V. MILIKKU

“Aik!” Bayu nyaris melompat untuk menangkap tubuh putrinya yang terhuyung hingga nyaris terjerembab ke depan. Pengasuhnya lari tergopoh-gopoh di belakang, mukanya pucat ketakutan.

Dari kejauhan, Agung memperhatikan pemandangan yang tidak sengaja tertangkap oleh matanya. Dia baru saja selesai makan siang bersama adik perempuan dan suaminya ketika melihat Bayu didepan sebuah game centre. Setelah mempersilakan pasangan partner makan siangnya untuk duluan, Ia mengambil sebuah tempat duduk di Excelso untuk mengamati lebih lanjut.

Meski baru sekali melihat Bayu Laksmana, Agung yakin Ia tak mungkin salah orang.

Bayu Laksmana bertubuh tinggi besar. Jambang tipis dan ikal rambutnya mengingatkan Agung pada aktor Surya Saputra, hanya  saja tidakk ada kaca mata mungil bertengger di batang hidungnya yang besar. Siang itu Ia mengenakan kemeja santai yang dipadu dengan celana jins dan snickers putih. Penampilannya membuat hari Selasa yang berjalan lambat terasa seperti hari Minggu.

Agung menyedot Ice Blended Moccha yang Ia pesan.

Lagipula, kombinasi kawanan Bayu yang unik juga membuatnya tidak sulit mengenali kembali. Berapa banyak laki-laki tampan yang menggendong gadis kecil buta dan diikuti seorang wanita berkulit gelap dengan kelebihan pada berat badan?

Si pengasuh berkulit gelap mencoba mengambil gadis kecil buta dari pelukan sang Ayah, tapi Ayahnya yang kelihatan marah karena kelalaian wanita itu justru mengangkat si gadis tinggi-tinggi. Ia mengatakan sesuatu yang tidak bisa didengar atau dibaca gerak bibirnya dari jarak Agung duduk memperhatikan.

Mereka meninggalkan game centre sejurus kemudian dengan Bayu masih sibuk memohon agar putri kecilnya berhenti menangis. Agung menyelinap keluar dari Excelso untuk mengikuti kawanan mereka sampai ke tempat parkir mobil. Di balik pintu Honda Accord hijau toska tahun 90an milik Ayah Bayu, mereka menghilang.

Agung melarikan BMW 360i hitamnya membelah jalanan mengikuti mereka.

IA berusaha mengontrol laju kecepatan mobilnya menyesuaikan Honda Accord tua yang dikemudikan Bayu. Jalanan siang itu cukup lengang. Dia mengikuti mobil Bayu membelah jalan Pahlawan kemudian berbelok ke jalan Veteran. Tanpa kesulitan, Ia terus menempel Accord hijau tosca di depannya dan berbelok di perumahan di balik SPBU Rinjani.

Honda Accord hijau tosca berhenti di depan sebuah rumah dengan nomor 108. Rumah dua lantai bercat krem terang dengan pagar setinggi pengasuh gadis buta. Bayu memencet klakson sementara Agung memarkir mobil tak seberapa jauh di belakang mobil yang diikutinya sejak keluar dari Ciputra Mall.

Seorang laki-laki seusia Bayu berlari terburu-buru menghambur ke arah pagar. Tak lama kemudian setelah pagar terbuka, Accord hijau tosca Bayu langsung meluncur ke dalam garasi.

Agung melompat keluar dari mobilnya dan berlari kecil menyusul pria pembuka pagar sebelum Ia menutupnya kembali.

“Bayu!” Panggil Agung.

Bayu baru saja menyerahkan si gadis buta pada pengasuhnya dalam keadaan terlelap dan memberi pesan tegas supaya Ia jauh lebih hati-hati ketika Agung memanggil namanya.

Ia mendekat dan mengisyaratkan pada pria yang membukakan pintu pagar agar menahannya untuk sang tamu.

“Apa kita saling mengenal?” Tanya Bayu ramah. Ia bahkan menjabat tangan Agung dengan jabatan tangan akrab.

“Jujur saja, aku ngikutin mobil kamu dari Ciputra. Agung Surya Laksana.” Ujar Agung memperkenalkan diri. Dia memang tidak berniat menyembunyikan identitasnya, karena diatahu, cepat atau lambat, mereka akan saling mengenal.

