13¤ Ego dan Logika
Tidak akan pernah ditemukan sebuah penyesalan di depan suatu peristiwa, orang lebih mudah menyebutnya dengan kata pendaftaran dibandingkan kata itu
✏✏
Warning!!! 📣📣📣
18++
Mohon maaf mengandung kata kata umpatan
Suatu titik balik, titi mangsa pergulatan hati. Kadang logika memang tidak sejalan dengan hati dan perilaku tidak sejalan dengan nurani.
Titikane aluhur, alusing solah tingkah bahasane lan legawaning ati, darbe sifat berbudi bowolaksana. Ciri orang mulia yaitu perbuatan dan sikap batinnya halus, mempunyai sikap wibawa serta luhur budi pekertinya.
Falsafah hidup orang jawa memang begitu mengagungkan tingginya budi pekerti manusia. Bagaimana bisa membawa diri untuk tetap bisa dihormati orang lain dengan menghormati terhadap sesamanya. Ngunduh wohing pakarti, orang dapat menerima akibat dari ulahnya sendiri.
"Ibu isin Yud, meh arep diseleh endi raine ibumu iki. Tumindakmu sing budhi asor kuwi jian, njelehi. Ngisin-ngisini!!" Menik sangat murka ketika mereka baru saja sampai di rumah dari panti asuhan tempat Hafida tinggal. -- Ibu malu Yud, mau ditaruh dimana muka ibumu ini. Perilakumu yang jelek itu sungguh membuat malu !! --
Yudha hanya terdiam, menjawab ucapan ibunya sama saja dengan mengibarkan bendera peperangan. Romonyapun sudah akan terdiam jika Menik sudah terlanjur murka seperti ini.
"Mulat saliro, pangucap iku biso dadi jalaraning kabecik'an, ning ugo biso dadi dalaning pati, kasengsaran lan pamitran. Rungokke kupingmu!! Ojo mung dadi cantolan dandange Budhe Been Magetan wae." Menik sudah mengeluarkan kata-kata seperti itu tandanya memang nasihat itu akan sangat panjang dan jika Yudha menghindar, tidak akan pernah ada kata maaf yang akan terucap dari bibir ibunya yang sangat jawani ini. -- Merasalah, ucapan bisa menjadi sarana kebaikan, tetapi sebaliknya juga bisa menjadi sebab kematian dan kesengsaraan. Dengarkan, telinga itu jangan hanya jadi cantolan panci dapur saja --
"Wes cukup Bune, bagusmu iki pancen luput kawitane ning ojo diterusne anggonmu duko. Mengko yen ilang ayune bopo rakyo bingung." Suara bass milik Basuki menengahi amarah Menik kepada Yudha. -- Bu, sudahlah. Anakmu ini memang keliru awalnya namun jangan diteruskan lagi marahmu. Nanti jika hilang cantiknya aku jadi bingung --
"Lajeng panjenengan badhe punopo Kangmas? Punopo menawi dalem langkung tuwo, ala mboten ayu malih lajeng panjenengan badhe pados linthu ingkang langkung kinyis-kinyis to Kangmas?" Menik langsung menyekak suaminya. -- Lalu kamu mau apa Mas, apa karena saya tua tidak cantik lagi lantas kamu akan mencari ganti yang lebih cantik --
Selanjutnya Menik berkata sindiran kepada suaminya tapi seolah diucapkan kepada dirinya sendiri "Yo pancen umurku ki wes seket luweh sithik, ning moso iyo arep digolekke ijol selawean 2" -- Iya memang usiaku itu sudah 50 lebih sedikit tetapi masa iya mau dituker dengan wanita yang berusia 25, 2 orang --
"Weladalah Bune, kok njur malah nglantur ngono yen ngendikan. Sopo sing arep golek ijol?" -- Nahkan, mengapa jadi melantur seperti ini bicaramu. Siapa yang akan mencaro ganti --
"Sampun to Romo, Kanjeng Ibu. Kok malah congkrah dewe ki njur kepiye to? Menawi sampun paripurno anggenipun ngendiko dalem lengser sawetawis." Yudha baru ingin berdiri namun suara Menik sudah langsung membuatnya terduduk kembali. -- Sudahlah ibu, Romo. Kalian malah bertengkar sendiri. Kalau sudah selesai bicaranya saya mundur sementara --
"Ra iso, bali lungguh meneh! Kok penak udelmu, biso ngalih tanpo siso, ra iso! Ibu durung rampung." Kembali Menik menatap anaknya dengan amarah. -- Tidak bisa, kembali duduk! Kok enak kamu, bisa menghindar tanpa basa-basi, tidak bisa! Ibu melum selesai --
