II. AGUNG SURYA LAKSANA
Excelso terletak pada diameter lantai dua sebuah mall yang ramai dengan pengunjung. Lokasinya yang berada tepat di mulut TIMEZONE game centre membuat duduk di sana, dalam space konternya yang terbuka, seperti menjadi orang asing dalam kerumunan massa.
Ati membalas senyuman seorang pria yang duduk diseberangnya. Dia tidak mengenal pria itu sama sekali. Tapi seperti pria-pria lain yang melihatnya dan memutuskan untuk dengan sopan mengangguk dan melemparkan senyuman, Ati akan menyambut ramah segala maksud baik.
Pria itu berpakaian rapi. Dasi berwarna terang dengan penjepit berkilau keperakan, yang serasi dengan warna kemeja pilihannya, terjalin indah di bawah dagunya yang bersih dan tampak segar. Ati bisa menerka dalam sekali lihat kalau pakaian yang dikenakan pria itu bukan hanya rapi, tapi juga mahal. Sementara dari cara mata dan senyumnya menyapa yang tenang dan sopan menunjukkan kedudukan sosial yang bukan sembarangan.
Dada Ati berdegup tak beraturan ketika pria tersebut berdiri dan mendekati mejanya. Dia pura-pura menbuang pandangan ke arah lain dan kebetulan mendapatkan seseorang yang telah Ia tunggu-tunggu tengah berjalan ke arahnya. Matahari mengembalikan pandangannya lurus ke depan dengan anggun sebelum menoleh kepada pria yang mendekatinya.
“Sendiri?” Pria itu bertanya. Posisinya setengah membungkuk tepat di hadapan Ati.
Sesopan mungkin Ati menggeleng, “Sebenarnya tidak. Saya menunggu suami. Ah! Itu dia.” Katanya.
Bayu tiba. Hari ini dia mengenakan Polo shirt Lacoste berwarna biru navy dan denim senada. Mulutnya mengembangkan senyumanlebar meskipun Ati bisa menangkap rasa heran di matanya karena menemukan seorang pria tak dikenal berdiri tak seberapa jauh darinya.
“Maaf. Saya harap saya tidak mengganggu sedikitpu.” Ujar pria tadi sebelum mengundurkan diri. Ia mengulurkan tangannya di depan wajah Ati sebelum Bayu mencapai meja mereka, “Agung.” Katanya memperkenalkan diri.
“Matahari.” Ati tidak punya alasan untuk menolak sebuah perkenalan yang sopan.
Pria itu tampak terkesiap. Tiba-tiba seperti ada ratusan bahan pembicaraan yang harus Ia bahas bersama perempuan cantik itu berkenaan dengan namanya. Tapi, sayang, Bayu sudah lebih dulu berdiri diantara mereka dan membuat pria itu merasa dia tidak seharusnya berdiri di sana.
“Kalau begitu lain kali saja.” Ujar pria itu masih dengan sopan, dijabatnya tangan Ati akrab. Semacam jabat tangan kawan lama. Dia tidak tahu bahwa Bayu adalah masa lalu Ati, lebih dari siapapun.
Agung mengundurkan diri setelah sebelumnya tersenyum pada Bayu. Tapi, sebenarnya, matanya tak pernah lepas dari mengawasi perempuan yang menyebut dirinya Matahari.
Ati mengalihkan senyumannya pada Bayu, meski Iapun tak bisa memungkiri pesona yang ditawarkan pria bernama Agung. Pesona itu lumayan menyita perhatiannya. Ati agak menyesal karena sudah berbohong, orang seperti Agung tidak mudah dihindari. Ia begitu yakin akan kembali bertemu dengannya. Jika saat itu tiba, apa yang harus dikatakannya untuk meluruskan kebodohan ini? Ati menyimpan kegelian dalam hatinya, laki-laki itu pastilah curiga. Mana ada suami istri secanggung Ia dan Bayu?
