05¤ Bayang Bayang Masa Lalu
Orientasi ada di depan, bukan di belakang, harapan ada dihadapan dan merentang kita untuk datang, bukan mundur ke belakang
✏✏
Rasanya seperti menelan biji kedondong. Seret, tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba si dokter berondong yang sempat dimarahi oleh Hafida menawarkan sebuah komitmen.
Komitmen hati untuk bersama selamanya.
Bukan sebuah ide gila, kebersamaan, kesendirian, dan saling membutuhkan. Ah, saling membutuhkan? Siapa itu maksudnya? Amour dan Hafid?
"dr. Amour jangan lupakan bahwa saya sedang mengandung," kata Hafid saat mereka sedang bersama dan membicarakan sesuatu hal yang disampaikan melalui pesan singkat Amor semalam.
Amour memang hanya terdiam. Dia mengerti jika Hafid sekarang sedang hamil, bahkan perut buncitnya sudah mulai terlihat. Apapun alasannya, pernikahan tidak akan sah dilakukan saat mempelai wanita sedang mengandung. Lantas apa kabar mereka yang hamil diluar nikah kemudian dinikahkan segera untuk menutupi aibnya? Adakah suatu kelonggaran dari ketentuan yang telah ditetapkan?
Dalam hadist shahih Bukhari dijelaskan bahwa adanya larangan menimpakan benih diatas benih saudaranya. Ini cukup menjelaskan bahwa memang sudah ada peraturan khusus yang membahas tentang masalah larangan pencampuran sperma.
Pernikahan sah menurut negara namun secara syar'i belum aman. Istibro' dan menikahlah kembali setelahnya.
Lantas bagaimana dengan anak yang dilahirkan dari hasil perzinaan tersebut jika yang menutup aib dan menikahi ibunya adalah pemilik benih yang tertanam di rahim.
Nabiyullah bersabda, Alwaladu lilfiroosyi walil'aahiril khajaru. Anak dinasabkan kepada pemilik ranjang. Sedangkan laki-laki yang menzinai hanya akan mendapatkan kerugian.
Ringkasnya adalah, anak hasil perzinaan itu tidak memiliki ayah karena nasab ikut garis ibu meskipun secara biologis ayahnya telah menikahi sang ibu, anak itu tidak saling mewaris dengan laki-laki yang menjadikannya ada di dunia, jika dia anak perempuan dan di kala dewasa menikah maka yang berhak menjadi wali nikahnya adalah hakim karena dia tidak memiliki wali meskipun ayah biologisnya telah menikahi ibunya.
Amour tahu pasti tentang masalah itu. Tapi dia hanya menawarkan sebuah komitmen. Jika Hafida bersedia tentu dia akan melaksanakan setelah Hafida melahirkan dan suci dari nifasnya.
Jika dipertanyakan apakah rasa cinta sudah menjadi bayang bayang hatinya. Tentu saja belum, hanya sebuah kata nyaman manakala Amour melihat Hafida begitu tulus menyayangi Kinnar. Memberikan sebuah sentuhan yang selama ini belum pernah dia rasakan.
Sejak kematian istrinya memang Amour sedikit terbuka. Bukan karena masalah ingin menceritakan ungkapan perasaan yang dia rasakan saat ini. Tapi dia lebih banyak sharing untuk tumbuh kembang Kinnar.
Dunianya sekarang adalah Kinnar, Amour tidak ingin lebih daripada itu. Kebahagiannya kini adalah melihat senyum Kinnar. Senyum matahari jiwanya.
"Aku paham kamu sedang hamil Hafid. Pastinya jika kamu menyetujui, kita akan melaksanakan setelah kamu bersih nifas." Jawab Amour setelah beberapa lama dia terdiam dan sesekali menatap wanita yang belum halal untuk hidupnya.
Hafida hanya diam dan terpekur tidak tahu harus menjawab apa. Dia masih belum ingin memulai sesuatu yang baru. Kemarin dia baru saja diterima sebagai karyawan administrasi dan keuangan di rumah sakit tempat Amour bekerja.
Sebenarnya berkat jasa Amour juga yang memberikan informasi sekaligus rekomendasi. Tapi selain itu memang di rumah sakit sedang membutuhkan tenaga adminkeu secepatnya dan Hafid memenuhi persyaratan yang dikriteriakan.
