14¤ Pertarungan Sengit
I walk slowly, but I never walk backward
✏️✏️
Banyak hal memang harus kita ikhlaskan untuk bisa menetap masa depan yang penuh dengan harapan. Tidak ada seorangpun yang ingin mengulang kesalahan yang sama di masa depan.
Perihal sakit hati, Hafida sudah melupakannya. Eh salah, Hafida memang benar benar lupa karena penyakitnya. Tidak ada untungnya juga mengingat masa kelamnya dengan Yudha Panji Asmoro. Hanya akan menambah goresan luka di hatinya.
Terpenting dan paling utama adalah bagaimana sekarang dia memerankan peran barunya secara apik sebagai seorang istri dan juga ibu baru untuk 2 batita miliknya.
Tuhan mengirimkan seorang Amour kini untuk melengkapkan kehidupannya.
Rasa khawatir? Tentu saja masih membayangi hati Hafida. Sikap brutal Yudha membuatnya semakin was was, terinfo dari bu Yulianti jika beberapa kali kalau Yudha mendatangi panti asuhan untuk mencarinya.
Sesungguhnya bukan suatu hal yang sulit bagi Yudha untuk mendapatkan alamat rumah dr. Amour. Dia cukup bertanya ke informasi di rumah sakit tempat Amour bekerja tentu semua akan dengan jelas memberitahunya. Namun seolah ada motif tersembunyi mengapa dia lebih memilih untuk menghubungi bu Yulianti? Sementara Yudha telah mengetahui bahwa Hafida telah menikah dengan Amour.
"Mas kok aku jadi takut ya?" kata Hafida sesaat sebelum mereka mengistirahatkan diri setelah lelah seharian beraktivitas.
"Masalah apa?"
"Itu loh mengenai cerita bu Yuli, mengapa mas Yudha masih mencariku ke sana." Hafida mencoba mengingatkan kembali cerita sebelumnya pada Amour.
"Sudah nggak usah dipikirkan. Intinya dia ingin menemuimu ketika tidak bersamaku. Jadi mulai sekarang sebaiknya tidak usah keluar rumah sendirian kalau memang masih bisa di tunda. Belanja bulanan nanti aku yang akan antar, belanja sayurnya biar si mbok saja." Putus Amour.
Tidak ada yang bisa dilakukan lebih. Menghindari orang gila lebih membuat kita terhormat daripada kita ikut ikutan gila dengan menyerangnya balik.
Amour sudah mendiskusikannya dengan seorang teman yang paham benar bagaimana hukum hukum yang berlaku tentang hak asuh anak serta hak perwaliannya.
Kama memang terlahir ketika Hafida dan juga Yudha telah bercerai. Namun itu tidak bisa menghilangkan ayahnya sebagai nasab yang akan selalu dibawa hingga hari pertanggungjawaban kelak.
Biarkanlah untuk sementara waktu hingga sejauh apa Yudha akan melakukan niatnya.
Pagi ini Amour berangkat sangat pagi. Bahkan sebelum Hafida siap dengan sarapannya dia sudah berangkat terlebih dahulu. Jadwal operasi yang sedianya akan dilakukan jam 08.00 dimajukan oleh pihak rumah sakit menjadi pukul 05.30 karena kondisi pasien memang meminta untuk dilakukan tindakan dengan segera.
"Nanti aku makan di rumah sakit saja, Sayang. Kamu jagain anak anak di rumah." Amour memang sangat terburu-buru. Seusai sholat subuh dia langsung mempersiapkan diri sementara Hafida menyiapkan pakaian dinas yang akan dipakainya.
"Mas, diminum susunya dulu."
Sesungguhnya Amour bukan orang yang harus dengan menu lengkap untuk sarapan. Cukup segelas susu dan juga sandwich sudah cukup baginya untuk mengganjal perut yang memang harus diisi dengan makanan.
Hafida mengantarkan sampai ke carport rumah mereka dengan segelas kosong bekas susu yang telah tandas diminum oleh Amour sebelumnya di tangan kanannya. Sepertinya memang sang suami sungguh diburu oleh waktu.
Selepas memandikan Kinnar dan juga Kama, Hafid memilih untuk berkutat dengan pekerjaannya di dapur. Rasanya dengan membuatkan makan siang yang sedikit istimewa akan bisa menebus salahnya karena pagi tidak bisa menyiapkan sarapan suaminya secara sempurna.
