12¤ Madunya Bulan
Jadi aku mau cerita sedikit, kemarin waktu liburan di Jogja dan sekitarnya tiba-tiba ada penerbit yang meminang cerita ini untuk dijadikan novel. Nah kan akhirnya dengan semangat 45 setelah balik ke dunia nyata aku langsung mengupayakan untuk menyempurnakan tulisan ini.
"pernah terpublish sampai end kan?" iya, tapi pastinya akan ada sedikit perbedaan dengan novel cetaknya, mungkin ada tambahan atau perubahan alur.
so bagi kalian yang menunggu ceritaku republish yang lain, sabar, sementara aku fokus di sini untuk membuat Amour Erlangga dan Hafida naik panggung dulu.
Okkk, jangan lupa nanti ikut PO yaaaa
Ketika orang telah benar benar mencintai, dia tidak pernah kehilangan akal untuk mempertahankan dan tidak pula mencari alasan untuk meninggalkan
✏✏
Cinta, adakah sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan dalam sebuah hubungan tanpa rasa itu?
Pertama, belajar untuk mencintai, belajar untuk menerima dan berbagi. Kedua, sebuah tanggung jawab yang akhirnya melekat dengan hak dan kewajiban didalamnya.
Seminggu berlalu, Hafida telah melaksanakan tugas barunya bukan hanya sebagai seorang istri namun juga sebagai seorang ibu. Amour memang telah menjalankan perannya sebagai seorang ayah untuk kedua anaknya. Namun hingga seminggu Hafida tinggal bersamanya dia belum sekalipun meminta haknya sebagai seorang suami. Tidak ada yang ganjil dalam sikap Amour. Selalu bersikap manis, bahkan skinship diantara mereka berakhir mulus. Hanya saja memang Amour belum menunaikan tugasnya menjadi seorang suami untuk Hafida.
Seperti pagi ini setelah memandikan Kinnar dan juga Kama. Hafida memilih menyiapkan sarapan untuk keluarganya.
"Sarapan dulu Mas."
"Hmmmmm, masak apa hari ini?" jawab Amour pagi ini memang tidak ada jadwal pagi ke rumah sakit sehingga dia bisa bersama keluarga kecilnya.
Di dalam gendongannya ada Kama yang sedang bergerak lincah. Bayi berusia dua bulan itu sudah mulai mengenali suara dan meminta teman untuk diajaknya bicara.
"Eh, adik mau makan juga? Papa sarapan dulu ya, adik main sama kakak di stroller." Amour meletakkan Kama di strollernya namun tidak berapa lama Kama berada di stroller dia sudah menangis.
"Aduh adik tahu ya, kalau papa nggak ngantor pagi ini jadi sedikit manja," kata Amour yang kemudian mengangkat Kama ke dalam gendongannya lagi.
Kinnar yang menyaksikan itu tidak kalah hebohnya. Bukan kepada Amour tapi justru gadis kecil yang sudah bisa berjalan kencang itu berhambur kepada Hafida. Meminta sang ibun untuk merengkuhnya.
"Kakak mau makan? Sarapan dulu ya sama ibun." Hafida lalu mengambilkan nasi buat Kinnar kemudian menyuapinya.
Melihat Amour yang kerepotan dengan Kama di pangkuannya membuat Hafida tersenyum kecil kemudian mendekati mereka. "Adik, papa lapar loh masa iya diajakin main terus."
"Sudah nggak apa-apa, kamu makan dulu sama Kinnar saja," kata Amour.
Namun ternyata Hafida lebih memilih untuk menurunkan Kinnar dan menyuapinya bergantian dengan menyuapkan makan kepada suaminya. Awalnya Amour menolak namun lama-kelamaan dia menikmati juga. Bergantian dengan Kinnar bahkan dengan ide jailnya Amour mulai menguasai Hafida.
"Aak Bun, yang banyak," pinta Amour ketika baru saja Hafida menyuapkan nasi kepadanya sehingga pada waktu seharusnya Hafida menyuapkan kepada Kinnar, tangannya kembali ke mulut Amour.