Dia bingung harus menjawab apa, ingin sekali menolak karena hatinya tidak menginginkan itu. Namun Hafida tidak menampik bahwa tidak ada nada bercanda dari setiap kalimat yang diucapkan oleh Amour kepadanya.
"Dokter tahu tidak jika usia saya jauh lebih dibandingkan dengan usia dokter saat ini. Kondisi saya, siapa saya, siapa dokter, orang tua dokter. Apa kata masyarakat jika mereka mengetahuinya. Belum lagi rekan kerja di rumah sakit." Kata Hafida lirih akhirnya.
"Hanya 5 tahun Hafida, tidak akan merubah apa pun. Tidak ada masalah dengan orang tuaku, semenjak kematian ibunya Kinnar mereka menyerahkan semuanya padaku." Kata Amour meyakinkan Hafid. "Satu hal lagi, jangan panggil aku dengan sebutan dokter jika kita tidak sedang bertugas. Terserah kamu mau memanggilku apa." Tambahnya sebagai penegasan.
"Dik Amour?" tanya Hafid dengan sedikit tersenyum. Bukan karena ingin mengejek tapi lebih karena dia ingin memberikan penekanan bahwa mereka terpaut jarak usia.
"Sekali lagi kamu ucapkan itu, saat ini juga aku seret ke KUA untuk halalin kamu!" Kata Amour geregetan dengan ucapan Hafida.
Akhirnya keduanya kembali terdiam hingga Mba Sih yang sedari tadi mengajak Kinnar bermain telah kembali. Amour memang sengaja mengajak mereka berdua supaya tidak hanya berduaan dengan Hafid.
Minggu pagi di taman yang dirasa cukup ramai pasti sangat menyenangkan untuk Kinnar bermain. Matahari memang sudah mulai meninggi dan sepertinya mereka harus berpindah tempat. Kali ini Hafid yang mengambil alih untuk menggendong Kinnar.
"Anak cantik sudah capek mainnya?" seperti terkena sihir dari sorot mata Hafid. Balita yang tadinya merengek serba salah dengan yang dia lakukan menjadi terdiam di tangan Hafid.
"Mbak Sih, bisa buatin susu buat adik?"
Akhirnya setelah botol susu itu menancap di bibir dan dengan sedikit ayunan. Kinnar terlelap di pelukan Hafida. Pemandangan yang cukup membuat hati Amour menghangat seketika.
"Kita nyari makan yuk, sekalian diniatkan wiskul agak jauhan juga nggak apa-apa. Mbak Sih sanggup kan?" ajak Amour.
"Waduh kalu saya ayo aja. Mbak Hafid bagaimana ini setuju nggak?" kata mbak Sih.
"Ehmmm, boleh asal tidak berdua saja dengan dokter Amour," jawab Hafida akhirnya.
"Hafid, bisa tidak mulai sekarang jangan panggil dokter lagi. Itu cukup di kantor, di rumah sakit saja." Sekali lagi Amour mengingatkan Hafid atas kesepakatan yang tadi telah dia minta.
Jelas Hafida masih bingung dengan permintaan Amour, semuanya masih digantung. Rasanya serba mendadak. Perkenalan singkat mereka antara dokter dan pasien, pertemuan dengan si cantik Kinnar yang bisa dikatakan sebuah kecelakaan dan juga dengan bantuan Amour atas pekerjaan yang kini telah menjadi tanggung jawab baru untuk Hafid.
Tidak ada yang mengatakan bahwa Amour tidak baik. Dia baik, pintar dan tentu saja sebagai seorang dokter penampilannya cukup menarik ditunjang lagi wajah rupawan lelaki jawa yang menawan, kalem tapi berwibawa.
Mobil yang mereka tumpangi kini bergerak dari Sindu Kusuma Edupark Sleman menuju ke daerah utara yaitu Niron Pandowoharjo.
"Kamu nggak alergi dengan jamur kan?" tanya Amour di belakang kemudi.
Ya mereka bergerak menuju resto yang menyajikan masakan khas yang terbuat dari olahan jamur. Mau apa pun nama makanannya bahan dasarnya adalah jamur.
Setelah dua puluh lima menit akhirnya mereka berada di area parkir restoran yang dimaksud oleh Amour. Jejamuran, resto yang ada di Niron Pandowoharjo ini memang menyajikan olahan yang berbahan dasar dari jamur.
