02¤ Hamil dan Unemployee

Merendahlah kamu sampai serendah rendahnya hingga tidak ada lagi orang lain yang merendahkanmu

🏹🏹🏹

Setelah dinyatakan sembuh, Hafida diperbolehkan untuk pulang. Namun dia masih tetap melakukan pengecekan jalan. Empat hari yang lalu saat seorang perawat yang diminta oleh dokter Amour menghubungi tempat kerja sekaligus panti asuhan yang telah disebutkan Hafida. Beberapa orang mendatangi kamar perawatan Hafida. Termasuk juga bu Yulianti datang untuk menjenguknya.

"Cupid, ya Allah ternyata kamu kecelakaan. Mengapa tidak ada kabar sama sekali. Kami mendatangi rumahmu tapi tidak menemukan seorangpun disana. Suamimu juga tidak ada." Suara heboh menyapa kamar rawat inap Hafida. Beberapa orang wanita datang menghampiri, semuanya memakai pakaian dinas casual.

"Cupid, bagaimana ceritanya ini? Kita sampai kehilangan kontak denganmu. Tau nggak si, sampe lapor polisi perihal orang hilang. Karena kamu benar-benar seperti raib ditelan bumi. Bahkan sampai bu Yulianti pun nggak tahu keberadaanmu." Hafida masih memandang satu persatu orang orang yang ada di depannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Rasanya mereka sangat akrab dengan Hafida bahkan memanggil Hafida pun tidak dengan namanya melainkan menggunakan kata 'cupid'. Seingatnya, hanya orang orang terdekat yang memanggil dia dengan sebutan itu.

"Alhamdulillah, keadaanku sudah mulai membaik. Tapi maaf sebelumnya, kalian ini siapa?" akhirnya Hafida mengeluarkan juga pertanyaan yang dia simpan dalam hatinya.

Seolah cengo semuanya mendengar pertanyaan Hafida. Jadi setelah semuanya heboh bertanya ini itu dan Hafida sendiri senyum senyum melihatnya, tiba-tiba kini mereka ditanya seolah Hafida tidak mengenal mereka satu pun.

"Prankkkkkk____" kata salah satu teman Hafida sambil tertawa. Biasanya memang Hafida ceria dan usil sama teman teman kantornya. Jadi mereka pikir kalau kali ini Hafida ingin mengeprank teman-temannya.

"Prank?" tanya Hafida dengan muka polos dan sarat kebingungan.

Semuanya akhirnya terdiam dari tawa. Melihat dengan jelas wanita yang terduduk di hospital bed. Sepertinya memang benar, Hafida tidak sedang mengeprank mereka. Wajahnya tetap dengan semburat kebingungan bahkan di menit ketiga setelah semuanya terdiam.

"Cupid. Kowe rak kenopo-kenopo toh, ngopo kok plonga-plongo ngunu wi? Awak e ki kabeh mrene meh tilik kowe." Kini perbincangan mereka sepertinya memang harus serius. Teman teman Hafida mulai menyadari ada sesuatu yang salah dengan temannya kini -- Cupid, kamu nggak kenapa kenapa kan, mengapa kok bingung seperti itu. Kita semua kemari ini mau membesukmu --

Belum juga dijawab oleh Hafida, pintu kamar terbuka dan dua orang berjalan mendekati hospital bed yang kini diduduki oleh Hafida.

"Bagaimana Bu Hafida, sudah merasa lebih baik lagi? Semuanya sudah stabil jika tidak ada yang dikeluhkan lagi kemungkinan besok sudah bisa pulang ke rumah."

"Sudah Dok, alhamdulillah, jalan juga sudah bisa baik. Tapi ada satu yang ingin saya tanyakan. Mengapa terkadang saya tidak bisa mengingat sesuatu seperti orang yang mengenal saya dengan baik tapi saya tidak mengenal mereka. Seperti ini contohnya, teman-teman saya ini mengenal saya dengan baik tapi sepertinya saya belum pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Bisakah Dokter___, Dokter Amour menjelaskan?" dari pin hitam di dada kanannya jelas lelaki bersnelli itu memiliki nama Amour Erlangga.

