya?" tanya Abi di tengah perjalanan mereka pulang ke rumah.

"Lumayan," jawab Bilqish seadanya. "Hmm, bocil yang nangis tadi namanya siapa?"

"Namanya Aisyah. Biasanya dipanggil Icha. Lucu ya?"

"Lucu apaan?! Nipu iya! Pake pura-pura nangis lagi bikin gue panik aja!" oceh Bilqish tak terima mengingat ia sudah berhasil ditipu oleh anak kecil sampai akhirnya ia memberikan sejumlah uang untuk membelikannya es krim. Ralat mereka semua.

Mendengar celotehan dari Bilqish sungguh membuat hati Abi menjadi lebih baik. Ia tak pernah mengeluh dalam hidupnya, bahkan di saat hidupnya sangat krisis sekalipun karena ia lebih memilih untuk memendam. Oleh karena itu, melihat Bilqish dengan mudahnya mengeluh dan mengutarakan apapun yang ia inginkan membuat Abi senang sekaligus iri. Ia iri tak dapat melakukan hal itu karena ia mempunyai seseorang yang dijaga hatinya agar tidak merasa sakit dan pilu dengan keluhan yang ia utarakan.

"Abi! Ck, ngapain sih ke sana?" teriak Bilqish tak terima melihat Abi yang berbelok menuju gubuk yang dibangun di tengah sawah itu.

"Ayo! Saya lagi menepati janji."

Bilqish berkacak pinggang. "Tapi gue nggak mau kalo ke sawah!" teriaknya dengan suara keras karena Abi sudah jauh di depan sana, meninggalkan dirinya sendiri.

Abi menoleh ke belakang. Ia sudah setengah perjalanan sementara Bilqish masih di ujung sawah. "Gapapa! Saya yakin kamu bakal suka!"

"Kalo gue nggak suka?" tantangnya.

Abi melambaikan tangannya. "Dicoba dulu. Ayo!"

Mendengar suara Abi yang begitu meyakinkan ditambah dengan langit yang terlihat nampak sempurna di antara padi yang ditanam di sawah, akhirnya Bilqish memberanikan diri untuk berjalan di jalan setapak yang dibuat di antara lahan satu dengan lahan lainnya. Tangan gadis itu ia rentanganya untuk menjaga keseimbangan. Kadang ia menjerit ketika rerumputan yang ia pijaki tiba-tiba saja memunculkan hewan semacam belalang dari sana.

"Sebentar lagi sampai!" Abi terus menyemangati Bilqish di tempatnya. Kadang ia tertawa mendengar teriakan Bilqish yang seperti anak kecil ketakukan. Padahal, itu hanyalah belalang kecil yang melompat, bukan hewan semacam harimau maupun macan.

"Ngadi-ngadi banget sih lo jadi orang! Ngajak cewek ke sawah!" Bilqish mengatur nafasnya yang terengah-engah. Sepertinya suaranya tak akan bisa digunakan dalam waktu dekat karena sudah ia habiskan dengan berteriak tidak jelas.

"Antimainstream namanya," kekeh Abi. "Masih capek?"

Bilqish menggeleng. "Mau kemana sih?"

Tangan Abi menunjuk pada sebuah bangunan kecil yang terbuat dari kayu dengan atap jerami kering. "Kita ke sana."

Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan menuju gubuk yang ada di tengah hamparan sawah tersebut. Lelaki itu sesekali menoleh ke belakang, memastikan bahwa Bilqish baik-baik saja.

Tak sampai lima menit, mereka sudah sampai di gubuk. Nafas Bilqish terlihat terengah-engah tak beraturan sedangkan Abi terlihat biasa saja.

Gubuk itu biasanya digunakan untuk tempat istirahat petani ketika bekerja di sawah. Entah untuk makan maupun melepas lelah sebentar. Walaupun kecil, gubuk ini terasa sangat nyaman. Apalagi ditambah angin sepoi-sepoi yang sejuk membuat siapa saja betah di sana.