Awalnya Kinnar tidak begitu peduli tapi kemudian tangan kecilnya langsung menghantam adik kecil yang ada di pangkuan Amour. Tak elak suara tangis Kama memecah keriuhan suara Amour dan Hafida.
"Papa si, buat kakak cemburu jadinya adik yang kena batunya." Hafida yang memilih menggendong Kinnar sedang Amour menimang Kama supaya berhenti menangis.
Namanya juga anak-anak, tentu saja Kinnar merasa diduakan saat sang ibun yang dimilikinya memilih papanya. Tidak ingin sang putri bertambah marah Hafida mendekap erat kemudian mencium kedua pipi Kinnar secara bergantian.
"Anak ibun nggak boleh nakal dong, adiknya kan masih kecil. Masa iya dipukul kan sakit. Kakak mau memangnya dipukul sama adik?" tanya Hafida kepada Kinnar.
Mata lentik Kinnar terus berputar, menangkap apa yang disampaikan oleh ibunnya tapi bibir mungilnya kemudian berteriak "Papa atal."
Amour langsung tergelak mendengar protes dari Kinnara yang membuat tangan kanan Hafida langsung meraih lengan suaminya untuk dicubit. Hanya mata Hafida yang bicara. Dia tidak ingin membuat Kinnara semakin menjauh dari sang papa.
"Papa baik loh, itu buktinya dik Kama suka digendong sama papa. Kakak mau gendong papa nggak?" kata Hafida.
"Ga au," kedua tangan Kinnar justru memegang erat leher Hafida.
Kini Hafida hanya kembali menepuk punggung Kinnar. Semakin hari memang Kinnar semakin dekat dengannya. Itu yang membuat Amour bertanya kepada Hafida di suatu siang, apa yang diberikan Hafida sampai anak itu tidak mau berpisah dengannya. Bahkan tidak lagi antusias saat Amour pulang dari kerja.
"Kakak mau juga?" Hafida tersenyum hangat saat Kinnar berada di dekatnya dan hanya memandang saat Kama menyusu kepada Hafida.
Beberapa kali Hafid mencobakan kepada Kinnar tetapi dia hanya bengong tanpa tahu harus seperti apa. Jadi dia memang hanya akan melihat dengan seksama saat adik bayinya menyusu kepada Hafida.
"Nanti kakak pake dot ya?" tanpa diperintah pun Kinnar langsung mencari Asih untuk membuatkan susunya.
Biasanya jika sudah seperti itu, Kinnar memilih untuk minum sambil tiduran di samping Hafida. Amour bukannya tidak mengetahui itu, dia sangat mengetahui dan bibir merahnya selalu merekah saat sang princess begitu nurut dengan perintah ibunnya. Tapi dia hanya diam saja memperhatikan interaksi antara Kinnar, Hafida dan Kama.
Hidup Amour begitu sempurna, memiliki 3 orang yang melengkapkan kehidupannya. Bangun pagi langsung melihat senyum indah bidadari surganya. Meski sama-sama disediakan namun Amour merasakan perbedaan ketika sarapannya disiapkan oleh Hafida atau orang lain. Ada perasaan dihargai dan dimanjakan oleh pasangan saat menikmati setiap kecapan dalam mulutnya.
Rencananya akhir pekan ini Amour ingin mengajak Hafida untuk menginap satu malam di sebuah hotel bintang 5. Bukan di luar kota, Amour memilih hotel bintang 5 di jalan Gajah Mada Pakualaman sebagai tempat menginap tanpa kedua anaknya.
Namun karena Amour ingin memberikan surprise kepada istrinya dia hanya diam tanpa memberitahukan semuanya terlebih dahulu.
"Mas, nggak ada jam ya di kantor? Dua minggu lagi Hafid juga sudah mulai masuk," kata Hafida saat kedua anaknya sudah terlelap di tempat tidurnya masing-masing.
"Hari ini siang nanti jam 2 ada operasi, kamu nggak pengen memperpanjang cuti saja nanti aku yang bilang ke HRD?" kata Amour.