Bayu kelihatan bahagia. Warna mukanya bersinar-sinar jika bahagia. Ati bisa membacanya tanpa harus diberitahu.
Tadi, begitu pria itu tersenyum dan mengundurkan diri, Bayu bahkan tak menanyakan apapun tentang kehadirannya. Padahal Ati sudah menyiapkan satu atau dua jawaban.
“Aku excited banget ketemu kamu hari ini.” Katanya meletup-letup.
Ati mengerutkan keningnya sambil tersenyum menerka-nerka. Memang sebaiknya ada hal yang menarik mengingat bagaimana perjuangannya memenuhi undangan Bayu siang ini.
Ibundanya langsung berusaha memperlihatkan taringnya begitu mendengar rencana Ati menemui Bayu. Mendengar nama yang sama diucapkan dirumah itu saja sudah membuat darahnya mendidih, apalagi ketika nama tersebut merujuk pada orang yang sama. Orang yang mencerai beraikan keluarganya. Pemuda bermoral rendahan yang telah berkhianat.
“Lagipula buat apa sih, Ti?” Bisik Bintang, Mas-nya, sewaktu Bunda mengancam tidak akan memaafkan seorangpun yang membawa pria itu, yang enggan Ia sebutkan namanya, kembali ke dalam topik pembicaraan di rumah.
Ati menggerakkan bahunya menanggapi pertanyaan Bintang.
“Aku paham kamu mungkin Cuma berusaha bersikap dewasa saja.” Masih kata Bintang, tetap dengan suara pelan, “Cuma, Mas kasihan lihat Bunda begitu.”
“Mestinya tadi gak usah bilang ya, Mas?” Tanya Ati retoris.
Mas Bintangnya mendengus.
Bunda keluar dari dapur dengan sepiring penuh dengan kue mangkuk yang merekah, berkilau kecoklatan dan masih mengepulkan uap hangat. Ati dan Bintang segera menutup kembali mulut mereka.
“Bunda enggak setuju kalau kamu balikan lagi sama Bayu!” Tembak Bunda ketus, “Laki-laki seperti Bayu tidak akan mungkin berubah. Kamu hanya akan dijadikan pelampiasan.” Katanya emosional.
“Sudah...” Kata Ati. Tidak ingin mendengar lebih banyak komentar Bundanya yang hanya berdasarkan pada emosi tanpa pertimbangan akal sehat, “Bunda tenang saja. Aku bukan perempuan bodoh yang mau berbagi lelaki dengan adik perempuanku sendiri. Lebih baik aku gak kawin kalau laki-laki di dunia ini tinggal Bayu seorang!”
“Ti...” Bintang menyahut, tidak senang mendengar adiknya berkata begitu.
Bahkan Bapak juga ikut memperingatkannya.
“Aku akan tetap menemui Bayu karena aku nggak menemukan alasan untuk menolak maksud baiknya. Sekalian ingin mendengar mengenai Sofie.” Ati memutuskan. Setelah yakin tak seorangpun mendebatnya, Ia mengundurkan diri dari ruang makan keluarga dan berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.
Di ruangan yang ditinggalkan Ati, Bintang menatap kedua orangtuanya secara bergantian sebelum bertanya seperti orang linglung, “Bunda gak bilang sama Ati soal dek Sofie?”
Bayu melongok ke arah Baskin Robins yang terletak tepat di seberang pintu masuk Excelso. Tangannya terangkat tinggi dan Ia membuat gerakan melambai. Ati mengikuti arah lambaiannya. Hanya ada seorang perempuan berkulit cokelat nyaris hitam dalam pakaian suster, tangannya menjinjing ransel berwarna pink dengan printing princess barbie. Dari penampilannya yang jauh dari kesan rapi dan ransel seukuran anak 7-10 tahun di bahunya, Ati menerka-nerka siapa anak yang berada dalam gandengannya. Seorang gadis mungil menyambut uluran tangan susternya, gadis kecil itu putih bersih, demikian kontras dengan pengasuhnya.
