08
"Maksud lo, gue?" tiba-tiba saja seorang gadis muncul di balik punggung Abi dengan tersenyum. Namun, yang dapat Bilqish tangkap, senyuman gadis itu penuh makna. Antara sinis dan ramah.
Bukannya malu karena kepergok tengah membicarakan Ellie di saat gadis itu ada di sekitar sana, Bilqish malah maju dengan kepala terangkat tinggi. "Iya, lo siapa?"
Ellie tersenyum lagi. Entah mengapa senyuman itu membuat Bilqish muak, walaupun itu masih pertama kalinya mereka bertemu. "Kenalin, gue Ellie. Dan lo... Pasti Bilqish kan?"
Bilqish hanya sekadar mengangguk, tak menanggapi uluran tangan yang Ellie ajukan. Gadis itu malah menengok ke Abi dan berlagak sok tak tahu. "Besok ada makalah yang harus gue kumpulin, yuk cabut!" Bilqish menarik tangan Abi pergi, membuat Ellie tersenyum tipis sembari menurunkan uluran tangannya yang tak diterima.
"Ellie, saya pulang dulu!" teriak Abi di tengah tarikan dari Bilqish.
Ellie melambaikan tangannya ke udara. "Sampai jumpa besok, Bi!"
Abi hanya pasrah ketika tangannya ditarik Bilqish entah kemana. Sebenarnya ia sedikit malu karena tiba-tiba saja mereka menjadi pusat perhatian di sekitar kampus. Bagaimana tidak? Seorang Bilqish yang dikenal pemarah dan galak menggandeng seorang cowok cupu? Mungkin hal itu hanya ada di cerita wattpad jika hari ini para mahasiswa tidak melihatnya secara langsung.
Melihat begitu banyak tatapan dari orang-orang tak membuat Bilqish melepas tarikannya, bahkan risi. Gadis itu terlihat biasa saja dan cenderung tak peduli. Toh, selama ia di panggung gadis itu mendapatkan sorotan lebih dari ini. Jadi, ini belum seberapa.
Ternyata Bilqish menarik Abi menuju parkiran. Mereka berdua masuk ke dalam mobil hitam milik gadis itu. Namun, selama lima belas menit, tak ada percakapan yang terjadi. Mereka berdua hanya diam, menatap kaca mobil depan yang menyuguhkan pemandangan mahasiswa yang hilir mudik di sekitar tempat sana.
Abi sempat kagum dengan mobil antik milik Bilqish yang hampir semua furniturnya berwarna hitam dengan aksesori tengkorak yang sangat khas. Aroma parfumnya pun sangat jarang Abi cium. Seperti parfum mahal yang sangat manly tetapi soft. Tak menyergak dan tak juga membuat mual. Aroma ini cukup membuat pikiran menjadi tenang.
Tak mau berlama-lama dalam kebisuan ini, Abi akhirnya mengulurkan tangannya. "Materi buat makalahnya mana?"
"Nggak ada."
"Kok nggak ada? Tadi kata Mbak Bilqish besok disuruh buat makalah. Kok sekarang nggak jadi tho," ucap Abi heran.
Bilqish hanya mendengus sebal. Ia mengambil ponselnya yang ada di tas lalu menyambungkannya pada bluetooth mobil untuk mendengarkan sebuah lagu milik Lorde berjudul Team.
"Mbak Bilqish? Hallo? Kok saya malah dicuekin?" protes Abi. Namun, gadis itu malah memejamkan matanya tak peduli.
Lagu mengalun dengan sedikit keras di dalam mobil. Walaupun Abi sama sekali tidak tahu lagu barat seperti ini, tetapi ia tetap menikmatinya. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi lalu memandang ke arah depan untuk mengistirahatkan tubuhnya.
We live in cities you'll never see on screen
Kami tinggal di kota-kota yang takkan pernah kau lihat di TV
Not very pretty, but we sure know how to run things
Tak teramat indah, tapi kami tahu pasti cara tangani segalanya
Living in ruins of the palace within my dreams
Tinggal di dalam puing-puing istana di dalam mimpiku
And you know, we're on each other's team
Dan kau tahu, kita dalam tim masing-masing
Reff itu mengalun indah. Tak pernah Abi sangka jika lagu itu mampu membuatnya tersenyum. Ia jadi teringat dengan kampung halamannya yang ada di daerah Jawa Timur. Kampung yang sangat terpelosok dengan keadaan lingkungan yang masih alami. Bahkan, di Banyuwangi sana terdapat mata air yang turun langsung dari pengunungan. Dingin dan menyegarkan. Sangat seru mengingat ia pernah mandi besama teman-temannya sewaktu kecil dulu. Ah, Abi jadi ingin mandi dan menikmati sejuknya air di sana lagi.