"Lo mau nunjukin apaan?" tanya Bilqish tak sabaran.

Lelaki itu menunjuk ke angkasa. Terlihat di sana puluhan layangan beterbangan memenuhi langit sore yang cerah. Berbagai warna layangan ada di sana, mulai dari merah, hitam, biru, maupun putih. Banyak pula bentuknya. Saat pertama kali melihatnya, jujur Bilqish kagum. Ia tak percaya melihat hal seperti ini di Jakarta. Mungkin ini pertama kalinya.

"Suka?" tanya Abi dan dijawab anggukan oleh Bilqish.

Lelaki itu tersenyum. "Kamu bakal suka lagi dengan ini."

"Apa?" Bilqish menatap Abi setelah sekian lama menatap angkasa yang berwarna orange itu.

"Hitung sampai lima, Bil!" seru Abi dengan senyuman.

"Hitung apaan sih?" tanya Bilqish bingung. Namun, pertanyaan itu tak digubris sama sekali oleh Abi.

"Lima!"

"Abi! Hitung apaan?"

"Empat!"

"Jawab dulu! Jangan bikin gue penasaran!"

"Tiga!"

"Woy! Budeg lo? Jawab pertanyaan gue!"

"Dua!"

"Abi! Resek banget sih lo!"

"Satu!"

"Ab—" suara Bilqish terpotong ketika ia dengan terkejut melihat matahari mulai tenggelam tepat di hadapannya. Semburat orange kian tajam ketika benda lingkaran itu menuju ufuk barat.

Bilqish benar-benar tak bisa berkata apa-apa. Ini adalah bagian luar biasa dalam hidupnya. Rasanya seperti melihat matahari terbenam di Bali, padahal ia hanya melihatnya di sawah. Apalagi suara burung-burung yang kembali ke sarang memperindah sore itu.

Abi dan Bilqish duduk sejajar di gubuk kecil itu. Mereka duduk dengan diam sembari menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang tersaji di hadapan merrka.

Matahari sudah terbenam. Itu merupakan satu menit berharga di hidup Bilqish. Rasanya sangat menyenangkan seperti beban hidup hilang seketika. Walaupun matahari sudah terbenam, langit masih nampak terang. Beberapa layangan sudah diturunkan pemiliknya untuk diterbangkan keesokan harinya.

"Udah mau magrib, kita sholat dulu abis itu saya antar pulang."

Namun, sebelum mereka bangkit dari duduknya, sebuah panggilan masuk ke ponsel milik Bilqish. Gadis itu segera merogoh saku celananya dan mendapati nama Aaron tertera di layar.

"Halo, Ron?"

"Bilqish lo dimana? Kata Bima lo belum pulang?" tanya Aaron yang terdengar khawatir di balik sambungan teleponnya.

"Oh, gue... Gue di rumah Abi. Kenapa?"

"Mobil lo masih di kampus?"

Bilqish mengernyit. "Kok lo tau?"

Namun, bukannya menjawab, Aaron malah menawarkan jemputan yang tak pernah Bilqish duga. "Gue jemput sekarang ya?"

Pertanyaan Aaron membuat Bilqish segera menoleh ke arah Abi yang ternyata masih menatap layangan yang ada di angkasa. Setelah menimang-nimang, Bilqish akhirnya mengangguk, memilih mengiyakan tawaran jemputan lelaki itu.

***

A

dzan magrib sudah berkumandang di musholla tempat Bilqish dan Abi mengajar ngaji tadi. Mereka berdua langsung ke sana setelah menikmati ciptaan Tuhan yang begitu indah di angkasa sana.

Banyak penduduk yang mulai berdatangan dengan mukena yang sudah dikenakan bagi perempuan serta peci dan sarung bagi laki-laki. Bilqish sendiri yang tidak berencana akan sholat berjamaah di sini memilih meminjam mukena yang telah disediakan.