Sebenarnya Amour lebih menyukai jika Hafida memilih untuk mengurus anak mereka daripada harus bekerja di luar. Apalagi tempat kerja Hafida tidak memungkinkan untuk membawa mereka suatu waktu.
"Jangan karena Hafid sekarang jadi Ny. Amour terus mendapat keistimewaan deh. Kerjaan Hafid kan nggak sampai sore Mas, pagi sampai jam 2 saja," jawab Hafida.
"Karena sebenarnya aku lebih senang jika kamu di rumah untuk mengurus mereka," kata Amour.
"Bukannya kalau Hafid resign justru terkena sanksi Mas, kan belum juga ada setahun. Nggak mau ah, tapi inshaallah setelah kontrak Hafid nanti selesai sebaiknya tidak perlu diperpanjang lagi. Hafid memilih untuk mengurus anak-anak di rumah saja," kata Hafida akhirnya membuat senyum Amour mengembang sempurna.
"Good."
Meski sebenarnya Hafida ingin bertanya mengenai hubungan mereka sebenarnya. Dia tidak ingin berburuk sangka terhadap suaminya sendiri karena Hafida juga yakin bahwa Amour adalah seorang pria normal yang juga memiliki hasrat biologi. Menjadi beban buatnya jika sampai tidak bisa menunaikan kewajibannya sebagai istri dengan baik untuk suaminya.
"Mas__"
Akhirnya bibir Hafida terbuka untuk memulai membicarakan masalah yang selama seminggu ini menjadi beban yang berkecamuk dalam pikirannya.
"Apa?"
"Hafid mau tanya sesuatu tapi mas jangan salah faham ya," kata Hafida lebih hati-hati dari sebelumnya.
"Iya, mau tanya apa?"
"Seminggu yang lalu, sesaat setelah kita sah menikah mas Amour menjelaskan kepada Hafid tentang kita dan bagaimana nantinya kita berhubungan. Namun sampai sekarang___maaf tapi Hafida merasa___" Hafida menjadi bingung akhirnya menentukan diksi kata apa yang tepat untuk mengungkapkan kegundahan hatinya.
Dia bukan ABG yang terpacu menikah hanya untuk hal itu namun lebih daripada itu ada rasa hak, kewajiban dan tanggung jawab yang melekat disana. Amour bukannya terkejut mendengar kalimat kaku yang diucapkan Hafida. Dia justru tertawa lirih yang justru membuat Hafida semakin bingung.
"Sudah, aku mengerti apa yang kamu maksudkan. Jadi kamu berpikir jika aku bukan lelaki normal yang tidak membutuhkan itu?" tanya Amour dengan tawa yang di tahan.
"Mas, tolong jangan bercanda deh. Aku serius loh."
"Aku juga serius, duarius sinathrya malah."
"Ish___"
"Kemari, dengarkan aku." Kedua tangan Amour terentang meminta Hafida untuk mendekat dan menerima pelukannya.
"Meski ini bukan yang pertama bagi kita. Atau mungkin pertama bagimu karena kamu telah melupakan bagian dari beberapa part kehidupanmu. Aku ingin ini menjadi sesuatu yang paling indah dalam hidup kita. Sesuatu yang tidak akan pernah kita lupakan sepanjang hidup kita. Besok bersiaplah, aku akan menantikan hal itu tiba. Tanpa anak-anak dan hanya ada kita berdua." Amour menatap lembut manik mata Hafida lebih dalam.
"Mas___" speechless mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan Hafida. Matanya kini sudah berkaca-kaca.
"Aku juga pengen banget, hanya saja memang pengen yang spesial. Kita nginep di hotel yang ada di Jl. Gajah Mada besok." Amour kemudian memeluk Hafida erat. "Jangan pernah berpikir aku tidak menginginkanmu."
Hafida sibuk mempersiapkan semuanya. Meski bukan di luar kota namun dia juga ingin membahagiakan suaminya. Rencananya Arisanti akan menginap di rumah Amour di malam dimana Amour dan Hafida ingin menghabiskan waktu hanya berdua.
"Itut__itut," suara Kinnar yang mulai membahana saat mengetahui bahwa Amour akan keluar bersama Hafida.
