11¤ I Knew I Loved You
A thousand angels dance around you
I am complete now that I found you
✏✏
Try as I may, I could never explain
What I hear when you don't say a thing.
Sah___sah___sah!!!!
Seruan hamdalah terucap sempurna dari bibir seluruh undangan yang hadir di acara pernikahan Amour dan Hafida.
Air mata bening mengalir dari pelupuk mata Hafida. Getaran di hatinya masih belum sepenuhnya menyeruak. Namun sikap lembut yang ditunjukkan oleh Amour telah menyentuh relung hatinya yang paling dalam.
Bukan sebuah pesta yang mewah. Hafida lebih memilih dengan cara yang begitu sederhana. Akad nikah di rumah pantinya dan kemudian mengundang tetangga kanan kiri untuk menyaksikan bahwa Amour dan Hafida telah menikah.
"Aku tahu kamu belum mencintaiku, dan begitu juga denganku. Meski benih itu sudah ada tapi belum sepenuhnya tumbuh dengan sempurna. Tapi aku yakin kita akan bisa mewujudkannya dalam waktu dekat." Kata Amour saat keduanya kini berada di kamar untuk mengganti pakaian setelah acara walimatul ursy selesai.
"Terima kasih sudah jujur kepadaku, Mas. Aku tahu itu tidak mudah namun pasti aku usahakan untuk kita," jawab Hafida.
"Berjuanglah bersamaku, dan cukup percaya padaku sebagai imammu sekarang." Kata Amour yang kemudian mendekat kepada Hafida.
Sangat terlihat sikap Amour menjadi kikuk berada hanya berdua dengan Hafida di kamar. Bukan masalah Amour tidak ingin memulai namun karena dia sangat mengerti bahwa Hafida juga masih belum sepenuhnya bisa menerima dia.
"Aku tidak akan meminta hakku jika kamu belum siap Hafid. Itu janjiku, ingatkan jika aku melupakannya," kata Amour sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari kamar mereka tanpa menyentuh Hafida sedikit pun.
Hafida tersentak dalam hatinya. Sikap Amour berbeda dari biasanya. Setelah akad nikah mereka Hafida merasakan ada yang lain dari sikap suaminya. Yang dia tahu sikapnya Amour lain daripada biasanya. Semakin lembut tapi seperti orang yang sedang salah tingkah.
"Mas___" Hafida mengikuti langkah Amour setelah pintu tertutup.
Amour terlihat membalikkan badannya saat mendengar Hafida memanggilnya. "Apa?" langkahnya yang terhenti menunggu kalimat yang akan disampaikan oleh Hafida.
Namun Hafida justru diam dan akhirnya Amour melangkah kembali ke kamar Hafida. "Ada apa?"
"Mas mau kemana?" tanya Hafida.
Amour tersenyum mendengar pertanyaan Hafida. Amour mengerti istri barunya ini pasti merasa tidak nyaman dengan sikapnya tadi.
"Mau mandi. Kenapa? Kamu mau ikut?" tanya Amour sambil tersenyum. Tentu saja Hafida terkejut dan salah tingkah. Hari ini suaminya penuh dengan surprise.
"Ishhh, aku mau lihat anak-anak dulu," kata Hafida menutupi rasa canggungnya kembali di depan Amour.
"Biarkan mereka dengan eyangnya dulu. Kamu segera mandi juga deh setelah itu kita sholat. Sudah waktunya dhuhur," kata Amour kemudian meninggalkan Hafida kembali.
Tidak ada yang tahu tentang qodar manusia. Jika mulai hari ini Hafida telah diqodar oleh Allah untuk hidup bersama dengan Amour maka sepenuhnya dia juga harus menerima semua kewajiban, hak dan tanggung jawab sebagai seorang istri dan juga ibu dari dua anak mereka.
"Assalamu'alaikum warohmatullah," Amour mengakhiri sholat jamaah mereka.
Saat keduanya telah saling berhadapan dan tangan kanan Amour berada di atas ubun ubun Hafida, hanya sebuah kata aamiin yang bisa terucap dari bibir Hafida ketika Amour membacakan doa barokah untuk pernikahan mereka.
"Terima kasih telah menerimaku menjadi suamimu. Seperti yang sudah aku katakan kepadamu tadi, aku tidak akan meminta hakku sebelum kamu siap dengan semuanya." Kata Amour sambil menggenggam kedua tangan Hafida.
"Mas___" kata Hafida.
Amour segera memandang wanitanya kembali. Menikmati setiap inchi tanpa ada hijab yang menghalangi diantara mereka berdua. "Apa? Dari tadi mas-mas melulu."
