IX. MATAHARI MATAHATI
Ketika Ati dan bundanya tenggelam dalam kesedihan yang tak terbendung, pintu kamar pengantin itu tiba-tiba saja menjeblak terbuka. Lebih mengejutkannya, Agung berdiri menggantikan daun pintu yang tertutup setelah drama pendobrakan tersebut.
“Agung.”
“Bayu memberiku izin untuk bicara berdua denganmu.”
Asmiranda bangkit dari duduknya, sebelum meninggalkan putrinya berdua saja dengan Agung, Ia mengecup dahi calon pengantin perempuan itu penuh kasih. Dibisikkannya, “Bunda cuma mau kamu bahagia, Ti. Bahagiakanlah dirimu, ya?”
Ati membalas pelukan bundanya.
“Gung.”
Agung tidak peduli pada kesopanan lagi. Begitu tertinggal hanya berdua, ia membenamkan kekasihnya dalam pelukan, meciuminya seolah pengantin itu miliknya. Ia tak peduli apa-apa lagi, bahkan pada riasan pengantin wanita yang kini berpindah dari wajah Ati ke wajahnya.
“Ikutlah denganku,” pintanya tegas, seperti memerintah. “Bayu sudah bilang aku boleh membawamu, kalau kau mau.”
“Bayu bilang begitu?” Ati ragu-ragu.
“Ya.”
“Putrinya?”
“Putrinya?” Agung mengulang tak mengerti.
“Ya, Aik,” jelas Ati. “Bayu melamarku sebagai ibu putrinya. Bagaimana dengannya?”
“Ada apa dengannya?” Agung makin kebingungan melihat kepanikan yang tiba-tiba di wajah kekasihnya, “Ada apa sebenarnya denganmu, Ti! Apa yang sebenarnya kamu inginkan?”
“Aku mau sekali bersamamu, Gung....”
“Ya, sudah. Ayo, pergi denganku.”
“Tapi, Bapak? Bunda?”
“Sudahlah. Ibumu sudah bilang, ‘kan? Dia merelakan kebahagiaanmu.” Agung mengecupi buku-buku jemari Ati dalam genggamannya. “Sekali saja dalam hidupmu, lakukanlah yang menurutmu benar.”
Tangan Ati perlahan membalas genggaman Agung. Bibirnya tetap membisu tanpa kata-kata, namun kilat di matanya menunjukkan keyakinan terhadap dirinya sendiri.
Agung tersenyum lebar sebelum merengkuh pergelangan tangan Ati dan membawa lari kekasih dalam balutan baju pengantin itu sampai hampir terbang. Mereka berlarian menuruni tangga dan berhenti menghadapi hamparan sanak-keluarga dalam busana resmi dan riasan wajah.
“Ti...,” Bapaknya maju selangkah, air mata membuat pipinya yang berkerut, basah.
Ati memeluknya dan terisak lagi, “Maafkan Ati, kalau kebahagiaan buat putri Bapak demikian mahalnya.”
“Kebahagiaanmu tak pernah mahal, Nduk.... Tak akan sebanding dengan apa pun,” jawab bapaknya, sebelum melepaskan bahu Ati dan memberikan jemari putrinya pada Agung.
Namun, Ati belum akan pergi sebelum menemui Bayu, yang saat itu berdiri kokoh dengan Matahari Sekar Ayu Putri dalam gendongannya.
“Aku....”
“Buatku... kamu adalah matahati yang paling berharga. Aku tahu aku sudah tidak berhak atasmu, sejak aku mulai menyentuh wanita lain. Sekhilaf apapun manusia, ada wanita-wanita yang tak seharusnya memaafkan sebuah khilaf. Wanita-wanita yang terlalu mulia. Aku hanya berharap Aik bisa merasakan matahati tersebut, jika sepasang mata tak bisa Ia miliki. Kebahagiaannya membuatku lupa atas kebahagiaan seorang wanita yang seharusnya lebih kudahulukan.”
“Yu...”
Agung mendekap bahu Ati sebagai tindakan preventif. Firasatnya mengenai Bayu terbukti sudah. Laki-laki itu bukan hanya memiliki masa lalu Ati, dia juga punya kebesaran hati yang bisa membuat posisinya terancam.
“Ayo!”
Agung membawa Ati bergegas ke arah halaman, di mana sebuah mobil yang biasa dikendarainya terparkir di luar.
Bayu Laksmana memeluk bahunya sendiri, tangis yang tak tumpah tujuh tahun lalu karena tertimbun perasaan malu dan bersalah, kini seperti membuka sumbatannya. Entah apa yang membuatnya menyanggupi permintaan ayah dan bunda Ati untuk mengambil Ati sebagai istrinya, padahal dia tahu benar hati Ati bukan lagi punyanya. Kenapa Ia sampai hati menguak kembali luka lama yang seharusnya bisa disembuhkan seiring dengan berjalannya waktu?
