03¤ Senja di Abhayagiri
Pondasi kehidupan itu bukan hanya dari orang tua yang mengenalkan kita pada dunia. Terpenting namun seringkali dilupakan bahwa andil terbesar adalah nurani kita sendiri, akan dibawa kemana kehidupan itu nantinya bermuara
🏹🏹🏹
Hafid memandang langit yang membiru. Hatinya seolah mencelos, harapannya mungkin tinggal harapan. Namun dia sadar, hidup harus terus berlangsung dengan atau tanpa dia bekerja.
Menunggu? Kuburkan saja harapan itu, terlalu tinggi melangitkan harap itu akan semakin sakit manakala tidak sesuai dengan kenyataan.
Bukankah kalimat sederhana dari Syaidinna Ali bin Abi Thalib telah mewakilinya. 'Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia'. Tidak, berharap tentu saja harus kepada dzat yang menciptakan manusia ada, Allah Azza wa Jalla.
Menyisir kembali kenangan yang bisa diingat. Bibir Hafida kini sedikit melengkung ke atas. Entahlah, hatinya berkata sore ini dia ingin menghabiskan harinya dengan bersatu bersama senja di Abhayagiri.
Tak perlu banyak alasan, karena memang otaknya kini tidak memerlukan itu. Semakin dia mencari semakin dia akan merasakan kesakitan yang tak tertandingi rasanya.
Allah benar-benar menutup sebagian kenangan yang memang pantas untuk dia lupakan. Itu yang dia tahu dari orang yang menyebutnya sebagai 'ibu mertua'.
"Dengan siapa kamu kesana Hafida?" tanya Yulianti yang kini sedang menyiapkan makan malam untuk anak-anak panti dibantu oleh beberapa tenaga sukarelawan.
"Sendirian Bu. Hafid hanya ingin memandang senja di sana," jawab Hafida kemudian tersenyum manis kepada ibu asuh yang telah merawatnya.
Tidak banyak yang tahu memang bagaimana hati dan kehidupan Hafida sebelumnya. Meski Hagid termasuk orang yang sangat supel dan ramai. Namun masalah hati dan perasaan dia sangat tertutup. Cerita hidupnya bukan untuk dibagi, jadi jika ada yang bertanya kepada Menik maupun Yulianti pasti mereka akan menggelengkan kepala.
Hafida terlalu sempurna menutup lukanya seorang diri.
Atau karena itu 'mantan' suaminya memilih untuk meninggalkannya? Entahlah, satu yang Hafida ingin yaitu menjaga dan membesarkan amanah yang telah Allah titipkan dan kini berkembang di dalam rahimnya.
"Ibun akan menjagamu semampu dan sekuat tenaga. Sabar dan berkembanglah di sana, kita berjuang bersama ya Nak," kata Hafida sebelum dia menstater sepeda motor dan melesatkan diri ke daerah timur kota perbatasan Sleman dengan Klaten.
Daerah yang sedikit menanjak di Sambirejo Prambanan ini memberikan nuasa yang apik. Konsep resto yang cukup instagramable ditambah dengan sapuan pemandangan yang memperlihatkan rumpunan hijau dari atas menambah artistiknya restoran yang di bangun di daerah perbukitan. Melewati sedikit hutan dan jalanan berkelok tidak menyurutkan niat Hafida merapat ke sana.
Hening dalam kesunyian. Berteman dengan es kelapa muda yang bercampur sirup melon. Hafida mencoba untuk membuat sketsa frame work untuknya ke depan.
Siapa yang tidak menginginkan hidup berkecukupan?
Semua sudah digariskan. Sersan, serius tapi santai Hafid mulai berpikir untuk membuka usaha atau mencoba untuk melamar beberapa pekerjaan. Dia sangat membutuhkan itu, demi janin yang ada di rahimnya.
Tak terasa semburat senja yang mulai menampakkan cahaya jingga mulai menyapa wajahnya. Sedikit temaram, lampu lampu di taman Abhayagiri yang menghadap ke view hijaunya persawahan dan sedikit ngarai yang terlihat cukup meneduhkan mata dari atas, mulai dinyalakan.
Itu tandanya hari segera berganti dan malam mulai membayangi.