Lelaki itu menoleh, melihat Bilqish yang sudah membuka matanya dan mulai menyanyi pada penggalan lirik lainnya. Untuk pertama kalinya Abi mendengar suara langsung Bilqish tanpa microphone. Benar-benar langsung dan terdengar sangat merdu. Suara gadis itu yang terdengar berat khas anak rock terdengar masih mengimbangi untuk menyanyikan lagu jenis seperti ini. Dan nyatanya, suara Bilqish jauh lebih enak di dengar dari pada penyanyi aslinya. Mungkin karena gadis itu sedang menghayati makna di balik lirik tersebut.
I'm kind of over getting told to throw my hands up in the air, so there
Aku tak mau lagi disuruh mengangkat tanganku, maka
So all the cups got broke shards beneath our feet but it wasn’t my fault
Maka semua cangkir hancur lebur di bawah kaki kita tapi itu bukan salahku
And everyone’s competing for a love they won't receive
Dan semua orang berlomba mengejar cinta yang takkan mereka terima
'Cause what this palace wants is release
Karena yang diinginkan istana ini adalah kebebasan
Selesai menyanyikan part kesukaannya, Abi bertepuk tangan sembari membuka mulutnya lebar-lebar. "Suara Mbak Bilqish jan muantul pol!"
"Muantul?" tanya Bilqish nampak asing dengan kosakata tersebut.
"Muantul itu artinya muantap betul, Mbak. Biasanya dipake buat memuji sesuatu yang sangat bagus," terang Abi.
Bilqish hanya ber-oh ria. "Hari ini lo nggak kerja?"
Bertanya soal pekerjaan, Abi mendadak ingat jika hari ini shiftnya berganti dengan Adit yang sedang sakit. Segera saja ia membuka pintu mobil dan keluar. "Mbak saya kerja dulu! Lupa kalo ganti shift sama Adit. Matur suwun Mbak!"
"Loh, lo beneran kerja sekarang?"
Abi mengangguk. "Assalamualaikum Mbak!"
"Abi! Masuk aja, gue anterin. Pake mobil aja biar cepet," bujuk Bilqish yang ikut panik melihat Abi panik.
Abi menurut. Ia segera masuk kembali ke dalam mobil dan dalam kecepatan tinggi mobil itu melaju membelah Kota Jakarta yang sangat terik siang itu.
Tak sampai lima belas menit, mereka telah sampai di salah satu pusat pembelanjaan terbesar di Jakarta. Abi tak mau mengulur waktu lagi. Ia berlari sesegera mungkin menuju outlet boba tempatnya bekerja.
Untung saja ketika ia absen menggunakan sidik jari di pojok ruangan, jam menunjukkan angka satu. Nyaris saja terlambat. Baru setelah Abi melakukan absen, ia tersadar telah meninggalkan Bilqish di belakang. Lelaki itu segera mencari ke seluruh outlet. Namun, hasilnya nihil. Gadis itu tidak ada.
"Abi!"
Merasa dipanggil, lelaki itu menoleh. Wajahnya yang ceria berubah masam ketika ternyata yang memanggilnya adalah Febby, teman satu kerjanya. "Ada apa Feb?"
"Shift gue udah selesai. Lo jaga outlet bareng Bang Aris ya. Abis sholat dia balik ke sini kok," jawab Febby sembari berpamitan pulang.
Selama bekerjapun pikiran Abi tidak fokus sama sekali. Ia merasa bersalah telah meninggalkan Bilqish tadi. Apalagi gadis itu sudah mengantarnya kemari. Apakah gadis itu langsung pulang setelah sampai di parkiran? Atau gadis itu mencarinya tapi tidak ketemu?
Ah iya. Bagaimana juga dengan nasib Si Entong? Jika ada yang menyelakai sepeda satu-satunya seperti tempo hari bagaimana? Dulu, Abi merasa aman memarkirkan sepedanya di parkiran kampus. Ia pikir siapa juga yang mau maling sepeda butut miliknya? Tetapi mengingat kejadian tempo hari ketika tanpa alasan yang jelas kedua ban sepedanya kempes membuat hati Abi was-was. Bagaimana tidak? Sudah hampir empat tahun ia menimba ilmu di sana, tetapi baru kali ini ia merasa diusili oleh seseorang. Rasanya begitu aneh.
"Mas, brown sugarnya dua ya," ucap salah satu pelanggan berumur sekitar tujuh belas tahunan itu.