Yudha menghela nafasnya kembali. Ibunya memang akan sangat susah dibantah jika sudah demikian ini. Garis keturunan ningrat yang melekat begitu mendominasi ketika mengutarakan filosofi Jawa yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
"Klabang iku wisane ono ing sirah, kalajengking iku wisane ono ing buntut. Nanging durjono iku wisane ono ing sakujuring awak." -- Lipan racunnya ada di kepala, sedangkan kalajengking itu racunnya ada di ujung ekor, sedangkan orang yang durjana bisa racunnya ada di sekujur tubuh --
Menik terdiam kemudian melanjutkan lagi ucapannya. Seolah tidak akan habis kata kata yang akan dia wejangkan kepada putranya. "Jalmo tan keno kiniro koyo ngopo, dalane waskita iku saka niteni." -- Manusia itu sulit di tebak seperti apa dan bagaimana, cara agar menjadi awas adalah dengan jalan cermat dan teliti --
Yudha sebenarnya sudah muak dengan undang-undang yang dibuat oleh keluarganya. Saat orang tua berbicara anak-anak memang dilarang keras untuk menjawab apalagi membantah nasehat yang diberikan para orang tua atau sesepuh.
"Ojo mbok teruske yen isih nganggep aku iki ibumu. Hafida kui dudu kowe, tak anggep iki wes sing pungkasan. Menowo tembe mburi ibu isih keprungu kowe ngoyak Hafida. Dudu Kama sing iso mbok kekep ning kowe dewe sing tak njebloske buwen!" Menik meninggalkan Yudha dengan sebuah ancaman. -- Jangan dilanjutkan jika kamu masih menganggap aku ini ibumu. Hafida itu bukan kamu, aku pikir ini yang terakhir kalinya. Jika kamu masih memburu Hafida. Bukan Kama yang bisa kamu peluk tapi kamu sendiri yang akan aku penjarakan --
Sebuah ancaman yang mungkin menurut Yudha hanya gertak sambel belaka. Tidak mungkin seorang ibu sanggup untuk memenjarakan anaknya sendiri.
Tapi Yudha salah persepsi, Menik justru benar-benar akan melaksanakan ancamannya jika Yudha menjalankan apa yang dia inginkan. Bukan karena Menik tidak mencintai Kama namun menurutnya, akan tiba saatnya nanti untuk membuat kama menjadi bagian dari penerus trah keluarganya tanpa harus merusuh dan bermusuhan dengan Hafida yang keluarga barunya.
Menik bahkan sudah berani menjamin jika Hafida pasti akan mendidik kama dengan baik. Dia pasti juga akan mengatakan kepada Kama nantinya tentang nasab dan siapa ayah biologisnya yang sah.
Mengapa? Karena Menik tahu bahwa di dalam Islam sangat dilarang untuk menghilangkan nasab seseorang. Haram hukumnya, menghilangkan bahkan menyamarkan nasab dari seseorang. Jadi tidak ada lagi yang harus dikhawatirkan.
Seperti dari sejak awal yang diterapkan Menik. Ngunduh wohing pakarti, ngudi laku utomo kanti sentoso ing budi. Menghayati perilaku mulia dengan berbudi pekerti luhur. Ala lan becik dumunung ono awak'e dhewe, kejahatan dan kebaikan terletak dalam diri pribadi.
Yudha hanya menghela nafas panjang, kemudian menggeleng perlahan. Alfrinda memang sudah kembali ke rumahnya. Namun Yudha sekarang mulai tidak menyukai pulang ke rumah itu. Rasanya sudah kosong dan hampa. Harapannya serasa dihempaskan bersama Alfrindra.
Dia memilih untuk berjalan jalan menyusur jalanan Malioboro yang tak pernah sepi dari pengunjung. Menguraikan pikirannya yang sedang 'buthek'.
Duduk di sebuah kursi panjang di pedestrian Malioboro sambil menghisap rokok yang selalu menemaninya kala 'kebuthekan' otak melanda. Rasanya kandungan zat nikotin yang melekat pada tembakau rokok itu bisa mengurai keruwetan pikirannya.
Yudha sendiri yang berbuat seperti itu awalnya. Mengapa sekarang dia menjadi manusia yang seolah olah tanpa dosa ingin meraih apa yang pernah dia tolak dan dia tinggalkan? Bukankah ini akan terasa sangat aneh?