"Papa sama ibun mau berangkat kerja dulu, kakak sama yangtri dan mbak Sih di rumah. Adik Kama juga tidak ikut papa dan ibun," kata Amour saat melihat putrinya sudah mulai menangis dan berteriak ingin ikut dengannya.
"No__no__no," tangis Kinnar semakin kencang. Kini Kinnar memeluk Amour erat tidak ingin ditinggalkan oleh papa dan ibunnya. Menangis hingga akhirnya dia tertidur di gendongan Amour.
Dengan sangat perlahan Arisanti mengambil alih Kinnar dan meminta Amour untuk segera berangkat.
"Berangkatlah. Nanti keburu malam. Harusnya kalian sudah berangkat dari siang tadi."
Yogyakarta, kota yang kata orang menyimpan sejuta rindu yang membuat ingin selalu bertemu meski kadang juga mengingat pilu kala menunggu. Tidak pernah sepi oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
Jarak 8 km yang sejatinya bisa ditempuh dalam waktu 20 menit menjadi lebih lama. Melewati ruas jalan Monjali yang selalu ramai oleh kendaraan. Begitu juga ketika masuk ke Jl Pangeran Mangkubumi dan beralih ke Jl. Mataraman. Rasanya memang semua wisatawan itu tidak akan puas jika berkunjung ke Jogja tanpa menapakkan kakinya ke Jl. Malioboro. Hingga pertigaan jembatan Kleringan Kewek menjadi sangat padat karena menginginkan ke Malioboro.
"Padat Mas? kita lewat kridosono saja," Hafida memilih memutar jalan namun tidak seramai Jl. Mataraman.
Dan tentu saja akhirnya mereka menghentikan mobil di lobby hotel bintang 5 yang berada di Jl. Gajah Mada.
Sebuah kamar Presidental Suit telah dipesan Amour untuk mereka berdua. Setelah menerima card, seorang bell boy segera mengantarkan mereka ke kamar yang sesuai dengan nomor yang tertera di card yang dipegang oleh Amour.
"Selamat berbulan madu, enjoy your stay." Tidak ada travel bag yang besar. Amour hanya membawa sebuah tas jinjing untuk pakaian ganti mereka berdua.
Hafida tidak percaya dengan apa yang ada di depan matanya. Amour memang telah mempersiapkan segalanya. Kamar hotel yang akan mereka tempati malam ini disulap sedemikian rupa. Mawar merah yang berhambur di atas ranjang cinta yang berbentuk hati dan juga handuk yang dibentuk seperti angsa cinta.
Karpet lantai yang juga dipenuhi dengan taburan mawar yang dibentuk menyerupai jalan.
"Suka?" tanya Amour kepada Hafida yang sejak masuk ke kamar belum juga bersuara.
"Kapan mas Amour menyiapkan semua ini?" bukannya menjawab pertanyaan suaminya. Hafida justru balik bertanya. Seingatnya selama seminggu ini Amour tidak begitu banyak kesibukan di rumah.
Amour tersenyum kemudian menggoyangkan gawainya. Tanda memberitahu bahwa dia cukup menelpon pihak hotel untuk menyiapkan semuanya.
"Ouggh pantes, mas bell boynya tahu dan mengatakan selamat berbulan madu kepada kita," kata Hafida setelah mengetahui maksud Amour.
Belum sampai Hafida meletakkan pantatnya di atas ranjang tiba-tiba telpon kamar berdering nyaring.
"Ya, baik. Terima kasih," terlalu singkat jawaban Amour membuat Hafida semakin bertanya tanya.
Tiba-tiba Amour memberikan goddybag yang telah tersedia di dalam lemari kepada Hafida. "Ganti pakaianmu dengan ini."
Tidak banyak bertanya Hafida segera menuju ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Di dalam pikirannya pasti Amour menyerahkan sebuah lingerie atau pakaian tidur untuk dipakainya seperti di novel novel yang biasanya dia baca. Namun ternyata Hafida salah tafsir. Bukan lingerie melainkan longdress dengan kombinasi warna goldnavi yang begitu elegan, lengkap dengan jilbab senada untuknya.