"Ayo turun kita makan dulu. Adek Kinnar belum bangun, biar aku saja yang gendong," kata Amour setelah sempurna memarkirkan mobilnya.
Amour berjalan terlebih dahulu dengan menggendong Kinnar dan diikuti oleh Hafid dan juga Asih.
Entahlah karena Hafida sedang meleng atau memang karena sedang mencari tempat duduk yang sudah hampir penuh, tanpa sengaja dia menabrak pundak seseorang hingga menyebabkan mereka berdua terhuyung.
"Maaf, saya tidak sengaja," kata Hafida secepatnya dengan tertunduk sebelum orang yang ditabrak melabraknya karena marah.
Tidak ada jawaban yang keluar dari wanita yang kini berdiri di hadapannya. Namun sebuah suara yang agak jauh dari mereka segera membuat Hafida menaikkan pandangannya.
"Hafid___?" sepertinya dia mengenal Hafida. Yang jelas suara laki-laki itu bukan milik Amour.
Amour yang daritadi memperhatikan akhirnya menghampiri Hafida yang masih terbengong melihat dua orang di depannya.
"Hafid, kamu mengenal mereka?" tanya Amour yang dijawab gelengan kepala oleh Hafida.
Tiba-tiba saja lelaki yang berada di depannya itu tertawa lantang. Sedangkan wanita yang berada di sampingnya tersenyum sinis melihat perut Hafid yang membuncit.
"Baru saja kelar masa iddah, eh apa kabar itu perut kok membuncit. Jadi memang bener Mas pilihanmu untuk menceraikannya dulu. Wanita nggak bener, tutupnya saja dapat. Pake jilbab syar'i kelakuan minus." Kata wanita cantik nan seksi karena memakai pakaian kurang bahan yang ada di depan Hafida berkata lirih di dekat telinga laki-laki disampingnya tapi masih cukup untuk di dengar oleh Amour, Hafid dan Asih.
"Astaghfirullahaladziim," kata Amour setelah keduanya terdiam. Satu hal yang baru mulai dimengerti oleh Amour. Bahwa laki-laki yang berdiri di depan Hafida ini kemungkinan terbesar adalah mantan suami dari wanita yang baru beberapa jam yang lalu ia ditawarkan sebuah komitmen.
Ada benang merah juga yang akhirnya bisa disimpulkan oleh Amour bahwa kecelakaan yang menimpa Hafida dulu kemungkinan karena Hafid merasa terpuruk hingga akhirnya musibah itu menimpanya. Yah sudah jatuh tertimpa tangga, tapi untunglah amnesia yang diderita oleh Hafid menyelamatkannya untuk tidak perlu mengingat kenangan buruk bersama dengan laki-laki yang berada di depannya itu.
Melihat semuanya membuat Amour menjadi berubah pikiran. Awalnya dia ingin menyembuhkan Hafida tapi rasanya dia lebih baik membiarkan sebagian ingatan Hafida menghilang.
"Maaf, Anda ini siapa? Saya tidak mengenal Anda mengapa mulut Anda setajam itu menyepelekan pakaian yang saya kenakan." Kata Hafid diluar dugaan Amour. Dia pikir Hafid akan diam dan memilih berlalu, nyatanya dia salah Hafid memilih untuk menegur orang yang menghina pakaian yang dia kenakan.
"Heh, apa kamu lupa kamu yang mengambil alih mas Yudha dari aku. Untung saja mas Yudhaku tidak termakan oleh rayuan buayamu!" kata wanita itu geram.
"Yudha? Yudha siapa bahkan saya tidak mengenalnya. Asal Anda tahu ya, meski harga pakaian yang saja kenakan lebih murah dari pakaian yang Anda kenakan. Tapi dengan seperti ini saya tidak murahan untuk memperlihatkan aurat kepada orang yang tidak menjadi mahram saya. Anda boleh menghina saya, tapi tidak dengan syariat yang saya pegang." Kata Hafid kemudian menarik tangan Asih untuk segera berlalu.
Percakapan singkat Hafid dengan Yudha memang sedikit menyedot perhatian pengunjung. Bahkan Kinnar yang berada di gendongan Amour pun menjadi terbangun.
Hafida segera merapalkan kalimat istighfar. Menekan emosi apalagi saat sedang hamil itu memang sangatlah susah. Kadang ingin marah tiba-tiba menjadi melow dan ingin menangis semua iti dilalui Hafida seorang diri.
