11
Detik berganti detik, menit berganti menit dengan begitu lambat. Bilqish terus menerus menatap arloji yang ada di tangannya lalu menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Lama banget njir kelasnya!" umpatnya kesal padahal kelas baru saja dimulai setengah jam yang lalu, tetapi entah mengapa Bilqish merasa jika ia sudah duduk diam di sana selama hampir dua jam!
Dosen mengakhiri penjelasannya hari ini, terbukti dengan ditutupnya laptop berlogo nanas itu dengan pelan sekaligus mematikan proyektor yang ada di sana. Bilqish segera mengemasi buku hitam milik Abi. Jujur, ia penasaran kemana Abi akan membawanya hari ini. Mendengar lelaki itu mengatakan bahwa ada suatu tempat yang akan membuat Bilqish tidak lagi bosan mampu menyita seluruh perhatiannya. Ia tak sabar. Dalam hati ia terus memaki sang dosen yang tak mau keluar kelas dengan cepat.
"Abi!" panggil gadis itu dengan semangat.
Abi menoleh ke arah Bilqish. Lelaki itu tersenyum sembari menutup bukunya yang sudah habis ia baca. "Gimana?"
"Gimana apanya?"
"Pelajarannya. Seru?"
Bilqish memutar bola matanya dengan malas. "Mana ada sih pelajaran yang seru? Nggak ada!"
"Ada kok, tergantung kita menyikapinya gimana. Kalau enjoy ya seru, kalo suka marah-marah ya bosan," ujar Abi yang langsung diberi pelototan mata gratis oleh Bilqish. "Lo nyindir gue?"
Abi tertawa. Tawanya sangat sopan hingga Bilqish sendiri tak sadar jika itu adalah tawa yang meledek. "Saya nggak nyebut nama Mbak—"
"Panggil gue Bilqish aja njir! Berasa tua banget gue dipanggil Mbak segala!"
"Mboten nopo-nopo?" (Gapapa?)
Bilqish menjentikkan jarinya. "Stop juga pake Bahasa Jawa. Gue kagak ngerti artinya."
Lelaki itu mengangguk-angguk. "Kenapa nggak sekalian belajar?"
"Sejak kapan sih gue suka belajar? Ke kelas aja boro-boro."
Abi paham. Abi pun mengerti. Melihat dari tingkah laku Bilqish saja ia bisa menebak bahwa gadis ini adalah tipikal gadis yang bebas, yang tak mau diatur oleh peraturan sejenis apapun itu. Gadis ini seperti burung yang ingin terbang bebas di angkasa, bukan dikurung di sangkar kayu.
"Lo udah janji! Jadi harus ditepati!" Bilqish mengancam, membuat Abi hanya bisa mengangguk menuruti.
Selama mereka berjalan menuju parkiran, Abi terus saja berpikir kemana tempat yang akan Bilqish sukai. Sebenarnya apa yang Abi katakan tadi spontan saja agar Bilqish mau masuk kelas. Lelaki itu pikir, Bilqish tak akan tertarik hingga rela mengikuti pelajaran demi ke tempat tersebut. Nyatanya Abi salah. Pikiran Bilqish benar-benar tidak bisa ditebak. Kini, setelah gadis itu setuju, Abi sendiri yang kebingungan.
"Tapi harus manut. Gimana?"
"Anjim! Manut apaan?"
"Manut itu menurut. Nggak boleh protes gitu."
Bilqish berhenti sejenak. Ia menatap Abi dengan tatapan curiga. "Lo nggak mau aneh-aneh sama gue kan?"
Lelaki itu menatap ponsel ketiknya lalu segera berjalan dengan cepat. Entah mengapa, Abi sedikit panik. Hal itu juga yang tanpa sadar membuat Bilqish ikut panik. Gadis itu menyamai jalan Abi yang cepat hingga mereka sampai di depan sepeda milik Abi. Ketika lelaki itu hendak mengayuh sepedanya, Bilqish buru-buru merentangkan tangannya untuk menghadang jalannya lelaki berkemeja kotak-kotak itu. "Abi!" teriaknya. "Lo udah janji sama gue!"
Abi mengangguk. "Maaf. Hmm, Naik Mb— Bil?" tanyanya dengan canggung karena ia baru pertama kali memanggil Bilqish dengan nama aslinya, tanpa embel-embel Mbak yang selalu melekat di sana.
"Gue? Naik sepeda butut lo?"
"Maaf tapi saya nggak punya banyak waktu," ucap Abi yang akan mengayuh sepedanya lagi. Namun, lagi-lagi aksi itu dihadang oleh Bilqish. Gadis itu masih menimang-nimang sampai akhirnya ia duduk di bagian belakang sepeda. "Yaudah ayok!"
Sepeda butut itu berjalan dengan lamban mengikuti arus jalanan yang sedikit lenggang siang menjelang sore itu. Bilqish kadang terbatuk-batuk ketika banyak asap yang menerpa alat pernafasannya. Ia juga sedikit takut dengan sepeda tua ini. Bagaimana jika di tengah jalan rusak? Apalagi ini adalah pertama kalinya ia dibonceng naik sepeda lagi setelah sekian lama tidak pernah menaiki benda itu.