Ketika Hafida keluar kamar mandi, dia melihat Amour telah bersiap juga denga stelan jas yang serasi dengan pakaiannya.
"Mas, kita mau bulan madu kan? Bukan mau ke kondangan?" dengan lugunya Hafida bertanya kepada suaminya. Namun sayang tanpa menjawab Amour segera menarik Hafida ke dalam dekapannya, menciumnya sekilas dan berkata.
"Cantik."
Tangan kanan Amour menggenggam erat jemari tangan kiri Hafida mengajaknya keluar dari kamar. Menuju lift untuk menuju ke lantai yang telah dipesan Amour guna membuat Hafida menikmati malam bersamanya.
Candle light dinner.
"Mas__"
"This night for you."
Menikmati malam bersama dan hanya berdua. Semilirnya angin menambahkan betapa romantisnya kota Jogja.
Cukup dua jam, skinship Amour dan Hafida di luar. Makan malam romantis versi mereka dan hanya ada mereka berdua. Hingga melantai dengan iringan musik endless love milik Lionel Richie dan Diana Ross. Lagu lama yang never ending romantisnya.
"That is just an appertizer dan menu utamanya setelah ini." Amour kembali mengajak Hafida ke kamar. Hidangan utama makan malam mereka memang tersedia di kamar dan itu hanya Amour dan juga Hafida yang tahu.
Sentuhan demi sentuhan yang dilakukan oleh Amour selalu membuat Hafida melayang. Hingga mereka telah bersiap, entah lupa atau memang belum sempat melakukan Amour tidak mematikan gawainya sehingga suara nyaringnya membuat rusak suasana.
"Angkat dulu Mas, setelah itu matikan," Hafida mencoba melihat siapa yang menelpon di gawai suaminya itu.
Nama Arisanti ternyata muncul di layar pipih tersebut.
"Bunda."
Jika tidak dalam kondisi genting pasti Arisanti tidak akan menelpon pasangan yang sedang berbulan madu itu.
"Ya Bund__" suara Amour menyapa sang bunda.
"Kinnar step Mour, sudah hampir sepuluh menit belum juga melemas. Masih kejang, panasnya sampai 41°C dan bunda sangat takut. Ayahmu tidak bisa dihubungi. Maaf bunda jadi mengganggu acara kalian." Suara Arisanti yang terdengar sangat ketakutan.
Harusnya dia bisa menelpon ambulans untuk segera membawa Kinnar ke rumah sakit. Namun di saat yang genting seperti itu hanya Amour dan Hafida yang dia ingat untuk bisa menyelamatkan cucunya.
Mendengar kabar bahwa Kinnar sedang sakit tentu saja Hafida memilih untuk menunda acara mereka. Biar bagaimanapun juga sebagai dokter dan juga ayah Kinnar, Amour pun pasti akan memilih putrinya yang sakit terlebih dahulu.
"Maaf ya, acara kita jadi gagal karena ini."
"Kinnar lebih dari apapun. Sebaiknya kita check out dan langsung pulang", Hafida yang langsung mengemas barang mereka.
Tiga puluh menit Amour telah sampai di rumahnya. Kinnar sudah tidak kejang lagi namun suhu badannya masih tinggi.
Amour telah menyiapkan obat untuk putrinya, memberikan penurun panas dan juga mengkompres sang putri yang kini sedang bergerak-gerak karena merasakan panas di tubuhnya yang terlalu tinggi.
"Sayang, papa di sini. Cepat sembuh ya, maafin papa dan ibun tadi pergi tanpa kamu." Amour mencium lembut kedua pipi putrinya. Malam ini sepertinya Amour memilih untuk tidur bersama dengan Kinnar di kamarnya.
Saat Hafida mengatakan akan tidur juga di sana, Amour segera melarang dan meminta Hafida untuk tidur di kamar mereka. "Nanti kalau Kama terbangun nggak kedengaran jika kita tidur bertiga di sini. Biar aku yang bersama Kinnar kamu jaga Kama di kamar kita."
