08¤ Janji untuk Bahagia

Harfiah menikah itu menanti dengan kerinduan, menjemput dengan kekhusyukan, menikahi dengan keimanan. Itulah cara paling indah memuliakan kekasih halal

✏✏

Tidak perlu banyak bicara. Waktu telah menjawab bahkan mungkin menghapus segalanya.

Hafida mungkin satu dari sekian banyak wanita yang pernah merasakan ini. Perjalanan hidup yang sama sekali tidak berpihak kepadanya namun dia tetap harus mensyukurinya.

Mensyukuri musibah yang menimpanya termasuk dengan amnesia yang kini dia derita. Berharap bahwa semuanya tidak terulang dan berdoa semoga bisa melaluinya dengan baik.

Hatinya tidak merasakan nyeri ketika dia bertemu dengan Yudha. Tidak juga dengan sakit hati kepadanya, semua terasa biasa saja. Bahkan saat mereka terlibat sebuah konflik percakapan pun Hafida hanya biasa saja. Namun yang menjadi pikirannya kini adalah tentang anak yang kini tengah dia kandung.

Dari awal dia mengetahui bahwa dirinya kini sedang mengandung dalam hati dia berjanji bahwa dia akan membesarkan buah hatinya seorang diri. Tidak ingin melibatkan siapa pun dan bagaimanapun bentuknya.

"Eh kok melamun. Sudah siap? Kita ke rumah sekarang." Kata Amour yang tiba-tiba berada di depan Hafida.

"Eh__Mas, kok?"

"Aku sudah bilang kan tadi setengah jam lagi aku akan menjemputmu di ruangan. Ini bukannya siap-siap malah melamun. Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Amour dengan senyum khasnya.

"Aku pikir___Mas tadi hanya ingin menyelamatkanku dari Pak Yudha saja." Jawab Hafida gugup.

"Hei, lihat aku." Amour meminta Hafida untuk memandangnya. "Dari awal kita berkenalan kapan aku bercanda dengan topik ini?" kini teman-teman Hafida seruangan baru mempercayai bahwa rumor antara seorang dokter duda muda dengan 1 anak itu dengan janda yang tengah hamil benar adanya.

Spekulasi pun mulai merebak karena Hafida yang pernah ditangani khusus oleh dr. Amour. Bahwa kehamilan Hafida adalah buah dari perbuatan mereka berdua.

"Dimana-mana yang namanya janda itu ya bikin was-was. Hati hati loh, bisa jadi mereka itu pelakor. Untung ini yang di samber duda coba kalau suami kita. Awas saja!" salah satu dari temannya Hafida mulai bergunjing saat tahu Amour sedang berbicara dengan Hafida di ruangan.

"Bener itu Mbak, atau jangan-jangan karena dr. Amour adalah anak dari pemilik rumah sakit ini. Makanya dia mau nyerahin semuanya," salah satu yang lain menanggapi.

"Termasuk hartanya ya, tuh lihat sampai berbuah. Tek dung gitu, hmmmmm ternyata ya nggak sangka dr. Amour yang kita sangka alim alaaahhhh ternyata sama saja." Kembali pergunjingan antara Hafida dan juga Amour semakin merebak.

Sudah sejak dari jamannya nabi Sulaiman, wanita dan ghibah itu sangat dekat. Itu sebabnya mengapa ketika Nabi Muhammad diperlihatkan surga dan neraka saat menempuh perjalanan isra' mi'raj beliau melihat bahwa sebagian besar neraka itu dihuni oleh wanita. Naudzubillah.

Bukan tidak mendengar. Amour justru bisa merasakan lebih daripada itu, dulu pegawai rumah sakit yang begitu menghormatinya sekarang seperti melihatnya dengan enggan setelah kabar rencana pernikahannya dengan janda yang sedang hamil itu mencuat.

Tidak ada ghibah yang lebih halus daripada memakan daging saudaranya dan tidak ada fitnah yang lebih baik daripada membunuh saudaranya sendiri.

"Ayo, Kinnar sudah menantimu," ajak Amour segera.

"Tapi Mas__, pekerjaanku belum selesai sepenuhnya." Tolak Hafida dengan sangat lembut.

"Setelah bertemu dengan mereka, nanti kita akan kembali lagi ke rumah sakit. Kamu bisa lanjutkan, aku juga sudah memintakan izin kepada Pak Asrofi, kepala administrasi dan keuangan. Ayo___" dengan segera Hafida mengemasi barangnya. Meletakkan kertas kerja dan jurnalnya dengan rapi di atas meja kerjanya. Tak lupa Hafida menoleh kepada teman teman yang menggunjingnya untuk pamit keluar mengikuti Amour yang sudah berjalan dulu keluar ruangan.