Tidak sekalipun dia ingin berbagi dengan orang lain bahkan bu Yulianti yang sejak dia kecil telah mengenalnya dengan baik.
"Kamu tahu, itu juga yang menjadi alasanku mengapa tadi pagi aku menawarkan sebuah komitmen kepadamu," kata Amour setelah mereka duduk.
Hafida terdiam kembali. Rasa rasanya jika seperti ini dia memang butuh seseorang. Hamil dan tanpa suami itu seolah di masyarakat begitu menjijikkan. Padahal dibalik kehamilan Hafida itu tentunya bukan karena dari hasil perbuatan zina. Dia menikah tetapi kemudian diceraikan oleh suaminya disaat sedang mengandung tapi belum diketahuinya. Subhanallah, rasanya begitu pelik.
Angan Hafida mencoba untuk mengingat. Siapakah Yudha yang dimaksud oleh wanita itu. Mengapa dia menuduh telah mengambil dan merebutnya.
Seingat Hafida dia tidak pernah sekalipun pacaran. Tidak juga dekat dengan seorang pria kecuali cerita dari bu Yulianti juga Menik dan mas Yoga bahwa dia pernah menikah kemudian digugat cerai.
"Apakah Yudha itu tadi mantan suamiku? Mengapa aku tidak bisa mengingat wajahnya sedikit pun?" kata Hafida lirih seperti sedang bertanya pada dirinya sendiri, namun sayang Amour telah mendengarnya.
"Mungkin, kamu bisa menanyakan kepada ibu mertua atau mantan kakak iparmu. Apakah Yudha itu adalah mantan suamimu?" jawab Amour.
Tidak ingin merusak suasana makan siang mereka kini Hafida memilih untuk menghempaskan pikirannya sejenak, menghalau untuk berlalu pergi ketika seorang pramusaji telah membawakan beberapa jenis makanan yang telah dipesankan oleh Amour ke meja mereka.
"Jangan paksakan untuk mengingat sesuatu saat kamu tidak bisa. Beban pikiran itu akan menambah sakit nantinya untuk sistem syaraf otak. Biarkanlah semuanya berjalan sesuai dengan semestinya," kata Amour.
"Bukannya dulu kamu ingin aku bisa kembali mengingat memoriku yang sebagian terhapus?" tanya Hafida.
"Iya, tapi sekarang aku berubah pikiran."
"Maksudnya?"
"Lebih baik kamu tidak mengingat peristiwa menyakitkan dalam hidupmu agar kedepan kamu bisa mengecap bagaimana rasa bahagia itu. Bersamaku," jawab Amour. Kali ini Asih juga ikut majikannya tersenyum menatap Hafida.
"Terima saja Mbak Hafid, pak dokter orangnya baik nggak neko-neko, nggak banyak tingkahnya." Promosi Asih sudah seperti pedagang asongan yang menjajakan jualannya.
Hafida hanya tersenyum gagu. Hatinya masih belum bisa menerima siapa pun. Dia masih ingin sendiri, melahirkan dan membesarkan anaknya seorang diri.
"Dik Kinnar mau adik? Nanti jadi punya teman main." Tiba-tiba suara Asih menginterupsi hayalan Hafida. Kinnar yang diajak bicara seolah mengerti apa maksud Asih segera tersenyum dan menggerak gerakkan kakinya dengan lincah.
Amour yang merasa didukung anaknya pun semakin semangat untuk membuat Hafid yakin akan penawaran yang dia ajukan. Bolehkah dia bersorak sementara Hafid masih shock dengan ungkapan dan penawaran dari Amour tentang keinginannya untuk melamar Hafida.
Meski masih meragu namun hati Hafida terasa sangat nyaman berada di antara Amour dan juga Kinnar. Atmosphere yang tercipta diantara keduanya memberikan energi positif untuk Hafida.
Sorot mata Kinnar yang begitu menggemaskan juga dengan perhatian yang Amour berikan telah menyentuh sebagian sisi hatinya yang kosong.
Tidak ada yang tidak mungkin, hanya saja Hafida masih ingin menikmati semuanya sendiri. Dia tidak ingin merasa terganggu atau diganggu. Terlebih karena banyak hal yang harus segera dia tata dan dia perbaiki dalam hidupnya terlebih dulu.
🍃 ___ 🍃
-- to be continued --
Blitar, 22 Mei 2019
Tetapkanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top