Senyum tipisnya mengingatkan Hafida atas beberapa penggalan film hidupnya yang entah tanpa ujung yang jelas, hilang dan yah, sebaiknya memang dia harus berselancar manja dengan gawai di tangan kanannya, apa makna dari kata Amnesia Retrograde.

Akhirnya seluruh temannya mengerti apa yang sekarang tengah dialami oleh Hafida. Dia menderita amnesia dari sebagian part hidupnya lebih tepatnya beberapa tahun sebelum kejadian kecelakaan yang telah menimpanya.

"Ya Allah Cupid, maafkan kita ya. Kita benar-benar tidak tahu tentang keadaanmu. Ok kita perkenalkan diri ya mungkin bisa membantu ingatanmu kembali sedikit demi sedikit." Akhirnya satu persatu dari teman teman Hafida memperkenalkan diri. Mencoba mengingatkan kembali beberapa memori yang mungkin paling berkesan bagi Hafida.

Hafida memang tertawa namun seolah tawanya itu hampa, kosong tidak ada isinya. Dia hanya tahu bahwa itu cerita lucu tetapi tidak bisa mengingat bahwa dialah yang menjadi penyebab kelucuan itu ada.

"Maaf, tapi aku tidak bisa mengingat semuanya teman-teman"

"Wes rak popo. Kowe butuh istirahat sing okeh. Awak e muleh disik yo, sesuk gantian mrene ngancani kowe maneh." -- sudah tidak apa apa. Kamu butuh istirahat yang banyak. Kami pulang dulu, besok bergilir kesini untuk menemanimu --

"Matur nuwun Mbak Wahyu"

Kembali ruangan kamarnya sepi. Sepeninggal teman-temannya, Hafida kembali berselancar pada gawai yang telah terkoyak sebagian layarnya. Mungkin karena kecelakaan itu membuat LCD layar pipihnya itu retak.

Membuka kembali galeri foto yang ada di gawai hitamnya. Memang banyak sekali kegiatan yang terabadikan di sana dan banyak juga diantaranya yang tidak bisa diingat oleh Hafida.

Mendengar dia akan segera diperbolehkan pulang oleh dokter, ada sedikit rasa bahagia. Terus terang Hafida ingin sekali bertemu dan mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah menanggung semua biaya pengobatannya selama dia berada di rumah sakit.

Dan sepertinya doa Hafida dikabulkan oleh Allah. Keesokan pagi dokter Amour berkunjung ke kamar rawatnya guna memastikan kondisi terakhir Hafida bersama suster Melda, sahabat Hafida selama dirawat di rumah sakit, Yulianti, dan dua orang lagi yang Hafida tidak mengenalnya.

"Alhamdulillah, Bu Hafida sudah benar-benar pulih hanya mengenai ingatannya kita harus rajin terapi ya Bu. Sambil jalan nanti kontrol dengan saya, jangan lupa juga kontrol janinnya dengan dr. Samudra," kata-kata dr. Amour terdengar ambigu di telinga Hafida. Janin siapa yang dimaksudkan sang dokter. Jika itu ditujukan kepadanya, bagaimana mungkin tanpa suami dia bisa hamil. Hafida bukanlah wanita sesuci Siti Maryam.

"Maksud dokter? Janin?" tanya Hafida untuk memperjelas semuanya

"Jadi Bu Hafida sekarang sedang mengandung. Usia kandungannya sudah 14 minggu. Alhamdulillah pada saat kecelakaan janinnya sangat kuat sehingga tidak ada masalah dengannya. Jadi tolong dijaga juga, kesehatan dan asupan nutrisinya juga untuk si baby," jelas dokter Amour.

Hafida memandang Yulianti dengan tatapan permohonan untuk penjelasan yang lebih. Hingga laki-laki yang berdiri di samping Yulianti yang menjelaskan semuanya.

"Dik, kamu tidak ingat aku?" pertanyaan yang langsung dijawab gelengan oleh Hafida. "Aku Mas Yoga, mas iparmu. Satu tahun yang lalu kamu menikah dengan adikku Yudha, tapi kurang lebih dua setengah bulan yang lalu dia mendaftarkan gugatan cerai padamu ke pengadilan agama dan hakim telah memutuskan kalian bercerai sesaat sebelum kamu kecelakaan."