Seorang waiters membawakan nampan dengan pesanan penuh. Hafida ingin menikmati gurame bakar sore ini.
Meskipun berkeseorangan, tidak mengendurkan niatkan melahap ikan seberat 0.6 kg. Cukup untuk membuat cacing-cacing di perutnya bungkam.
Larut dalam nikmatnya menyelami rasa gurame bakar yang begitu legit dilidah. Sedikit asam yang membuatnya sesekali harus memejamkan matanya, seolah lupa bahwa banyak mata yang memperhatikannya.
Biarlah, toh mereka juga tidak mengenal Hafida. Pikirnya.
Hingga tanpa sengaja kakinya dipegang oleh sesuatu mungil yang berbau khas. Segar, mengalahkan segarnya udara yang dia hirup sebelumnya. Minyak telon dan shampo khas wangi bayi menyeruak hidungnya.
Seperti bermimpi kakinya ditarik oleh makhluk kecil yang menggemaskan. Balita perempuan kira-kira masih berusia 8 bulan itu merangkak dan mendekati Hafida.
Senyumnya merekah sempurna memperlihatkan ruang ompong di rongga mulutnya. Bahkan giginya pun seolah belum menampakkan diri. Hanya dua baris gusi yang memerah.
Rambut bergelombang dan pita berwarna merah sangat serasi dengan pakaian yang kini dia kenakan.
"Hai, anak bayi nan cantik. Dimana orang tuamu, hmmmm? Mengapa mereka membiarkanmu sendirian?" sapa Hafida akhirnya segera menyudahi proses makan dan mencuci tangannya dengan air yang telah di sediakan di sebuah bowl kecil.
Sang balita merentangkan tangannya merajuk untuk Hafida membawanya ke dalam gendongan.
"Baiklah, demi bayi yang cantik ini. Come, tante gendong. Tapi kita ke washtafel sebentar ya cuci tangan supaya bersih dan tidak berbau." Seolah mengerti dengan apa yang disampaikan Hafida bayi itu pun akhirnya mengiyakan tanpa protes.
Kedipan mata belok sang bayi mengingatkan Hafida pada seseorang. Sangat akrab namun rasanya di otaknya kini seperti pita kaset yang ruwet dan sangat susah untuk diluruskan kembali.
Saat Hafida memutar kran dan air yang mengucur dari dalamnya. Sontak sang bayi yang kini ada di gendongan Hafida ikut menengadahkan tangannya yang mungil meminta kebaikan hati Hafida untuk membantunya bermain main dengan air. Hei, bukannya hampir setiap anak kecil sangat menyukai itu. Mengapa Hafida melupakan itu, hingga akhirnya mereka akan meracau protes saat dipisahkan dengan gemericiknya.
Dan see, benar seperti dugaan sebelumnya. Sang bayi mulai merengek meminta bermain dengan air lagi.
"Anak cantik, sudah ya. Kita kembali ke meja. Nanti orang tuamu pasti kebingungan mencarimu. Tante tidak mau dituduh macam macam ya sayang. Cup jangan menangis," Hafida mencium kedua kelopak mata sang balita yang hendak menangis itu.
Seperti tersihir, bayi yang telah melengkungkan bibirnya kebawah itu justru melihat Hafida dengan tatapan yang sangat dalam. Menggerakkan kedua kakinya kemudian menempelkan kepalanya ke dada Hafida.
Deg..Deg
Seperti inikah rasanya menjadi ibu. Ya Rabb, baru tersadar aku betapa nikmat dan bahagianya seperti saat ini.
Malaikat kecil ini seperti Engkau kirim untuk membantuku semakin bersyukur atas semua nikmatMu. Tak sabar menantikannya segera lahir dan memanggilku 'ibun'.
Sudah hampir setengah jam Hafida bercengkerama dengan sang bayi namun sepertinya kedua orang tua bayi ini tidak seberapa menggubris dan seolah seperti merasa tidak kehilangan anaknya.
Atau jangan-jangan _____. Otak liar Hafida mulai membayangkan tentang pembuangan beberapa bayi yang tidak diinginkan kedua orang tuanya. Betapa kejam mereka, karena perbuatan mereka bayi yang tidak bersalah pun terkena imbasnya.