Kenapa Bayu tidak datang bersama Sofie? Ati bertanya-tanya dalam hati.
Ati, tentu saja, tidak merasa kesulitan memprediksi siapa gadis kecil dalam gandengan perempuan yang jelas bukan Ibunya itu. Saat mereka mengakui hubungan gelap yang terjalin di belakang Ati, Sofie sudah dalam keadaan hamil. Kalau saat itu dia melahirkan dengan lancar, gadis itu kemungkinan besar putri Sofie dan adalah keponakannya.
Gadis itu sangat mirip Sofie, adik angkatnya, terutama pada bagian bibirnya yang merah, mungil namun penuh. Di situlah benang merah dari segalanya, batin Ati. Senyuman itu tidak dihasilkan dari perempuan lain selain Sofie. Tipis, tulus, dan lembut.
“Ini putriku dan Sofie.”Bayu memeluk tubuh gadis mungil itu dalam dekapannya. Setelah mengecup pipi putrinya, dia beraling pandang pada Ati.
Wanita yang dipandang itu tersenyum, “Cantik sekali.” Ia menambahkan. Sayang anak itu tampaknya tidak terlalu menyukai Ati, gadis itu terus memandang ke arah lain selain padanya. Pandangannya lurus terus ke depan. Seperti enggan memutar kepalanya barang sedikit ke arah Ati yang duduk di hadapan Ayahnya.
“Apa dia sedang marah?” Bisik Ati pada Bayu.
Selintas, dilihatnya gadis itu memiringkan kepalanya, seperti seeokor kucing yang sedang berusaha menangkap sebuah suara.
“Tidak.”Bayu menggeleng, “Kau enggak lagi marah, kan, sayang? Tanyanya pada gadis kecilnya.
Gadis itu menggeleng dan tersenyum geli karena merasakan daun telinganya ditiup. Ketika refleks dirinya mencoba menghindar, Bayu makin mempererat pelukannya. Seketika Ati bernapas lega melihat reaksi alamiah si gadis kecil, sudah merupakan hal biasa jika seorang anak tidak bisa langsung akrab dengan orang yang baru dijumpainya. Meski orang itu masih kerabat dekat.
“Aik. Ayo kasih salam ke Tante Ati.” Ayahnya memerintah.
Gadis itu mengangguk patuh, Ia mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya dengan lancar, “Matahari Sekar Ayu Putri.”
Tiba-tiba saja gelombang pengertian menyerang Ati. Sayang, pengetahuan itu justru menyekat tenggorokannya, tak ada satu katapun yang bisa lolos dari kerongkongannya.
Gadis kecil dalam pelukan Bayu itu masih tetap menjulurkan tangan. Uluran tangannya bukannya ke arah Ati, melainkan ke arah lain. Setelah beberapa detik tak ada sambutan terhadap uluran tangannya, barulah dia mengerling kesamping.
Sambil tertawa dia berkata, “Oh. Tante disitu ya? Papah suka gitu deh gak bilang-bilang.” Protesnya.
Bayu tersenyum hangat, seolah Ia sengaja supaya Ati memahami dengan sendirinya. Dia mengangguk lembut pada Ati, seolah membenarkan.
“Maaf ya, tan...” Bisik gadis kecil itu.
Seperti tidak melewati perintah ke otak, sistem motorik tubuhnya memberikan reaksi spontan terhadap pernyataan Aik, Ati tak kuasa menahan pelukan dan ciumannya. Bayu terpaksa menarik tubuhnya ke belakang karena tangan-tangan Ati menjulur ke pangkuannya untuk meraih tubuh matahari kecil. Aroma parfum Ati yang menyebar dari belakang telinga dan lehernya sehingga tercium kuat oleh indera penciuman Bayu membuat pria itu menyadari kedekatan posisi mereka saat itu.