"Mbak, maaf aku izin dulu ya dr. Amour sudah memberi tahu pak Asrofi." Kata Hafida yang nyatanya membuat ketiga temannya melihat dengan wajah tidak suka.

"Kalau calon menantu yang punya rumah sakit si, kapan saja bolehlah." Sindir salah seorang dari mereka yang kemudian ditertawakan oleh kedua temannya.

"Tenang Fid, semua aman terkendali. Hati-hati loh sama pak dokter, pegang yang erat. Yah, kamu kan tahu sendiri sekarang banyak janda-janda pelakor." Sambung yang lainnya dan dengan nada mengejek Hafida.

Janda pelakor yang dimaksud itu? Hafida jadi berpikir jauh meski bibirnya berusaha untuk tetap tersenyum kepada ketiga rekan satu teamnya. Tidak ingin berprasangka buruk kepada ketiga teman barunya itu, Hafida segera keluar dan mencari Amour untuk ikut serta dengannya berkenalan dengan kedua orang tua Amour.

"Kamu duduk di belakang saja." Kata amour saat Hafida salah tingkah ketika mereka hanya akan berada di mobil berdua saja.

Tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Amour mengetahui itu meski tanpa harus bertanya. Hafida tidak nyaman berada hanya berdua saja dengan orang yang masih belum halal untuknya.

Hari ini Amour memang sengaja mengajak Hafida untuk makan siang bersama keluarganya. Ada ayah, bunda dan juga putri lucunya Kinnar. Bagi Hafida Kinnar bukanlah orang lain, beberapa kali bertemu telah membuat mereka menjadi akrab satu dengan lainnya. Namun bagaimana dengan kedua orang tua Amour? Pikiran Hafid masih menari nari saat mobil Amour telah berhenti sempurna di sebuah carport rumah mewah di Hyarta Residence Yogyakarta.

"Kita sudah sampai," kata Amour sambil menoleh ke belakang. Mendapati Hafida yang masih juga melamun entah sedang berpikir apa.

"Hafid, kita sudah sampai di rumahku. Ayah dan bunda yang datang kemari. Karena bibi yang menyiapkan makan siangnya di sini." Kata Amour setelah Hafida sadar dari lamunannya.

Masih juga dengan rasa takjubnya. Rumah mewah dua lantai bergaya resort minimalis tapi luar biasa adem di mata karena sangat asri.

"Mau sampai kapan kamu berada di mobil. Ayo turun," perintah Amour saat membukakan pintu mobil untuk Hafida.

"Mas, ayah dan bunda____" getir Hafida menggigit bibirnya. Perasaannya tidak menentu. Membayangkan saja bertemu dengan 'calon mertua' dengan keadaan hamil 6 bulan rasanya menjadi menciutkan nyali.

"Mereka baik, aku sudah berbicara dengan mereka semalam tentang kita dan hari ini juga mereka ingin langsung bertemu denganmu." Kata Amour.

Kata langsung yang disampaikan oleh Amour itu diartikan ganda oleh Hafida. Langsung bisa jadi karena memang mereka menyukai tetapi bisa jadi karena mereka tidak menyukai.

"Mereka tidak akan menelanmu Hafid." Tahu jika Hafida masih ragu untuk melangkah Amour kembali meyakinkannya.

Sesaat setelah Amour mengucapkan salam dan membuka pintu rumahnya, suara riang khas balita menyambutnya.

"Owwhh, anak papa belum tidur? Sudah mimik susunya? Ayo tebak papa datang sama siapa?" kata Amour yang langsung merengkuh Kinnar ke dalam gendongannya.

Kinnar yang semula sudah mengantuk menjadi ceria kembali saat tahu papanya datang lebih cepat daripada hari hari biasanya. Ditambah lagi setelah mata beloknya melihat siapa yang berada di belakang papanya.

"Bu...bu...bu," racau Kinnar dalam bahasa yang belum bisa dipahami.

"Iya, papa datang sama ibun Hafid, Kinnar suka?" tanya Amour lagi kepada putri kecilnya.

Mata Kinnar bergerak lincah, bibirnya tertarik keatas mulai dengan senyum merekah. Ya, bayi lucu berusia 10 bulanan itu memandang Hafida yang kemudian segera merentangkan kedua tangannya minta untuk digendong.