Jalanan Jakarta menuju daerah pemukiman mulai menanjak. Dapat Bilqish rasakan jika lelaki itu tengah bersusah payah untuk mengayuh sepeda ini. "Bilqish?"
Perasaan gadis itu tak enak. "Hmm?"
"Sampean—"
"Sampean itu apaan? Gue taunya sampan!"
Abi meneguk salivanya dengan susah payah. "Ka—kamu jalan bentar bisa? Si Entong udah nggak kuat."
"Entong? Entong siapa?"
"Sepeda saya."
Sontak mata Bilqish mendelik. Ia dengan cepat memukul punggung Abi dengan keras. "Lo pikir gue berat gitu?"
"Eng—enggak! Si Entong capek katanya."
Bilqish mendengus, semakin memperkuat pukulannya. "Apa lo bilang? Ulang lagi!"
"Eh Bil! Bil! Jangan pukul saya, nanti sepedanya oleng!" teriak Abi heboh hingga setirnya bergerak ke arah kanan kiri tak menentu. Bilqish yang dibonceng takut setengah mati jika ia akan terjerambab ke aspal. Akhirnya tangannya memegang perut Abi dengan kuat. Matanya juga terpejam sembari berkomat-kamit membaca kata sial.
Abi yang mendengar itu tersenyum. Setelah mampu menguasai kemudi sepedanya lagi, Bilqish diminta untuk merentangkan tangannya ke udara.
"Buat apa?" tanya gadis itu yang sedikit trauma dengan apa yang Abi lakukan tadi.
"Bentar lagi jalannya turun. Kalau tangannya direntangkan, rasanya mau terbang," jelas Abi membuat Bilqish seratus persen tidak percaya. "Kalau nggak percaya, coba saja." katanya.
Merasa tertantang, Bilqish melakukan apa yang Abi katakan. Gadis itu merentangkan tangannya ke udara persamaan dengan sepeda berjalan turun dengan sedikit kencang. Untung saja jalanan sepi pada daerah itu sehingga kegiatan mereka tidak akan terganggu. Angin sepoi-sepoi menerpa rambut Bilqish yang ia kuncir hingga beberapa anak rambut menutupi beberapa bagian wajahnya. "Sejuk!" teriak Bilqish dengan senang.
"Kalau sudah sejuk, artinya kita sebentar lagi masuk daerah pemukiman perdesaan."
Benar saja. Tak sampai lima menit mereka sudah sampai di area pemukiman warga yang padat merayap. Sepeda butut itu berbelok, menuju ke arah gang yang sempit, namun dihiasi dengan berbagai warna. Kampung ini biasanya dijadikan sebagai kampung wisata karena suasananya yang mampu membuat siapapun rileks berada di sana.
"Rumah lo daerah sini?"
Abi mengangguk. Beberapa anak kecil yang bermain di sana mulai menggoda Abi ketika melihat dirinya tengah membonceng seorang gadis. "Cieee Mas Abi! Pacar baru nieee!" teriak salah satu anak diikuti cie-cie dari anak-anak lainnya.
Bilqish yang melihat itu segera mengepalkan tangannya ke udara. "Mau mati?" tanyanya dengan dingin, membuat anak-anak langsung kabur. "Hiii takut!" teriak mereka sembari lanjut bermain sepak bola.
Sepeda itu berhenti tepat di rumah kontrakan yang sangat sempit. Pada pagarnya terdapat satu kresek entah berisi apa tengah dikaitkan di sisi pagar. Pasti dari tetangganya yang memberikan sejumlah lauk pauk padanya.
"Ini rumah lo?" tanya Bilqish yang masih melihat-lihat sekitar rumah Abi yang begitu kecil.
Abi mengangguk lalu mempersilakan Bilqish untuk duduk di tempat duduk luar. Tak lama kemudian, sebuah es jeruk sudah ada di hadapan gadis itu. Tentu saja Bilqish langsung meminumnya sampai tandas.
"Lo mau ngajakin gue ke rumah lo? Buat apa? Fix! Lo mau macem-macem sama gue kan?" tuduh Bilqish sembari menatap Abi dengan tajam.
"Lihat saja nanti," kata Abi yang membuat misteri tersendiri di pikiran Bilqish.
Jam sudah menunjukkan angka tiga. Abi memberikan sebuah selendang ke arah Bilqish lalu mengajak gadis itu ke suatu tempat. Bilqish yang memang tak tahu daerah itu hanya menurut daripada harus tersesat. Ternyata, Abi membawa gadis itu pada sebuah musholla kecil yang sudah ada beberapa anak datang dengan pakaian yang senada. Mereka memakai pakaian putih dengan celana hitam rapi. Sungguh menggemaskan jika dilihat dari kejauhan.
"Lo mau ngajakin gue ngapain sih?"
Abi menatap Bilqish dengan tersenyum. Baju kotak-kotak lelaki itu sudah berganti dengan baju koko putih dengan peci di atas kepala. Tak lupa sarung berwarna coklat kotak-kotak sudah ia kenakan.