"Maaf jika aku keliru," jawab Hafida yang kemudian memilih untuk menunduk. Sebenarnya dia sangat malu namun harus mengatakannya supaya tidak ada lagi kesalahpahaman nantinya.
"Sejak saksi mengatakan bahwa kita berdua telah sah menjadi pasangan suami istri, sejak saat itu pula aku sudah siap lahir dan batin menyerahkan semuanya, menjadi istri yang bisa taat suami, sekaligus menjadi ibu untuk anak-anak kita nanti. Jadi apa pun itu termasuk hak mas Amour, inshaallah aku sudah siap menunaikannya," kata Hafida akhirnya dengan penuh kesadaran.
Amour tertawa lirih, bibirnya semakin merekah saat Hafida kembali memandangnya. "Tolong ambilkan kalendermu. Kita hitung sama-sama"
Meski tidak mengerti maksud Amour, Hafida menuruti perintah suami yang telah menghalalkannya belum ada 24 jam ini. Amour melingkari tanggal lahir Kama. Menghitung dengan seksama dan melakukan tanya jawab dengan Hafida mengenai siklus wanitanya.
Meski belum sepenuhnya bisa diprediksi namun dari awal Amour menekankan Hafida harus memahami tentang hal itu. "Aku tidak mau kamu menggunakan kontrasepsi. Bukan karena tidak ingin mengikuti program pemerintah. Namun lebih tepatnya aku tidak mau menolak rezeki yang Allah berikan untuk kita. Biar aku saja yang pakai kamu tidak usah."
"Mas__"
"Kama masih sangat kecil, kalau sampai terjadi dan kamu hamil lagi, bukan hanya kamu yang repot tapi kita."
"Terus mengapa mas Amour tidak membolehkan aku pasang kontrasepsi?" tanya Hafida.
Amour kembali tersenyum kemudian berkata kepada istrinya, "Itu masih menjadi perdebatan hukumnya. Jadi sebaiknya jangan dilakukan karena masih abu-abu. Kita pakai sistem kalender saja". Amour membuka kalender. Mengajarkan kepada Hafida bagaimana menghitung masa subur seorang wanita dan memintanya untuk mengingatkan ketika Hafida ada pada fase itu. Jadi Amour bisa lebih berhati-hati.
"Jadi nggak boleh menurut agama ya Mas?" tanya Hafida menyakinkan sekali lagi.
"Aku belum mengkaji sejauh itu, tapi ada yang berkata seperti itu. Nanti kita perdalam lebih lagi bersama. Tapi sebaiknya jangan dilakukan, biar aku saja ya. Ok?" jawab Amour.
"Tapi bukannya tidak nyaman untuk Mas nantinya?" Hafida masih tidak ingin membuat suaminya kecewa. Amour hanya menggelengkan kepalanya. Mendengar rentetan pertanyaan dari istrinya membuatnya sungguh tidak bisa menahan hasrat laki lakinya.
"Nanti kita akan tinggal di Hyarta Residence. Kamu dan Kama juga aku dan Kinnar, kita berempat akan tinggal di sana. Aku siapkan semuanya di sana nanti." Kata Amour yang kemudian masih didebat Hafida.
"Tapi Mas itu rumah Mas dulu bersama mamanya Kinnar. Aku cuma nggak enak dengan eyangnya Kinnar nanti," kata Hafida lagi.
"Bukan itu rumah yang aku beli setelah mamanya Kinnar meninggal. Aku juga baru menempatinya setahunan ini. Jadi hilangkan perasaan tidak enakmu itu. Rumah itu milik kita berempat dan anak-anak kita nantinya," kata Amour kemudian meminta Hafida untuk segera mengambil Kama karena dia sudah terlalu lama terpisah dari ibunnya.
Arisanti tersenyum sangat ramah kepada menantu barunya. Dia sangat mengerti setelah acara pastinya Amour masih ingin berdua menuntaskan sesuatu dengan Hafida. Itu alasannya mengapa Arisanti masih betah berlama-lama di panti asuhan bermain bersama kedua cucunya.
"Bunda, Kama biar Hafida susuin dulu," pinta Hafida kepada Arisanti yang tengah menggendong Kamajaya.
Bibir Arisanti tersenyum namun matanya menatap tajam kepada Amour. Sambil menyerahkan Kama ke pelukan Hafida, Arisanti yang akan melontarkan omongan sudah dibungkam lebih dulu oleh Amour.
"Bunda, jangan lupakan bahwa anakmu ini seorang dokter. Amour tahu yang baik dan yang enggak untuk kami tentang apa yang bunda khawatirkan," ucap Amour dengan nada santainya.