"Mbaknya dari mana?" tanya seorang nenek yang baru saja menggelar sajadah tepat di samping Bilqish. "Kok nggak pernah keliatan," ujarnya.

"Oh, saya temannya Abi, Nek."

Sang nenek mengangguk sembari tersenyum. "Teman kuliah ya?"

"Iya, saya teman kuliahnya Abi. Diminta buat gantiin Bu Mus jadi pengajar ngaji," tutur Bilqish jujur karena tak mau orang-orang berprasangka buruk dengan kedatangannya bersama Abi apalagi sampai selarut ini. Ia juga tak mau merusak citra lelaki itu yang sudah dikenal baik oleh masyarakat sebagai lelaki santun nan sholeh.

Setelah shaf sudah hampir penuh, jamaah sholat magrib mulai berdiri setelah bunyi iqamah terdengar. Bilqish nampak terkejut melihat Abi yang berada di barisan terdepan di antara jamaah lainnya. "Dia jadi imam? Sumpah?" batin gadis itu bertanya-tanya. Namun, pikiran itu segera ia enyahkan setelah sholat dimulai.

"Abi!" panggil Bilqish yang ternyata sedang menunggu lelaki itu selesai berbincang-bincang dengan bapak-bapak yang ada di sana.

"Maaf lama. Tadi sedang ngobrol soal ronda malam."

Bilqish mengangguk. "Gapapa. Oh ya, gue balik dulu. Aaron udah jemput di depan."

Jika Aaron menjemput, artinya ia tidak perlu mengantar Bilqish untuk pulang  bukan? Sebenarnya Abi tak enak hati mengingat gadis itu kemari karena dirinya. Masa iya ia pulang bersama lelaki lain. Namun, mau bagaimana lagi. Pasti Bilqish tak mau jika harus diantar menggunakan sepeda bututnya di malam yang semakin menusuk ini. "Saya anter sampai depan ya?" tawar lelaki itu akhirnya disertai anggukan oleh Bilqish.

Selama perjalanan, Bilqish tak henti-hentinya kagum dengan perkampungan yang begitu asri ini. Apalagi dengan mural-mural yang sengaja digambar di tembok pinggir jalan untuk memperindah kampung tersebut. Banyak juga anak-anak yang bermain di sana. Entah itu bersepeda ataupun mengerjakan tugas bersama.

"Itu mobil Aaron!" tunjuk Bilqish pada sebuah mobil yang sudah terparkir di pinggir jalan. Aaron juga sudah muncul sembari melambaikan tangannya di udara. "Gue balik dulu!"

"Hati-hati di jalan!" ucap Abi sebelum Bilqish berjalan menjauh yang dijawab dengan tanda OK menggunakan tangannya.

Mobil itu melaju menembus Kota Jakarta yang sudah bermandikan cahaya lalu lintas, menyisakan Abi yang menghela nafasnya sembari melihat angkasa yang kini menampakkan rembulannya.

Tiba-tiba saja sakunya bergetar. Lelaki itu segera mengecek ponsel ketiknya dengan bingung. Bagaimana tidak? Ia jarang sekali mendapatkan pesan. Paling-paling dari operator atau penipuan berkedok undian mobil berhadiah. Namun, sepertinya pesan kali ini nampak berbeda.

Lelaki itu menatap ponselnya dengan teliti. Ia tak dapat mempercayai penglihatannya ketika Bilqish mengiriminya pesan singkat.

"Thanks for today! This is first time for me and I'm enjoy it!" tulis pesan itu di sana.

Abi buru-buru membalasnya. "See you next time!" jawabnya dengan senyum yang tak dapat ia pudarkan di bibirnya.

"Bilqish laper nggak?" tanya Aaron saat Bilqish masih sibuk berkutat dengan ponselnya. "Mau makan dulu?"

Bilqish tersenyum sejenak sebelum akhirnya memusatkan perhatiannya pada Aaron yang sedang menyetir mobil. "Ha? Lo bilang apa tadi?"