"Jangan bilang kalo lo—"
Abi mengangguk. "Saya takmir yang mengurus musholla ini sekaligus mengajar anak-anak mengaji."
Pernyataan itu membuat Bilqish benar-benar syok. Ia tak mampu berkata apa-apa, hanya terbengong dengan mulut terbuka. Lantas untuk apa ia kemari jika sudah begini?
"Trus ngapain lo ngajak gue ke sini Abi?" tanya Bilqish dengan nada tinggi. Kesal karena Abi telah menipunya. Padahal yang ia harapkan adalah tempat yang mampu membuatnya terhibur. Nyatanya itu semua hanyalah ekspetasinya saja.
"Bukannya tadi kamu yang minta ikut?"
Skakmat!
Bilqish meruntuki kebodohannya. Benar. Sedari tadi yang memaksa ikut adalah dirinya. Bahkan Abi hanya menurut. Bodoh bodoh bodoh! Tak seharusnya ia semarah ini pada lelaki itu jika ternyata ini semua berdasar atas keinginannya sendiri.
"Yaudah gue balik! Bye!"
Sebelum Bilqish menjauh, Abi segera menutup pagar musholla sehingga gadis itu tidak bisa keluar. "Ustadzah yang mengajar anak-anak hari ini lagi sakit. Kamu bisa gantiin beliau kan?"
"Lo pikir gue bisa ngaji?"
Abi mengangguk dengan yakin. "Kamu pasti bisa!"
"Nggak ah! Gue mau pulang aja!"
Ketika Bilqish hendak membuka pintu pagar, sebuah alunan bacaan suci Al-Quran terdengar di telinganya. Gadis itu berhenti, menikmati suara indah itu dengan perasaan terpukau. Bibirnya terangkat. Suara ini, sungguh membuat hatinya tentram dan damai. Ia merasa tenang dan emosi yang menggebu-gebu itu seolah lenyap. Entah mengapa, mendengar suara itu ia malah teringat oleh ayahnya, Keylan.
Melihat Bilqish berhenti membuat Abi mendekat. Lelaki itu menundukkan pandangannya kepada Bilqish sembari mengatakan sesuatu. "Orang-orang yang telah kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya, dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Quran Surah Al-Baqarah ayat 212."
Bilqish berbalik, menatap Abi dengan tatapan yang sulit diartikan. Lalu entah dorongan dari mana gadis itu mengangguk. "Lillahi Ta'ala."
Hampir sepuluh anak perempuan dan tujuh anak laki-laki datang ke musholla sore ini. Mereka semua mengaji dengan begitu lancar, walaupun beberapa dari mereka masih lupa huruf hijaiyah yang ada.
Sungguh, Bilqish tak pernah percaya ia akan melakukan hal ini di hidupnya. Mengajar ngaji tak pernah terbesit di otaknya. Jujur, ia memang bisa mengaji. Itu sebuah keharusan di dalam keluarganya. Namun, mengajar mengaji? Ia masih belum percaya dengan hal ini. Jika teman-temannya tahu mungkin mereka akan meledeknya habis-habis. Lihatlah, seorang rocker kini berkumpul dengan anak-anak berusia sekitar enam sampai delapan tahun lalu mengajari mereka membaca Al-Quran. Sungguh keajaiban dunia!
"Kak, haus!" teriak seorang anak kecil yang sedang mengadu ke Bilqish layaknya anak kepada ibunya.
"Ya, minumlah!" jawab Bilqish jutek.
Gadis kecil itu merengek. Ia menunjuk pada pedagang es krim yang lewat dengan tatapan yang begitu ingin. "Kak aku mau itu!"
"Ya, belilah! Minta sana sama emak lo! Emang gue emak lo?"
"Hwaaa!" tangis gadis kecil itu pecah, membuat Bilqish panik. "Lah kok nangis sih? Mati gue! Ini harus gimana woy? Mana anak orang lagi!"
Langsung saja Bilqish mengeluarkan uang dalam sakunya. "Dah dah! Sana beli es krim. Nggak usah nangis lagi. Jangan lupa temen-temennya dibagi!"
Gadis kecil itu langsung diam ketika diberikan satu lembar uang berwarna merah itu. Ia langsung memeluk Bilqish dengan raut wajah senang. "Makasih Kak, Kakak emang baik!" ucapnya lalu segera berlari menuju abang es krim sembari berteriak. "Teman-teman aku kaya! Aku kaya! Sini aku beliin es krim! Ayoo sini!"
Semua anak-anak pengajian yang mendengar teriakan itu segera berlari menuju abang es krim dengan senang. Abi yang melihat itu langsung menatap Bilqish. Sebuah jempol mengudara. "Mbak Bilqish emang yang terbaik!" batinnya.
Dahhh akhirnyaa update hihi
Ada yang ngerasa tau tempat tinggal Abi? Wkwk semua itu berkaitan guys!
Semoga kalian suka sama part ini yaa! See u!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top