“Apa aku meninggalkan sesuatu?” Bayu masih bersikap ramah tanpa prasangka.

Agung tersenyum tulus. Dari keramah tamahan Bayu, sejenak terlintas di pikirannya, laki-ki di hadapannya itu sama sekali bukan laki-laki yang picik atau punya niatan yang buruk. Kemungkinan dia memang hanya punya satu alasan kenapa dia berani meminta kembali wanita yang pernah dilepaskannya dulu, yaitu cinta.

“Tidak. Tidak. Kita memang belum saling mengenal. Kau juga tidak menjatuhkan sesuatu. Lagipula aku bukan orang yang mau repot-repot menyusulkan barang yang jatuh.” Seloroh Agung jujur.

“Ya. Kau benar. Aku pun demikian.” Bayu tertawa kecil, “Apa gunanya kantor informasi kalau begitu, bukan?”

Secara singkat, telah terbangun image yang baik pada masing-masing dari mereka.

Tanpa menunggu lama, Bayu mempersilakan Agung duduk di ruang tamunya setelah sebelumnya menawarkan segelas minuman dingin. Mereka baru akan mulai mengobrol ketika terdengar suara tangis anak kecil dari lantai dua, Bayu meminta dirinya sebentar dan muncul kembali beberapa menit kemudian.

“Itu putriku. Dia sedang rewel sekali. Ayahku bilang itu karena jatuh wetonnya. Tadi pagi dia menangis persis kaya orang kesurupan, makanya aku gak ngantor dan ngajak dia jalan-jalan. Percuma, dia malah ngamuk dan bikin makin senewen di jalan.” Jelas Bayu. Ada nada geli pada suaranya saat menjelaskan kerepotannya hari ini.

“Ya. Pasti susdah mengasuh seorang puteri sendirian, ya?”

Mata Bayu mengerling mendengar pernyataan tamu tak dikenalnya, kerlingan itu pula yang menyadarkan Agung atas komentarnya yang terlalu jauh. Cepat-cepatdia mengusir mimik kaget dari wajahnya, dia toh tidakdatang kesitu untuk berpura-pura tak punya hubungan dengan kehidupan Bayu.

“Kita pasti saling mengenal.” Kata Bayu penuh keyakinan.

“Aku yakin kau tidak mengenalku. Kecuali kau punya mobil yang habis masa asuransinya atau punya rumah yang mau kau jual atau tanah sengketa yang mau kau bebaskan atau semacam itulah.”

Bayu tertawa, “Ajaib juga. Aku baru saja menyesal karena berhenti mengasuransikan mobilku seminggu sebelum orang yang tidak mungkin kutuntut melempar batu dan memecahkan kaca belakang. Aku juga baru menghubungi agen properti buat beli ruko yang akan kupakai untuk usaha rumah makan bersama adik ibuku. Jadi kau pengacara, agen asuransi atau properti?”

Agung membalas tawanya, “Sempit memang dunia ya? Aku kuliah di jurusan hukum. Pernah bekerja di kantor jasa asuransi dan masih terus memegang beberapa klien kesayanganku. Sekarang aku memimpin usaha properti kecil-kecilan. Tapi aku bukan datang untuk keduanya.”

“Kau berkunjung untuk Matahari Rahayu Putri? Atau Bundanya?”

Tertembak langsung, Agung tak bisa mengelak. Ia melempar senyum terkulum. Dikeluarkannya sekotak rokok dan meminta ijin untuk merokok, Bayu mengijinkannya.

“Aku pernah melihatmu di Excelso saat akan menemui Ati. Aku ingat penampilan ala insurance head consultant-mu. Jas perlente dan senyuman marketing.” Tandas Bayu.

Itu sinisme, batin Agung. Jelas sekali Bayu merasa Agunglah yang sedang berada di atas angin, karena itu Ia terbakar api cemburu dan mulai kehilangan kontrol terhadap diksinya.

“Aku juga bukan datang untuk keduanya. Apalagi untuk maksud yang kurang berkenan.”

“Apa Ati tau kau berkunjung?”

“Tentu saja. Kami mendiskusikan segalanya dengan terang-terangan.”

Susana agak menegang ketika keduanya mulai secara implisit berusaha menunjukkan siapa yang punya pengaruh lebih kuat satu sama lain.