Kepalanya begitu penuh dengan kebahagiaan bagi Aik, putrinya. Ketika Ia kembali merasakan mata hatinya bersinar, Ia merasa tak perlu bertanya lebih jauh. Mata hatinya selalu ada pada Matahari Rahayu Putri.
Matahari yang tak pernah meninggalkan hatinya.
“Yu...,” Asmiranda muncul dari pintu di balik punggung Bayu, cepat-cepat pria itu menghapus air matanya.
“Aik sudah tidur?” katanya sambil buru-buru berdiri, “Biar saya angkat sekarang ke mobil.”
“Biarkan dia tidur di sini dulu,” jawab Asmiranda.
Ada desah napas lega terembus dari mulut Bayu, secara naluriah, dia kembali duduk.
“Maaf,” katanya terbata-bata. Air mata itu tak tersembunyikan, mengaliri rahang pria yang tampak mengurus hanya dalam semalam itu.
“Bukan kamu yang seharusnya minta maaf, Yu. Kami yang seharusnya meminta maaf kepadamu dan Ati. Setelah bertahun-tahun kami menolak kehadiranmu, kini kami menyeretmu kembali dan menyakiti hati kalian semua. Seandainya kami memahami arti dari melindungi bukanlah mencoba memahami dan memaksakan sebuah pengertian pada anak-anak. Seharusnya kami tidak memaksakan pikiran kami pada kalian. Yang perlu kami lakukan sesungguhnya hanyalah menerima apa yang mereka pilih. Padahal itupun kami sungguh paham, entah kenapa kami tetap membuat kesalahan seperti ini. ”
Bayu memeluk tubuh rapuh wanita di hadapannya, erat namun tak menyakiti. Menunjukkan betapa ia tak pernah menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi.
“Cinta itu begitu rapuhnya.” Ujar Bayu, “Ketika Ia begitu kuat dan meyakinkan bagi seseorang, dia bisa sangat lemah dan tak diinginkan bagi orang lain. Betapa hati itu tak ternavigasi, Bunda. Dia bukan di bawah kontrol siapapun. Bukan salah siapapun kalau semua ini terjadi.
Cinta dan naluri kita sebagai orang tua tidak akan berjalan beriringan selama hanya pemahamanlah yang kita paksakan. Harus selalu ada keikhlasan dan kepasrahan untuk segalanya. Selama itu terjaga, tidak akan ada yang merasa kalah atau mengalah. Sakit atau menyakiti.”
Bayu sedang mengurai pelukannya terhadap Asmirandah, tapi wanita itu seolah kaku dalam berdirinya. Bahkan, ketika kedua tangan Bayu yang mampu meraup seluruh tempurung bahunya mengguncang dengan cukup tenaga, ekspresi tegang di wajahnya tetap enggan lenyap.
Barulah Bayu sadar ada sesuatu yang tengah terjadi di balik punggungnya.
Ati berdiri tepat di pintu masuk ruang tengah, mengejutkan Bayu sama dahsyatnya dengan Asmirandah. Perempuan itu masih mengenakan kebaya Solo, meski sudah tampak berantakan tak menentu. Rambutnya masih tersanggul, bunga-bunga yang menghiasi kepalanya yang semula cantik teratur kini telah menjelma semacam kotoran berwarna-warni yang tak sengaja menempel di sana. Riasan wajahnya sudah terhapus oleh air mata.
Bayu mendekatinya.
Dalam langkah ketiga, mereka seperti sudah menyusunnya seperti sebuah skenario, saling menghampiri dan memeluk.
“Kenapa kembali?”
“Tak ada yang pernah menyebutku matahati sepertimu baru saja. Tidak juga kau yang dulu.”
“Hanya karena itu kamu kembali?”
“Aku tidak tahu sisanya.”
“Ti... Ini bukan sesuatu yang bisa kau ubah-ubah sesukamu. Bukan lagi pernikahan yang bisa kamu tinggal seperti tadi pagi.”
“Aku tahu.”
“Aku membutuhkan alasan yang lebih dari sekedar karena aku satu-satunya orang yang menyebutmu ‘matahati’ku!”
“Kalau aku bisa melupakan kesalahanmu yang begitu menyakitkan dengan mencintai Agung, aku ingin mencintaimu sekali lagi. Aku tidak ingin hidup dengan sisa dari masa laluku dengan meninggalkannya bersama orang lain. Aku ingin meninggalkannya bersamamu.”
Bayu tak kuasa menahan luapan emosinya. Ia lupa dekapannya bisa meremukkan tulang-tulang wanita sekecil Ati. Atipun seperti lupa pada rasa sakit yang mendesak tubuhnya.
“Aku sudah terlalu lama berdiri di jendela, Yu. Menunggu-nunggu seseorang datang mengajakku jalan-jalan keluar pagar, tapi aku selalu takut jika mereka tidak bisa memberiku kenyamanan seperti saat aku bersamamu.”
Bayu memberinya ciuman.
Memastikan kalau hanya kenyamanan yang dicarinya, maka kenyamananlah yang akan dia berikan.
-kincirmainan-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top