"Pokoknya kalau Amour sampai mengasarimu laporkan kepada bunda segera. Jangan ditunda lagi." Perintah Arisanti sebelum dia dan juga Rahmat kembali ke rumahnya.
Amour memilih untuk membantu merapikan pakaian Kama ke dalam koper. Mainan serta perlengkapan minum Kama. Tanpa sedikit pun mengambil pakaian Hafida.
"Mas, pakaian aku kok nggak sekalian di pack?"
"Biarkan di sini saja, kecuali pakaian dinas kamu. Dimana kamu meletakkannya?" kata Amour lagi.
"Lho kok gitu, pakaian seragamnya ada di kanan aku gantung," jawab Hafida.
Amour memang telah menyiapkan semuanya tanpa Hafida tahu. Entahlah, bukan karena tidak menghargai istrinya namun Amour hanya ingin suasana baru dengan melihat Hafida yang baru sebagai seorang istrinya.
Keesokan harinya benar benar Amour memboyong Hafida menuju rumahnya di Hyarta Residence. Hanya dua buah koper yang berisikan pakaian dan mainan Kama.
Sebuah mobil SUV putih milik Amour telah siap di depan panti untuk membawa Hafida dan Kama. Kinnar yang sudah berada di gendongan Hafida tersenyum dengan riangnya. Pagi ini Kinnar tidak rewel seperti biasanya ketika dia bangun pagi hari. Dimandikan Hafida pun tanpa drama yang biasanya selalu membuat Amour pusing melihat tingkah putri batitanya.
Kama tengah meringkuk tertidur di gendongan Asih. Bayi itu seolah mengerti bahwa orang tuanya masih ada acara penting jadi tidak banyak permintaan seperti biasanya. Semalam Kama juga memilih untuk tidur nyenyak di boxnya sementara Kinnar tidur diantara Amour dan Hafida.
"Sering main kemari Fid, ibu akan selalu merindukanmu." Pesan bu Yulianti sebelum Hafida keluar dari rumah menuju ke mobil. "Nak Amour juga titip Hafida dan juga Kama jangan sungkan-sungkan menasehatinya jika dia keliru."
"Inshaallah Bu. Nanti kalau Kama sudah memungkinkan untuk diajak bepergian sering-sering pasti kami akan sering kemari. Ibu juga nanti silakan berkunjung ke rumah kami, kapan saja." Jawab Amour kemudian mengajak Hafida berangkat.
Belum sampai Hafida dan Amour melangkahkan kakinya tiba-tiba terdengar suara salam dari depan pintu.
Terlihat Yudha, Basuki dan juga Menik berdiri di sana. Raut muka Amour langsung berubah seketika namun tangan kirinya reflek memegang pinggang Hafida. Janjinya untuk melindungi Hafida akan dia tunaikan.
"Asih dan Hafida, kalian ke mobil terlebih dulu. Nanti aku menyusul," suara Amour yang ketus cenderung memerintahkan kepada Hafida untuk segera meninggalkan tempat karena ada Yudha dan keluarganya di sana.
"Maaf tapi kami ke sini untuk bertemu dengan Hafida." Kali ini Yudha yang bersuara membuat manik mata Amour menyipit ke arahnya.
"Saya suaminya, kita berbicara tanpa Hafida karena bersamanya ada anak-anak kami. Rasanya tidak patut mereka mendengarkan pembicaraan orang dewasa." Jawab Amour dengan tegas yang membuat Hafida memilih untuk menuruti perintah suaminya meskipun dalam hatinya was-was mengingat kejadian terakhir Yudha yang langsung mendaratkan bogem mentahnya ke muka Amour.
Bu Yulianti pun mempersilakan ketiga tamunya untuk masuk. Menyilakan duduk dan berniat untuk membuatkan mereka minuman. Memberikan ruang juga kepada ketiganya untuk berbicara kepada Amour.
"Dokter Amour rasanya kami tidak perlu berbasa-basi lagi. Anda pasti lebih tahu apa maksud kedatangan kami ke sini." Basuki memulai pembicaraan mereka. Dari pembukaan percakapan mereka Amour sudah bisa merasakan bahwa aura ketidaksepahaman telah tercium disana.
"Maaf, tapi saya bukan cenayang yang bisa membaca pikiran Anda," jawab Amour.
"Kami semua menginginkan Kamajaya bisa bersama kami nantinya. Jadi tolong serahkan dia kepada kami." Kata Basuki akhirnya.
