07
Abhimanyu Fikar Abqary mulai mengayuh sepeda tuanya dengan penuh semangat untuk pergi ke kampus. Beberapa kali ia harus menundukkan kepala kepada ibu-ibu yang setiap pagi selalu menyapanya di gang kontrakan.
Lagipula siapa sih yang tidak mengenal Abi? Hampir satu kawasan mengenal dirinya sebagai pemuda yang rajin dan sopan. Bahkan lelaki itu telah dicap menjadi menantu idaman dan siap diperebutkan ibu-ibu untuk dijodohkan kepada anak gadisnya.
"Mas Abi!" teriak anak kecil yang sedang memasang sepatu sekolahnya di teras depan dengan senyum yang ramah.
"Mas Abi buru-buru, Mad! Nanti sore jangan lupa ya!" balas Abi sembari melambaikan tangannya.
Abi cukup senang dengan hidupnya. Walaupun pas-pasan karena gajinya harus dipotong untuk keperluan ibunya di desa, ia tak masalah. Banyak sekali yang membantunya selama ia merantau di kota. Teman-teman bahkan tetangganya terus memberikan bantuan, entah berupa makanan maupun uang saku dengan cuma-cuma. Mereka tahu bagaimana kehidupan ekonomi Abi, tetapi melihat lelaki itu begitu semangat mengejar pendidikan membuat mereka begitu salut dengan tekat kerasnya itu.
Abi sudah sampai di kampus tiga puluh menit lebih awal sebelum pelajaran dimulai. Lelaki itu selalu memarkirkan si Entong di parkiran terlebih dahulu sebelum bergegas menuju ruangannya untuk belajar sebentar, membaca catatan dosen yang baru saja diberikan.
Menjadi mahasiswa semester lima tidaklah semudah yang Abi bayangkan. Banyak sekali tugas yang harus dikerjakan dari dosen, baik tugas online maupun offline. Jika harus memilih, Abi akan memilih tugas offline mengingat ia yang tak punya laptop yang mengharuskannya pinjam di warnet maupun ke teman sekelasnya.
Tetapi Abi tak pernah mengeluh. Ia tahu usahanya tidak akan mengkhianati hasil. Walaupun tak punya laptop maupun ponsel canggih, ia masih punya otak yang dapat diandalkan. Buktinya makalah yang ia buat tak pernah mengecewakan dan selalu dipuji oleh dosennya. Ia juga dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik dalam beberapa tahun terakhir.
Hari ini Abi akan mengikuti kelas perilaku konsumen dan strategi pemasaran yang dipimpin langsung oleh Pak Fiqri sebagai dosen mata kuliah tersebut.
Kurang lima menit kelas dimulai, satu demi satu mahasiswa datang. Mereka segera duduk di bangku belakang, tak pernah duduk di samping Abi yang berada di depan. Tapi itu tak masalah, Abi sudah terbiasa karenanya.
"Selamat pagi," sapa Pak Fiqri.
"Selamat pagi, Pak!"
Pembelajaran berlangsung dengan lancar. Abi mencatat semua hal-hal penting yang disampaikan dosen hingga tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Setelah mengisi absensi, Pak Fiqri mengakhiri kelasnya.
Di saat semua siswa keluar, Abi masih duduk diam di kelas. Ia merapikan buku-buku yang hendak ia kembalikan ke perpustakaan kampus.
"Abi!" panggil seseorang yang berada di belakangnya.
Abi menoleh, ternyata di kelas ini ia tak sendirian. Masih tersisa satu gadis yang duduk tepat di belakangnya.
"Iya, Mbak?"
Gadis itu tertawa dipanggil dengan sebutan 'mbak' oleh Abi lalu ia mengulurkan tangannya ke lelaki itu. "Kenalin, gue Elie,"
"Abi, Mbak."