“Namanya kenapa Matahari?” Ati kembali mengingat sederet nama yang sebagian adalah namanya pula. Sesaat tadi, kedekatan nama itu dengan namanya memang tidak terlalu menyedot perhatian dibanding dengan kebutaan Matahari kecil.
“Sofie yang memberinya nama...”Mata Bayu menerawang, seolah menembus adegan Aik sedang bermain bersama pengasuhnya, yang sedang diawasinya di game centre di seberang.
Ati menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Baru Ia sadar bahwa dari sudut yang lain, dia bisa mengawasi gerak-gerik seluruh pengunjung yang memenuhi area kanan game centre. Aik hanya bisa bermain di tempat-tempat dimana pengawas diperkenankan ikut memasuki arena.
“Kenapa Matahari? Kenapa sama denganku, Yu?” tanyanya lagi. Jawaban Bayu sebelumnya kurang memuaskan rasa ingin tahunya.
“Bukankah Aik memang seperti bunga matahari? Kalau kau seperti matahari itu sendiri, Aik memang seperti bunga matahari. Dia yang tak bisa melihat hanya bisa mengikuti kemana sensor terbesar baginya ada dan tidak ada. Sofie sudah memikirkannya dengan baik.” Bayu menjelaskan.
“Apa dia begitu sejak lahir?” Ati merasa perlu berhati-hati ketika menanyakan hal ini. Mengingat latar belakang hubungannya dan pasangan itu yak tidak begitu menyenangkan, menanyakan perihal genetis sangat mungkin menimbulkan kesalah pahaman yang krusial.
“Aik panas tinggi dua hari setelah lahir. Setelah reda, entahbagaimana, retina matanya tak bereaksi terhadap sensor cahaya. Dia buta.”
Ati, yang tidak menemukan kalimat tepat untuk reaksi yang relevan, membiarkan saja musik yang diputar di mall menghentak mengisi ruangan kosong yang terbangun tanpa dialog di antara mereka.
“Apakah kau tidak pernah mendengar nama Aik disebut di rumahmua? Bahkan hanya sekali?” Bayu bertanya.
Sesungguhnya tak sekalipun pernah. Ati pernah menyesal dengan keputusannya meninggalkan Semarang tujuh tahun yang lalu. Kalau saja dia tahu kepergiannya itu justru menimbulkan luka dan kebencian yang semakin dalam yang tak pernah terkikis dari benak Ibundanya, dia pasti akan lebih memilih untuk tinggal.
Dia sudah meyakinkan Bunda ribuan kali kalau kepergiannya bukan karena luka yang terlalu sakit untuk tetap tinggal. Tapi, anggapan seorang Bunda yang tak bisa merelakan pengkhianatan terhadap putrinya, seperti tak mungkin diubah. Akibatnya, kepergian Ati dan ketidakharmonisan hubungan mereka kemudian, mempertebal kebencian Bunda terhadap Sofie dan Bayu.
“Bunda tidak perlu bersikap begitu pada Sofie. Harusnya Bunda bersyukur karena aku masih disayang sama Allah. Kalau tidak, semua ini akan kita ketahui setelah aku dan Bayu menikah. Apa jadinya nanti? Aku tidak mau menikah dengan laki-laki seperti Bayu.” Ati masih ingat kalimat bujukannya setiap kali mereka berbincang-bincang di telpon.
“Kalau kamu punya anak nantinya seperti Bunda sekarang, kamu akan tahu rasanya. Dan kamu tidak akan sanggup berkata seperti ini kepada Bunda kalau kamu tahu rasanya, Ti. Bunda sakit hati. Sakit hati.”
Meski rasa cinta Bunda bisa dimengerti, tapi kenapa justru Bunda yang demikian merasa dicabik-cabik? Bukan berarti Ati melenggang dengan tenang, dibanding terhadap Sofie atau Bayu, rasa sakitnya lebih pada perasaan terkalahkan sebagai sesama perempuan. Ati lebih merasa terluka karena gagal.