Hafida masih belum bisa mencerna apa yang dibicarakan orang asing dihadapannya ini. Seolah hatinya masih ingin mengingkari. Namun dia sadar bahwa kini dia telah berbeda, 'Hafida kamu terkena amnesia cobalah untuk percaya dengan apa yang orang katakan tentangmu'. Hingga akhirnya suara bariton dari dr. Amour melanjutkan ucapan laki-laki di samping bu Yulianti yang menyebutkan nama Yoga itu. "Pak Yoga dan Bu Menik ini yang menanggung semua biaya pengobatan Bu Hafida selama di rumah sakit."

"Masyaallah," lirih bibir Hafida mengagungkan khalam Rabbnya. Dia teringat akan janjinya dalam hati bahwa dia ingin bertemu dan mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantunya.

"Syukraan, Mas Yoga dan Bu Menik. Mungkin Hafid tidak akan seperti sekarang tanpa kalian"

"Tidak anakku, ibu yang harusnya minta maaf kepadamu. Gara gara kelakuan anak ibu, kamu menjadi seperti sekarang ini. Hari ini kamu pulang ya Nak. Tapi tidak ke rumah ibu lagi, itu yang membuat hati ibu menjadi sedih. Kamu akan tinggal bersama bu Yulianti di panti asuhan lagi, tapi ibu janji akan menengokmu sesering yang ibu mampu." Menik langsung memeluk Hafida, dia tak kuasa menahan air matanya.

Bu Yulianti pun akhirnya juga memeluk Hafida untuk sedikit menenangkannya. Karena dia tahu bahwa saat ini Hafida pasti bingung.

"Kamu sudah siap untuk pulang sayang?" tanya Yulianti.

Mata Hafida menangkap senyum dari bibir tipis dokter yang menanganinya. Dengan ramah, dokter dan Nrs Melda mohon pamit untuk melanjutkan pekerjaan mereka.

"Semoga selalu dalam lindungan Allah ya Bu Hafida. Senang berteman dengan Anda namun jangan sebagai perawat dan pasien," ucap Nrs Melda kemudian memeluk Hafida.

"Iya Nrs Melda, terima kasih sudah merawat saya sampai saat ini. Besok besok inshaallah saya pasti kemari untuk bertemu dengan Nrs Melda lagi tapi bukan sebagai pasien. Kita bersahabat?" jawab Hafida sambil menunjukkan jari kelingking kanannya. Mengerti apa maksud Hafida, Melda langsung menyambut kelingking itu dengan menautkan kelingking mereka.

"Saya juga bahagia sekali, namun saya tetap punya PR untuk Bu Hafid. Mohon nanti terapinya bisa rutin, saya sendiri yang akan memastikan semuanya akan kembali seperti semula," kata dr. Amour.

"Baik Dok," jawab Hafida dan keluarganya kompak.

"Kalau begitu, bisa berkemas dan saya buatkan surat untuk pengantar administrasi terakhir. Nanti diantar kemari ya Nrs Melda."

"Baik Dokter."

Angan Hafida masih lelah. Satu kenyataan lagi yang harus dia jalani. Dia janda yang sedang mengandung anak dari mantan suaminya, bagaimana mungkin terjadi perceraian ketika dia sedang mengandung. Bagaimana kelak dia akan memberitahukan kepada sang anak tentang figur seorang ayah. Allahu Rabb, membayangkan saja rasanya sudah bingung. Tapi dia harus kuat, bukan karena dia harus berjuang sendirian. Namun karena ada satu nyawa yang harus dia perjuangkan dan dia pertanggungjawabkan. Hafida tidak ingin menjadi ibu yang mengingkari anaknya sendiri, anak yang dikandung selama 9 bulan nantinya akan dia rawat semampu dia bisa merawat dengan kedua tangannya. Allah pasti akan memberikan jalan keluar bagi hambanya yang telah berserah diri.