Ego memang kadang tidak masuk dengan logika seseorang. Amarah yang kadang menjadi pengendali ego akhirnya menyumbat logika untuk berpikir benar.
Yudha tetaplah Yudha. Dia dilahirkan dari keluarga ningrat namun tidak bisa membawa jati dirinya menjadi seorang bangsawan yang miyayeni dengan gelar ningratnya. Dia lebih dikenal senang dikenal dengan sebutan pria masa kini yang berperilaku modern. Meninggalkan tata krama dan filsafat Jawa yang dianggapnya telah kuno itu.
Bukan jamannya lagi menurutnya. Berbicara dengan kepala tertunduk. Orang akan lebih menghormati jika berbicara sambil menatap mata. Dengan eye contact membuat seseorang yang ada di depan kita menjadi merasa lebih dianggap.
Benarkah seperti itu? Jawabannya tentu tidak semua akan diberlakukan seperti itu. Tergantung kita berbicara dengan siapa. Jika kita berbicara dengan orang yang sedang melakukan pembicaraan bisnis mungkin saja. Tetapi jika kepada orang tua atau sesepuh yang jelas masih memegang tinggi nilai 'unggah ungguh' dan juga 'wibawaning diri' tentu sangat tidak cocok.
"Sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 105 yang mengacu pada undang undang perkawinan dijelaskan apabila terjadi perpisahan atau perceraian maka anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Setelah anak tersebut berusia 12 tahun maka dia diberikan kebebasan memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya." Arief mencoba untuk memberikan penjelasan kepada Yudha atas kebenaran dari perundangan yang dia ketahui yang berkaitan dengan kasus yang kini sedang diajukan oleh Yudha.
"Bukankah Anda seorang pengacara? Jadi bukan menjadi masalah yang sulit bukan memelintir sedikit untuk memenangkan kasus saya ini? Saya sudah keluarkan uang yang tidak sedikit loh untuk membayar Anda." Ucap Yudha yang mulai memanas hatinya.
"Begini Pak Yudha, sebelum Anda berjalan lebih jauh. Sebaiknya Anda pahami terlebih dulu bagaimana hukum yang sebenarnya." Jawab Arief dengan kaget melihat Yudha yang tiba-tiba ngegas nada bicaranya.
"Oughhh, apakah masih kurang uang yang saya berikan? 20 juta sebagai tambahnya bagaimana?" Yudha justru menawar dan salah mempersepsikan maksud dari Arief.
"Maksud saya bukan beg___" Belum selesai Arief bicara Yudha langsung menyela.
"Lima puluh juta, deal." Tangan kanan Yudha terulur kepada Arief.
Dengan ragu-ragu Arief menerima uluran tangan Yudha. Dalam hati sebenarnya dia mulai meragu. Tidak mudah memenangkan kasus Yudha ini, dia harus berani memutar balikkan fakta.
Yang menjadi masalah adalah Yudha itu bukanlah seseorang yang menyayangi Hafida dengan sesungguhnya. Buktinya dia melayangkan gugatan cerai dan bahkan tidak mengetahui jika istrinya sedang hamil saat gugatan cerainya diputus oleh pengadilan.
Selain itu pula, amnesia retrograte yang dialami oleh Hafida akan menjadi kendala selanjutnya. Suaminya yang berprofesi sebagai seorang dokter bedah syaraf akan sangat mudah mengeluarkan surat pernyataan jika itu di butuhkan di pengadilan ketika sidang nanti.
Namun sekali lagi karena masalah ekonomi Arief akhirnya memenuhi permintaan Yudha. Sepertinya setelah ini dia harus belajar celah mana yang bisa dipakai untuk memenangkan kasus perebutan hak asuh anak ini.
Seminggu setelah pertemuannya dengan Arief, Yudha akhirnya bertemu sang kakak di sebuah kafe yang cukup terkenal di aloon-aloon lor. Yoga meminta untuk menemuinya di sana.