Sebuah menu istimewa yang tentunya menjadi makanan favorit Amour. Lahir, tumbuh dan besar di Jogja pasti tidak akan jauh jauh dari masakan legit khas kota wisata ini.
Setelah menyelesaikan tugasnya dan menidurkan Kinnar dan Kama, Hafida berniat untuk mengeluarkan mobil dari garasi rumahnya. Mengantarkan makan siang untuk Amour. Hafida ingin mengantarkannya sendiri dan memberikan surprise untuk Amour.
"Maaf Bu Hafid tadi bapak pesan, kalau ibu mau pergi kemana-mana harus diantar sopir." Kata mbok Pinah yang diminta Hafida untuk membuka gerbang pagar rumahnya.
"Iya Mbok, nggak papa. Aku sudah lama nggak setir sendiri pengen nyoba masih lihai nggak di jalan." Jawab Hafida.
"Ibu yakin?" tanya mbok Pinah dengan penuh kekhawatiran.
"Nitip anak-anak sebentar ya Mbok. Aku cuma antar makan siang mas Amour saja setelah itu langsung balik." Pesan Hafid sesaat sebelum dia melajukan mobilnya untuk memecah jalanan Yogyakarta.
Memang tidak perlu lama, cukup seperempat jam menuju ke rumah sakit jika jalanan sedang bersahabat dan tidak macet.
Hafida memarkirkan mobilnya di tempat parkir karyawan. Sambil menenteng rantang tupperware dia berjalan menuju ke ruangan Amour.
"Semoga operasi sudah selesai dan sedang beristirahat." Ucap Hafida lirih sambil melangkah pelan.
Beberapa paramedis yang mengenal Hafida menyapanya dengan ramah. Memang Hafida cukup terkenal, sebelum menjadi Ny. Amour dia sudah bekerja di tempat yang sama. Jadi bukan pemandangan yang asing lagi untuk semuanya.
"Mau ketemu dokter Amour, Mbak Hafid?" asisten Amour menyapa Hafida yang sedang tersenyum ke arahnya.
"Iya, bapak ada?"
"Ada, baru saja menyelesaikan operasi mungkin masih bersiap ganti pakaian di dalam."
"Aku langsung masuk ya?" Yang namanya istri apa pun itu pasti akan punya tiket khusus untuk keluar dan masuk ruang kerja suaminya. Asal bukan ruang steril untuk pasien saja pasti akan diizinkan.
"Loh Sayang?" Amour tentu saja terkejut melihat Hafida duduk di kursi yang ada di depan kursinya.
"Mas? Sudah selesai ganti pakaiannya? Ini sengaja Hafid bawakan makan siang. Maaf tadi pagi nggak sarapan." Hafida mulai membuka rantang yang dia bawa dari rumah.
Tentu saja Amour menyambutnya dengan rasa bahagia. Diperhatikan seorang istri, siapa yang akan menolaknya.
"Terima kasih, tapi lain kali nggak usah seperti ini. Kan di kantin juga ada makan siang sayang. Lagian memang tadi jadwalnya juga dadakan. Anak-anak bagaimana?" tanya Amour sembari menyantap makan siangnya setelah mencuci kedua tangan di wastafel.
"Anak anak sama Asih dan juga mbok Pinah lah di rumah. Sekarang Ibun lagi mau urus si papa yang belum sempat santap sarapannya di rumah." Jawab Hafida sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulut Amour.
Bahagia itu ternyata tidak harus dengan barang yang mahal. Hanya makan berdua dengan masakan dari olahan tangan sang istri sudah membuat poros dunianya berubah. Amour memang benar benar merasakan damainya hati berduaan bersama istri tersayang.
"Beda memang ya kalau makan sendiri sama disuapi itu. Ak lagi dong sama lauknya itu." Tunjuk Amour yang mulai pasrah dan menikmati disuapi oleh Hafida.
Tiba-tiba pintu di ruangannya di buka oleh seseorang.
"Ups, ayah salah jam berkunjung ini ya? Ya sudah deh dilanjutin dulu. Setelah makan siang temui ayah di ruangan, Mour." Kata Rahmat yang masuk dan akhirnya memutuskan untuk balik kanan setelah melihat sang putra sedang menikmati waktu istirahatnya besama Hafida.
Bukan masalah yang serius hanya saja rasa malu dari raut muka Hafida tidak bisa disembunyikan lagi.