Dengan langkah yang berat Hafida meninggalkan kamar putrinya bersama sang papa. Mengecup sekilas dua orang yang kini menjadi penghuni tetap di hatinya. Meskipun begitu Hafida tidak pernah tenang dan tidak bisa terpejam sama seperti Amour. Itu karenanya yang membuat dia setiap satu jam sekali menengok keadaan putrinya ke kamarnya.
Hingga pagi menggantikan malam, Amour masih terlelap di ranjang sambil mendekap Kinnar. Mungkin semalam Amour tidak lena tertidur sehingga dia baru bisa memejamkan mata setelah sholat shubuh tadi pagi.
Hafida kembali ke dapur menyiapkan sarapan untuk suaminya dan tentunya bubur untuk putri cantiknya. Hingga sang bunda mertua menyapanya. "Masak apa Fid?"
"Oh ini Bun, bikin tumis kangkung dan krengseng daging kesukaan mas Amour. Sekalian buatin bubur untuk kakak Kinnar." Hafida yang sudah terlanjut bergelut dengan bumbu dapur terpaksa menghentikan aktivitasnya kala mendengar suara tangisan Kama.
"Sudah sana biar bunda yang lanjutin. Kama sudah waktunya mandi."
Selesai menyerahkan Kama kepada Asih. Hafida bermaksud untuk mandi dan berendam sebentar. Sepertinya kurang tidur semalam membuat pinggang dan punggungnya menjadi kaku. Mungkin dengan berendam air hangat bisa menghilangkannya. Mumpung Amour juga belum terbangun.
Di saat yang sama dengan Hafida masuk ke kamar mandi. Amour membuka pintu kamar putrinya. Sambil menguap dia berjalan menuju ke dapur, dilihatnya sang bunda yang sedang memasak bukanlah Hafida seperti biasanya.
"Loh Bunda yang masak, Hafida kemana?"
"Tadi Kama nangis, mungkin setelah memandikan Hafida masih menyusui anakmu," jawab Arisanti.
Amour masuk ke dalam kamarnya. Tidak melihat Hafida di sana, tidak juga terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. 'Mungkin sedang membawa Kama keluar untuk menjemur Kama di ultraviolet pagi'.
Tanpa berpikir panjang, Amour pun segera bersiap untuk membersihkan diri.
Kesalahan Hafida karena keteledorannya tidak mengunci pintu kamar mandi. Entah musibah atau anugerah yang terjadi selanjutnya adalah sesuatu yang selama seminggu ini belum dilihat oleh Amour sama sekali.
Lelaki normal, siapa yang akan menolak.
Melihat pemandangan menajupkan di depan matanya. Amour yang menginginkan ditambah Hafida yang tak bisa menolak. Ah, ternyata penundaan bulan madu mereka berakhir di pagi dengan drama kecelakaan romantis. Jika judul FTV mungkin bisa dibuat, Ketabrak Cinta di Bathup.
"Dimana pun tempat, bagaimanapun caranya dan apa pun kondisinya jika itu kita nikmati bersama pasti akan tetap terkenang sepanjang masa di ingatan kita." Suara Hafida sesaat setelah dia menyerahkan semuanya kepada Amour.
"Syukraan ya habibati. Maaf jika aku sudah tidak bisa menahan setelah melihat semuanya begitu menarik untuk disentuh," kata Amour.
"Rasanya____ emmm?" kata Hafida seperti sedang berpikir kata yang pas untuk Amour.
"Susu bendera."
"Kok susu bendera?"
"Iya, nikmat hingga tetes terakhir," kata Amour dengan senyum lebarnya sebelum akhirnya dia terlelap kembali di pelukan Hafida saat telah berada di ranjang tempat tidur mereka.
🍃 ___ 🍃
-- to be continued --
💊 ___ 💊
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
💊 ___ 💊
Hai readers, yang ahli hukum tolong angkat tangannya saia butuh bantuan untuk merampungkan tulisan ini
😊😊😉😉😉 (harap maklumlah dulu buat kalimat ini kan belum ketemu)
So mohon untuk cek ketypoan, syukraan katsiraan telah menantikan cerita ini
Blitar, 21 Juli 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top