"Kowe wingi di dukani kanjeng ibu to?" Tanya Yoga saat mereka sudah berhadapan di sebuah meja kafe. -- Kemarin kamu dimarahi ibu? --
"Wes mesti kanjeng ibu kondo ro kowe." Jawab Yudha sengil -- Pasti ibu bilang kepadamu --
"Dadi wong ki mbok sithik edang ro liyan. Ojo rumongso penermu dewe." -- Jadi orang itu yang adil jangan merasa benar --
"Menengo, ra usah melu cawe-cawe. Ra usah kakean cangkem" -- Diamlah, jangan banyak bicara --
"Ough, pancen cah ora duwe uthek, lambemu suwek isone mung nyocot." -- Dasar anak tidak punya otak, mulutmu itu asal bicara --
"Emang kowe iso opo? Iso nguweki turun? Ora kan?" Yoga memilih meninggalkan sang adik. Tangannya sudah terkepal ingin rasanya menonjok laki laki yang pernah berada satu rahim yang sama dengannya itu. -- Memangnya kamu bisa apa? Bisa memberikan keturunan? Tidak bukan? --
Keesokan harinya di tempat yang berbeda. Amour yang sudah menyelesaikan mandinya dengan cepat. Begitu juga dengan Hafida, pengalaman atau sebuah kecelakaan yang baru saja dia lakukan bersama Amour membuat bibirnya tidak bisa lepas dari senyuman.
Rasa bahagia tentu saja menjalar di seluruh tubuhnya. Amour memang menginginkannya.
"Sampe lupa nggak sholat dulu si tadi, sini sholat dua rokaat dulu." Amour telah membentangkan sajadah di belakangnya untuk Hafida.
"Maksudnya?"
"Kita sholat sunnah dulu dua rokaat untuk itu." Jawab Amour dengan santainya.
"Memang ada ya sholat sunnahnya setelah itu?" tanya Hafida dengan polosnya.
"Itu apa Sayang?"
"Mas ishhh, jangan mulai." Hafida mulai mempoutkan bibirnya sehingga terlihat begitu seksi menurut Amour.
"Sebenarnya yang terkena amnesia itu aku apa kamu sih? Kok mendadak jadi lupa begini." Masih dengan nada dan juga muka datarnya, Amour menjawab ucapan Hafida.
"Subhanallah, Mas Amour___" Amour sudah mengucapkan takbiratul ikram untuk memulai shalatnya. Hafida mengikuti setiap gerakan yang dilakukan oleh Amour.
"Assalamu'alaikum warahmatullah." Mengakhiri shalatnya Amour menengokkan kepala ke kanan. Membalik tubuhnya kemudian meletakkan tangan kanannya diatas ubun ubun. Kembali membaca doa sakralnya yang membuat mata Hafida membulat namun dia tetap mengaminkan apa yang diucapkan oleh Amour.
"Bukannya tadi sudah Mas?" Hafida mencoba untuk menanyakan kepada Amour dengan pelan.
"Kapan?" Tanya Amour kepada Hafida seolah mengingat sesuatu.
"Loh tadi sebelum mandi di bathup?" Kata Hafida mencoba membantu mengingatkan Amour.
"Nggak ah, kamu yang halusinasi sepertinya." Amour yang akhirnya menggelandang Hafida menuju peraduan.
Menyempurnakan kembali ibadah fajar mereka bersama naungan malaikat yang melangitkan setiap doa seluruh umat di setiap pagi dan sore hari.
Rasanya langit selalu berpelangi, bersinar dan tersenyum tanpa henti. Melalui tatapan mata Amour melihat kebahagiaan itu menjadi milik Hafida kini. Tangan kanannya berusaha untuk menyibak helaian rambut Hafina yang menutup sebagian muka tirusnya. Dengan senyum yang mengembang Amour berkata "Terima kasih telah menerimaku dengan semua kekuranganku untuk melengkapkanmu"
Senyum tipis Hafida membalas ucapan Amour kepadanya seketika kecupan lembut mendarat lama di keningnya.
"Sepertinya panah asmara Cupid telah bersatu dengan Amour." Kata Hafid sambil menutup mukanya.
"Benar?"
Hafida mengangguk dengan masih menutup mukanya dengan selimut.
🍃 ___ 🍃
-- to be continued --
💊 ___ 💊
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
💊 ___ 💊
Hai readers, yang ahli hukum tolong angkat tangannya saia butuh bantuan untuk merampungkan tulisan ini
😊😊😉😉😉
Mohon maaf untuk yang berprofesi sebagai lawyer, saya tidak mendeskreditkan suatu pekerjaan tapi hanya mencoba untuk membuat jalan cerita ini bisa hidup
Jangan lupa untuk teken ⭐ ya, 250 aku up selanjutnya 😂😂 gimana gimana???
So mohon untuk cek ketypoan, syukraan katsiraan telah menantikan cerita ini
Blitar, 25 Juli 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top