Pergi jauh dirasa mampu mengobati perasaan itu. Meski kepergiannya meninggalkan interpretasi yang semakin meresahkan Bundanya dan perasaan bersalah yang semakin dalam kepada sofie, seperti mentransformasikan luka itu sendiri, Ati justru sembuh lebih cepat dari dugaannya.
“Sofie begitu tersiksa. Dia sangat ingin dimaafkan.” Ujar Bayu.
Ati seperti terantuk pada kenyataan. Lamunannya buyar.
“Bunda menyiksanya terlampau berat.” Bayu menatapnya, “Padahal semua ini salahku, bukan dia.”
“Terlepas dari kesalahan siapakah ini dan itu.” Ati terdiam, memilah-milah kata, “Bundaku hanya mengikuti insting keibuannya. Bunda mencoba melindungi. Sesuatu yang begitu mudah kupahami.”
Bayu tau itu benar sekali.
“Tapi Ti... Apakah kau pernah sekali saja memaafkan Sofie?”
Ati tersenyum, “Aku memaafkan kalian, tentu saja. Justru sebaliknya, apakah kalian pernah memaafkan aku karena telah membuat kehidupan kalian berdua tidak nyaman?”
Ekspresi Bayu sangat rumit untuk disusun menjadi kalimat. Ia merasa secara telak tertohok, laki-laki itu dengan jujur mengakuinya, “Kau menyindirku. Bertemu denganmu di stasiun kemarin saja aku seperti menyadari kalau Tuhan belum melupakan aku. Akhirnya aku diberi kesempatan untuk meminta maaf secara langsung, sekali lagi. Meski berkali-kalipun tak akan cukup.”
“Kalau begitu selama ini kita sudah salah paham, Yu.” Ati kembali tulus tersenyum, “Ternyata kita telah sama-sama memaafkan.”
Senyum Bayu mengembang kini. Ati memang bukan perempuan biasa. Perempuan-perempuan luar biasa sepertinya, memang jelas tidak diperuntukkan bagi laki-laki yang mudah terbawa hawa nafsu.
Matahari kecil bersorak riang ketika lemparan bola basket, yang sebenarnya dilempar oleh pengasuhnya, masuk dan membuatnya dihadiahi sebuah boneka anjing kecil berbulu merah muda.
Ati yang secara spontan bertepuk tangan ternyata bereaksi hampir bersamaan dengan Bayu yang tengah bersorak sama senangnya. Keseragaman yang tidak disengaja itu membuat mereka berdua menangkap getaran yang canggung antara satu sama lain pada detik selanjutnya. Namun ketika tatapan mereka bertemu, Ati mengalihkannya lebih dulu sebelum Bayu.
“Sofie senang sekali ke game centre.” Bayu bersikap normal kembali, berusaha menghapus ketidaknyamanan yang terjadi dengan mengangkat topik mengenai Sofie ke permukaan, “Tempat ini mengingatkannya padamu,” katanya.
Ati tertawa. Mereka bertiga bersama Bintang, memang beberapa kali membolos dari les atau acara keluarga dan bersenang-senang di game centre saat remaja.
“Sofie bilang, kau seperti penghibur. Kau pengalah. Memberikan semua padanya walaupun kau juga menginginkan hal yang sama. Boneka, kue, jatah tidur di ketiak Bunda, bahkan... cintanya...” Kalimat Bayu terpotong.
Ketika tidak ada tanggapan atau ekspresi lain yang tersirat di wajah Ati selain keantusiasan lawan bicaranya itu untuk mendengarkan lebih banyak, Bayu melanjutkan, “Kata-katanya selanjutnya ketika Ia mencoba menggambarkanmu adalah ‘game centre’. Bedanya, dia tidak perlu memasukkan koin ke salah satu bagian tubuhmu.”
Ati tak kuasa menahan tawa pada bagian terakhir cerita Bayu.