“Lucu juga. Kalau kau mendiskusikan segalanya secara terang-terangan, tentunya kau bisa menanyakan alamatku pada Ati dan datang berkunjung pada jam-jam di mana orang bekerja sepertiku sudah berada di rumah, bukan? Bukannya repot-repot mengikutiku?”

“Kau bisa menelponnya.” Kata Agung, menggertak. Ia tahu Bayu tidak akan melakukannya. “Aku yakin kau masih punya nomornya, kan?”

Tentu saja Byu tidak menjawab gertakan Agung, dia sadar benar ini adalah urusan antar pria. Ditolaknya tawaran Agung untuk mengambil sebatang rokok dari kotaknya.

“Lalu?” Tanyanya, menunggu Agung selesai menyulut, “Apa yang bisa kulakukan untukmu?”

“Entahlah.” Jawab Agung, “Aku sendiri kurang paham maksudku kemari. Kau benar, aku cuma kebetulan melihatmu di tengah makan siangku, kemudian aku mengikutimu dan berpikir untuk berkunjung. Mungkin aku berpikir untuk menyelesaikan apa yang belum selesai antara dirimu dan calon pengantinku.”

Air muka Bayu berubah keruh.

“Aku tahu aku seharusnya tidak ikut campur...” Agung menghembuskan asap rokoknya.

“Kelihatannya kau sudah salah tangkap, Gung. Boleh kupanggil begitu?”

“Tentu saja. Apa saja.”

“Kau tidak perlu menyelesaikan apapun diantara aku dan calon pengantinmu. Aku juga tidak perlu menceritakan apa yang terjadi di antara kami tujuh tahun yang lalu, bukan, karena kalian berdua mendiskusikan segala sesuatu secara terang-terangan?”

Ini sinisme kedua, Agung menilai. Bayu sedang mencoba menunjukkan betapa dia lebih unggul dalam segi nostalgi dan bahwa dia bukan pribadi yang mudah diusir dengan kunjungan baik-baik sekalipun.

Namun Agung menenangkan hatinya sendiri, dia sudah memenangkan cinta Ati sampai detik ini. Persetan dengan masa lalu.

“Asal kau tahu, sebagai manusia yang sama-sama dewasa, kami sudah menyelesaikan entah apa yang kau maksud dengan ‘apa yang belum kami selesaikan’ itu. Sebaliknya, kami sudah membaliknya dengan lembaran baru. Tanpa muatan masa lalu.”

Kali ini air muka Agung yang berubah. Dia bisa menghadapi penyangkalan-penyangkalan Ati terhadap kehadirannya dengan mudah, tapi entah kenapa, kini dia merasa kehadiran Bayu bisa jadi ancaman baginya.

Tiba-tiba saja, seperti tengah berada di kerumunan orang asing dan mendadak entah darimana sekepal tinju mendarat di batang hidung, Agung kesulitan mengembalikan sikapnya yang sebelumnya berada di atas angin.

“Agak mengejutkan menerima kunjunganmu, sebenarnya, Gung. Seingatku Ati tak pernah menyebut-nyebut mengenai menikah dengan seseorang kecuali bahwa Bundanya tak pernah menyerah mengenalkannya dengan laki-laki yang salah...”

“Mungkin sebaiknya kau bertanya. “ Agung tak mau kalah, “Masa kau tak tahu? Dalam beberapa hari saja, aku bisa tahu karakternya yang pasif. Kau tak akan mendapatkan apapun kecuali kau bertanya lebih dulu. Terlebih lagi kelembutan hatinya yang tak pernah ingin menyakiti orang lain. Mungkin dia hanya tidak mau kau terluka.”

Ini sudah bukan kunjungan sehat antar pria, pikir keduanya. Ini lebih mirip dengan perdebatan antara dua orang wanita  yang sibuk memperebutkan cinta, tanpa tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh tropi yang sedang mereka perebutkan. Baik Agung maupun Bayu merasa mereka bukan wanita.

Untuk itu, sebelum baku hantam tak terhindarkan, Agung lebih dulu membelokkan inti permasalahan, “Jadi, apa kabar putrimu?”

Agaknya, Bayupun menyadari, betapa konyolnya duduk berhadap-hadapan saling menunjukkan taring seperti anak ingusan, “Anakku? Dia buta. Tapi dia baik-baik saja.” Katanya.

Agung tiba-tiba ingin sekali pamit.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top