Aaron tersenyum gemas. Tangan kirinya mengusap rambut Bilqish dengan lembut. "Bilqish laper nggak? Mau makan apa?"

Gadis itu mengangguk dengan cepat untuk menetralisir getaran yang ada di hatinya ketika tangan kokoh Aaron menyentuh rambutnya dengan pelan. "Pengen ayam."

"McD? KFC? atau—"

"Lalapan langganan gue aja gimana?" Bilqish menatap Aaron dengan harap-harap penuh. Masalahnya lalapan yang Bilqish maksud berada di pinggir jalan. Siapa tahu seorang Aaron yang lulusan Amerika ini tidak mau makan di tempat seperti itu.

"Kalo udah langganan berarti gue harus coba juga. Apapun yang lo suka, gue bakal suka," jelas Aaron, menatap balik manik mata Bilqish yang remang-remang karena gelapnya jalan.

Mereka berdua akhirnya sampai di warung tenda di pinggir jalan. Tempatnya tidak terlalu luas, bahkan memakan tempat di trotoar bagi siapa saja yang mau duduk lesehan, seperti yang dilakukan Bilqish dan Aaron sekarang.

"Tadi ngapain aja di sana?" tanya Aaron yang nampak tertarik dengan kegiatan Bilqish hari ini. Walaupun sejujurnya ia cemburu karena Bilqish dekat dengan Abi.
Mendengar pertanyaan dari Aaron membuat Bilqish refleks menceritakan semua yang ia lakukan bersama Abi. Mulai dari mengajar mengaji sampai melihat matahari tenggelam di angkasa. Gadis itu terlihat senang, terdengar dari bagaimana ia menceritakannya secara detail dengan begitu antusias. Bahkan Bilqish menceritakan bagaimana ia bertemu Icha, gadis cilik yang berhasil menipunya.

"Seneng banget ya di sana?" tanya Aaron yang terdengar agak aneh di indra pendengaran Bilqish.

"Emang kenapa?"

Aaron menggeleng. "Lo nggak pernah cerita seantusias hari ini. Mungkin ini pertama kalinya."

Bilqish membenarkan. Ia tak pernah merasa sebahagia ini. Padahal apa yang ia lakukan di sana sungguh sederhana. Namun, mengapa rasanya begitu menyenangkan?

Setelah Aaron mengatakan hal itu, Bilqish yang banyak bicara langsung diam seribu bahasa. Gadis itu hanya menatap jalanan yang ramai hilir mudik kendaraan. Suasana berubah menjadi canggung. Bahkan tak ada yang berani memulai pembicaraan setelah itu. Untung saja makanan mereka datang, membuat suasana sedikit mencair.

Aaron meruntuki bibirnya yang meracau tak jelas. Lelaki itu sesekali mencuri pandang kepada Bilqish yang nampak sudah tak selera dengan makanannya. "Bilqish?" panggil Aaron.

"Hmm?" guman Bilqish sembari menyibukkan diri dengan membelah ayam yang panas itu. Melihat hal itu, Aaron segera menukar piring miliknya yang sudah ia pisahkan antara daging ayam dengan tulang kepada Bilqish.

"Sorry gue nggak bermakud apa-apa ngomong kayak gitu. That is great! You look so happy. But, I think that I'm—" Aaron mulai menggantungkan bicaranya, membuat Bilqish penasaran.

"Hmm?"

"I think that I'm jealous. Apa gue nggak boleh cemburu kalo lo main sama cowok lain?" tanya Aaron membuat Bilqish menatap lelaki itu sepenuhnya dengan tanda tanya yang jelas di raut wajahnya.



Holaaaa akhirnyaa bisa update jugaa

Sejauh ini MTM gimana gaes? Makin greget sama Abi atau Aaron?

Kalo ternyata Bilqish sama Aaron gimana?

Kalo ternyata Bilqish sama Abi gimana?

Jawab jawab! Harusssss

See u!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top