“Bahkan pada saat-saat terakhirnyapun, dia sangat ingin bertemu denganmu, ti. Dia ingin mendengar dirinya dimaafkan. Dia sangat menyayangimu. Sofie tidak pantas dipersalahkan atas apapun, aku yang menjadikan semua ini begini adanya.”
Raut muka Ati berubah. Darah seperti meninggalkan kepalanya. Wajahnya yang putih dan merona dibagian pipi itu mendadak pucat pasi. Ada kepingan puzzle yang hilang ternyata. Kepingan yang sedari tadi menjadi tanda tanya besar dalam benaknya dan tiba-tiba saja Ia sadari.
Keterlaluan Bunda.
“Ati? Sudah pulang?”
Saat memasuki halaman rumah yang luas dan hijau, sederet mobil mewah yang terparkir di atas rerumputan tebal menggoyahkan hati Ati. Pikiran bahwa Bundanya tengah merancang sesuatu di belakangnya seperti yang selama ini Ia khawatirkan setiap kali pulang kerumah segera berkelebat memusingkan.
Seperti seorang paranoid yang mengkhawatirkan anak gadisnya akan mati dalam keadaan perawan, Bundanya tidak pernah patah semangat untuk mendaftar dan mengundang pria-pria muda dan mapan untuk diperkenalkan kepada putrinya.
Dua puluh sembilan tahun bukan usia tua untuj para lajang metropolis yang berkarier bagus seperti Ati. Pekerjaannya yang menyita waktu dan perhatian membuat pilihan menikah menjadi tidak demikian mendesak. Terlebih lagi, Ati merasa belum bisa menemukan seseorang yang bisa diajaknya berkompromi mengenai banyak hal, terutama masa lalu.
Sementara untuk wanita enam puluh tahun, tak ada hal lain lagi yang tersisa untuk dilakukan oleh seorang wanita berusia dua puluh sembilan, apalagi putrinya sendiri, kecuali menikah.
“Bunda aku mau bicara.” Kata Ati dingin.
Sekilas tadi, ketika Ia melirik, sebuah keluarga lengkap tengah duduk dengan senyuman lebar menghiasi wajah mereka saat menghadapi Bundanya yang antusias dan Ayahnya yang tenang tersenyum simpul. Terlalu sering mengatasi situasi semacam itu, Ati tidak berusaha menciptakan reaksi apa-apa. Dia hanya masuk dan berbicara tanpa koma.
Tapi memang Ibundanya pesandiwara kawakan. Berpura-pura tak bisa menemukan kebekuan dalam suara putrinya, dia tertawa renyah, “Matahari... Ayo Bunda kenalkan dulu sama keluarga Laksana ini...”
“Bunda.” Potong Ati gusar. Pertanyaannya kali ini jauh lebih penting dibanding bersikap hormat di depan siapapun. Namun, mengingat Ati bukanlah perempuan yang tak mengenal sopan santun, Ia beralih ke tamu-tamu bundanya untuk memintakan Bundanya waktu undur diri sebentar, “Maaf sebentar ya Tante, Om,”
Pasangan seusia orangtuanya tersebuttampak pengertian ketika mengangguk.
“Jadi ini Matahari itu?”
Ati terperangah mendengar sebuah pernyataan yang terdengar menyedot seluruh perhatian di ruangan tersebut. Refleks, Ia segera mencari dari mana suara lantang yang menyuarakannya itu berasal.
“Halo.” Sapa seorang pemuda yang duduk disamping Ayah Ati. Kakinya yang panjang berbalut celana hitam Armani, menyilang menumpuki kakinya yang lain dengan pongah.
Penjepit dasi berkilau keperakan dan dagu bersih-segar membuyarkan konsentrasi Ati yang sedang mencoba mengintimidasi sang penguasa absolut rumah itu supaya mengikuti kehendaknya.
“Apa yang dilakukannya disini?” Gumam Ati tak terdengar orang lain. Ia mulai menggigit bibir bawahnya. Kebiasaan yang tak pernah hilang jika Ia mulai dilanda kecemasan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top