Hafida pun mencoba untuk bertanya kepada beberapa security, pelayan dan pegawai yang ada di resto itu, namun jawabannya sama, tidak mengetahui siapa orang tua bayi yang ada di gendongan Hafida.
"Baiklah Pak kalau begitu saya mohon untuk bisa membersihkan meja yang saya pakai tadi tapi jangan diberikan ke orang lain ya, karena sudah adzan maghrib saya sholat dulu setelahnya saya akan kembali duduk untuk menunggu orang tua bayi ini. Atau kalau misalnya selama saya berada di mushola orang tuanya datang mohon untuk menunggu sebentar," pesan Hafida yang disetujui oleh pelayan resto
"Ayo cantik, kita penuhi panggilan Rabb. Kita sholat maghrib dahulu." Setelah berkata seperti itu tentu saja Hafida menghujani bayi yang menggemaskan itu dengan ciuman yang bertubi-tubi di kedua pipi montoknya sampai si bayi terkikik geli akibat ulah Hafida.
Sementara di sisi kota yang lain, seorang laki-laki begitu tergesa menekan gas mobilnya. Berharap bisa melajukan kereta besi miliknya secara maksimal karena dering telepon yang memanggilnya. Darurat dan sangat mendesak, butuh penanganan dengan segera.
Bukan hanya khawatir namun juga karena sebuah tanggung jawab. Harusnya sore ini dia bisa menikmati hari libur bersama keluarga kecilnya. Namun sayang, panggilan mendadak itu harus membawanya segera menuju pekerjaan yang memang menjadi tanggung jawabnya selama ini.
Kedua tangannya masih setia memainkan setir bundar dan tuas persneling. Sedangkan kedua kakinya bermain dengan gas, rem dan kopling.
Di telinganya masih menempel earphone yang tersambung dengan gawai miliknya. Dengan sedikit arahan dia meminta kepada rekan kerjanya untuk menghandle masalah hingga saat ia tiba di tempat kerja.
Nyawa dan anfal, dua kata yang seringkali menjadi penyebab mengapa harus disegerakan.
Periculum in mora
Hingga akhirnya selama hampir satu jam. Bergelut dengan kemacetan, kini lelaki gagah bak model itu telah berhasil menghentikan parkir mobil di tempat parkir khusus untuknya dan segera melenggang untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat.
"Selamat malam Dok, pasien Adbizar mengalami stuck_____" seorang perawat menjelaskan sedikit kronologi yang kini sedang menimpa salah satu pasien yang terbaring di bangsal rumah sakit dan butuh penanganan dengan segera.
Rekam medis yang berada di map berwarna biru itu segera diraih dan dibacanya dengan seksama. Beberapa kali terlihat kerutan di keningnya kemudian menorehkan beberapa catatan. Dan seperti tersadar dari bungkamnya akhirnya deretan kalimat menghiasi bibir merah muda miliknya.
"Siapkan ruang operasi, kita lakukan tindakan saat ini juga. Pastikan juga keluarga sudah menandatangani semua administrasinya." Perintahnya yang memang harus dituruti oleh seluruh tim dibawah kendali koordinasinya.
"Clear Dok, anaestesi juga sudah siap."
"Ok."
Sekecil-kecilnya operasi yang dia tangani paling tidak butuh waktu minimal 2 jam. Tetap fokus dengan tingkat stressing tertinggi dan menyerahkan segalanya kepada sang pemilik kehidupan.
Akhirnya lampu operasi berubah menjadi hijau setelah 2.5 jam berlalu.
Hembusan nafas besar dan ucapan hamdalah menguar dari bibir kecilnya. Otaknya perlu istirahat sejenak, pekerjaan dadakan di akhir pekan ini membuat rongga di sudut kepalanya sedikit berdenyut.
Pelan dia mengisi rongga diafragma dengan oksigen sempurna. Menyegarkan kembali aorta untuk mengalirkan darah keseluruh tubuhnya dengan baik.
Hingga saat tenang dia bisa kembali berpikir dan mengingat apa yang sebelumnya dia lakukan. Sekelebat ingatannya membuat dia terhenyak dan mengangkat tubuhnya segera.
"Astaghfirullah, bagaimana mungkin aku bisa melupakannya." Seperti orang yang sedang frustasi dia kembali bermain dengan pedal gas, rem dan kompling. Tangannya kini menggenggam erat setir bundar dan beberapa kali menekan klakson tanda kesabarannya kini mulai menipis.