Sambil malu-malu Hafida akhirnya menutup rantangnya yang sudah kosong. Dan segera pamit kepada Amour untuk pulang ke rumah. Sepertinya sang suami dibutuhkan segera oleh ayah mertuanya.
"Hati-hati pulangnya, tadi diantar kan ke sininya?" tanya Amour lagi.
"Tadi setir sendiri Mas, kangen sudah lama nggak bawa mobil. Masih ingat atau sudah lupa." Tentu saja Amour kaget mendengar jawaban Hafida. Bagaimana mungkin dia melupakan ketakutan yang semalam dia ungkapkan sendiri tapi sekarang dengan santainya keluar rumah sendirian.
"Ya sudah, hati-hati. Jangan matikan HPnya. Kalau ada apa-apa segera telpon aku." Hafida segera kembali ke rumah setelah urusannya bersama Amour telah selesai.
Seperti sebelumnya, dia mengemudikan mobilnya sendiri. Sambil mendengarkan radio yang menguar di audio mobil yang dikendarainya, Hafida melesatkan mobil dengan pelan.
Hingga melewati Bakpia Kurniasari yang ada di Ringroad Utara masih juga lancar. Namun sesaat kemudian ada mobil yang menyalipnya cepat dan memotong jalan di depannya. Sehingga dia harus menekan rem secara mendadak untuk menghentikan mobilnya.
Sesosok tubuh yang akhir-akhir ini menghantui Hafida benar-benar menemuinya. Ya, sang mantan suami Yudha Panji Asmoro. Dengan tangannya dia mengetuk pintu di sebelah kiri meminta Hafida untuk membukanya.
Panik dan ketakutan yang dirasakan oleh Hafida membuatnya segera mengirimkan real locationnya kepada Amour.
Tahu kalau Hafida tidak mau membukakan pintu mobilnya, Yudha segera bergerak menuju pintu di samping Hafida. Dengan tenaga kasarnya dia menggebrak pintu disamping Hafida.
Hafida masih juga ketakutan. Namun sekali lagi dia harus berani melawan mantan suaminya yang gila itu.
"Hafida buka atau aku pecahin kacanya!" Suara Yudha semakin menggelegar di udara.
Hampir 10 menit Hafida memilih untuk diam di dalam mobil namun lama lama dia berpikir. Jika tidak dihadapi pasti Yudha akan lebih berbuat nekat kepadanya. Akhirnya Hafida mengalah, membukakan pintu untuk Yudha supaya bisa masuk ke dalam mobilnya.
"Mengapa kamu harus menghindariku? Aku pengen ketemu anakku."
Rasanya ingin menyobek muka Yudha saat itu juga tapi Hafida masih bisa menahan emosinya. Dia masih diam mendengarkan Yudha berbicara.
"Kama itu hakku. Serahkan dia kepadaku atau hidup kalian tidak akan pernah bahagia." Sungguh laki-laki nggak punya malu.
"Sebenarnya kapan kamu melakukannya denganku Mas, hingga kamu harus mengakui kalau Kama itu milikmu? Apa kamu pernah meniduriku, kapan? Kama itu anakku dengan mas Amour. Lupakan omong kosongmu. Keluar kamu dari mobilku! Sekarang!"
Bukannya keluar, Yudha justru berniat untuk membungkam mulut pedas Hafida dengan bibirnya. Yudha memang dulu tidak pernah melihat Hafida ada untuknya. Namun ketika dia menyadari bahwa Hafida telah memberikan masa depan untuknya. Yudha menjadi lebih senang berada di dekat Hafida, bahkan dia ingin mengulang sesuatu yang pernah tanpa sengaja dia lakukan dulu bersama dengan Hafida meskipun hubungan mereka memang halal melakukannya kala itu.
Tentu saja reflek Hafida menolaknya. Bahkan berusaha untuk membuka pintu yang ada di sampingnya, sayangnya seatbelt yang masih dia kenakan membuatnya tidak bisa bergerak cepat.
Jika bukan karena seseorang yang tiba-tiba membuka pintu di samping Yudha dan menariknya mundur. Bisa dipastikan bahwa Yudha pasti sudah berhasil mencium Hafida.
Dari 5 menit yang lalu Amour memperhatikan posisi Hafida tidak bergeser sedikitpun. Itu yang akhirnya dia memilih untuk meninggalkan pekerjaannya dan menyusul sang istri yang memang hari ini memilih untuk mengemudikan mobil sendiri.