"Kinar mau gendong tante? Sini ikut," kata Hafida kemudian menyambut uluran tangan Kinnar.

"Ibun sedang bawa adek juga sayang, calon adeknya Kinnar. Jadi Kinnar digendong papa saja ya?" tolak Amour melihat kondisi perut Hafida yang membuncit membuat Amour tidak tega menyerahkan Kinnar kepadanya.

Kinnar memang belum bisa bicara namun dia sudah mulai mengerti perintah dan larangan. Mendengar ucapan Amour yang tidak sesuai dengan hatinya seketika bibirnya menjadi turun ke bawah. Tak berselang lama mata cantik Kinnar berkabut dan pecahlah sudah tangisnya.

"Mas, sudah sini biarkan Kinnar aku yang gendong. Ikut tante yuk sayang," ajak Hafid yang mengulurkan kedua tangannya kepada Kinnar

"Ibun, mulai sekarang dibiasakan untuk memanggil ibun," kata Amour tidak menerima penolakan.

Kinnar langsung terdiam saat berada di gendongan Hafida. Amour yang menggantikan membawa tas pundak Hafida segera mengajaknya untuk bertemu kedua orang tuanya di ruang keluarga.

"Loh sayang gendong siapa itu cucu oma?" tanya Arisanti ibunda Amour.

Hafida langsung tersenyum menatap wanita paruh baya yang sedang tersenyum manis kepadanya. Dengan penuh takdzimnya di langsung mengulurkan tangan kanannya untuk menyalami dan mencium punggung telapak tangan Arisanti.

"Haduh, cucu oma lengket sekali. Kasian itu ibunnya, ikut oma saja yuk gendong sini." Kinnar justru memegang erat Hafid, tidak ingin berpindah gendongan. "Duduk Fid, saya Arisanti ibunya Amour. Pasti dia telah menceritakannya kepadamu. Maaf loh ini si Kinnar langsung saja minta gendong padahal kondisi kamu sedang hamil besar begini. Sudah berapa bulan Fid?" tanya Arisanti setelah mereka duduk.

"Enam bulan jalan Tante," jawab Hafid pada Arisanti dengan santun. Kinnar yang ada di pangkuan Hafida kini mulai memejamkan mata. Saat Amour dan Rahmat Erlangga bergabung dengan mereka Kinnar sudah beradu dengan mimpinya.

"Kinnar sudah tidur itu, sini biar aku pindahin ke kamar," pinta Amour namun secepatnya ditolak oleh Hafid. "Biarkan dulu, baru saja nanti malah nangis kalau diletakkan"

"Lah kita kapan mulai makannya, aku sudah lapar." Kata Amour sambil memegang perutnya.

Arisanti terkekeh geli, sepertinya Amournya telah kembali. Putranya yang selalu bersikap dingin dan cuek semenjak mereka pernah menjodohkannya dengan seorang wanita kini kembali menghangat.

"Yah____" Arisanti mengkode suaminya dengan menunjukkan perubahan sikap Amour.

"Iya, ada yang lain ya sekarang. Apa semua karena Hafida?" tanya Rahmad.

Amour terkekeh pelan sementara Hafida masih bingung dengan semua yang terjadi di depannya. Hafida memang sudah beberapa kali bertemu dengan Rahmat Erlangga, pemilik sekaligus pengelola rumah sakit tempat Hafida bekerja. Rahmat yang memang selalu ramah kepada seluruh karyawannya.

"Sepertinya memang kita harus berterimankasih kepada Hafida kok Bund," kata Rahmat lagi.

Pandangan Hafida hanya seperti suttlekock yang dilempar kesana kemari karena candaan mereka yang tidak dia pahami. "Yah sudah, ini Hafida bingung loh karena kita bercanda tapi dia nggak paham," jawab Arisanti masih dengan senyum lebarnya.

Rasa canggung, khawatir dan takut yang dari awal melanda Hafida kini terbantahkan dengan sikap hangat yang ditunjukkan oleh Arisanti dan juga Rahmat, orang tua Amour.

Memilih untuk meletakkan Kinnar ketika Arisanti mengajak semua untuk menikmati makan siang. Namun saat diletakkan Kinnar langsung menangis. Asih yang mencoba untuk membantu Hafida justru membuat Kinnar membuka mata lebar dan menangis kembali.