Belum sampai Amour menjawab seorang lelaki berpakaian sangat formal mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum."
Yudha tersenyum menyambut pria tersebut.
Ternyata diketahui bahwa laki-laki tersebut adalah pengacara yang ditunjuk oleh keluarga Yudha Panji Asmoro untuk memperjuangkan Kamajaya.
"Jadi Pak Arief ini pengacara yang ditunjuk oleh keluarga bapak Yudha?" tanya Amour kepada lelaki yang baru saja bergabung dengan mereka.
"Iya Pak, saya lawyer yang akan mengawal masalah ini bahkan jika harus ke meja hijau sekalipun." Kata Arief setelah memperkenalkan dirinya.
"Nak Amour, kami tahu jika Hafida telah memilihmu untuk menjadi suaminya setelah dia diceraikan oleh Yudha anak ibu. Tapi kami mohon sebaiknya semua ini bisa kita selesaikan secara kekeluargaan. Tolonglah kami, kalian nanti bisa memiliki keturunan lagi. Tapi Yudha dan Yoga rasanya sangat sulit untuk memperolehnya. Biarlah Kama bersama kami." Pinta Menik yang sudah tidak bisa menahan air matanya.
"Ibu, tidak perlu mengemis kepada laki-laki berhati batu seperti dia." Kata Yudha yang memang sejak awal sudah tidak menyukai Amour sedari mereka pertama kali bertemu.
"Ojo asal njeplak yen mu kondo. Sing duwe ati watu kuwi kowe dudu Hafida lan sisihane," Menik langsung menjawab dengan muka yang penuh dengan amarah. -- jangan asal bicara, yang berhati batu itu kamu bukan Hafida dan suaminya --
Amour diam tidak ingin menimpali pertengkaran antara ibu dan anak ini.
"Jadi, bagaimana Pak Amour?" kali ini Arief yang angkat bicara menengahi dan langsung ke pokok permasalahannya.
"Pak Arief memiliki keluarga?" tanya Amour tiba-tiba. Tentu saja Arief segera menjawab iya. Dia memiliki istri dan 2 orang anak.
"Saya memiliki anak perempuan, ibunya meninggal sesaat setelah dia dilahirkan. Apa yang bisa saya lakukan? Saya tidak memiliki ASI untuk diberikan padanya. Hati saya menjerit seketika saat putri saya memilih untuk dekat dengan Hafida ketimbang dengan saya yang saya pikir dulu saya adalah dunianya___" cerita Amour yang belum sempat dia selesaikan tetapi sudah dipotong oleh Yudha.
"Kami tidak butuh cerita recehmu itu. Bagi kami Kamajaya lebih penting dari itu."
"Tidak ada seorang bayi yang tidak membutuhkan ibunya. Anda belum merasakan apa yang telah saya rasakan. Saat anak yang lain begitu bahagia bertemu ASI, dia hanya minum botol susu," Amour lebih bisa menekan perasaannya. Bukan untuk menantang tapi lebih untuk mengambil hati keluarga Yudha.
"Kami tetap menginginkan Kama bisa bersama kami selamanya. Perkara itu kita bisa menyewa orang jika Hafida tidak mau memberikan asinya. Ibu macam apa itu." Kata Basuki.
"Pak Arief, Anda itu kami bayar untuk bicara bukan hanya lomba berdiam diri di sini!" Yudha geram dengan sikap pengacaranya yang hanya diam mematung melihatnya mendebat Amour.
"Sudah, saya tidak menghalangi kalian bertemu Kama kapan saja. Tapi tolong jangan ganggu dia bersama Hafida. Hafida ibunya sampai kapan pun. Jika dahulu anda menginginkan seorang anak yang tengah di kandung oleh Hafida mengapa harus menceraikannya. Masih bisakan disebut sebagai laki-laki?!" ucap Amour kemudian memilih untuk meninggalkan mereka.
Tidak ada yang patut diperdebatkan lagi. Berbicara dengan orang berhati batu seperti Yudha memang hanya akan membuat emosi kita memuncak.
Dengan langkah seribu, Amour memilih untuk melajukan mobilnya menuju kediamannya. Hafida juga memilih bungkam, melihat raut muka suaminya dia hanya bisa mengira-ngira apa yang menjadi perdebatannya di dalam bersama keluarga mantan suaminya.
🍃 ___ 🍃
-- to be continued --
💊 ___ 💊
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
💊 ___ 💊
Ah ternyata pernah nulis alpukat jus di sini, hehehe.
So mohon untuk cek ketypoan, syukraan katsiraan telah menantikan cerita ini
Denpasar, 14 Juli 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top