Baku hantam tak terelakkan lagi. Untuk kedua kalinya Amour berkelahi dengan Yudha. Dan parahnya kali ini di bahu jalan.
Hafida hanya bisa berteriak meminta tolong kepada siapa pun yang lewat untuk melerai keduanya. Hingga akhirnya keduanya terpisah dan Hafida memilih untuk memeluk suaminya. Tidak ada memar seperti dulu tapi rasanya memang tidak etis berantem di pinggir jalan.
"Kamu nggak diapa-apain kan sama si brengsek ini?" tanya Amour kepada Hafida.
Hafida menggeleng kemudian segera mengajak Amour untuk masuk ke mobilnya. Terus terang kakinya sudah tidak bisa menyeimbangkan lagi antara pedal gas dan juga pedal rem. Khawatir terjadi apa apa dengan Hafida, Amour segera mengambil alih kemudi dan mulai melajukan mobilnya. Namun sebelum pergi dia masih mendengar sumpah serapah Yudha di luar.
"Kamu jual aku beli Hafid, kita akan bertemu di pengadilan nanti. Aku akan menuntut hak asuh atas Kama." Dan entah apalagi yang dikeluarkan oleh mulut rombeng Yudha. Amour segera meminta Jupri untuk mengambil mobilnya di tempat dia tinggalkan ketika menolong Hafida.
Rasanya memang tidak lagi perlu memberikan hati kepada orang yang memang telah mati hatinya. Percuma saja, segala sesuatu kebaikan yang nanti bakalan kita beri akan disalah artikan oleh mereka.
Amour akhirnya dengan mantap menerima tantangan Yudha untuk bertemu di pengadilan. Dari balik gawainya kini dia sedang menelpon bagian arsip untuk mencopy seluruh data rekam medik milik Hafida mulai dari 0 hingga dia dinyatakan boleh pulang dengan syarat fisioterapi.
Hingga sampai rumah, Hafida hanya terdiam kaku. Mengingat ancaman Yudha yang tidak akan membiarkannya hidup bahagia bersama Kama dan keluarga kecilnya membuat Hafida semakin menenggelamkan diri di kamar. Sambil memeluk dan menyusui Kama Hafida beristighfar berulang kali.
Tidak ingin dipisahkan dari putra bayinya selamanya. Apa pun yang akan terjadi dia pastikan akan tetap mempertahankan apa yang memang pantas untuk dia miliki.
Kama memang anak dari Yudha, tidak akan bisa dihilangkan tentang itu. Namu lagi lagi sikap Yudha menunjukkan bahwa memang dia tidak pantas untuk menyandang panggilan ayah. Apalagi dari seorang Kama yang terang terang dulu Yudha telah menolak ibunya Kama mentah mentah.
"Kamu jangan keluar rumah tanpa pendamping. Ajak Asih atau mbok Pinah dan diantar sopir. Aku tidak ingin kejadian seperti tadi terulang lagi." Pesan Amour sebelum akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke rumah sakit. Melanjutkan pekerjaan yang telah dia tinggalkan tadi.
"Maafkan Hafida, Mas. Tidak menuruti perintah Mas Amour tadi. Aku nggak sangka kalau Yudha berani melakukan itu." Kata Hafida
"Dia itu sudah gila, Sayang. Jangan diberi hati lagi. Biarkanlah hukum yang bicara jika dengan kekeluargaan sudah tidak bisa lagi kita usahakan." Aura ketegasan yang keluar dari Amour membuat Hafida sedikit terkejut.
Belum pernah sebelumnya Hafida melihat ini dari Amour. Sejauh ini Hafida melihat bahwa Amour adalah laki-laki yang penuh dengan kelembutan sikapnya. Tapi kali ini, dingin dan tegas sangat jelas sekali terlihat.
"Jika ingin melihat bahagia di depan dan tidak ingin terantuk ke lubang, fokuskan pandangan ke depan jangan pernah menoleh ke belakang. Cukup melihatnya melalui spion saja."
Dengan dekapan suaminya Hafida kini merasa terlindungi. Berbahagialah Hafida, aura dingin yang jelas itu memang telah dibangun oleh Amour namun bukan untuknya.
🍃 ___ 🍃
-- to be continued --
💊 ___ 💊
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
💊 ___ 💊
So mohon untuk cek ketypoan, syukraan katsiraan telah menantikan cerita ini
Blitar, 09 Agustus 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top