"Panggil gue Elie aja. Nggak usah pake embel-embel Mbak segala. Mau ke perpus ya?" tanya Elie dengan ramah. Abi mengangguk dengan tersenyum. Ia benar-benar tak menyangka ada seorang gadis yang mau berkenalan dengannya yang cupu ini di kampus. Yah, walaupun saat ia bekerja banyak sekali anak remaja yang terobesesi dengannya, tetapi itu berbeda. Maklum, saat bekerja ia akan mengubah menampilannya sesuai prosedur pekerjaan. Menjadi lelaki tampan yang memikat banyak pelanggan.
"Gue ikut ya? Sekalian tadi gue mau tanya, ada beberapa materi yang dijelasin Pak Fiqri tapi gue nggak paham. Boleh kan?"
Abi mengangguk sekali lagi. "Ayo Mba— Hmm maksud saya, Elie," ucapnya canggung.
Di perpustakaan Univeritas Indonesia sangatlah luas. Banyak buku tua yang tertata rapi dan juga beberapa makalah hasil kerja mahasiswa dipajang sebagai bahan referensi. Kursi baca berjajaran begitu panjang dan suasana yang sepi membuat banyak orang nyaman membaca buku maupun belajar di sini.
Abi dan Elie memilih bangku di pojok karena mereka akan mendiskusikan perihal materi tadi agar tidak menganggu mahasiswa lainnya.
"Mana yang belum paham El?" tanya Abi sembari mengeluarkan catatannya yang sudah usang.
"Wah, ini catatan lo? Gila tebel banget!" seru Elie kagum.
Abi membuka halaman catatan yang sudah setebal buku Harry Potter itu dengan terkekeh. "Ini saya nulisnya sejak masuk ospek. Liat, ini dulu waktu kita disuruh buat yel-yel kelompok sama kakak tingkat." Lelaki itu menunjukkan lirik lagu yel-yel yang ia buat bersama kelompok ospeknya beberapa tahun yang lalu. Tinta pulpennya pun sudah menguning dan ujung bukunya sudah kusut.
"Ini nadanya gimana? Bisa lo nyanyiin buat gue?"
"Pakai lagunya Rizky Febian yang Kesempurnaan Cinta." Abi mulai menyanyikan yel-yelnya dengan suara lirih, membuat Elie tersenyum penuh arti.
"Kelompok kami disatukan ilahi, hanya untuk membangun negeri, wajah kami, cantik dan tampan sekali,"
Elie tertawa dengan keras, membuat beberapa mahasiswa menatapnya dengan sinis. Ia langsung meminta maaf karena tawanya membuat mereka terganggu.
"Kenapa tertawa?" tanya Abi heran.
"Gapapa, lucu aja."
"Suara saya?"
Elie menggeleng. "Lo yang lucu."
Abi hanya tersenyum, tak merespon lebih. Namun, senyuman itu jelas membuat detak jantung Elie menggila. Bahkan tangannya berkeringat karena mendadak gugup harus melakukan apa lagi agar lelaki di sampingnya itu terus tersenyum padanya.
Akhirnya Abi menjelaskan segala hal yang dibicarakan dosennya tadi kepada Elie. Namun, bukannya Elie menyimak, gadis itu terus memandang wajah Abi yang begitu serius tanpa kedip. "Elie, paham?"
Elie mengerjapkan matanya lalu spontan mengangguk. "Bi, gue haus. Beli minum yuk?"
"Tapi penjelasannya?"
Elie menarik tangan Abi untuk segera bangkit dari tempat duduknya. "Gue udah paham kok. Yuk! Gue traktir deh!"
Selama perjalanan menuju kantin, banyak sekali pembahasan yang mereka bicarakan. Apapun yang Elie bahas akan selalu nyambung dengan Abi. Hal itu membuat keduanya cepat akrab walaupun baru bertemu sebentar.
"Lo pesen apa?"
"Samain aja,"
Elie tertawa. "Yakin? Gue mau pesan kopi tanpa gula loh?"
Abi mengangguk. "Kopi tanpa gula dua!"
Abi kira gadis itu akan bercanda.Namun, dua cup kopi tanpa gula sudah dibawa Elie menuju bangku mereka. Abi sempat terkejut jika gadis cantik di hadapannya ini adalah penyuka kopi tanpa gula, tak sesuai dengan wajahnya sama sekali.