"Ada lagi, Mbak?" tanya Abi sembari mengetik pesanan di komputer.
"Udah, Mas itu aja."
"Atas nama siapa?"
"Arsena."
Abi menulis nama gadis itu di atas cup gelas yang sudah tersedia. "Totalnya empat puluh ribu ya Mbak. Mau cash atau debit?"
"Cash aja Mas. Ini uangnya," gadis bernama Arsena itu mengeluarkan satu lembar kertas berwarna biru dari dompetnya. Lalu ketika Abi mengambilnya, seseorang datang dan mengambil uang itu.
"Pake ini aja, Mas." ucap seorang lelaki yang lebih muda darinya sembari mengulurkan sebuah kartu kepada Abi.
"Alex! Kan hari ini waktunya aku traktir kamu!" pekik gadis itu sebal.
"Tapi aku nggak mau, Sena. Mulai saat ini, masalah makanan atau apapun biar aku aja yang bayar,"
"Nggak mau! Aku maunya gantian."
Alex mendengus. "Cowok tuh ditakdirkan yang bayar."
"Nggak! Aku nggak mau dicap cewek matre!" Sena melipat tangannya di dada. Sebelum itu Sena sudah mengambil uangnya kembali dan mengulurkannya kepada Abi. "Bayarnya pake ini aja, Mas."
"Pake debit aja, Mas!"
"Pake cash aja!"
"Debit!"
"Cash!"
"Debit ya debit!"
"Cash ya cash!"
Mendengar pertengkaran dua remaja ini membuat Abi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Namun, dalam hati ia terkikik geli. Sangat jarang ia menemui pasangan kasmaran yang berebutan minta membayar minuman di jaman seperti ini. Apalagi gadis ini tetap bersikukuh untuk membayar tanpa meminta terus-menerus kepada pihak lelaki.
Pertengkaran ini harus dihentikan dengan dirinya sebagai penengah. Jika tidak, mungkin sampai pagi mereka akan tetap berdebat mau membayar dengan cash atau debit.
"Begini saja Mbak, Mas. Dua-duanya saya terima. Yang satu pakai debit yang satu pakai cash, gimana?"
"Pakai Cash semua!"
"Nggak! Pakai debit semua!"
Abi tersenyum kikuk. "Biar lebih adil, kalian suit aja gimana? Yang menang bayarin. Setuju?"
Sena dan Alex mengangguk bersamaan. "Batu kertas gun—ting!"
Sena bersorak senang ketika tangannya membentuk gunting sedangkan Alex membentuk kertas. Artinya Sena yang menang. Ia segera mengulurkan kembali uangnya ke arah kasir dengan menjulurkan lidahnya kepada pacarnya itu. "Sukurin wle!"
"Ini Mbak, kembalian sama minumannya,"
"Makasih Mas!" Sena duduk di salah satu kursi di sana sedangkan Alex masih berada di depan kasir.
"Nama Masnya siapa?"
"Abi, Mas."
"Nah, Masnya apalin tuh wajah pacar saya. Saya bayar lima ratus ribu ke Mas sekarang, trus kalo dia ke sini lagi kasih gratis aja ya Mas. Bisa?"
Abi tersenyum lalu mengangguk. "Bi—bisa Mas."
"Mas ada rekening nggak? Biar saya transfer ke Masnya."
"Mas beneran?"
Alex mengangguk. "Beneran lah. Masa main-main,"
"Kalo saya nipu gimana?"
Alex tertawa. "Kalo Masnya nipu brarti Masnya beruntung hari ini. Kalo Masnya nggak nipu brarti saya yang beruntung hari ini. Lagian kayaknya nggak deh, saya yakin Masnya orang baik-baik."
Mendengar penjelasan dari lelaki SMA itu membuat Abi tersenyum. Ia tak pernah mendengar pujian itu dari orang yang baru saja ia kenal. Namun, melihat begitu besar hati lelaki ini membuat Abi mengangguk. "Ini nomer rekening saya,"
"Let's be friend, Mas Abi! See u!" teriak Alex sembari menggandeng Sena pergi dari outlet itu menuju ke suatu tempat.
Huwawwww akhirnyaaa bisa menyatukan tokoh dalam cerita yang berbeda ke satu Ceritaaa. Seru banget ternyata jadi bisa melihat sudut pandang kehidupan masing-masing.
Tapi ya emang siii harus ada sangkut pautnya secara kan mereka dalam satu keluarga yang sama hehe
Gimana sama part ini? Kalo ada yang belum tau lagunya bisa putar di mulmed yaaaa. See u
Enjoy!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top