"Sudah biarin sama aku saja Mbak Sih, kasihan belum pulas juga tidurnya." Kata Hafida kemudian menggendong kembali Kinnar.

"Mour, lepas nifas ya langsung saja. Sepertinya Kinnar memang butuh sentuhan ibu," kata Rahmat yang tentu saja membuat terkejut Hafida.

"Sudah ayo makan dulu nanti kita bicarakan lebih lanjutnya," kata Arisanti mengajak Hafida yang menggendong Kinnar kembali.

Makan dengan bayi di gendongan. Tentu saja membuat Hafida sedikit kesusahan. Rahmat yang mengetahui itu segera melihat putranya. Mengkode supaya membantu Hafida untuk mengambil Kinnar dari pangguannya.

"Nggak papa Mas, biar Kinnar aku pangku saja." Tolak Hafida saat Amour meminta Kinnar.

"Kamu kesulitan makan, apa perlu aku suapin. Hmmmm?" kata Amour.

Hafida tentu langsung melotot ke arah Amour dan mendapat kekehan dari kedua orang tuanya. Masih sensitif menurut Hafida membicarakan itu apalagi di depan kedua orang tua Amour meskipun keduanya menerima Hafida dengan sangat baik.

"Saya hanya takut saja Tante, biar bagaimana pun bapak ini kan orang yang paling disegani di rumah sakit. Sebagai seorang dokter senior sekaligus pemilik rumah sakit." Kata Hafida memulai mengutarakan mengapa mereka harus memikirkan lebih jauh lagi untuk menerimanya sebagai bagian dari keluarga besar Amour. "Ditambah lagi saya ini janda yang sedang mengandung. Bahkan rumor yang beredar di rumah sakit saya ini dihamili oleh mas Amour yang waktu itu sedang menangani saya ketika saya sakit dan butuh perawatan khusus."

"Sudahlah, itu tidak perlu dipikirkan. Yang penting kalian tidak melakukan itu. Hafida sendiri pasti tahu apa yang baik dan yang tidak baik untuk diri kamu. Masalah kamu dengan Amour yang sekarang jadi bahan gunjingan di kantor, biarkanlah. Kalau mereka sudah bosan juga akan reda kembali. Yang penting kalian tidak melakukan seperti yang mereka tuduhkan. Itu sudah cukup bagi ayah dan bunda." Jawab Arisanti dengan sangat bijak.

"Jadi bagaimana Fid? Selepas nifas siap untuk menjadi ibu sahnya Kinnar juga?" tanya Rahmat lagi.

Hafida memandang Amour, Rahmat dan juga Arisanti secara bergantian. Wajah mereka memang tersenyum namun senyum dengan makna penuh keseriusan.

"Tapi saya lebih tua dari mas Amour 5 tahun Pak." Kata Hafida masih juga dengan nada khawatir.

"Apakah Amour pernah mempermasalahkan itu? Ayah dan bunda pernah melakukan satu kesalahan dengan memaksa untuk menjodohkan Amour dengan seorang wanita. Dia memang tidak menolak namun ketika kami tahu bahwa dia tidak merasakan suatu kebahagiaan, dari situlah kami belajar mengerti dan memahami hingga akhirnya saat semalam kami mendengarkan permintaan langsung dari dia untuk memperkenalkan kamu. Kami sangat yakin bahwa dia pasti sudah memiliki alasan khusus mengapa harus memilihmu." Jawab Rahmat panjang lebar.

Amour tidak menanggapi kata kata orang tuanya. Baginya sudah jelas, dengan memilih Hafida berarti dia harus berani mengambil semua risiko termasuk jika harus berurusan dengan pengadilan untuk anak Hafida yang sekarang masih ada di dalam kandungan wanita yang mungkin sebentar lagi akan sah menjadi istrinya.

"Mas___?" kata Hafida meminta kepastian dari Amour.

"Bisakah kita berjanji untuk bahagia tanpa harus menakutkan sesuatu yang memang tidak perlu kita khawatirkan." Kata Amour mengakhiri kekhawatiran Hafida.

Mata Amour menyiratkan ketegasan. Ketegasan yang didalamnya tersimpan segala tanggung jawab atas semua yang pernah diucapkan olehnya. Apalagi yang harus Hafida ragukan? Berharap Allah segera mengabulkan dan seluruh malaikat mengaminkan doa-doanya.

🍃 ___ 🍃

-- to be continued --


Jadikanlah AlQuran sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

Blitar, 22 Juni 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top