"Saya nggak nyangka kamu suka kopi tanpa gula,"
"Kenapa? Muka gue nggak keliatan kayak suka pahit ya?"
Abi menggeleng sembari meneguk kopi hitamnya. Pahit memang tetapi memang kopi lebih enak dinikmati dalam keadaan seperti ini. Murni tanpa campuran apapun. "Rasanya aneh aja ada perempuan yang suka kopi pahit, saya belum nemu selain ibu saya. Itupun karena emang nggak ada gula di rumah, sedangkan beliau harus minum kopi biar nggak ngantuk saat jualan di pasar."
"Jadi lo suka kopi tanpa gula gara-gara terpaksa keadaan?"
Abi menggeleng sekali lagi. "Kopi itu paling nikmat tanpa campuran apapun. Biarpun pahit, ada sensasi tersendiri saat meminumnya. Rasanya pahitnya kehidupan seolah tersalurkan lewat kopi."
Elie mengangguk setuju.
"Kalo kamu, kenapa suka kopi pahit?"
"Hmm, soalnya udah ada yang manis di depan gue," ucap Elie sembari tersenyum malu telah mengatakan hal demikian kepada lelaki yang baru pertama kali ia ajak bicara itu.
***
"Bil, itu bukannya Abi?" Stella menunjuk seorang lelaki tengah duduk berdua di kantin bersama seorang gadis.
Bilqish segera mengikuti arah telunjuk Stella yang menunjuk area kantin. "Eh iya tuh? Kok sama cewek?"
Biqlish dapat melihat mereka berdua tengah membicarakan suatu hal yang membuat Abi tertawa. Bahkan, Bilqish ingat betul ia tak pernah melihat Abi tertawa seperti itu.
"Entah, mungkin temennya kali. Yuk Bil, temen-temen udah nunggu dari tadi buat latihan!"
Bilqish terus menatap Abi dan gadis yang bersama dengannya saat ini dengan tatapan intens. Dalam hati ia bertanya-tanya, siapa gadis itu? Dan mengapa ia bisa bersama Abi? Seingatnya Abi tak punya teman di kampus, tetapi dia siapa? Pacarnya kah?
Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan membuat Bilqish tak bisa fokus pada latihannya. Padahal beberapa hari lagi mereka akan mengadakan mini konser di sebuah Mall. Tetapi pertanyaannya benar-benar meminta untuk dijawab sekarang juga.
"Bil, udah masuk intro loh!" Vian mencolek bahu Bilqish membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.
Bukannya memulai menyanyinya, Bilqish segera mengambil tasnya dan bergegas pergi. "Sorry guys, gue ijin dulu hari ini!" ucapnya lalu menutup pintu markas dengan cepat.
Bilqish berlarian bak kesetanan. Ia menoleh kesana kemari di sekitar kampus untuk mencari seseorang yang membuatnya tak fokus latihan. Nafasnya memburu, ia panik, dan keringat bercucuran di pelipisnya. Sedari tadi hatinya tidak tenang, entah karena apa.
Seorang lelaki dengan kemeja kotak andalannya nampak berada di depan, membuat Bilqish segera berlari ke sana, menariknya hingga membuat lelaki itu menoleh. "Abi!"
Gadis itu menghela nafas lelah. "Sori, gue kira temen gue,"
Lelaki itu mengangguk lalu melanjutkan jalannya tanpa kata.
"Abi, lo di mana sih?" tanya Bilqish frustasi sembari mengacak rambutnya dengan kesal.
"Loh Mbak Bilqish!" panggil seseorang dari ujung koridor.
Bilqish menoleh, ia begitu lega melihat lelaki berbaju kotak itu tersenyum simpul di ujung koridor kampus. Dengan semangat membara, Bilqish berlari menuju Abi dan memberikannya pertanyaan-pertanyaan yang memasuki otaknya itu.
"Siapa cewek itu? Siapa cewek yang sama lo tadi, Abi? Jawab gue!"
Hayolooo Mbak Bilqish wkwkwk kenapa tuuu? Cemburu kaaah?
Gimana sama part ini guys?
Jangan lupa vote dan komen yaaa
See u!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top