"Ibu tidak menyangka jika kamu sedang hamil Hafid. Kemarin ibu baru saja diberitahu oleh dr. Amour tentang hal itu. Bukan salah dr. Amour jika dia tidak memberitahukan mengingat memang pada waktu itu masmu mengaku bahwa dia suamimu supaya semua bisa segera tertangani dengan baik. Mungkin dr. Amour menyangka bahwa Yoga telah mengetahui tentang kehamilanmu," kata Menik saat mereka sudah berada di dalam mobil.

"Ibu nanti yang akan membantu merawat. Kamu tidak perlu khawatir," Yulianti pun menambahkan keterangan dari Menik.

"Masmu nanti yang akan mengurus semuanya tentang aspek legalnya. Yang penting sekarang kamu segera pulih. Sebelum ke panti kita muter dulu sebentar ya, siapa tahu kamu nanti bisa mengingat sesuatu hal," ucap Menik yang kemudian meminta Yoga untuk membawa mereka ke jalan paling top di Jogja.

Memasuki area Malioboro, kilatan kilatan memori yang ada di file otak Hafida kembali bermunculan. Dulu ketika kecil dia sering mengasong di sana. Berjalan bolak balik sembari menawarkan cindera mata khas Jogja kepada pengunjung yang meluangkan waktunya untuk menikmati sudut kota romantis itu.

Senyuman itu kembali mengembang dari bibir Hafida. Mengenang masa kecilnya membuat hatinya bahagia. Meski tinggal di panti asuhan, dia tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang dari keluarga. Teman teman pantinya dan seluruh pengasuh panti adalah keluarganya. Hanya saja dia bersedih jika ada seorang diantara mereka ada yang mengadopsi. Bukan karena iri, namun karena Hafida pasti akan sulit untuk bertemu dengan saudaranya itu. Tidak seperti hari hari biasanya yang selalu bersama.

Sejauh mata Hafida memandang dan menikmati riuhnya jalanan Jogja yang tidak pernah sepi dengan wisatawan, tidak satu pun dari ingatannya yang mengarah kepada 2 orang yang kini berada di dekatnya maupun mantan suaminya. Bahkan bagaimana rupa sang mantan suami pun dia sudah tidak ingat lagi.

Sebenarnya menurut Menik dan Yoga, amnesia yang diderita Hafida itu lebih menguntungkan. Supaya dia terlalu bersedih jika harus mengingat sakit hatinya atas perlakuan sang mantan. Dia juga tidak harus menghindari sang mantan jika mereka tanpa sengaja bertemu di jalan, karena memang Hafida tidak mengingat rupanya sedang Yoga dan Menik memilih untuk tidak memberitahukan foto Yudha kepada Hafida.

Hingga saat sampai di pelataran luas bangunan yang berplakat 'Panti Asuhan Aisiyah' Hafida masih sama. Hanya mengiyakan setiap cerita yang dia dengar saja.

"Kamu istirahat, jangan banyak mikir macam-macam. Kesehatanmu yang sekarang paling utama," pesan Menik sebelum dia meninggalkan Hafida di panti yang diasuh Yulianti sejak puluhan tahun yang lalu.

"Hafid ingin tiduran dulu Bu, bolehkan Hafid ke kamar sekarang?"

"Pasti anakku, ayo. Kamu memang butuh banyak istirahat."

Tak terasa 5 hari istirahat di rumah membuat Hafida merasa bugar kembali. Besok hari Senin rencananya dia akan kembali untuk masuk ke kantornya. Bagaimanapun dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya dalam waktu yang lumayan lama. Meskipun kemarin dia telang mengirimkan surat bahwa dengan sangat menyesal dia harus meninggalkan tugasnya karena tragedi kecelakaan yang menimpanya.

Malam ini sebelum tidur dia mematut dirinya kembali di depan cermin. Perutnya yang kini mulai terlihat menonjol membuat dia harus memilih beberapa blouse yang nyaman untuk dipakai bekerja seharian. Meskipun semua pakaian Hafida termasuk golongan yang bisa dikatakan longgar. Namun dia tidak ingin ruang gerak anaknya terganggu karena pakaian yang dia pakai terkesan memaksa.