Rasanya dunianya akan kembali runtuh jika dia harus kehilangannya.
Sementara itu Hafida yang mulai terusik dengan waktu mulai gusar. Sudah 3 jam lebih bayi cantik itu berada dipangkuannya, tanpa dia tahu siapa pemilik ataupun orang tuanya. Jika bertemu rasanya Hafida ingin sekali mencakar cakar muka orang tuanya. Bagaimana mereka bisa setega itu meninggalkan bayi secantik ini sendirian di tempat yang ramai.
Apa mereka tidak takut akhir-akhir ini banyak penculikan anak atau memang benar bayi ini sengaja ditinggalkan oleh kedua orang tuanya.
"Maaf Bu Hafida, resto kami setengah jam lagi akan tutup. Apa sebaiknya kita laporkan saja ke polsek terdekat." Kata seorang security yang akhirnya berkenalan dengan Hafida.
"Hmmmmm, gimana ya Pak. Saya tunggu saja sampai resto ini tutup ya Pak. Setidaknya kita sudah menunggu sampai maksimal, kalau nanti orang tuanya tidak datang kita laporkan ke polsek terdekat," jawab Hafida.
Rasanya memang sangat menyenangkan. Bermain dengan anak bayi itu, dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan balita cantik yang kini berada di pangkuannya. Tapi sekali lagi Hafida paham jika itu bukan miliknya. Seandainya orang tuanya tidak datang menjemput dia pasti akan sukarela mengasuhnya dengan kedua tangannya.
Berandai dalam angan, mungkin itu judul yang pas untuk menggambarkan keadaannya kini.
Waktu memang terus berjalan. Bayi yang tadinya ceria itu mulai menguap dan memasang muka ngantuknya.
Dengan penuh kelembutan, Hafida menepuk pantat sang bayi dengan menimangnya dengan penuh cinta. Hingga akhirnya dia terlelap dan dengkuran halus mewarnai hembusan nafas yang mulai teratur.
Allah maha sempurna menciptakan makhluknya.
Mencium jari mungil yang kini mulai membuka. Masih harum, wangi minyak telon khas anak anak selepas mandi. Memandang yang tidak pernah memberikan kata bosan.
Hafida melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Tepat tiga puluh menit dari security yang mengingatkannya tadi, itu tandanya resto ini harus segera di tutup dan Hafida harus merelakan untuk melaporkan sang balita ini ke polsek terdekat.
Kini Hafida melangkah pelan menuju tempat parkir dimana dia memarkirkan motornya. Bagaimana caranya dia menuju ke polsek terdekat. Dengan balita yang ada di gendongannya ini tidak memungkinkan untuknya mengemudikan sepeda motor maticnya.
"Pak, sepertinya saya butuh bantuan. Saya tidak mungkin membawa anak ini sendirian karena saya naik motor. Bisakah kiranya ada yang mengantarkan saya ke sana?" tanya Hafida kepada salah seorang security.
"Owh, tentu Bu. Saya juga akan ikut ke sana tapi mohon ditunggu sampai resto benar-benar tutup dan para pegawai juga keluar dari sini." Jawabnya.
"Baiklah," Hafida hanya mengucapkan jawaban singkatnya. Hembusan angin malam memang tidak baik untuk anak balita dengan segera Hafida membungkus balita itu dengan jaket miliknya. Setidaknya bisa sedikit mengurangi rasa dingin.
Saat semua sudah siap, sebuah mobil SUV berwarna putih memasuki area parkir.
Seperti orang yang tergesa-gesa bahkan dia memarkirkan mobilnya tidak center. Sedikit terburu bertanya kepada seorang security. Dibalik sikapnya yang terkesan terburu-buru Hafida menangkap sosoknya seolah begitu familiar.
"Hafida____" teriaknya lirih tepat dihadapan Hafida.
Mengerjapkan matanya beberapa kali untuk memastikan. Akhirnya Hafida tersadar siapa lelaki yang berada di hadapannya.
Senyum itu, ah____.
🍃 ___ 🍃
-- to be continued --
Nah siapa tuh yang ditemui sama Hafida ???
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top