Hingga akhirnya dia terlelap dalam buaian mimpi, pakaian yang ia siapkan masih juga berada di atas meja yang ada di kamar tidurnya. Rasanya memang seperti orang yang baru mendapatkan pekerjaan. Bahagia.

Keesokan paginya Hafida telah rapi dengan setelan blouse lengan panjang berwarna putih dan rok cream dengan blezer yang senada. Tak lupa dia memakai jilbab yang cocok dipadupadankan dengan pakaiannya. Wajahnya yang dia poles dengan make up yang tipis, memang telah mengisyaratkan bahwa dia sudah membaik dari sakitnya.

Pagi ini dia ingin menghadap langsung kepada HRD dan menyelesaikan segala administrasi atau mungkin sanksi dari kantor tempat dia bekerja karena memang lebih dari sebulan dia tidak masuk kerja.

"Maafkan kami Mbak Hafid, semua ini adalah keputusan manajemen. Kami sama sekali tidak mengetahui kabar dan kondisi Mbak Hafid seperti apa. Hingga akhirnya manajemen mengeluarkan SP 1 di minggu pertama Mbak Hafid 'mangkir' kerja___"

"Saya tidak mangkir Pak, demi Allah. Saya benar-benar kecelakaan dan koma selama 15 hari. Bahkan keluarga saya tidak ada yang mengetahui tentang kondisi saya lantas bagaimana kami bisa memberikan informasi kepada kedinasan tentang apa yang menimpa saya," mohon Hafida ketika pak Sukandar sang HRD cabang dimana Hafid bekerja memberikan alasan yang bisa diterima bahwa Hafid telah resmi diberhentikan dari pekerjaannya

"Ya, karena SP 1 itu tetap tidak ada tanggapan hingga akhirnya satu minggu kemudian turunlah SP 2 dan mohon maaf sekali lagi saat kami mendengar kabar bahwa mba Hafid dirawat karena kecelakaan SP3 sekaligus surat untuk pemberhentian kerja telah ditandatangani oleh Pak Romli dan telah masuk ke HRD pusat." Terang pak Sukandar kembali.

"Apa tidak mungkin untuk diperjuangkan kembali Pak. Mengingat case saya, maaf bukan karena saya ingin diistimewakan. Tapi karena saya sangat butuh pekerjaan ini. Saya sedang hamil dan dicerai o_____," tanpa sengaja akhirnya Hafida mengutarakan alasan mengapa dia ngotot masih ingin meminta pekerjaannya bisa dikembalikan.

"Mbak Hafid_____?" sepertinya memang pak Sukandar kaget mendengar cerita Hafida yang belum tuntas.

"Maaf Pak, saya tidak bisa menceritakan detailnya karena memang saya tidak bisa mengingat apa pun. Tapi saya ingat bahwa saya menjadi pegawai di kantor ini. Jika memang masih memungkinkan Pak, saya minta tolong sekali lagi kepada Pak Sukandar."

"Baiklah Mbak, coba nanti saya negokan dengan HRD pusat apakah masih memungkinkan untuk menarik mbak Hafid kembali. Mengingat memang nama mbak Hafid telah dikeluarkan dari databased perusahaan sedangkan posisi terakhir mbak Hafid masih juga belum terisi sampai saat ini. Saya janji saya akan bantu semampu saya. Mbak Hafid tunggu informasi dari saya ya, sekali lagi saya minta maaf." Melihat raut muka kesedihan di wajah Hafida akhirnya Sukandar bersedia membantu memperjuangkan nasib Hafida. Bukan karena belas kasihan tetapi memang kinerja Hafida tidak ada duanya di kantor ini. Dia bisa menghandle hampir seluruh devisi yang ada di perusahaan telkomunikasi itu. Kerjanya rapi, sigap, tegas dan selalu on time.

Rasanya sangat disayangkan jika perusahaan membuang recources sebaik Hafida Nuraina hanya karena 'mangkir' yang memang kenyataannya tidak seperti itu.

🍃____🍃

-- to be continued --

Tetapkanlah AlQuran sebagai bacaan utama

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top